Rabu, 29 Agustus 2012

17

Menurut Zia perpustakaan merupakan tempat yang lebih nyaman untuk bertemu Ali alih-alih XII IPS 1. Zia hapal kalau buku-buku pelajaran ditempatkan di le­mari samping, buku-buku umum di sebelahnya, sedang fik­si-fiksi berderet di belakang Ali. Tidak sulit lagi ba­gi­nya untuk menemukan buku tertentu. Sebagaimana Ali de­ngan buku-buku di balai bacaan dulu. Biasanya Ali ke per­pustakaan hanya untuk mengerjakan tugas, sekarang ia mulai memanfaatkan kartu perpustakaannya. Ke­sem­pat­annya untuk melalap buku-buku di sini tinggal be­be­ra­pa bulan lagi, kenapa bukannya sejak dulu sih? Inilah hik­mah di balik lenyapnya balai bacaan di rumah. La­gi­pu­la bagi Ali buku-buku di perpustakaan tidak se­me­na­rik itu juga, minat cewek itu saja yang terlalu luas.

Di perpustakaan Zia menunjukkan pada Ali esai yang coba ia buat. Semula Ali bersemangat me­nin­jau­nya, tapi kemudian malas lanjut membaca. Masih berasa diary, menurut Ali. Zia protes karena itu adalah esai Zia ke sekian yang dikomentari demikian oleh Ali.

Di perpustakaan Zia mempersandingkan cerita Opung yang ditulis Ali dengan novel-novel revolusi kar­ya Pandir Kelana. Ali menggeleng. Ia masih ingin men­ce­ritakan Opung apa adanya, itupun sudah kepayahan ia me­ngenali mana yang fakta dan mana yang fiktif. Justru le­bih mudah kalau dijadikan fiksi sekalian, bujuk Zia. Ali tidak bisa membayangkan dirinya sebagai penulis fik­si. Lagipula ia tidak ingin membiarkan kebesaran Opung akhirnya dianggap fiktif semata.

Di perpustakaan mereka mengenang masa di ma­na kebersamaan mereka mulai terasa, jauh sebelum Zia ra­jin menyambangi XII IPS 1. Masa di mana Zia men­de­ngar sepupunya yang saat itu kelas XII, beserta teman-te­mannya yang satu angkatan, terjebak dalam jaringan kong­kalikong UN. Amat menarik untuk diinvestigasi lan­jut, dan bagaimana peran LEMPERs sebagai media SMAN­SON? Pengurus LEMPERs yang saat itu baru di­ang­kat malah mengangkat tangan. Zia belum menyerah. De­wan Penasihat barangkali lebih punya kepedulian, ya, ka­lau orang yang ditemui adalah Ali. Cibluk dan Oki mung­kin akan membiarkan saja hal semacam itu, kapan sih ada kejadian UN 100% jujur? Zia menyediakan ba­han, Ali melengkapinya. Zia menyusun, Ali meng­e­dit­nya. Zia menyerahkannya pada LEMPERs, Ali yang ke­na tegur guru pembina. Zia cepat surut semangat, Ali ter­la­lu menurut Pak Bowo. Rasanya lucu mengingat me­re­ka pernah begitu menggebu-gebu untuk me­m­ublikasikan tu­lisan itu. Tulisan Zia yang pada waktu itu Ali anggap be­gitu wah. Ali tidak menduga selanjutnya ia malah ke­hu­janan lebih banyak lagi tulisan Zia dengan kualitas be­ra­gam rupa, sekarang ia telah mengenali bagaimana gaya ce­wek itu menulis.

“Aku udah enggak pernah lagi da buka-buka yang itu.”

“Sebenernya saya pernah coba nulis ulang itu sih Zia.”

“Oh ya? Eeh… Mau lihat dong…”

Esok lagi mereka bertemu. Zia tampak senang de­ngan tulisannya yang sudah jadi lain itu. Ia masih da­pat mengenali ciri khasnya, tapi Ali mengemasnya jadi le­bih enak dibaca.

“UN sekarang gimana ya?”

“Ya itu tergantung kita-kitanya.”

“Iya…. Aduh. Mana tinggal berapa lama lagi ini…” Zia menengok kalender di seberang ruangan. “Ku­rang dari dua bulan lagi… Menurut aku, seharusnya ki­ta lebih subversif.”

Pendengaran Ali menjadi dua kali lipat lebih pe­ka. Memoar tokoh-tokoh penumbang kekuasaan pernah men­jadi santapan sehari-harinya. Ah masa-masa itu…

“Kalau kita enggak bisa pakai media sekolah, ki­ta pakai jalur bawah tanah,” lanjut Zia. Lagaknya seperti te­ngah memerankan tokoh dalam film aksi. “Kita sebar-se­bar di kolong bangku. Kita tempel di balik pintu toi­let…” Apa yang tidak mungkin dipikirkan oleh orang yang membuat cerpen tentang orang yang membuat cer­pen lalu menempelkan cerpennya itu di balik pintu toi­let? Ali belum lupa kalau ia pernah membaca cerpen itu di blog Zia, yang ia sudah tidak ingat kapan me­la­ku­kan­nya. “Anggap aja sebagai… renungan sebelum UN gitu. Ki­ta tambahin kata-kata renungan gitu, kalau kita se­ba­ik­nya enggak ngulangin kejadian tahun lalu.”

“Ya. Mungkin bisa kita selipin juga sedikit ten­tang filsafat moral… Kejauhan, deng. Ehm. Kejujuran, in­tinya kita coba tanamkan lagi kalau kejujuran itu pen­ting.”

“Iya!” Nada Zia nyaring. “Jujur itu penting! Ma­ka­nya, aku mungkin kesannya kalau ngomong blak-blak­an gini ya, tapi aku emang sukanya terus terang sih. Apa ada­nya. Enggak ada yang perlu disembunyiin gitu. Lebih nya­man kalau kita tahu sama tahu kan…”

Pasti mau ajak melebarkan obrolan lagi deh, Ali ti­dak menggubris. Ia menarik lembaran kertas dari ta­ngan Zia. Membacanya sepintas. Mendadak tangannya ga­tal ingin mencoret sesuatu dalam tulisan itu. Padahal ia sendiri yang menyusunnya. Ali berharap menemukan pen­sil di saku, tapi receh saja tidak ada.

Pertemuan hari itu diakhiri dengan kesepakatan.

“Kamu aja deh yang nge-fix-in…” kata Zia. “En­tar aku yang ngopi-ngopi.”

Putusan yang proporsional, Zia.

Ali menyunting tulisan itu sehingga muat dalam ker­tas ukuran A5 bolak-balik. Selanjutnya ia me­nye­rah­kan instruksi pada Zia. Menanti hingga sekolah cukup se­pi, kalau perlu sampai selesai dibersihkan oleh pe­tu­gas, sembari membaca buku apa saja di perpustakaan. Sam­pai petugas perpustakaan memperingatkan bahwa li­ma menit lagi perpustakaan akan ditutup. Kadang me­re­ka tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Namun Ali me­nikmati setiap menit yang ia habiskan untuk meng­a­mati cewek itu membaca buku.

Zia mencetak banyak, tapi tidak sebanyak jumlah sis­wa kelas XII di SMANSON yang mencapai lebih dari 1000 orang. Pintu toilet bagian dalam menjadi sasaran uta­ma. Penasaran membayangkan bagaimana orang me­mi­cingkan mata agar dapat membaca tulisan itu selagi jong­kok di kloset. Ali tidak berhasil menahan Zia agar ti­dak masuk ke dalam toilet cowok, seakan bilik-bilik itu du­nia baru yang sungguh menggugah untuk dijelajahi.

“Ternyata bener, toilet cowok lebih jorok dari toil­et cewek,” ucap cewek itu dengan puas begitu keluar da­ri salah satu bilik toilet cowok. Ali geleng-geleng ke­pa­la.

Mereka memasuki kelas-kelas secara acak, hanya ke­las XII. Sempat sekali salah masuk ke kelas X. Ko­long-kolong yang mereka susupi pun sekenanya. Tahu-ta­hu sudah tidak ada lagi sehelai kertas pun di tangan.

Menjelang sore itu begitu cerah. Rasanya sudah la­ma sekali bagi Ali tidak pulang selarut ini—lebih larut la­gi saat masih aktif di LEMPERs sebetulnya. Tapi urus­an­nya kali ini berbeda. Ah begitu puasnya. Setidaknya ma­sih ada sesuatu yang bisa ia lakukan di hari tua… ha­ri-hari tuanya di SMANSON… bersama seorang cewek yang…. yang—yang… yang…

…yang…

…ketika ia memandangi wajah cewek itu sore itu, yang bersinar, sebelum berpisah jalan dari muka ger­bang sekolah, Ali ke selatan sedang cewek itu ke utara, Ali tidak tahu apa yang… yang…

…yang…

…yang harus dikatakan.

Barangkali masih ada sejuta cewek lagi semacam Zia. Ali tak perlu memikirkannya, ya kan? Cewek, hmh, pa­da saat seperti ini siapa yang butuh? Ali lebih butuh bu­ku.

.

Baru lebih dari seminggu kemudian Ali dikabari Shei­la. Pak Bowo menunggu di ruang guru. Kata Pak Bo­wo ajak yang perempuan juga, Bang. Yang pe­rem­pu­an siapa sih, Bang? Tidak perlu dijawab ah.

Ketar-ketir juga Ali. Terulang lagi kejadian tahun la­lu. Sebelumnya Ali membayangkan ia bakal didakwa men­cemarkan nama baik sekolah oleh seluruh guru. Na­mun hubungan baik dengan Pak Bowo yang guru pem­bi­na LEMPERs membuat Ali masih dilindungi. Sekarang? Se­karang ia mencoba untuk menghindari tatapan si­a­pa­pun saat memasuki ruangan itu pada jam istirahat. Zia ber­samanya, tentu, sebagaimana yang Pak Bowo pe­san­kan. Begitu sampai di ruang guru, mereka malah diajak ma­suk ruang diskusi. Tutup pintunya, Ali. Tulisan ini su­dah beredar di ruang guru. Sempat geger. Saya tahu ini ka­lian, walaupun ini tidak ada nama penulisnya di sini. Be­nar, kan?

Iya, Pak, kata Ali. Waduh Zia kok malah bung­kam begini. Padahal punggung Ali sudah bak disetrika.

Kalian ini gigih ya…

Tujuh menit kemudian diisi oleh Pak Bowo de­ngan mencak-mencak.

Semua yang ditulis di situ berdasarkan fakta, Ba­pak, tapi kan kami enggak mungkin…

Pak Bowo seperti Godzilla di tengah kota. Me­nan­ti Ultraman untuk menerbangkannya ke luar angkasa.

Apa saya perlu konfirmasi sama alumni lagi, Pak? Walaupun sesungguhnya Ali tidak yakin. Zia kamu kok jadi pendiam begini sih. Apa memang kamu lebih fa­sih mengemukakan yang fiktif ketimbang yang faktual?

Maksud kalian apa sih? Cari sensasi?!

Kita cuman pingin jujur, Pak…

Jujur, jujur… Jujur tapi ya bertanggungjawab! Ka­lian mau tanggung jawab kalau sampai ada wartawan ke sini, menjelek-jelekkan sekolah kalian sendiri? Atau ka­lian yang mau jadi wartawan, ha?!

Apa yang cewek itu pikirkan dalam situasi ini? Ali melihat Zia mengatur napas, tanpa minat untuk me­nen­tang mata Pak Bowo. Ali bayangkan dirinya yang men­jadi Pak Bowo. Apa yang bakal Zia katakan kalau yang dihadapinya adalah Ali—Pak Bowo dalam wujud Ali?

Kejujuran kita tanggung jawab siapa, Bapak?

Daripada mengurus yang begini, mending kalian urus saja nasib UN kalian nanti bagaimana…

Justru itu Pak, ini bagian dari kami mengurus UN ka­mi supaya tidak terjadi kecurangan lagi…

…bagaimana kalian bisa fokus sama UN! Bu­kan­nya malah…

Aduh. Kenapa orang-orang suka mengalihkan pem­bicaraan?

Enggak semua kebenaran mesti disampaikan! Nan­ti kamu bakal paham sendiri, Ali!

Bel tanda jam istirahat berakhir masih ber­de­ngung. Ali lega luar biasa, setelah serasa dicekam tangan rak­sasa. Bibir Zia masih mengatup.

“Kok kamu jadi pendiam sih, Zia?” tegur Ali. Se­ben­tar lagi sampai kelas Zia, tapi cewek itu masih me­nyim­pan misteri. Sesekali kasar sedikit sama cewek itu ti­dak apalah, Ali pikir, bukankah selama ini mereka telah da­pat bicara bebas pada satu sama lain—setidaknya itu ta­hu-tahu ada dalam sangkaan Ali. “Biasanya ngomong ba­nyak. Jadi pengecut sekarang?"

“Aku pikir,” kata cewek itu dengan muram, “ka­dang seseorang perlu orang lain. Cuman buat nge­lam­pi­as­in emosi aja. Kita cuman butuh jadi pendengar yang ba­ik.”

Ali tertegun. Memang tadi pada akhirnya Pak Bo­wo bilang, daripada mengurus UN yang sudah lalu, le­bih baik Ali dan Zia mengurus UN yang akan datang—na­sib mereka sendiri.

Ikan-ikan itu… sudah dipresto rupanya.

Mereka juga sempat diinterogasi, ke mana saja me­reka menyebarkan tulisan itu. Cuman di sekolah saja, Pak. Apa kami bakal dihukum, Pak? Terus muncul berita Sis­wa SMANSON Diskors Karena Bocorkan Ke­cu­rang­an UN, begitu? Enggak, Pak. Apa guru-guru lain tahu ka­mi yang menulis, Pak? Kalian mau saya beritahukan? Eng­gak, Pak. Ya sudah kalian kumpulkan saja yang ma­sih tersebar…

“Biarin aja ah,” kata Zia begitu ia sudah sampai di muka pintu kelasnya.

Bagaimanapun makanan bagi mental pada hari itu Ali sadari sebagai sebuah awal.  Atau kalian yang mau jadi wartawan, ha?! Memang Ali mau jadi war­ta­wan kok. Zia si pecundang, cewek itu juga yang meng­gi­ring­nya sampai titik ini. Kalian ini gigih ya… belum se­gi­gih opung dan bapak saya, Pak… Setidaknya Bapak ti­dak bakal sampai memotong tangan saya atau me­neng­ge­lamkan saya ke dasar laut kan? Ini baru secuil dari ri­si­ko seorang penyampai berita, Pak, dan Ali berhasil me­ne­lannya bulat-bulat.

Zia si pecundang, entah kenapa Ali merasa se­nang, kali ini ia yang menunjukkan keberdayaannya di de­pan cewek itu. Bicara sampai ngos-ngosan tanpa pan­dang lawan bicara, sedang Zia, apa cerewet cuman sama Ali saja? Hahaha… Zia Zia Zia oh Zia. Kenapa apapun pa­da dirimu terasa baik-baik saja bagi Ali?

Sepulang sekolah Ali mencopoti kertas-kertas yang masih menempel di balik pintu toilet cowok. Toilet cewek… mestinya Zia yang melakukannya. Tapi tidak ada cewek itu sekarang, Ali memang sengaja tidak meng­ajak. Ali meyakinkan diri kalau sekolah sudah be­gi­tu sepi, tidak akan ada cewek yang beredar di dalam mau­pun sekitar toilet lagi… tidak banyak. Apa mungkin Ali minta tolong pada siapa saja cewek yang ia kenal, se­mo­ga saja ada yang kebetulan melintas!, tapi urung. Ja­ngan-jangan nanti malah menimbulkan kecurigaan… Sa­tu per satu Ali masuki bilik toilet cewek dalam deg-deg­an. Tiap kali hendak ke satu bilik, ia pastikan dulu tidak ada seorangpun yang bakal memergokinya.

Ternyata betul. Toilet cewek tidak lebih jorok da­ri toilet cowok.

.

“Ali. Sori ya. Waktu kita ngomongin Zia ke­ma­rin, kita enggak maksud buat nyinggung kamu.”

Yang dimaksud Deddy dengan kemarin adalah per­temuan kelompok mereka—pencilan 4KANGSON—dua minggu lalu.

Sontak Ali menarik pundaknya dari tangan Deddy. Ia telah dirubung. Satu per satu muka kawan-ka­wan­nya itu ia tatap.

“Kamu juga sih enggak bilang-bilang, Li,” ucap Pri­ya. “Tahu gitu kan saya enggak nyoba-nyoba deketin Zia kemarin… meski enggak jadi.”

“Kita enggak akan ngomongin Zia lagi, Li,” kata Ri­za, “enggak pas lagi ada kamu.”

“Emang kenapa saya sama Zia?” tanya Ali.

“Justru itu kita mau tanya. Kamu sama si Zia dari ka­pan. Kok enggak bilang-bilang sih, Li,” ujar Anwar.

“Iya Li. Emang kamu pikir kita apa, Li? Kita eng­gak cuman gosip, Li, kita juga siap terima curhat. Sok, sok weh maneh mau cerita apa aja mah…”

“Enggak ada yang perlu diceritain.” Seandainya sa­ja ada buku. Ia bisa pura-pura mengalihkan konsentrasi ke situ. Tapi kini ia serasa berada di suatu ruangan gelap, de­ngan cahaya yang begitu menyilaukan dari lampu me­ja disorotkan padanya, seringaian bermunculan di se­ke­li­ling­nya. Menuntut pengakuan.

“Udah. Enggak usah malu-malu, Li. Saya sering kok papasan sama Zia, pas dia keluar dari kelas kamu, eh, kita,” tukas Anwar dengan paras simpatik, “apalagi pas saya masih sebangku sama kamu. Dia suka duduk di bang­ku saya kan?”

“Maaf Li. Selama ini kita enggak ngeh. Kamu ak­hir-akhir ini deket sama si Zia ya?”

“Cuman ngobrol sesekali.”

“Iya. Tuh cewek kan sering ke kelas, nyamperin si Ali,” ulang Anwar seakan yang sebelumnya belum cu­kup direspons.

“Waaa….” Serempak sisanya buka mulut, ke­cu­a­li Ali tentu.

“Ngobrolin apa, Li?”

“Si Zia katanya doyan baca buku, Li?”

“Buku apa, Li?”

Kamasutra ya Li?”

“Si Zia doyan One Piece enggak?”

“Ck. Ya enggak tahu. Tanya aja sendiri.”

“Ketus amat.”

“Lu suka Zia ya, Li?”

“Enggak ada yang kayak gitu…”

“Ah… Maneh mah sok kitu, Li.”

“Udahlah. Ngomongin yang lain aja…”

“Banyak cewek yang lebih cantik dari Zia, Li. Yang kepribadiannya lebih baik apalagi. Kenapa Zia, Li?”

“Ck. Ah!” Ali mengibaskan tangan yang coba-co­ba menyentuhnya. “Ada lagi yang mau kalian bahas se­lain Zia, enggak?”

“Hari ini edisi spesial Zia, Li. Maneh narasumber uta­manya.”

Ali beranjak. “Kalau gitu enggak ada perlu lagi sa­ya di sini.”

“Eh—eh! Li! Li!”

“Lili!”

Tidak ada yang bisa mencegah Ali keluar dari ru­ang­an.

Belakangan ini sekolah memang jadi tempat yang ku­rang menyenangkan buat Ali.

Di XII IPS 1 misalnya. Regi lewat bangku Ali sam­bil lalu sambil menegur Ali, “Tumben enggak ngob­rol bareng si Zia lagi, Li.”

Memangnya kenapa kalau Ali tidak mengobrol ba­reng Zia? Seolah itu suatu kewajiban saja.

Lalu entah siapa yang menceletuk setelah itu, Ali tak mau repot-repot mencari tahu, “Perasaan dulu si Zia asa sering main ke sini ya?”

Ali paham sekarang kenapa menurut Zia per­pus­ta­kaan lebih nyaman ketimbang XII IPS 1. Anak-anak IPS, sesuai jurusannya yaitu ilmu-ilmu sosial, gemar ber­so­sialisasi. Dan tahulah apa yang dipercakapkan para so­si­alita SMA itu, apalagi kalau berasal dari kalangan me­re­ka sendiri. Barangkali Ali saja yang anak Sosial tapi aso­sial, sehingga kurang ngeh dengan sirkulasi gun­jing­an.

Dan jika kemudian Ali pikir perpustakaan me­ru­pa­kan area bebas-gunjing, ia salah betul.

Sisa jam istirahat itu hendak Ali manfaatkan un­tuk tukar wawasan dengan Zia, seperti biasa. Sekadar men­duga saja kalau perpustakaan merupakan salah satu tem­pat alternatif Zia untuk menghabiskan jam istirahat. Ja­di tidak kebetulan jika dugaan Ali betul. Belasan menit ti­dak terasa, kurang malahan untuk obrolan sok bernas ma­cam ini, tapi apa daya bel tanda jam istirahat berakhir me­misahkan jua. Usai bertukar kata-kata perpisahan de­ngan Zia di muka pintu perpustakaan, cewek itu berlalu, ta­hu-tahu pundak Ali diganduli dari dua arah.

“Kang, kapan jadian?” Indah dari sebelah kiri.

“Kok kita enggak dikenalin sih sama ceweknya?” Fi­ka dari sebelah kanan.

Ini lagi…

“Ngomongin apa kalian?” tanggap Ali.

“Jaim… jaim…” Fika mendorong pundak Ali.

“Masih aja gengsi ngomongin cewek.” Indah ba­las mendorong pundak Ali ke arah Fika. “Ke perpus ba­reng… Ke ruang guru bareng…”

Ali menghela napas dalam-dalam. Ia terus maju, me­ninggalkan kedua cewek itu dengan gerundelan ma­sing-masing.

Bukan hari yang baik hari ini. Semoga besok lu­ma­yan.

Tiga hari kemudian Ali melewati sekre LEM­PERs. Sudah lama tidak melakukan tinjauan men­da­dak—tindak. Sheila, seperti biasa, mangkal di ambang pin­tu sekre. Menyapanya. Awas kalau sebut-sebut tiga ka­ta itu lagi, yang diawali dengan huruf p, p lagi, dan s.

“Hai Abang.”

“Eh Sheila.” Seperti biasa, Ali berlagak baru ngeh kalau ia telah melewati sekre LEMPERs sekaligus pim­red madingnya. Kebetulan saja saya lewat sini.

“Bang, kita rencana mau bikin gede-gedean di ma­ding,” Sheila membuat sebuah persegi panjang besar di udara dengan kedua tangannya. “SELAMAT HARI JA­DI KEPADA BINSAR ALI HARAHAP DAN… En­tar kita cari nama lengkap Teh Zia. Masalahnya kita be­lum tahu kapan hari jadi Abang. Kapan sih, Bang?”

“Serius mau bikin gituan? Ini mading sekolah loh.”

“Bisa aja. Aku kan pimrednya.”

“Sebagai Dewan Penasihat, aku nasihati kau, ja­ngan main-main sama barang milik publik. Apalagi un­tuk kepentingan sendiri.”

“Kok buat kepentingan aku sendiri sih? Ini buat ke­pentingan Abanglah…”

“Sembarangan.” Ujung bibir Ali berdenyut.

“Traktirannya dong Bang!”

Minggu berganti. Baru hari Senin. Pulang dari me­meras keringat di stadion, Ali mendapati Nilam dan An­war di muka pintu XII IPS 1. Masih belum berhasil me­mikat si Nilam rupanya anak itu. Urus dulu tuh ce­wek­mu yang mana itu, baru gaet cewek lain.

“Daripada ngurus aku mending urus dulu tuh Kang, temen kamu yang satu itu. Punya cewek kok di­em-diem.”

Sial. Baru hari ini Ali mendapat giliran duduk di bang­ku dekat pintu. Suara Nilam begitu tajam me­nye­ngat lubang telinganya. Kenapa baru semester ini per­gi­lir­an bangku rutin dilakukan, kenapa tidak dari semester la­lu? Batin Ali merutuk-rutuk para pengurus XII IPS 1.

“Enggak usah diurus lagi dia mah.” Anwar me­no­leh ke arah Ali sekilas tanpa melepaskan pegangannya pa­da daun pintu. “Sekarang kan hidupnya sudah lebih ber­gairah.”

Terdengar tawa dikulum Nilam. “Dulu kita bi­ngung loh Kang. Ini orang, sama kita-kita yang cewek kok enggak doyan, sama cowok juga ternyata sama aja. Dia manusia apa bukan sih? Hetero enggak, homo juga eng­gak. Duh kita udah hampir putus asa banget waktu itu…”

“…iya, udah ke klinik Tong Fang kali dia, ma­ka­nya… Ke kita juga enggak bilang-bilang.”

“…dulu tuh ya, sampai kita kasih tutorial khusus gi­mana cara ngedeketin cewek. Gini loh Kang… Ada no­mornya enggak? Sms dong Kang, tanya apa kabar? Aduh, pusing deh, yang gitu aja enggak ngerti…!” Nada Ni­lam meninggi di akhir.

Ali menggedor-gedor daun pintu. Anwar melepas pe­gangannya.

“Oh orangnya di balik sini ya?” suara Nilam. An­war menyingkir hingga tubuhnya hampir rapat ke kosen. Ni­lam melongok ke balik daun pintu. Loh ada kepala Ti­tew juga?!—lengkap dengan kipasnya!

Belum sampai satu minggu. Ali putuskan untuk se­sekali ke kantin. Sebetulnya stadion sudah merupakan wa­hana paling aman bagi Ali untuk bersembunyi dari per­gunjingan. Mereka yang kerap ia temui di sana adalah pa­ra pria sejati, no gossip sport only. Tapi hari ini entah ke­napa Ali merasa butuh makan cilok. Bola-bola nan ke­nyal itu, ah, inikah rasanya mengidam? Sesekali ia harus me­ngeluarkan lipatan uang dari dalam sakunya, jangan di­biarkan menumpuk saja di kantong ransel. Kantin pas­ti­nya merupakan salah satu tempat alternatif Zia untuk meng­habiskan jam istirahat. Terus kenapa? Terserah orang-orang itu mau membumbui hubungannya dan Zia de­ngan rempah-rempah semaknyus apapun.

Tuh benar. Lagi khidmat mengulum aci, cewek itu muncul di sisi kantin, antara kios soto dengan kios ku­pat tahu. Diledekin kok sama Zia, huh, Ali men­de­ngus. Coba perhatikan cewek itu. Apa yang menarik dari di­rinya? Tak ada satupun dari diri cewek itu yang bakal bi­kin siapapun menengok dua kali. Rambutnya, dahinya, ma­tanya, hidungnya, pipinya, bibirnya, dagunya, semua bi­asa saja. Tinggi badannya, dadanya, pinggulnya, be­tis­nya, hm, Ali jadi tidak merasa nyaman sendiri, ia alihkan pan­dangannya, masih banyak yang lebih bahenol. Sesaat Ali mengosongkan pikirannya, baru mencari-cari cewek itu lagi dengan matanya. Cewek itu bahkan tidak ngeh ka­lau ada Ali di seberang sini, huh. Tapi kok Ali ingin me­lihatnya terus…

Ali berjengit. Sheila tahu-tahu sudah duduk di sam­ping kirinya. Nilam di hadapannya. Indah dan Fika, ah, tidak usah diduga, tahu-tahu ada juga! Mata Ali men­ca­ri-cari arah untuk membebaskan pandangannya dari kon­taminasi. Alamak. Apa-apaan itu, di pojok sana Deddy, Anwar, Joko, Priya, dan Riza berkumpul. Sejak ka­pan Komite Gosip SMANSON berafiliasi dengan 4KANG­SON?

“Kenapa, Bang?” Sepasang alis Sheila naik lalu tu­run lagi.

“Kenapa? Masih soal saya sama Zia?” Ck. Me­re­ka ini mengurangi kenikmatan makan cilok saja!

“Si Akang sensi banget sih… Orang kita ke­be­tul­an lagi bareng kok terus liat Akang…” Fika baru saja pin­dah duduk dari samping Indah ke sebelah Nilam, biar bi­sa menyerang Ali secara lebih frontal agaknya.

“Tuh, ketahuan kan lagi mikirin siapa?” ucap Ni­lam dengan nada menang.

“Ah enggak…”

“Hei! Nilam!” Anwar melambai dari pojok sana.

“Ah, orang itu lagi…” Nilam menundukkan ke­pa­la.

Anwar menghampiri. Deddy menyusul. Bagus, se­lanjutnya Priya, Joko, …

“Ih… Kok pada ke sini sih…?” sergah Nilam be­gi­tu cowok-cowok berdatangan lalu membentuk kubu ba­ru di bangku panjang itu.

“Emang kenapa sih? Kantin, kantin elo apa?” tu­kas Riza yang tidak digubris siapapun. Tapi ia pun lebih pe­duli pada semangkuk soto di hadapannya.        

“Si bos lagi mikir jadi keganggu nih…”

“Mikir apa?”

Pikir-pikir, apanya, apanya, a…panya dong, yang sebelah mana… sesuatu yang sangat menarik…?” nya­nyi Sheila, anggota paduan suara gereja HKBP, se­dang matanya mengerling pada Ali dengan sepenuh mak­sud.

Ali beranjak. Tidak. Tidak. Ali tidak mau dengar An­war ikut-ikutan bernyanyi, bersahut-sahutan dengan She­ila, hingga suara mereka pun menjelma tarian se­ka­li­gus. Diikuti teman-teman mereka, anak-anak yang saat itu sedang berada di kantin juga bahkan. Meloncat-loncat da­ri bangku kantin hingga jalanan di depannya. Ber­te­ri­ak-teriak. Berlagak bak ia dan Zia. Beringsut-ringsut men­dekat, meledeknya, bahkan sampai menyentuh-nyen­tuh tubuhnya, hih. Tidak. Tidak ada yang seperti itu di dunia Ali. Ali mau kembali ke kelas saja. Ada sebuah bu­ku di ranselnya. Ia akan menenggelamkan dirinya ke sa­na saja.

Sekilas Ali memandang ke samping dalam per­ja­lan­annya meninggalkan kantin. Terpana ia mendapati wa­jah itu. Agak di belakangnya. Ali menoleh lagi ke de­pan. Sesaat. Ia palingkan lagi kepalanya. Cewek itu ma­sih memandangnya.

...dia mulai, berani senyum dan menantang…[1]

Tidak. Ali tidak mau dengar apa bait selanjutnya da­ri lagu itu.



[1] Adegan ini seharusnya diiringi lagu “Apanya Dong” dari Seurieus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain