Sabtu, 27 Oktober 2012

Elegi Kelinci Toska (I)


Semalam petir menggelegar. Konon menumbangkan sebatang pohon di hutan kota. Petang aku datang untuk mengeceknya. Sekadar iseng.

Pohon terbelah dua. Di bawahnya buku catatan tertimbun sebagian oleh tanah. Separuh gosong buku itu, serpihan-serpihan hitam melayang ketika aku membersihkannya.

Halaman-halamannya kuning kasar. Semakin ke tengah semakin memudar. Kusentil lagi ujungnya yang terbakar, agar remah-remah jatuh ke belukar.

Seorang pria bertopi mendekat. Aku selipkan buku itu ke dalam jaket.

Di kamar aku amati buku itu dengan lebih saksama. Di balik sampul tertera aksara, seperti warisan zaman purba. Aku tak bisa memahami paku-paku yang bersaling-silang itu. Jangan-jangan ini mantra kutukan. Hahah.

Aksara itu ditoreh dengan tinta yang demikian dalam meresap. Agak kecokelatan.

Pada beberapa halaman berikut aku menemukan beberapa baris tulisan tangan. Kali ini, mestinya, berupa alfabet. Namun tulisan itu ditimpa oleh coret-coretan. Agaknya oleh tinta yang sama hitam.

Halaman-halaman lain tak berisi.

Buku itu kubiarkan saja mendekam di laci. Hingga beberapa lama tak kusentuh lagi.

Aku berpikir-pikir mengenai buku tersebut. Siapa gerangan yang memiliki. Aku penasaran bagaimana rasa menorehkan tinta pada permukaan halamannya yang agak kasar.

Kuputuskan sampai kapanpun pemilik buku itu tidak akan pernah jelas. Apa aku harus memindainya, menggunggah rupa buku itu ke berbagai media sosial, demi sepintas informasi mengenai siapa pemilik buku itu?

Kuputuskan untuk menggunakan buku itu sebagai ganti jurnalku yang telah habis.

Aku bukan seorang penulis jurnal yang rajin. Hanya beberapa hari sekali aku mengungkapkan sesuatu dalam jurnal. Sering peristiwa yang kuurai tidak penting amat.

Tanganku seperti terbenam saat kupertemukan ujung pulpen dengan kertas pada buku catatan yang setengah terbakar itu. Seolah ujung pulpenku tidak mau lepas lagi dari permukaan itu. Tanganku ditarik dan ditariknya lagi. Menari terus, betapa luwes. Tahu-tahu beberapa halaman telah berbalik.

Kesadaranku sampai. Aku hentikan penulisan. Kututup buku itu. Perasaan menakjubkan menyelubungiku. Entah kenapa. Aku bersyukur apa yang aku tuliskan pada permukaan kertas tidak lantas menyayat-nyayat permukaan kulitku, bak Harry Potter saat dihukum salah satu gurunya.

Selang beberapa hari, aku tidak ingat, aku belum berhasrat untuk menulis lagi, ketika makhluk itu muncul di rumahku. Sepasang telinganya sepanjang tubuhnya barangkali. Warnanya lebih toska dari jas almamater ITB. Aromanya sebusuk comberan. Giginya setajam sembilu, masya Allah!, ia menggigit leher ibuku. Ibuku menjerit-jerit. Ayahku berusaha menarik kelinci itu, tapi bagaimana agar kulit ibuku tidak ikut sobek. Rahang makhluk itu menganga dengan merahnya darah ibuku saat berhasil dilepaskan, serta-merta meloncat ke dada ayahku ia terkam. Ayahku teriak-teriak sementara ibuku yang masih terengah-engah berusaha merenggut makhluk itu juga. Adikku di tepi menangis-nangis tidak tahu mesti berbuat apa, sama terpaku seperti aku. Baru aku tersengat untuk bergerak ketika kelinci itu, dengan darah ayahku telah melumuri mulutnya, meloncat ke kaki adikku. Lengkingan adikku menyayat. Makhluk itu memperbesar raupannya seketika aku meremas tubuh gempalnya. Bulunya yang kasar lengket. Ayah dan ibuku berteriak-teriak. Tangisan adikku nyaring. Aku terguling seketika kelinci itu melepaskan mulutnya, tubuhnya, dari kaki adikku sementara ia masih dalam cengkeramanku yang melemah. Ia melesat. Tinggalkan sebuah keluarga dalam darah. Membawa darah ibuku, ayahku, adikku dalam mulutnya, tidak aku.

Esok aku pergi ke sekolah dalam kecamuk. Keluargaku masih dilanda panik, bagaimana jika kelinci itu muncul lagi, bagaimana jika ia masih bersembunyi di sudut-sudut rumah, di tepi-tepi halaman. Kenapa aku tidak diserang. Sepulang sekolah aku akan memburunya, harus.

Di sekolah, di kelas, aku menemukan orang-orang yang aku kenal, banyak temanku dan sedikit guruku, tampak dengan perban melekat di anggota badan. Di wajah, di leher, di lengan, di pinggang, di paha, di kaki. Alasan mereka sama. Seekor kelinci berbulu toska dan bau menghajar mereka sekonyong-konyong. Tidak akan melepas sampai membawa darah di mulutnya, lalu pergi begitu saja. Kudukku dileleri es batu.

Tetapi, berarti kelinci itu sudah tidak berada di sekitar rumahku. Ia sudah berkeliaran di jalanan kota, bahkan gang demi gang, solokan demi solokan. Menghampiri banyak temanku dan sedikit guruku, siapapun sebetulnya, siapapun yang menempati relung-relung di otakku, yang kucungkil untuk kuurai dengan aksara…

…aku hapalkan wajah-wajah itu yang mengeluh akan sakit daging mereka yang terkoyak. Sekian jahitan membolongi kulit mereka. Mencemaskan infeksi akan menjalari saluran darah mereka, bagaimana jika kelinci itu membawa virus. Sehari mereka demam, esok isi tubuh mereka mulai membusuk, otak mereka hilang, namun tubuh mereka bergerak-gerak tak keruan. Digerakkan oleh rasa haus akan darah yang kelinci itu tularkan pada mereka.

Di rumah aku buka buku catatan setengah terbakar itu. Kutelusuri orang-orang yang kurekam di sana. Ibuku, ceklis. Ayahku, ceklis. Adikku, ceklis. Si Anu, ceklis. Si Itu, ceklis. Si Una, ceklis. Si Uti, ceklis. Ceklis. Ceklis. Ceklis.

Belum sesuatu yang aneh terjadi pada keluargaku. Belum keluar hasil pengecekan di laboratorium-apakah mereka terinfeksi virus yang dapat mengubah mereka jadi zombie. Aku menonton TV dan menyibak koran, menyimak aksi para hipokrit. Sebuah cita-cita tercetus dalam kepalaku, yaitu untuk membersihkan masyarakatku dari hewan-hewan berwujud manusia itu. Aku bukan KPK, tapi barangkali aku bisa menyentil para koruptor dengan cara lain. Sekadar gigitan tak akan membuat mereka jera, tapi bolehlah aku mengerjai jahanam-jahanam itu.

Apalagi buku catatan ini lebih canggih dari Death Note. Aku tidak perlu tulis nama lengkap segala, kekuatan misterius dalam buku ini tahu siapa yang kumaksud. Tidak ada serangan jantung yang mematikan memang, ataupun skenario lain. ….. Barangkali bisa kucoba. Kutulis nama seseorang yang sedang berkibar di koran dan TV dan mana-mana berkat perkara sekian M. Gigit sampai mati. Aku menulis nama-nama hingga satu halaman, sebetulnya hingga aku tidak tahu siapa lagi yang cukup bangsat untuk dianggap sebagai sampah masyarakat. Kugeletakkan buku itu di laci. Kudiamkan.

Berhari-hari aku amati jikalau ada perubahan pada keluargaku. Adakah kuku mereka mengeras, gigi mereka meruncing, mata mereka memerah, kulit mereka menebal, segala proses yang mereka butuhkan untuk jadi zombie. Mereka masih mengganti perban meski sudah hampir seminggu, luka yang cukup dalam. Tidak ada tanda-tanda, cuman berita kalau pejabat X mendadak masuk rumah sakit karena diserang makhluk misterius. Pejabat Y juga, dan pejabat Z, dan oknum… Tidak pernah seseru ini membaca koran dan memelototi TV.

Permainan ini semakin menarik. Aku ingin menulis lebih banyak lagi nama di buku itu. Muhahahahahaha…

Kelinci itu duduk di tepi jendela kamarku.

Seandainya aku bisa mengecat bulu makhluk itu dengan warna yang lebih tidak mencolok mata, dan memasang lensa kontak pada matanya—keseluruhan bola matanya merah kelam. (bersambung)


Disclaimer!: “Kelinci Toska” adalah lagu karangan Sind3ntosca, bercerita tentang seekor kelinci yang dijauhi teman-temannya karena warnanya yang beda, jelek dan bau. Cerpen ini sebetulnya tidak secara langsung terinspirasi dari lagu tersebut, melainkan begitu saja menancap di imajinasi saya saat saya mencoba untuk mengerjakan latihan dari sini. “Bahan-bahan” sebenarnya yang saya gunakan untuk membentuk cerpen ini adalah “a half-burned notebook”, “an ancient curse”, “a mysterious rabbit”, “an impossible doorway”, dan “an indestructible tree”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...