Selasa, 16 Oktober 2012

Diary Ami


            “…Ami bukan orang yang cerewet dan menarik perhatian kayak Kakak, yang sanguin dan ekstrover gitu. Ami juga enggak pinter milih baju… Mungkin karena Kakak menonjol, anak sulung, Mama sama Ayah lebih merhatiin dia… Banyak yang mau jadi pacar Kakak, Ami enggak pernah punya. Temen-temen Ami juga enggak sebanyak temen Kakak...
            “…mungkin juga karena Aar anak cowok satu-satunya, dia juga bungsu lama banget sebelum Mamin lahir… Aar pinter banget, Ami biasa aja. Kakak juga biasa-biasa aja, tapi dia kan suka nyeleneh. Ami enggak berani minta macem-macem sama Mama dan Ayah kayak mereka…
            “…sekarang ada Mamin, semua merhatiin Mamin…”


            Tante Eka ingin menangis setelah membaca beberapa paragraf dalam diary Ami. Oh, Ami. Tante Eka tidak pernah menyangka. Ternyata selama ini Ami merasa demikian. Padahal di mata Tante Eka Ami adalah anak yang paling kalem, sabar, penurut, tidak macam-macam, tidak banyak masalah… siapa yang tahu? Tante Eka meletakkan kembali diary Ami di meja, lalu lanjut membereskan kamar anak gadisnya itu.
            Tante Eka kemudian memberitahu suaminya, Om Dede, yang kini berprofesi sebagai ayah rumah tangga. Tentu saja dalam situasi di mana anak-anak tidak mungkin mendengarkan.
            “Ayah, Ayah kan di rumah terus nih. Ayah lebih perhatian dong sama Ami,” kata Tante Eka pada Om Dede. “Sekali-sekali baca diary Ami tuh.”


      Ah enakan baca majalah daripada diary, pikir Om Dede. Om Dede sudah berpengalaman membaca diary anak gadis, yaitu milik adik perempuannya saat menginjak ABG, sedang Om Dede sendiri hanya beberapa tahun lebih tua. Semula rasanya seru, tapi lama-lama Om Dede bosan. Isinya tidak jelas, semaunya. Bahasan di majalah lebih fokus.
            Tapi Om Dede tetap merenung-renungkan perkataan Tante Eka. Ia mengenang masa di mana Ami baru lahir, lalu beranjak balita, dan seterusnya. Saat itu Om Dede mulai sibuk di kantor, sering pulang larut karena lembur. Saat itu Om Dede berpikir, ia harus tetap mengupayakan kebersamaan dengan anak meskipun ia tidak memiliki banyak waktu. Bahkan meskipun mereka sudah tidur. Selama beberapa malam Om Dede berhasil mewujudkan niat itu. Sepulang dari kantor, Om Dede memilih untuk tidur bersama anak-anaknya. Anak-anaknya akan terbangun saat Om Dede merebahkan diri di samping mereka, dan saat itulah mereka menyadari keberadaan sang ayah untuk mereka. Lama-lama beban kerja di kantor semakin berat. Tiap malam jadi dilema bagi Om Dede, antara wajah polos anak-anaknya kala terlelap, atau sang istri yang menyambut kepulangan suaminya dengan daster tipis. Kebiasaan tidur bersama anak-anak pun Om Dede tinggalkan, karena ternyata lebih enak dikeloni istri daripada mengeloni anak-anak. Om Dede bahkan tidak ingat seberapa sering ia tidur bersama anak ketiganya, putra satu-satunya, Aar. Saat itu ia sudah semakin sibuk. Aar mungkin lebih sering tidur bersama pembantu.
            Om Dede merasa sangat egois.
            Kini saatnya membayar kompensasi. Om Dede akan mendekati Ami. Lagipula Ami lebih responsif daripada Aar. Om Dede akan lebih sering menegur Ami. Kalau perlu Om Dede datangi langsung Ami di kamarnya. Toh Ami bukan anak yang bakal langsung mendorong pintu dengan kaki hingga tertutup begitu langkah ayahnya mendekat—seperti yang biasa Aar lakukan. Ami bakal langsung menghentikan apapun aktivitasnya, dan menanggapi apapun yang ayahnya inginkan.
            Ami, kok kamarnya berantakan banget. Ayah beresin yah?
            Ami, kok belum tidur, Ayah dongengin yah?
            Ami, rambutnya acak-acakan gitu deh, sini Ayah sisirin.  
           

“Ih Ayah! Ami kan udah gede! Ami jadinya malu banget. Jadi ngerasa risih sendiri. Tapi Ami seneng, Ayah jadi perhatian banget sama Ami. Udah gitu tau enggak, dy, kalau menurut Ami sih Ami yang paling sering dipanggil ‘Cantik’ sama Ayah, dibandingin sama Kakak, bahkan ke Mamin juga enggak! Hihihi…”


Tante Eka tersenyum-senyum membaca diary Ami. Bahkan Tante Eka sebetulnya mulai ketagihan. Ingin tiap ada kesempatan ia menyelinap ke kamar Ami, lalu memantau keadaan anak gadisnya itu dari waktu ke waktu lewat diary. Sekarang isi diary Ami mulai positif, terutama karena perhatian dari ayahnya. Tante Eka tidak mau kalah. Ia juga ingin lebih sering mengajak Ami mengobrol.
Tepat ketika Tante Eka melihat ke arah pintu, Ami tengah memandanginya dengan tercengang. Wajah gadis itu memerah.
“Ih Mama ngapain baca-baca diary Ami?” Ami segera merebut benda di tangan Tante Eka. “Mama keluar! Keluar!” Gadis itu menjerit-jerit seraya wajahnya membasah. Tante Eka tidak kuasa berkata apa-apa. Ia menurut saja ketika gadis itu mendorong-dorongnya hingga keluar kamar. Pintu ditutup.
Tante Eka kebingungan. Hatinya berkecamuk. Sepertinya ia telah membuat Ami sangat gusar. Sedu sedannya samar-samar ketika telinga ditempelkan ke pintu. Selama berjam-jam gadis itu tidak keluar dari kamar.
Akhirnya Ami keluar dari kamar. Di sudut halaman samping ia menumpuk berjilid-jilid diary miliknya, disusul sebatang korek yang menyala. Ia tuangkan minyak tanah agar api semakin besar.
Tante Eka kontan mendekat.
“Loh, Ami, kenapa dibakar…?”
“Daripada dibaca sama Mama.” Suara Ami sengau. Isaknya masih tersisa.
“Ami… Kalau Mama enggak baca diary Ami kan Mama enggak tahu Ami gimana… Ami enggak pernah cerita…” ucap Tante Eka selembut mungkin.
“Tapi Mama, itu kan privasi Ami,” ujar Ami dengan tangis tertahan.
“Mama kan pingin tahu kalau Ami ada masalah apa… Siapa tahu Mama sama Ayah bisa bantu…?”
Ami bungkam saja, Tante Eka jadi cemas.
Kata Tante Eka lagi, “Asal Ami cerita-cerita juga sama Mama, sama Ayah, Mama janji enggak bakal baca-baca diary Ami lagi. Maafin Mama ya Ami sayang…”
Ami mengusap kedua belah matanya bergantian. “Bener janji ya, Ma…”
Mama memeluk Ami dan Ami balas memeluk Mama.
“Iya, pasti.”
Dan Tante Eka pun berjanji pada Ami sebagaimana ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyeleweng dari suaminya lagi. <<4 x 15 min>>


16 Okt 2012
(anggap  aja) sekadar ngerjain latihan dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain