Menurut Zia
perpustakaan merupakan tempat yang lebih nyaman untuk bertemu Ali alih-alih XII
IPS 1. Zia hapal kalau buku-buku pelajaran ditempatkan di lemari samping,
buku-buku umum di sebelahnya, sedang fiksi-fiksi berderet di belakang Ali.
Tidak sulit lagi baginya untuk menemukan buku tertentu. Sebagaimana Ali dengan
buku-buku di balai bacaan dulu. Biasanya Ali ke perpustakaan hanya untuk
mengerjakan tugas, sekarang ia mulai memanfaatkan kartu perpustakaannya. Kesempatannya
untuk melalap buku-buku di sini tinggal beberapa bulan lagi, kenapa bukannya
sejak dulu sih? Inilah hikmah di balik lenyapnya balai bacaan di rumah. Lagipula
bagi Ali buku-buku di perpustakaan tidak semenarik itu juga, minat cewek itu
saja yang terlalu luas.
Di perpustakaan Zia
menunjukkan pada Ali esai yang coba ia buat. Semula Ali bersemangat meninjaunya,
tapi kemudian malas lanjut membaca. Masih berasa diary, menurut Ali. Zia protes karena itu adalah esai Zia ke sekian
yang dikomentari demikian oleh Ali.
Di perpustakaan Zia
mempersandingkan cerita Opung yang ditulis Ali dengan novel-novel revolusi karya
Pandir Kelana. Ali menggeleng. Ia masih ingin menceritakan Opung apa adanya,
itupun sudah kepayahan ia mengenali mana yang fakta dan mana yang fiktif.
Justru lebih mudah kalau dijadikan fiksi sekalian, bujuk Zia. Ali tidak bisa
membayangkan dirinya sebagai penulis fiksi. Lagipula ia tidak ingin membiarkan
kebesaran Opung akhirnya dianggap fiktif semata.
Di perpustakaan mereka
mengenang masa di mana kebersamaan mereka mulai terasa, jauh sebelum Zia rajin
menyambangi XII IPS 1. Masa di mana Zia mendengar sepupunya yang saat itu
kelas XII, beserta teman-temannya yang satu angkatan, terjebak dalam jaringan
kongkalikong UN. Amat menarik untuk diinvestigasi lanjut, dan bagaimana peran
LEMPERs sebagai media SMANSON? Pengurus LEMPERs yang saat itu baru diangkat
malah mengangkat tangan. Zia belum menyerah. Dewan Penasihat barangkali lebih
punya kepedulian, ya, kalau orang yang ditemui adalah Ali. Cibluk dan Oki mungkin
akan membiarkan saja hal semacam itu, kapan sih ada kejadian UN 100% jujur? Zia
menyediakan bahan, Ali melengkapinya. Zia menyusun, Ali mengeditnya. Zia
menyerahkannya pada LEMPERs, Ali yang kena tegur guru pembina. Zia cepat surut
semangat, Ali terlalu menurut Pak Bowo. Rasanya lucu mengingat mereka
pernah begitu menggebu-gebu untuk memublikasikan tulisan itu. Tulisan Zia
yang pada waktu itu Ali anggap begitu wah. Ali tidak menduga selanjutnya ia
malah kehujanan lebih banyak lagi tulisan Zia dengan kualitas beragam rupa,
sekarang ia telah mengenali bagaimana gaya cewek itu menulis.
“Aku udah enggak pernah
lagi da buka-buka yang itu.”
“Sebenernya saya pernah
coba nulis ulang itu sih Zia.”
“Oh ya? Eeh… Mau lihat
dong…”
Esok lagi mereka
bertemu. Zia tampak senang dengan tulisannya yang sudah jadi lain itu. Ia
masih dapat mengenali ciri khasnya, tapi Ali mengemasnya jadi lebih enak
dibaca.
“UN sekarang gimana
ya?”
“Ya itu tergantung
kita-kitanya.”
“Iya…. Aduh. Mana
tinggal berapa lama lagi ini…” Zia menengok kalender di seberang ruangan. “Kurang
dari dua bulan lagi… Menurut aku, seharusnya kita lebih subversif.”
Pendengaran Ali menjadi
dua kali lipat lebih peka. Memoar tokoh-tokoh penumbang kekuasaan pernah menjadi
santapan sehari-harinya. Ah masa-masa itu…
“Kalau kita enggak bisa
pakai media sekolah, kita pakai jalur bawah tanah,” lanjut Zia. Lagaknya
seperti tengah memerankan tokoh dalam film aksi. “Kita sebar-sebar di kolong
bangku. Kita tempel di balik pintu toilet…” Apa yang tidak mungkin dipikirkan
oleh orang yang membuat cerpen tentang orang yang membuat cerpen lalu
menempelkan cerpennya itu di balik pintu toilet? Ali belum lupa kalau ia
pernah membaca cerpen itu di blog
Zia, yang ia sudah tidak ingat kapan melakukannya. “Anggap aja sebagai…
renungan sebelum UN gitu. Kita tambahin kata-kata renungan gitu, kalau kita sebaiknya
enggak ngulangin kejadian tahun lalu.”
“Ya. Mungkin bisa kita
selipin juga sedikit tentang filsafat moral… Kejauhan, deng. Ehm. Kejujuran,
intinya kita coba tanamkan lagi kalau kejujuran itu penting.”
“Iya!” Nada Zia nyaring.
“Jujur itu penting! Makanya, aku mungkin kesannya kalau ngomong blak-blakan
gini ya, tapi aku emang sukanya terus terang sih. Apa adanya. Enggak ada yang
perlu disembunyiin gitu. Lebih nyaman kalau kita tahu sama tahu kan…”
Pasti mau ajak melebarkan
obrolan lagi deh, Ali tidak menggubris. Ia menarik lembaran kertas dari tangan
Zia. Membacanya sepintas. Mendadak tangannya gatal ingin mencoret sesuatu
dalam tulisan itu. Padahal ia sendiri yang menyusunnya. Ali berharap menemukan
pensil di saku, tapi receh saja tidak ada.
Pertemuan hari itu
diakhiri dengan kesepakatan.
“Kamu aja deh yang nge-fix-in…” kata Zia. “Entar aku yang
ngopi-ngopi.”
Putusan yang
proporsional, Zia.
Ali menyunting tulisan
itu sehingga muat dalam kertas ukuran A5 bolak-balik. Selanjutnya ia menyerahkan
instruksi pada Zia. Menanti hingga sekolah cukup sepi, kalau perlu sampai
selesai dibersihkan oleh petugas, sembari membaca buku apa saja di
perpustakaan. Sampai petugas perpustakaan memperingatkan bahwa lima menit
lagi perpustakaan akan ditutup. Kadang mereka tidak tahu apa yang harus
dibicarakan. Namun Ali menikmati setiap menit yang ia habiskan untuk mengamati
cewek itu membaca buku.
Zia mencetak banyak,
tapi tidak sebanyak jumlah siswa kelas XII di SMANSON yang mencapai lebih dari
1000 orang. Pintu toilet bagian dalam menjadi sasaran utama. Penasaran
membayangkan bagaimana orang memicingkan mata agar dapat membaca tulisan itu
selagi jongkok di kloset. Ali tidak berhasil menahan Zia agar tidak masuk ke
dalam toilet cowok, seakan bilik-bilik itu dunia baru yang sungguh menggugah
untuk dijelajahi.
“Ternyata bener, toilet
cowok lebih jorok dari toilet cewek,” ucap cewek itu dengan puas begitu keluar
dari salah satu bilik toilet cowok. Ali geleng-geleng kepala.
Mereka memasuki
kelas-kelas secara acak, hanya kelas XII. Sempat sekali salah masuk ke kelas
X. Kolong-kolong yang mereka susupi pun sekenanya. Tahu-tahu sudah tidak ada
lagi sehelai kertas pun di tangan.
Menjelang sore itu
begitu cerah. Rasanya sudah lama sekali bagi Ali tidak pulang selarut
ini—lebih larut lagi saat masih aktif di LEMPERs sebetulnya. Tapi urusannya
kali ini berbeda. Ah begitu puasnya. Setidaknya masih ada sesuatu yang bisa ia
lakukan di hari tua… hari-hari tuanya di SMANSON… bersama seorang cewek yang….
yang—yang… yang…
…yang…
…ketika ia memandangi
wajah cewek itu sore itu, yang bersinar, sebelum berpisah jalan dari muka gerbang
sekolah, Ali ke selatan sedang cewek itu ke utara, Ali tidak tahu apa yang…
yang…
…yang…
…yang harus dikatakan.
Barangkali masih ada
sejuta cewek lagi semacam Zia. Ali tak perlu memikirkannya, ya kan? Cewek, hmh,
pada saat seperti ini siapa yang butuh? Ali lebih butuh buku.
.
Baru lebih dari
seminggu kemudian Ali dikabari Sheila. Pak Bowo menunggu di ruang guru. Kata
Pak Bowo ajak yang perempuan juga, Bang. Yang perempuan siapa sih, Bang?
Tidak perlu dijawab ah.
Ketar-ketir juga Ali.
Terulang lagi kejadian tahun lalu. Sebelumnya Ali membayangkan ia bakal
didakwa mencemarkan nama baik sekolah oleh seluruh guru. Namun hubungan baik
dengan Pak Bowo yang guru pembina LEMPERs membuat Ali masih dilindungi.
Sekarang? Sekarang ia mencoba untuk menghindari tatapan siapapun saat
memasuki ruangan itu pada jam istirahat. Zia bersamanya, tentu, sebagaimana
yang Pak Bowo pesankan. Begitu sampai di ruang guru, mereka malah diajak masuk
ruang diskusi. Tutup pintunya, Ali. Tulisan ini sudah beredar di ruang guru.
Sempat geger. Saya tahu ini kalian, walaupun ini tidak ada nama penulisnya di
sini. Benar, kan?
Iya, Pak, kata Ali.
Waduh Zia kok malah bungkam begini. Padahal punggung Ali sudah bak disetrika.
Kalian ini gigih ya…
Tujuh menit kemudian
diisi oleh Pak Bowo dengan mencak-mencak.
Semua yang ditulis di
situ berdasarkan fakta, Bapak, tapi kan kami enggak mungkin…
Pak Bowo seperti
Godzilla di tengah kota. Menanti Ultraman untuk menerbangkannya ke luar
angkasa.
Apa saya perlu
konfirmasi sama alumni lagi, Pak? Walaupun sesungguhnya Ali tidak yakin. Zia
kamu kok jadi pendiam begini sih. Apa memang kamu lebih fasih mengemukakan
yang fiktif ketimbang yang faktual?
Maksud kalian apa sih?
Cari sensasi?!
Kita cuman pingin
jujur, Pak…
Jujur, jujur… Jujur
tapi ya bertanggungjawab! Kalian mau tanggung jawab kalau sampai ada wartawan
ke sini, menjelek-jelekkan sekolah kalian sendiri? Atau kalian yang mau jadi
wartawan, ha?!
Apa yang cewek itu
pikirkan dalam situasi ini? Ali melihat Zia mengatur napas, tanpa minat untuk
menentang mata Pak Bowo. Ali bayangkan dirinya yang menjadi Pak Bowo. Apa
yang bakal Zia katakan kalau yang dihadapinya adalah Ali—Pak Bowo dalam wujud
Ali?
Kejujuran kita tanggung
jawab siapa, Bapak?
Daripada mengurus yang
begini, mending kalian urus saja nasib UN kalian nanti bagaimana…
Justru itu Pak, ini
bagian dari kami mengurus UN kami supaya tidak terjadi kecurangan lagi…
…bagaimana kalian bisa
fokus sama UN! Bukannya malah…
Aduh. Kenapa
orang-orang suka mengalihkan pembicaraan?
Enggak semua kebenaran
mesti disampaikan! Nanti kamu bakal paham sendiri, Ali!
Bel tanda jam istirahat
berakhir masih berdengung. Ali lega luar biasa, setelah serasa dicekam tangan
raksasa. Bibir Zia masih mengatup.
“Kok kamu jadi pendiam
sih, Zia?” tegur Ali. Sebentar lagi sampai kelas Zia, tapi cewek itu masih menyimpan
misteri. Sesekali kasar sedikit sama cewek itu tidak apalah, Ali pikir,
bukankah selama ini mereka telah dapat bicara bebas pada satu sama
lain—setidaknya itu tahu-tahu ada dalam sangkaan Ali. “Biasanya ngomong banyak.
Jadi pengecut sekarang?"
“Aku pikir,” kata cewek
itu dengan muram, “kadang seseorang perlu orang lain. Cuman buat ngelampiasin
emosi aja. Kita cuman butuh jadi pendengar yang baik.”
Ali tertegun. Memang
tadi pada akhirnya Pak Bowo bilang, daripada mengurus UN yang sudah lalu, lebih
baik Ali dan Zia mengurus UN yang akan datang—nasib mereka sendiri.
Ikan-ikan itu… sudah
dipresto rupanya.
Mereka juga sempat
diinterogasi, ke mana saja mereka menyebarkan tulisan itu. Cuman di sekolah
saja, Pak. Apa kami bakal dihukum, Pak? Terus muncul berita Siswa SMANSON
Diskors Karena Bocorkan Kecurangan UN, begitu? Enggak, Pak. Apa guru-guru
lain tahu kami yang menulis, Pak? Kalian mau saya beritahukan? Enggak, Pak.
Ya sudah kalian kumpulkan saja yang masih tersebar…
“Biarin aja ah,” kata
Zia begitu ia sudah sampai di muka pintu kelasnya.
Bagaimanapun makanan
bagi mental pada hari itu Ali sadari sebagai sebuah awal. Atau kalian yang mau jadi wartawan, ha?!
Memang Ali mau jadi wartawan kok. Zia si pecundang, cewek itu juga yang menggiringnya
sampai titik ini. Kalian ini gigih ya… belum segigih opung dan bapak saya,
Pak… Setidaknya Bapak tidak bakal sampai memotong tangan saya atau menenggelamkan
saya ke dasar laut kan? Ini baru secuil dari risiko seorang penyampai berita,
Pak, dan Ali berhasil menelannya bulat-bulat.
Zia si pecundang, entah
kenapa Ali merasa senang, kali ini ia yang menunjukkan keberdayaannya di depan
cewek itu. Bicara sampai ngos-ngosan tanpa pandang lawan bicara, sedang Zia,
apa cerewet cuman sama Ali saja? Hahaha… Zia Zia Zia oh Zia. Kenapa apapun pada
dirimu terasa baik-baik saja bagi Ali?
Sepulang sekolah Ali
mencopoti kertas-kertas yang masih menempel di balik pintu toilet cowok. Toilet
cewek… mestinya Zia yang melakukannya. Tapi tidak ada cewek itu sekarang, Ali
memang sengaja tidak mengajak. Ali meyakinkan diri kalau sekolah sudah begitu
sepi, tidak akan ada cewek yang beredar di dalam maupun sekitar toilet lagi…
tidak banyak. Apa mungkin Ali minta tolong pada siapa saja cewek yang ia kenal,
semoga saja ada yang kebetulan melintas!, tapi urung. Jangan-jangan nanti
malah menimbulkan kecurigaan… Satu per satu Ali masuki bilik toilet cewek
dalam deg-degan. Tiap kali hendak ke satu bilik, ia pastikan dulu tidak ada seorangpun
yang bakal memergokinya.
Ternyata betul. Toilet
cewek tidak lebih jorok dari toilet cowok.
.
“Ali. Sori ya. Waktu
kita ngomongin Zia kemarin, kita enggak maksud buat nyinggung kamu.”
Yang dimaksud Deddy
dengan kemarin adalah pertemuan kelompok mereka—pencilan 4KANGSON—dua minggu
lalu.
Sontak Ali menarik
pundaknya dari tangan Deddy. Ia telah dirubung. Satu per satu muka kawan-kawannya
itu ia tatap.
“Kamu juga sih enggak
bilang-bilang, Li,” ucap Priya. “Tahu gitu kan saya enggak nyoba-nyoba deketin
Zia kemarin… meski enggak jadi.”
“Kita enggak akan
ngomongin Zia lagi, Li,” kata Riza, “enggak pas lagi ada kamu.”
“Emang kenapa saya sama
Zia?” tanya Ali.
“Justru itu kita mau
tanya. Kamu sama si Zia dari kapan. Kok enggak bilang-bilang sih, Li,” ujar
Anwar.
“Iya Li. Emang kamu
pikir kita apa, Li? Kita enggak cuman gosip, Li, kita juga siap terima curhat.
Sok, sok weh maneh mau cerita apa aja mah…”
“Enggak ada yang perlu
diceritain.” Seandainya saja ada buku. Ia bisa pura-pura mengalihkan
konsentrasi ke situ. Tapi kini ia serasa berada di suatu ruangan gelap, dengan
cahaya yang begitu menyilaukan dari lampu meja disorotkan padanya, seringaian
bermunculan di sekelilingnya. Menuntut pengakuan.
“Udah. Enggak usah
malu-malu, Li. Saya sering kok papasan sama Zia, pas dia keluar dari kelas
kamu, eh, kita,” tukas Anwar dengan paras simpatik, “apalagi pas saya masih
sebangku sama kamu. Dia suka duduk di bangku saya kan?”
“Maaf Li. Selama ini
kita enggak ngeh. Kamu akhir-akhir ini deket sama si Zia ya?”
“Cuman ngobrol
sesekali.”
“Iya. Tuh cewek kan
sering ke kelas, nyamperin si Ali,” ulang Anwar seakan yang sebelumnya belum cukup
direspons.
“Waaa….” Serempak
sisanya buka mulut, kecuali Ali tentu.
“Ngobrolin apa, Li?”
“Si Zia katanya doyan
baca buku, Li?”
“Buku apa, Li?”
“Kamasutra ya Li?”
“Si Zia doyan One Piece enggak?”
“Ck. Ya enggak tahu.
Tanya aja sendiri.”
“Ketus amat.”
“Lu suka Zia ya, Li?”
“Enggak ada yang kayak
gitu…”
“Ah… Maneh mah sok kitu, Li.”
“Udahlah. Ngomongin
yang lain aja…”
“Banyak cewek yang
lebih cantik dari Zia, Li. Yang kepribadiannya lebih baik apalagi. Kenapa Zia,
Li?”
“Ck. Ah!” Ali
mengibaskan tangan yang coba-coba menyentuhnya. “Ada lagi yang mau kalian
bahas selain Zia, enggak?”
“Hari ini edisi spesial
Zia, Li. Maneh narasumber utamanya.”
Ali beranjak. “Kalau
gitu enggak ada perlu lagi saya di sini.”
“Eh—eh! Li! Li!”
“Lili!”
Tidak ada yang bisa
mencegah Ali keluar dari ruangan.
Belakangan ini sekolah
memang jadi tempat yang kurang menyenangkan buat Ali.
Di XII IPS 1 misalnya.
Regi lewat bangku Ali sambil lalu sambil menegur Ali, “Tumben enggak ngobrol
bareng si Zia lagi, Li.”
Memangnya kenapa kalau
Ali tidak mengobrol bareng Zia? Seolah itu suatu kewajiban saja.
Lalu entah siapa yang
menceletuk setelah itu, Ali tak mau repot-repot mencari tahu, “Perasaan dulu si
Zia asa sering main ke sini ya?”
Ali paham sekarang
kenapa menurut Zia perpustakaan lebih nyaman ketimbang XII IPS 1. Anak-anak
IPS, sesuai jurusannya yaitu ilmu-ilmu sosial, gemar bersosialisasi. Dan
tahulah apa yang dipercakapkan para sosialita SMA itu, apalagi kalau berasal
dari kalangan mereka sendiri. Barangkali Ali saja yang anak Sosial tapi asosial,
sehingga kurang ngeh dengan sirkulasi gunjingan.
Dan jika kemudian Ali
pikir perpustakaan merupakan area bebas-gunjing, ia salah betul.
Sisa jam istirahat itu
hendak Ali manfaatkan untuk tukar wawasan dengan Zia, seperti biasa. Sekadar
menduga saja kalau perpustakaan merupakan salah satu tempat alternatif Zia
untuk menghabiskan jam istirahat. Jadi tidak kebetulan jika dugaan Ali betul.
Belasan menit tidak terasa, kurang malahan untuk obrolan sok bernas macam
ini, tapi apa daya bel tanda jam istirahat berakhir memisahkan jua. Usai
bertukar kata-kata perpisahan dengan Zia di muka pintu perpustakaan, cewek itu
berlalu, tahu-tahu pundak Ali diganduli dari dua arah.
“Kang, kapan jadian?”
Indah dari sebelah kiri.
“Kok kita enggak
dikenalin sih sama ceweknya?” Fika dari sebelah kanan.
Ini lagi…
“Ngomongin apa kalian?”
tanggap Ali.
“Jaim… jaim…” Fika
mendorong pundak Ali.
“Masih aja gengsi
ngomongin cewek.” Indah balas mendorong pundak Ali ke arah Fika. “Ke perpus bareng…
Ke ruang guru bareng…”
Ali menghela napas
dalam-dalam. Ia terus maju, meninggalkan kedua cewek itu dengan gerundelan masing-masing.
Bukan hari yang baik
hari ini. Semoga besok lumayan.
Tiga hari kemudian Ali
melewati sekre LEMPERs. Sudah lama tidak melakukan tinjauan mendadak—tindak.
Sheila, seperti biasa, mangkal di ambang pintu sekre. Menyapanya. Awas kalau
sebut-sebut tiga kata itu lagi, yang diawali dengan huruf p, p lagi, dan s.
“Hai Abang.”
“Eh Sheila.” Seperti
biasa, Ali berlagak baru ngeh kalau ia telah melewati sekre LEMPERs sekaligus
pimred madingnya. Kebetulan saja saya lewat sini.
“Bang, kita rencana mau
bikin gede-gedean di mading,” Sheila membuat sebuah persegi panjang besar di
udara dengan kedua tangannya. “SELAMAT HARI JADI KEPADA BINSAR ALI HARAHAP
DAN… Entar kita cari nama lengkap Teh Zia. Masalahnya kita belum tahu kapan
hari jadi Abang. Kapan sih, Bang?”
“Serius mau bikin
gituan? Ini mading sekolah loh.”
“Bisa aja. Aku kan
pimrednya.”
“Sebagai Dewan
Penasihat, aku nasihati kau, jangan main-main sama barang milik publik.
Apalagi untuk kepentingan sendiri.”
“Kok buat kepentingan
aku sendiri sih? Ini buat kepentingan Abanglah…”
“Sembarangan.” Ujung
bibir Ali berdenyut.
“Traktirannya dong
Bang!”
Minggu berganti. Baru
hari Senin. Pulang dari memeras keringat di stadion, Ali mendapati Nilam dan
Anwar di muka pintu XII IPS 1. Masih belum berhasil memikat si Nilam rupanya
anak itu. Urus dulu tuh cewekmu yang mana itu, baru gaet cewek lain.
“Daripada ngurus aku
mending urus dulu tuh Kang, temen kamu yang satu itu. Punya cewek kok diem-diem.”
Sial. Baru hari ini Ali
mendapat giliran duduk di bangku dekat pintu. Suara Nilam begitu tajam menyengat
lubang telinganya. Kenapa baru semester ini pergiliran bangku rutin
dilakukan, kenapa tidak dari semester lalu? Batin Ali merutuk-rutuk para
pengurus XII IPS 1.
“Enggak usah diurus
lagi dia mah.” Anwar menoleh ke arah Ali sekilas tanpa melepaskan pegangannya
pada daun pintu. “Sekarang kan hidupnya sudah lebih bergairah.”
Terdengar tawa dikulum
Nilam. “Dulu kita bingung loh Kang. Ini orang, sama kita-kita yang cewek kok
enggak doyan, sama cowok juga ternyata sama aja. Dia manusia apa bukan sih?
Hetero enggak, homo juga enggak. Duh kita udah hampir putus asa banget waktu
itu…”
“…iya, udah ke klinik
Tong Fang kali dia, makanya… Ke kita juga enggak bilang-bilang.”
“…dulu tuh ya, sampai
kita kasih tutorial khusus gimana cara ngedeketin cewek. Gini loh Kang… Ada nomornya
enggak? Sms dong Kang, tanya apa kabar? Aduh, pusing deh, yang gitu aja enggak
ngerti…!” Nada Nilam meninggi di akhir.
Ali menggedor-gedor
daun pintu. Anwar melepas pegangannya.
“Oh orangnya di balik
sini ya?” suara Nilam. Anwar menyingkir hingga tubuhnya hampir rapat ke kosen.
Nilam melongok ke balik daun pintu. Loh ada kepala Titew juga?!—lengkap
dengan kipasnya!
Belum sampai satu
minggu. Ali putuskan untuk sesekali ke kantin. Sebetulnya stadion sudah
merupakan wahana paling aman bagi Ali untuk bersembunyi dari pergunjingan.
Mereka yang kerap ia temui di sana adalah para pria sejati, no gossip sport only. Tapi hari ini
entah kenapa Ali merasa butuh makan cilok. Bola-bola nan kenyal itu, ah,
inikah rasanya mengidam? Sesekali ia harus mengeluarkan lipatan uang dari
dalam sakunya, jangan dibiarkan menumpuk saja di kantong ransel. Kantin pastinya
merupakan salah satu tempat alternatif Zia untuk menghabiskan jam istirahat.
Terus kenapa? Terserah orang-orang itu mau membumbui hubungannya dan Zia dengan
rempah-rempah semaknyus apapun.
Tuh benar. Lagi khidmat
mengulum aci, cewek itu muncul di sisi kantin, antara kios soto dengan kios kupat
tahu. Diledekin kok sama Zia, huh, Ali mendengus. Coba perhatikan cewek itu.
Apa yang menarik dari dirinya? Tak ada satupun dari diri cewek itu yang bakal
bikin siapapun menengok dua kali. Rambutnya, dahinya, matanya, hidungnya,
pipinya, bibirnya, dagunya, semua biasa saja. Tinggi badannya, dadanya,
pinggulnya, betisnya, hm, Ali jadi tidak merasa nyaman sendiri, ia alihkan
pandangannya, masih banyak yang lebih bahenol. Sesaat Ali mengosongkan
pikirannya, baru mencari-cari cewek itu lagi dengan matanya. Cewek itu bahkan
tidak ngeh kalau ada Ali di seberang sini, huh. Tapi kok Ali ingin melihatnya
terus…
Ali berjengit. Sheila
tahu-tahu sudah duduk di samping kirinya. Nilam di hadapannya. Indah dan Fika,
ah, tidak usah diduga, tahu-tahu ada juga! Mata Ali mencari-cari arah untuk
membebaskan pandangannya dari kontaminasi. Alamak. Apa-apaan itu, di pojok
sana Deddy, Anwar, Joko, Priya, dan Riza berkumpul. Sejak kapan Komite Gosip
SMANSON berafiliasi dengan 4KANGSON?
“Kenapa, Bang?”
Sepasang alis Sheila naik lalu turun lagi.
“Kenapa? Masih soal
saya sama Zia?” Ck. Mereka ini mengurangi kenikmatan makan cilok saja!
“Si Akang sensi banget
sih… Orang kita kebetulan lagi bareng kok terus liat Akang…” Fika baru saja
pindah duduk dari samping Indah ke sebelah Nilam, biar bisa menyerang Ali
secara lebih frontal agaknya.
“Tuh, ketahuan kan lagi
mikirin siapa?” ucap Nilam dengan nada menang.
“Ah enggak…”
“Hei! Nilam!” Anwar
melambai dari pojok sana.
“Ah, orang itu lagi…”
Nilam menundukkan kepala.
Anwar menghampiri.
Deddy menyusul. Bagus, selanjutnya Priya, Joko, …
“Ih… Kok pada ke sini
sih…?” sergah Nilam begitu cowok-cowok berdatangan lalu membentuk kubu baru
di bangku panjang itu.
“Emang kenapa sih?
Kantin, kantin elo apa?” tukas Riza yang tidak digubris siapapun. Tapi ia pun
lebih peduli pada semangkuk soto di hadapannya.
“Si bos lagi mikir jadi
keganggu nih…”
“Mikir apa?”
“Pikir-pikir, apanya, apanya, a…panya dong, yang sebelah mana… sesuatu
yang sangat menarik…?” nyanyi Sheila, anggota paduan suara gereja HKBP, sedang
matanya mengerling pada Ali dengan sepenuh maksud.
Ali beranjak. Tidak.
Tidak. Ali tidak mau dengar Anwar ikut-ikutan bernyanyi, bersahut-sahutan
dengan Sheila, hingga suara mereka pun menjelma tarian sekaligus. Diikuti
teman-teman mereka, anak-anak yang saat itu sedang berada di kantin juga
bahkan. Meloncat-loncat dari bangku kantin hingga jalanan di depannya. Berteriak-teriak.
Berlagak bak ia dan Zia. Beringsut-ringsut mendekat, meledeknya, bahkan sampai
menyentuh-nyentuh tubuhnya, hih. Tidak. Tidak ada yang seperti itu di dunia
Ali. Ali mau kembali ke kelas saja. Ada sebuah buku di ranselnya. Ia akan
menenggelamkan dirinya ke sana saja.
Sekilas Ali memandang
ke samping dalam perjalanannya meninggalkan kantin. Terpana ia mendapati wajah
itu. Agak di belakangnya. Ali menoleh lagi ke depan. Sesaat. Ia palingkan lagi
kepalanya. Cewek itu masih memandangnya.
...dia mulai, berani senyum dan menantang…[1]
Tidak. Ali tidak mau
dengar apa bait selanjutnya dari lagu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar