Minggu, 03 Maret 2013

Membaca Lagi James Joyce, "Araby"





Gazing up into the darkness I saw myself as a creature driven and derided by vanity; and my eyes burned with anguish and angerJames Joyce dalam Araby


Araby. Saya kira saya pernah membaca cerpen itu sebelumnya dalam bahasa Indonesia,  dalam buku Dubliners terbitan Jalasutra. Saya meminjam kumpulan cerpen James Joyce tersebut dari seseorang, dan entahlah apa yang saya dapatkan dari situ setelah menamatkannya. Orang tersebut juga membeli buku James Joyce yang lain, A Portrait of the Artist as a Young Man (Jalasutra, Yogyakarta, 2003). Tapi ia malah memberikan novel tersebut untuk saya, kalau tidak salah karena ia tidak menyukainya. Ada hal yang membuatnya tidak bisa memahami novel tersebut. Sayapun coba membaca, dan tidak menangkap apa-apa. Pembacaan saya tersendat-sendat, hingga terhenti sama sekali. Belum tamat. Entah karena terjemahannya, atau pembacaan saya yang belum sampai ke sana. Bagaimanapun itu sudah bertahun-tahun lalu. Kini saya menghadapi lagi Araby dalam bahasa aslinya, dalam buku The Harper Anthology of Fiction yang disusun oleh Sylvan Barnett (HarperCollins Publishers Inc., USA, 1991). Akibatnya saya merasa harus membuka lagi buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia Jilid 2 (InsistPress, Yogyakarta, 2008), sebab baru lewat kumpulan catatan perjalanan oleh Sigit Susanto tersebut saya betulan ngeh sama James Joyce.

Perjalanan Sigit Susanto di Zürich dan Dublin menapaktilasi kehidupan sastrawan yang sangat termasyhur tersebut. Karya-karya James Joyce menjadi ikon bagi Dublin. Bahkan di beberapa negara, para penggemar James Joyce mengadakan perayaan kecil-kecilan untuknya setiap tanggal 16 Juni (tanggal kencan pertama James Joyce dengan wanita yang kemudian menjadi istrinya—Nora Barnacle), yang dinamakan Bloomsday.

Cerita Sigit Susanto mengenai James Joyce turut menyadarkan saya bahwa saya memiliki ikatan dengan tempat (kota) di mana saya dibesarkan, yang mana sepatutnya menjadi inspirasi saya dalam berkarya. Sebagaimana yang dikatakan James Joyce pada seorang pemuda Irlandia yang tinggal di Paris, saya kutip dari halaman 85 buku Sigit Susanto, “… Anda orang Irlandia, seharusnya Anda menulis tradisi Anda yang sudah mendarah daging. Tak ada manfaatnya meminjam model yang lain. Anda harus menuliskan apa yang mengalir pada darah Anda, bukan apa yang bersarang di otak Anda.” Agaknya itulah yang menyebabkan karya-karya James Joyce mengandung elemen autobiografis.
Dan Araby, bisa dibaca di sini, adalah satu dari sekian karya James Joyce yang menunjukkan hal tersebut. Araby memberi gambaran akan kehidupan di Dublin pada era 1900-an, lingkungan di mana James Joyce dibesarkan. Unsur religi mewarnai cerpen ini, mengingatkan kalau James Joyce pernah mengenyam pendidikan di sekolah Katolik.

Araby ditulis James Joyce tahun 1905, yang berarti usianya masih sekitar 23 tahun (lh. 1882) pada waktu itu. Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak lelaki yang kasmaran dengan tetangganya—kakak perempuan dari temannya bermain. Tidak disebutkan secara persis usia anak ini, yang jelas ia masih bersekolah. Mungkin sekitar akhir SD-awal SMP. Ia tinggal bersama Paman dan Bibi. Perasaan si anak terhadap perempuan yang ia sukai sangat kuat, namun ia tidak berani mendekati. Pada akhirnya ada momen di mana mereka bisa berinteraksi. Perempuan tersebut ingin pergi ke Araby, sebuah bazaar, pada Sabtu malam tapi tidak bisa. Ada retret di biaranya. Si anak pun berjanji pada perempuan tersebut, jika ia pergi ia akan membawakannya sesuatu. Ia pun meminta izin Bibi, lalu Paman pada Sabtu pagi. Ia tidak sabar untuk pergi ke bazaar dan memenuhi janji. Namun Sabtu tersebut Paman pulang larut sekali. Bahkan Paman lupa kalau si anak hendak ke bazaar. Paman pun memberikan uang kepada anak tersebut, yang lantas lekas-lekas memburu kereta. Hampir semua stan telah tutup ketika si anak tiba. Si anak pun mendekati salah satu stan yang masih buka. Tapi niatnya untuk membeli sesuatu surut begitu ia didekati oleh penjaga stan. Nada wanita tersebut membuat si anak merasa tidak diperlakukan sebagai calon pembeli. Si anak pun berlalu. Semua cahaya dipadamkan, tempat tersebut benar-benar gelap. Yang menyala hanya luka dan kemarahan dari si anak.

Detail yang saya dapati selama pembacaan cerpen ini bikin saya teringat lagi sama cerita Sigit Susanto, kalau James Joyce sangat memerhatikan detail. Ia sampai menyurati bibinya, bahkan menyuruh kawan-kawannya untuk mewawancarai ayahnya, demi mendapatkan detail yang hendak ia gunakan dalam adikaryanya, Ulysses. Dalam Araby, detail memberi nuansa yang kontradiktif antara lingkungan di mana si anak tinggal (Dublin era 1900-an), yang digambarkan demikian kelam, dengan perempuan yang menjadi sasaran kasmaran si anak, yang seakan bercahaya. Bagaimanapun cerpen merupakan sebuah komposisi. Kekuatan cerpen ditentukan oleh kemampuan pengarang dalam memilih hingga menyusun kata. Satu kata saja bisa menuai beragam makna. Kata menjelma detail.

Adapun yang paling menyentuh saya dari cerpen ini adalah isu coming of age yang dicetusnya. Dari kalimat terakhir saya menangkap inferioritas seorang anak, yang merasa direndahkan oleh orang-orang yang lebih tua. Begitu emosional.

Kita bisa menemukan banyak review tentang Araby di internet. Saya pun sampai tertegun. Betapa sepenggal tulisan dapat mengandung banyak makna, begitu kaya, barangkali menyembunyikan kompleksitas, hingga mengundang orang-orang untuk membahas dari berbagai sisi hingga berlembar-lembar halaman, bisa jadi lebih panjang dari cerpen itu sendiri. O James Joyce, Y U so inspiring?*** 

2 komentar:

  1. Dishare dong ke publik buku A Portrait of the Artist as a Young Man nya. : ) - kamartendy -

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya Allah kalau sudah selesai dibaca hehe...
      terima kasih ya sudah berkunjung :)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...