Semalam petir menggelegar. Konon menumbangkan sebatang pohon
di hutan kota. Petang aku datang untuk mengeceknya. Sekadar iseng.
Pohon terbelah dua. Di bawahnya buku catatan tertimbun
sebagian oleh tanah. Separuh gosong buku itu, serpihan-serpihan hitam melayang
ketika aku membersihkannya.
Halaman-halamannya kuning kasar. Semakin ke tengah semakin
memudar. Kusentil lagi ujungnya yang terbakar, agar remah-remah jatuh ke
belukar.
Seorang pria bertopi mendekat. Aku selipkan buku itu ke dalam
jaket.
Di kamar aku amati buku itu dengan lebih saksama. Di balik
sampul tertera aksara, seperti warisan zaman purba. Aku tak bisa memahami
paku-paku yang bersaling-silang itu. Jangan-jangan ini mantra kutukan. Hahah.
Aksara itu ditoreh dengan tinta yang demikian dalam meresap.
Agak kecokelatan.
Pada beberapa halaman berikut aku menemukan beberapa baris
tulisan tangan. Kali ini, mestinya, berupa alfabet. Namun tulisan itu ditimpa
oleh coret-coretan. Agaknya oleh tinta yang sama hitam.
Halaman-halaman lain tak berisi.
Buku itu kubiarkan saja mendekam di laci. Hingga beberapa
lama tak kusentuh lagi.
Aku berpikir-pikir mengenai buku tersebut. Siapa gerangan
yang memiliki. Aku penasaran bagaimana rasa menorehkan tinta pada permukaan
halamannya yang agak kasar.
Kuputuskan sampai kapanpun pemilik buku itu tidak akan pernah
jelas. Apa aku harus memindainya, menggunggah rupa buku itu ke berbagai media
sosial, demi sepintas informasi mengenai siapa pemilik buku itu?
Kuputuskan untuk menggunakan buku itu sebagai ganti jurnalku
yang telah habis.
Aku bukan seorang penulis jurnal yang rajin. Hanya beberapa
hari sekali aku mengungkapkan sesuatu dalam jurnal. Sering peristiwa yang
kuurai tidak penting amat.
Tanganku seperti terbenam saat kupertemukan ujung pulpen
dengan kertas pada buku catatan yang setengah terbakar itu. Seolah ujung
pulpenku tidak mau lepas lagi dari permukaan itu. Tanganku ditarik dan
ditariknya lagi. Menari terus, betapa luwes. Tahu-tahu beberapa halaman telah berbalik.
Kesadaranku sampai. Aku hentikan penulisan. Kututup buku itu.
Perasaan menakjubkan menyelubungiku. Entah kenapa. Aku bersyukur apa yang aku
tuliskan pada permukaan kertas tidak lantas menyayat-nyayat permukaan kulitku,
bak Harry Potter saat dihukum salah satu gurunya.
Selang beberapa hari, aku tidak ingat, aku belum berhasrat
untuk menulis lagi, ketika makhluk itu muncul di rumahku. Sepasang telinganya
sepanjang tubuhnya barangkali. Warnanya lebih toska dari jas almamater ITB. Aromanya
sebusuk comberan. Giginya setajam sembilu, masya Allah!, ia menggigit leher
ibuku. Ibuku menjerit-jerit. Ayahku berusaha menarik kelinci itu, tapi
bagaimana agar kulit ibuku tidak ikut sobek. Rahang makhluk itu menganga dengan
merahnya darah ibuku saat berhasil dilepaskan, serta-merta meloncat ke dada
ayahku ia terkam. Ayahku teriak-teriak sementara ibuku yang masih
terengah-engah berusaha merenggut makhluk itu juga. Adikku di tepi
menangis-nangis tidak tahu mesti berbuat apa, sama terpaku seperti aku. Baru
aku tersengat untuk bergerak ketika kelinci itu, dengan darah ayahku telah
melumuri mulutnya, meloncat ke kaki adikku. Lengkingan adikku menyayat. Makhluk
itu memperbesar raupannya seketika aku meremas tubuh gempalnya. Bulunya yang
kasar lengket. Ayah dan ibuku berteriak-teriak. Tangisan adikku nyaring. Aku
terguling seketika kelinci itu melepaskan mulutnya, tubuhnya, dari kaki adikku
sementara ia masih dalam cengkeramanku yang melemah. Ia melesat. Tinggalkan
sebuah keluarga dalam darah. Membawa darah ibuku, ayahku, adikku dalam
mulutnya, tidak aku.
Esok aku pergi ke sekolah dalam kecamuk. Keluargaku masih
dilanda panik, bagaimana jika kelinci itu muncul lagi, bagaimana jika ia masih
bersembunyi di sudut-sudut rumah, di tepi-tepi halaman. Kenapa aku tidak
diserang. Sepulang sekolah aku akan memburunya, harus.
Di sekolah, di kelas, aku menemukan orang-orang yang aku
kenal, banyak temanku dan sedikit guruku, tampak dengan perban melekat di
anggota badan. Di wajah, di leher, di lengan, di pinggang, di paha, di kaki. Alasan
mereka sama. Seekor kelinci berbulu toska dan bau menghajar mereka
sekonyong-konyong. Tidak akan melepas sampai membawa darah di mulutnya, lalu
pergi begitu saja. Kudukku dileleri es batu.
Tetapi, berarti kelinci itu sudah tidak berada di sekitar
rumahku. Ia sudah berkeliaran di jalanan kota, bahkan gang demi gang, solokan
demi solokan. Menghampiri banyak temanku dan sedikit guruku, siapapun
sebetulnya, siapapun yang menempati relung-relung di otakku, yang kucungkil
untuk kuurai dengan aksara…
…aku hapalkan wajah-wajah itu yang mengeluh akan sakit daging
mereka yang terkoyak. Sekian jahitan membolongi kulit mereka. Mencemaskan
infeksi akan menjalari saluran darah mereka, bagaimana jika kelinci itu membawa
virus. Sehari mereka demam, esok isi tubuh mereka mulai membusuk, otak mereka
hilang, namun tubuh mereka bergerak-gerak tak keruan. Digerakkan oleh rasa haus
akan darah yang kelinci itu tularkan pada mereka.
Di rumah aku buka buku catatan setengah terbakar itu.
Kutelusuri orang-orang yang kurekam di sana. Ibuku, ceklis. Ayahku, ceklis.
Adikku, ceklis. Si Anu, ceklis. Si Itu, ceklis. Si Una, ceklis. Si Uti, ceklis.
Ceklis. Ceklis. Ceklis.
Belum sesuatu yang aneh terjadi pada keluargaku. Belum keluar
hasil pengecekan di laboratorium-apakah mereka terinfeksi virus yang dapat
mengubah mereka jadi zombie. Aku menonton TV dan menyibak koran, menyimak aksi
para hipokrit. Sebuah cita-cita tercetus dalam kepalaku, yaitu untuk
membersihkan masyarakatku dari hewan-hewan berwujud manusia itu. Aku bukan KPK,
tapi barangkali aku bisa menyentil para koruptor dengan cara lain. Sekadar
gigitan tak akan membuat mereka jera, tapi bolehlah aku mengerjai
jahanam-jahanam itu.
Apalagi buku catatan ini lebih canggih dari Death Note. Aku
tidak perlu tulis nama lengkap segala, kekuatan misterius dalam buku ini tahu
siapa yang kumaksud. Tidak ada serangan jantung yang mematikan memang, ataupun
skenario lain. ….. Barangkali bisa kucoba. Kutulis nama seseorang yang sedang
berkibar di koran dan TV dan mana-mana berkat perkara sekian M. Gigit sampai mati. Aku menulis nama-nama
hingga satu halaman, sebetulnya hingga aku tidak tahu siapa lagi yang cukup
bangsat untuk dianggap sebagai sampah masyarakat. Kugeletakkan buku itu di
laci. Kudiamkan.
Berhari-hari aku amati jikalau ada perubahan pada keluargaku.
Adakah kuku mereka mengeras, gigi mereka meruncing, mata mereka memerah, kulit
mereka menebal, segala proses yang mereka butuhkan untuk jadi zombie. Mereka
masih mengganti perban meski sudah hampir seminggu, luka yang cukup dalam.
Tidak ada tanda-tanda, cuman berita kalau pejabat X mendadak masuk rumah sakit
karena diserang makhluk misterius. Pejabat Y juga, dan pejabat Z, dan oknum… Tidak
pernah seseru ini membaca koran dan memelototi TV.
Permainan ini semakin menarik. Aku ingin menulis lebih banyak
lagi nama di buku itu. Muhahahahahaha…
Kelinci itu duduk di tepi jendela kamarku.
Seandainya aku bisa mengecat bulu makhluk itu dengan warna
yang lebih tidak mencolok mata, dan memasang lensa kontak pada matanya—keseluruhan
bola matanya merah kelam. (bersambung)
Disclaimer!: “Kelinci Toska” adalah lagu karangan
Sind3ntosca, bercerita tentang seekor kelinci yang dijauhi teman-temannya
karena warnanya yang beda, jelek dan bau. Cerpen ini sebetulnya tidak secara
langsung terinspirasi dari lagu tersebut, melainkan begitu saja menancap di
imajinasi saya saat saya mencoba untuk mengerjakan latihan dari sini.
“Bahan-bahan” sebenarnya yang saya gunakan untuk membentuk cerpen ini adalah “a
half-burned notebook”, “an ancient curse”, “a mysterious rabbit”, “an
impossible doorway”, dan “an indestructible tree”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar