Suara menyepak.
Bocah-bocah berteriak. Om Dede terbangun, lalu mencerna suasana. Gelap
mengawang. Sudah sore rupanya. Ia melirik ke samping tempat tidurnya. Yasmin,
bungsunya, tidak ada. Mungkin istri Om Dede, Tante Eka, sudah pulang. Yasmin
bersama wanita itu, Om Dede akan mengeceknya.
Begitu melintas
ruang tengah, Om Dede mendapati Yasmin telungkup di sofa. Cuman pindah tidur
rupanya. Tante Eka sudah menggelar berkas-berkasnya di meja makan, sembari
mengunyah sepotong pizza. Padahal Om Dede masak sop siang itu, tapi istrinya
memang doyan beli makanan dari luar.
Tante Eka lebih suka
pulang lebih awal dari jadwal kerja yang ditentukan pemerintah, lalu
menyelesaikan pekerjaannya di rumah sembari mengawasi anak-anaknya. Apalagi
sejak kelahiran Yasmin.
Om Dede duduk di
seberang Tante Eka. Apakah wanita itu ngeh dengan keberadaan sepanci sop yang
tak jauh dari tumpukan berkasnya? Om Dede amat-amati istrinya yang makin sibuk
saja dari hari ke hari, sementara Om Dede sudah empat hari tidak keluar rumah
sama sekali.
Sudah hampir dua
tahun sejak Om Dede mengundurkan diri dari perusahaannya, dengan alasan yang sulit
dipahami sanak saudara dan handai tolan. Padahal saat itu Tante Eka belum lama
melahirkan. Pembantu malah minta pulang setelah setahun bertahan. Padahal zaman
sekarang susah cari pembantu, bukan? Si sulung Bilqis sudah jarang di rumah,
sedang menjalani tahun pertama kuliah di kota lain. Ami yang sudah bisa
diandalkan mulai sibuk bimbingan belajar dan les ini-itu. Aar masih sulit
disuruh-suruh, bahkan untuk sekadar mengelap kaca. Alhasil Om Dede pun tidak
lama jadi pengangguran, karena segera beralih profesi jadi ayah rumah tangga.
Bocah-bocah di jalan
depan rumah kembali meledak.
“GOOOL….!”
Entah kaki siapa
segera beradu lagi dengan bola.
“Ke sini! Ke sini!”
suara nyaring menyentak.
“Musiiin… Jaga
sebelah situ ih!”
“Ck,” decak Tante
Eka seraya menyibak sejumput rambut yang jatuh ke dahinya. “Anak-anak itu
enggak bisa main di tempat lain apa ya?” nadanya senewen.
Om Dede beranjak. Memang
anak-anak itu bersuara terlalu keras, sampai terdengar ke ruang makan. Om Dede
mengamati mereka dari balik gorden ruang tamu. Tapi adakah lagi tempat yang
memadai untuk mereka? Harap maklum. Tidak ada lapangan di komplek perumahan
ini.
Riuh sekali.
Menyilet-nyilet pendengaran Tante Eka, tapi terdengar bak musik bagi Om Dede. Om
Dede pun duduk di sofa sembari terus memerhatikan. Betapa mereka mengagumkan.
Bermain sepak bola itu menyehatkan. Berkumpul dengan teman-teman sebaya juga
menyehatkan. Simak bagaimana mereka bicara pada satu sama lain. Dengarkan
betapa bertenaganya mereka saat menendang bola, berlari ke sana ke mari untuk
mencari posisi yang tepat. Mereka sungguh sehat.
Om Dede sudah lupa
kapan terakhir kali ia bertemu dengan teman—teman-teman. Mereka selalu sibuk
dengan pekerjaan, tidak gampang meluangkan waktu untuk sekadar makan-makan.
Bagaimanapun mengurus rumah dan balita juga bisa menjadi pekerjaan yang
melelahkan. Jangan tanya soal penghasilan, apalagi harga diri.
Om Dede bangkit. Ia
naik ke lantai dua, menuju kamar Aar. Hanya layar TV yang menyinari muka bocah
itu. Jari-jari Aar terlalu sibuk memenceti tombol-tombol joystick, alih-alih untuk menekan saklar sejenak. Om Dede yang
menyalakan lampu.
“Ar, enggak ikut
main di luar?”
Jerit dan gelak dari
luar justru terdengar sangat jelas di sini.
“Ar,” panggil Om
Dede lagi.
“AR.”
Baru Aar mendongak.
“Hm,” gumamnya menanggapi, lalu tatapannya kembali ke layar TV.
“Yaaaah… Ayaaah…!” suara
Tante Eka. Om Dede tidak lama-lama lagi menginterupsi Aar. “Anak-anak di luar
pada manggil-manggil tuh. Enggak tahu mau apa,” ucap Tante Eka begitu Om Dede
mendekat. Wanita itu masih sibuk dengan berkas-berkasnya, lalu Yasmin menangis
karena jatuh dari sofa. Tante Eka lebih cepat bergerak. Jadi Om Dede beralih ke
ruang tamu.
“Permisi… Mau
ngambil bola…” terdengar suara itu sebelum Om Dede membuka pintu.
Anak-anak itu sudah
menanti di balik pagar.
“Langsung ambil
aja,” kata Om Dede, tapi ia tidak melihat bola di manapun. Telunjuk anak-anak
itu mengarah ke atas. Rupanya bola tersangkut di atap.
“Siapa yang nendang?
Tinggi banget,” tegur Om Dede setelah mengambilkan bola untuk anak-anak itu. Mereka
semua telah berdiri di ambang teras rumahnya. Ia tersenyum saat anak-anak itu
mulai saling tuding.
“Aarnya ada, Om?” cetus
seorang anak.
Sayangnya Aar lebih
senang main dengan orang-orangan ketimbang dengan orang betulan.
“Pada mau pizza
enggak?”
Mereka
bergumam-gumam pada satu sama lain. Pundak menyenggol pundak. “Mau! Mau!”
sahutan mereka disertai semringah.
Masih berapa potong
pizza di kardus? Sementara ia mempersilahkan anak-anak itu mencicipi dulu
kue-kue kering yang tersedia di meja ruang tamu. Apalagi yang bisa ia suguhkan
kepada mereka? Ia hanya ingin mengobrol, sungguh, dan pizza bisa menjadi
pengiring yang manis. Syukurlah masih tersisa empat potong. Jumlah anak-anak
itu lima orang, belum ditambah Aar. Tapi bukankah berbagi lebih menyenangkan?
Aar mengernyit
ketika tahu teman-temannya tengah menanti di lantai bawah. Tapi ia hentikan
juga permainannya.
Anak-anak itu undur
diri begitu azan magrib berkumandang. Om Dede membawa kardus yang sudah kosong
melompong kembali ke dalam. Tante Eka menyambut dengan cemberut. Yasmin dalam
gendongannya. “Kok malah dikasih-kasih. Aar kan belum kebagian.”
“Udah tadi, sama
temen-temen,” sahut Om Dede. Serta-merta Aar muncul dari ruang tamu, sehabis
melepas teman-temannya pulang.
“Yasmin belum
kebagian.”
“Iya,” tanggap Om
Dede. Yasmin saja tidak rewel.
“Ami belum
kebagian.”
Sekitar setengah jam
kemudian Ami pulang dari les bahasa Inggris. Tante Eka memberitahu Ami mengenai
pizza yang dihabiskan sang ayah tanpa menyisakan untuk gadis belia itu sama
sekali. Ami merajuk. Om Dede menelepon layanan pesan antar. “Yang medium aja,”
katanya.
“Yang gede! Yang
gede!” yang lain berseru-seru.
***
Om Dede mendapati
sore yang sunyi begitu ia terjaga dari tidur. Ia menyeret langkah ke ruang
tengah. Di sofa Ami sedang mengajarkan Yasmin sebuah lagu. Tante Eka tenggelam
dalam berkas-berkasnya di meja makan. Om Dede menuju ruang tamu. Hanya seorang
pejalan kaki yang tengah melintas. Dan mobil Tante Eka di balik pagar.
“Ma, kok enggak langsung
dimasukin mobilnya?” tegur Om Dede seraya mencari-cari kunci mobil di bufet
ruang tengah.
“Iya entar magrib
ajalah,” ujar Tante Eka. Ia sedang sibuk menulis sesuatu pada selembar kertas,
dengan setumpuk berkas sebagai alas. Namun perhatiannya teralih begitu
mendapati suaminya menenteng kunci mobil. “Ayah, entar aja mobilnya dipindah!”
seru Tante Eka, entah Om Dede dengar atau tidak. Pria itu sudah lenyap dari
ruangan.
Mobil itu harus
dipindah, demikian pikir Om Dede. Anak-anak itu harus diberi ruang.
9 – 10/10/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar