Tahu-tahu cewek itu
duduk di sampingnya. Memang tidak ada Regi di kelas saat itu. Tapi sepertinya
memang Ali yang hendak cewek itu temui. “Kemarin aku ke sini tapi kamu enggak
ada,” kata cewek itu. Ia belum tahu kalau percuma mencari Ali di kelas saat
hari Selasa. Pada hari itu Ali tengah sibuk menyimak perkembangan kehidupan
berasmara para siswa SMANSON, kalau bukan mendekam di pojok dan melanjutkan bacaan—lebih
sering yang kedua sebetulnya.
Ali agak terkejut
dengan kedatangan cewek itu. Posisi duduknya sudah beberapa kali ganti dalam
semenit. Ia merasa urusan dengan cewek itu sudah selesai. Seberapa lama
cewek yang sama-sama menggilai buku bisa menarik minatmu? Bagi Ali itu tidak
sampai berminggu-minggu. Tapi terima kasih pada Zia karena Ali akhirnya bisa
menulis lagi sesuatu yang panjang, meski tidak sepanjang resensi cewek itu
atas novel Bumi Manusia.
“Kamu udah mampir ke blog aku lagi?” tanya cewek itu. Ali
menggeleng. “Aku udah coba ngikutin masukan dari kamu kemarin.” Senyum cewek
itu mengembang.
“Oh…” Ali tidak tahu
lagi harus berkomentar apa. Jadi apa sekarang ia harus memeriksa hasil perbaikan
cewek itu, begitu? Ali tidak berminat untuk menawarkannya. Baru sekarang
Ali memaknai kemerdekaan, tidak lagi dituntut untuk memeriksa hasil kerja
orang lain, melainkan hasil kerjanya sendiri saja—yang sudah cukup bikin
keruh rongga kepala! Enak juga sudah lepas jabatan. Lagipula anak-anak kelas
XI dan X itu juga tidak terlalu butuh nasihatnya, kan? Biarkan saja mereka mau
mengarahkan LEMPERs ke mana.
Memang demikian maksud
cewek itu.
“Oh insya Allah ya,”
jawab Ali diplomatis, kalau kebetulan saya lagi di warnet dan ingat buat ke blog kamu, kalau enggak, ya, kapan lagi
deh sampai ada momen kayak gitu lagi. Mendadak Ali ingat sesuatu. Sepertinya
buku hijau itu belum ia keluarkan dari ranselnya. Betul. “Nih bawa aja.”
Zia meraih buku yang
disodorkan Ali. Sejarah Pendidikan
Indonesia.
“Barangkali aja bisa
jadi referensi, buat ngembangin tulisan kamu yang kemarin itu.”
“Oh. Jangan-jangan dari
buku ini apa ya, yang waktu itu kamu ngejelasin tentang AMS-AMS-an, di LITERASON
tea?”
“Iya.”
“Dikasih apa dipinjemin
nih?”
Ali mengerutkan kening.
Tidak terpikir sama sekali untuk membiarkan buku itu berada di tangan orang
lain selamanya. “Balikin aja seselesainya.”
“Makasih ya…”
“Oke.” Apa memang cewek
ini biasa bersikap manis seperti ini? Hm, ikan layur… dimasak pakai bumbu
madu kali ya?
Ali sudah hendak
menekuri buku di pangkuannya lagi, ketika Zia bersuara lagi, “Kamu baca
tulisan-tulisan aku yang lain enggak?” Cewek itu menggigit bibir.
Apa memang gestur dasar
cewek ini tidak bisa diam? “Sempet sih…” Ali memandangi Zia. Menebak-nebak
apa tepatnya arah yang hendak dituju cewek tersebut.
“Menurut kamu?”
“Menurut saya… Itu
kayaknya terlalu personal. Saya enggak bisa mengomentari yang kayak gitu.”
“O ya?” Cewek itu
tampak heran. “Terlalu personal? Aku kira kamu enggak doyan fiksi…”
“Itu fiksi?” Ali
mengerjapkan mata.
“Iya. Kamu enggak
perhatiin labelnya?”
“Jadi cerita tentang
kamu enggak bisa keluar rumah karena ada orang gila di teras itu…”
“Itu bukan aku, itu
tokohku… Aku kan pakai sudut pandang orang pertama.”
“Yang ada copet, terus
kamu ditolong waria di bis itu…”
Zia menggeleng dengan
cepat.
“…nempel-nempelin
cerpen di WC biar kebaca sama orang lagi…”
“Bukaan…!”
“Yang ngumpulin koran,
yang ada orang terkenalnya, terus korannya dijadiin…”
“Itu aku pakai sudut
pandang orang ketiga ya. Bisa enggak sih kamu enggak ngeidentikkin apa yang
aku tulis di blog aku dengan aku
melulu?”
“Oh.” Ali mengangkat
kepala. “Itu cerpen?”
Zia mengangguk, dengan
cepat pula.
“Keliatannya kayak yang
beneran yah? Aku emang seneng gaya realis sih, yah, kayak Pramoedya Ananta
Toer gitu, Umar Kayam…”
Tampaknya lipatan di
kening Ali semakin banyak. “Saya enggak ngerti.”
“Kamu beneran enggak
bisa ngebedain fiksi sama nonfiksi?”
“Fiksi itu yang
bohongan kan?”
“Kamu tahu Pablo Picasso?”
“Dia penulis fiksi?
Bukannya pelukis?” Ali benar-benar sudah tidak bisa menaruh konsentrasi lagi
pada buku di pangkuannya, seberapa kalipun ia memindah-mindahkan pandangannya
antara Zia dan bentangan buku itu.
“Bukan—eh, enggak tahu
kalau ternyata Picasso nulis fiksi juga, tapi, ya, dia pelukis—dia seniman,
dia yang bilang kalau seni itu menyatakan kebenaran dengan kebohongan. Fiksi
itu termasuk karya seni, ngomong-ngomong. Sastra? Kamu pernah dengar sastra?
Sastrawan? Seniman kata?”
Aduh cewek ini cerewet
sekali. Terlalu banyak kata yang masuk ke dalam lorong telinga Ali, sampai-sampai
menyumbat lubang keong di sana, dan tidak tersalurkan ke labirin otak.
“Saya enggak baca
fiksi.” Ali menggeleng.
“Tapi pasti awalnya
kamu suka baca fiksi dulu kan? Doraemon… Lupus… Asterix-Obelix? Tintin?”
“…ya.” Ali mengangguk
pelan. Juga komik-komik Karl May, Kho Ping Hoo, Anita Cemerlang, Kuncung,
Bobo, dan lainnya yang dibaca
bapak-bapak manapun saat masih kecil. Apapun yang tersedia di balai bacaan
maupun kios buku Mang Alwi pokoknya. Tapi Ali sudah lupa kapan terakhir kali
ia menamatkan suatu bacaan fiksi atas minatnya sendiri, belakangan ini ia melakukannya
hanya sekadar untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia.
Bukannya Ali tidak
kenal dengan nama beberapa penulis fiksi yang pernah Zia sebut saat berbincang
dengan Regi, tapi ya sekadar tahu bukan berarti memahami kan. Ali hanya
kebetulan baca judul dan nama penulisnya saja saat membereskan buku-buku di
kedua tempat mangkalnya itu. Kadang ia membaca satu-dua secara sekilas, lalu
meletakkannya kembali karena tidak tertarik untuk membaca keseluruhannya.
“Waktu kamu masih
kecil, enggak mungkin kamu mulai dengan apa-apa yang kamu baca sekarang. Apa
itu?” Zia memicingkan mata saat Ali memperlihatkan sampul buku di
pangkuannya. “Kamus Jawa Kuna?” Zia
mengernyit. “Pasti mulai dari yang ringan-ringan dulu…”
“Ya, kayak fiksi itu…”
“Tapi fiksi enggak
semuanya ringan! Fiksi juga ada tahap-tahapnya, dari yang ece-ece, enggak usah
dibaca sampai tamat juga kita udah bisa nebak ceritanya, sampai yang
berat-berat, jelimet, enggak bakal ngerti kalau cuman sekali baca.”
Ali tidak tahu harus
mengucapkan apa selain, “ya.” Ia ingin kembali menekuni kata demi kata yang tertera
di bacaannya, meski ia perlu membacanya berulang-ulang supaya menempel pada
ingatan, tapi suara cewek itu terlalu sukar untuk dihiraukan. Ali sudah tidak
begitu mendengarkan, tapi iapun tidak menemukan lem untuk merekatkan kembali
konsentrasinya yang pecah.
“Jadi kamu sama sekali
enggak baca fiksi lagi?”
Ali menggeleng.
“Meskipun fiksi
sejarah?”
“Nonfiksi sejarah
mestinya lebih autentik.”
“Ya ampun hidup kamu
kering sekali.” Cewek itu menempelkan kompor menyala di kuping Ali, lalu menghunjamkan
tombak ke arah dada.
Untung Ali gesit
menghindar, meski akhirnya keserempet juga. Ali pikir lebih baik meladeni
cewek ini alih-alih bertingkah bak cowok sok adem di cerita remaja pada
lazimnya. Tidak, Ali tidak baca. Cuman sekadar tahu, tidak terelakkan untuk
tahu karena cerita seperti itu beredar di mana-mana, apalagi baik di LEMPERs
maupun di kelas IPS—di mana-mana!—Ali kerap dikelilingi cewek-cewek penggemar
cerita macam demikian, masuk kuping begitu saja tanpa dikehendaki.
“Bagaimana kamu bisa
nyimpulin hal yang seperti itu, Zia?” tanya Ali. “Apa kriterianya, sampai
kamu bisa nyimpulin hidup seseorang kering apa basah? Apa kamu udah pernah
survei, bahkan ke orang yang enggak tersentuh sama budaya baca sekalipun?”
Kini Ali memahami
bagaimana seorang fiksivora dengan Zia sebagai sampelnya. Jadi begini ya
pikiran orang fiksi itu, abstrak? Hidup kok kering, basah, memangnya baju?
Kalau kering ya disiram saja. Kalau basah, dijemur. Apa lagi itu Barisan
Lelaki Kering Asmara, heuh, kering asmara itu apa maksudnya? Mendadak Ali ingat
Anwar. Memang apa asmara itu? Abstrak juga kan?
Mendapati perubahan
bentuk alis Zia, dalam hati bogem Ali terangkat. Hayo, mau ngomong apa?
“Nah itu dia!” Zia
sontak mengacungkan telunjuk ke arah Ali. “Masih banyak orang yang enggak punya
budaya baca. Kamu sadar enggak sih kalau membaca itu suatu kemewahan? Enggak
semua orang punya akses ke buku. Bahkan kalaupun ada orang yang kebetulan lagi
pegang buku,” Zia memeragakannya dengan si buku hijau, “bisa jadi sebetulnya
dia buta huruf.”
Sesaat Ali bisu saja
dengan mulut sedikit terbuka. Cewek ini memang pintar mengalihkan. “Jadi,”
ulang Ali dengan tekanan pada tiap suku kata. “Kenapa orang yang membaca fiksi
hidupnya lebih basah daripada orang yang cuman baca nonfiksi?”
“Karena fiksi itu
enggak cuman sekadar bacaan buat nambah informasi, tapi di dalamnya juga ada
emosi… imajinasi…” jawab Zia dengan penghayatan. “Fiksi lebih merasuk ke alam
bawah sadar, memengaruhi pembacanya untuk… menjadi sesuatu,” simpul cewek
itu.
Yang pastinya asal-asalan,
cibir Ali. Tapi bagaimanapun ia menghela napas karena alhamdulillah cewek
itu bisa langsung diajak nyambung. “Kenapa harus terbatas sama fiksi aja?
Bukannya ada banyak bacaan nonfiksi yang juga bisa memengaruhi pembacanya? Kamu
tahu Machiavelli? Karl Marx? Darwin? Apa mereka nulis fiksi? Bukan. Tapi
buku-buku mereka, yang masuk rak nonfiksi kalau di toko buku, “Ali menekankan,
“kamu tahu bagaimana buku-buku mereka
sampai mengubah peradaban? Atau enggak usah jauh-jauh deh. Kamu pernah dengar
Indonesia Menggugat? Pidatonya
Presiden Soekarno? Itu juga…”
“Oke deh. Tapi enggak
cuman nonfiksi aja yang bisa fe-no-me-nal kayak gitu. Fiksi juga banyak yang
enggak kalah kontroversial. Kamu tahu enggak, yang bunuh John Lennon katanya
ngelakuin pembunuhan karena termotivasi setelah baca novel gitu, The Catcher in the Rye, kamu pasti
enggak tahu. Banyak juga penulis fiksi yang harus dipenjara karena karya
mereka, bahkan harus sembunyi karena terancam mati. The Satanic Verses, Salman Rushdie? Kamu pasti enggak tahu juga.
Atau, oke, kita pakai contoh dalam negeri. Tetralogi Pulau Burunya Pram, Langit Makin Mendung—Ki Panji Kusmin…”
Begitu disela oleh Zia
tadi Ali seketika diam, namun tetap menyimak juga apa balasan cewek itu. Semakin
lama semakin Ali berasumsi kalau cewek itu mulai melebarkan bahasan lagi.
“Kalau fiksi emang
cuman bohongan, kok bisa, sampai ada orang-orang yang takut sama fiksi? Bukan
orang-orang biasa lagi, tapi orang-orang yang punya kuasa!”
Oh. Ternyata tidak.
“Saya lebih suka kalau
kita bisa menghargai preferensi bacaan masing-masing, oke? Juga preferensi
orang-orang yang enggak suka baca untuk enggak milih bacaan apapun.” Ali
mengangkat kedua belah tangan. Berdebat dengan Zia memang menambah wawasan,
tapi ia lebih menginginkan wawasan yang ada di atas pangkuannya.
“DAN KENAPA,” suara Zia
makin nyaring, “bahkan wartawan pun, yang katanya harus mengedepankan
fakta, fakta-fakta-fakta-fakta semata, sampai berpikir untuk menggunakan
pendekatan fiksi…?”
Ampun apa lagi ini?
Bisakah cewek ini tidak berisik? Bisakah ia buka saja buku yang telah dengan
murah hati dipinjamkan Ali, lalu duduk anteng membacanya? Tetap di situ
juga tidak apa-apa kok, selama empunya bangku belum datang dan bel tanda jam
istirahat berakhir belum berdendang. Atau kalau tidak, aargh, bel, kenapa kau
harus menunggu sampai jam sepuluh untuk berbunyi? Ali ingin mengecek jam, tapi
ia tidak memiliki sesuatu yang melingkari pergelangan tangannya. Jam yang
menempel di dinding kelas sudah lama terbunuh.
“Truman Capote. In Cold Blood!” seru Zia sebelum
terdiam sejenak. “Kamu pasti enggak tahu.”
“Enggak…!” Nada Ali
mulai senewen.
“Dia wartawan. Tapi dia
nulis laporan pembunuhan dalam bentuk novel. Novel nonfiksi jadinya. Terus
apa kamu pernah dengar tentang—“
Indonesia Raya tumpah
darahku, simfonimu menyelamatkan ketenteraman batinku. Ali menikmati bagaimana
kata-kata Zia tertimpa oleh nada-nada monoton itu. Jam istirahat usai.
Kembalilah ke kelasmu, ikan layur, di manapun itu berada. Cewek itu cemberut sementara Ali sudah tidak begitu
ingin cemberut lagi.
.
Niat banget cewek-cewek
itu. O ya Lindung itu cowok deng, bukan cewek. Satu per satu mengirimi Ali sms
sejak kemarin malam dengan jarak waktu yang sepertinya sudah diatur. Fika,
Indah, Nilam, Lindung, Titew, Rieka, dan sekarang Sheila. Kalau merancang yang
macam begini saja cewek-cewek itu, plus Lindung, bisa banget. Tapi kalau
disuruh merancang TOR untuk calon narasumber luar biasa bebalnya. Semua sms
itu isinya sama, mengingatkan Ali untuk tidak ke mana-mana sepulang sekolah
hari ini.
“Kita belum pernah
reuni dong, Bang, sejak ganti kepengurusan,” desak Sheila. Ia yang merasa
paling punya kedekatan kultural dengan Ali. Sama-sama keturunan Raja
Borbor, begitu kata Sheila. Sheila sih murni 75%, tapi Ali kan 15% saja tidak
ada. Darah lumpur barangkali julukan yang tepat untuk Ali, kalau non-Batak
ekuivalen dengan Muggle.
“Mau ke mana sih?”
“Ih si Bos nanya mulu
deh. Udah kalem aja. Kita kan udah pada sukses-sukses berkat didikan si Bos,”
ucap Titew. Masih sempat-sempatnya mengikir kuku di dalam angkot.
Sopir angkot tidak
perlu lagi berkoar “tujuh-lima, tujuh-lima” untuk menarik penumpang, tapi
cukup “lima”, karena yang “tujuh” sudah diisi keluarga kecil Ali di LEMPERs.
Ali si bapak tunggal, merangkap manager girlband+.
Empat dari enam cewek ditambah satu cowok mulai bernyanyi. Mungkin itu lagu
yang lagi ngetren di kalangan anak muda zaman sekarang, pikir Ali. Mereka menamakan
diri mereka sixsweets+. Tadinya mau tambah satu lagi tanda “+” di belakang,
tapi Ali menolak. Ia lebih suka menjadi orang di belakang layar. Bukan Ali pribadi
yang memilih komposisi macam demikian, tapi hasil screening via formulir, diklat, dan macam-macam yang jadi penentu
nasib Ali dan ketujuh orang awaknya. Setidaknya tujuh itu yang paling lama
bertahan di LEMPERs. Lainnya dipertanyakan, diakui tapi tidak disamakan.
Ali diapit dua dari
empat cewek yang tengah berlagak biduanita. Ia ingin pindah ke bangku dekat
pintu saja, posisi ini sama sekali tidak menguntungkan. Tapi Titew dengan
jemarinya yang merah jambu menahan lengan Ali. Ali mendengus. Tepat di
belakang kepalanya ada kenop untuk membuka jendela. Angkot sudah berjalan
memang. Tapi Ali tidak keberatan untuk tetap menggelinding melalui lubang di
belakangnya, yang akan segera ia buka… Bagaimana lagi cara untuk melarikan
diri dari cewek-cewek ini?—plus satu cowok, o ya, Lindung itu cowok!
Satu-satunya penawar
gelisah bagi Ali cuman cewek yang duduk di hadapannya, tidak persis, namun Ali
bisa melihat cewek itu dengan leluasa. Ia satu di antara dua cewek yang
memilih untuk mengobrol dengan satu sama lain, alih-alih menambah
hingar-bingar lalu lintas. Sudah paling anteng, manisnya murni tanpa sakarin
pula. Tidak pernah bolos “piket”.
“Mau ke mana sih?”
tanya Ali lagi begitu mereka turun dari angkot. Ampun dekat begini saja pakai
angkot, ratap Ali, jalan saja dua puluh menit sampai! Tapi tidak pantas Ali
mengeluh secara ia belum mengeluarkan selembar uangpun dari kantong manapun
baik dari seragam maupun ranselnya. Sekali lagi Titew coba mengaitkan
lengannya dengan lengan Ali, Ali sontak menarik lengannya sambil menggeram.
Cewek itu hanya tertawa, ditimpali tawa Fika dan Nilam.
“Ih si Bos, masih aja
alergi sama cewek. Kapan punya ceweknya dong, Bos?”
“Kapan kalian bisa
berhenti kegatelan sama saya sih?”
“Sampai si Bos punya
cewek dong. Nah kalo udah gitu kan mana berani kita?” celetuk Fika.
“Ah, enggak ada itu
cewek-cewekan.”
“Ih si Bos sok alim ya,
sok alim…” tuding Nilam.
“Makanya si Bos
nongkrongnya di masjid aja sekalian deh, biar kita percaya. Entar kan kita
jadi takut deketin si Bos lagi. Bisa-bisa kepanasan kita,” sahut Titew. Ali
bersyukur kali ini cewek itu sudah jaga jarak. Saat memasuki kafe pun ia tidak
memilih tempat duduk di samping Ali.
Ali agak lega saat
Indah yang duduk di samping kanannya—cewek itu lumayan anteng, nomor dua setelah
Rieka—tapi hanya beberapa detik. Lindung menggantikan Indah, membuat Ali agak
berjengit. Apalagi saat Nilam tiba-tiba bilang, “Eh iya, hari ini siapa yang
piket jadi pacarnya bos kita?”
“Tanggal berapa sih
sekarang?” tanya Fika.
“Empat belas,”
seseorang menjawab.
“Ih aku dong kalo
gitu…” sambut Lindung. Ia mengalihkan tatapannya sejenak dari android yang bercokol
di kedua belah tangannya, lalu menoleh pada Ali dan tersenyum. Ali tidak
membalas—tidak tahu harus membalas dengan respons yang bagaimana.
Sejak mula jadi bawahan
Ali, ketujuh anak itu sepakat untuk membagi tugas piket. Yang piket wajib standby bersama si bos di sekre. Tidak
ada satupun dari ketujuh anak itu yang betah lama-lama di sekre, tapi harus
ada yang meladeni si bos. Karena mereka bertujuh, sedang jumlah hari bisa
dalam sebulan bisa mencapai 31, maka ada setidaknya tiga orang yang mendapat
jatah piket tiga kali dalam sebulan. Tiga orang yang malang itu, secara
berturut-turut adalah Sheila, Rieka, dan Titew. Beruntung bagi ia yang
mendapat tanggal piket di hari Minggu atau tanggal merah. Barangsiapa yang
piket maka ia yang disebut sebagai “pacar” Bos Ali pada hari itu. Tentu saja
mereka menyepakati ini tanpa omong-omong dengan si bos, meski lama-lama si bos
ngeh jua. Masa bodoh dengan piket-piketan, kalau Ali lagi butuh semua, maka
semua harus hadir, bukan cuman yang lagi piket. Semua sudah tahu bagaimana
rasanya didamprat si bos, apalagi sejak mading kembali terbit seminggu sekali.
Semua telah mendapat
kursi masing-masing. Di teras samping kafe mereka mengelilingi dua meja yang
didempetkan.
“Bos, Bos mau apa nih,
Bos?” Fika menyodorkan daftar menu.
“Pilihin aja.”
“Tuh, udah aku duga. Si
Bos mah sok gitu da,” sahut Nilam. Cewek satu ini sebetulnya yang paling doyan
coba-coba menggelitiki Ali. “Bos tuh orangnya terlalu serius. Yang cair dong
Bos… Kan udah enak sekarang, enggak dikejar-kejar deadline lagi…”
“Eh Bos, tahu enggak,
sebenernya sekarang Sheila ultah loh…” Indah menggoncang-goncang pundak cewek
yang duduk tepat di hadapan Ali. Cewek itu cengar-cengir.
“Oh. Selamat ya Shel.”
Ali menjabat tangan Sheila.
“Makasih, Bang.” Cewek
itu mengangkat alis.
“Gimana sih, yang ulang
tahun siapa, yang dikasih kejutan kok malah si Bos, bukan yang ultah,” sahut
Nilam dengan nada sok menggerutu.
Mereka tertawa. Ali
ikut juga, meski tidak lebar-lebar. Sepertinya ia barusan disindir karena
tidak hapal ulang tahun anak buah sendiri, padahal saat ia ulang tahun yang
ke-18—baru beberapa bulan lalu—mereka patungan untuk memberi Ali kado.
“Iyaa… Makanya Bos
enggak usah mikir-mikir anggaran lagi deh. Semua rebes dari kantong Sheila sendiri!”
seru Fika.
Makanan dan minuman
mulai berdatangan, disertai sebuah tart
ukuran sedang dengan lilin berbentuk angka satu dan enam, perayaan dimulai.
Ali sudah menyodorkan tangan, hendak menyambut kamera digital Fika. Bos kamu
ini sudah biasa jadi juru potret kok, ayo serahkan! Tapi protokol acara hari
itu menyatakan bahwa si bos diharamkan memegang apapun yang memungkinkannya
untuk keluar dari kepungan.
Bagaimanapun sebetulnya
para anak buahnya ini adalah cewek-cewek—plus cowok—yang perhatian, dan tahu
cara merawat diri, asal tidak sedikit-sedikit main sentuh saja. Lindung dengan
suara khasnya yang rada sengau. Indah yang ternyata ketua LITERASON, dengan cewek
itu Ali paling nyambung. Titew yang mulai kipas-kipas. Nilam yang entah masih
aktif di LEMPERs atau tidak. Fika yang nyanyiannya paling membahana. Sheila
yang paling banyak sampingan di luar LEMPERs tapi tetap sok asyik. Rieka yang
kalem lagi menawan, sigap, dan manis seperti… madu, ah, ya, manis yang bukan buatan,
bikin lengket pula—para cowok SMANSON. Sayang ia lengser dari LEMPERs, malah
fokus di OSIS. Apakah pacarnya masih si Dendeng itu? Ali sudah merasa jauh
lebih baik kini, berada di tengah anak-anak susah diatur ini, apalagi karena Rieka
yang duduk di samping kirinya.
Ali ingin mendengarkan
cerita Rieka tentang si Dendeng pada Titew, tapi candaan Nilam, Lindung, dan
lain-lain begitu meriah. Ali bingung siapa di antara Nilam, Fika, dan Lindung
yang harus ia simak betul. Semua berebut bicara. Sheila dan Indah lebih sering
menimpali. Sempat ada jeda, sehingga obrolan Rieka dan Titew terdengar.
Fokus pembicaraan beralih pada Rieka—eh si Dendeng. Para cewek membicarakan
betapa si pesolek itu tampak luar biasa tampan sejak jadian dengan Rieka.
Cewek itu tersipu-sipu. Mereka membicarakan gaya berpakaian si Dendeng di
luar sekolah kini, sehingga Ali merasa harus tukar duduk dengan Lindung. Cowok
itu amat berminat untuk nimbrung, dan posisi Ali hanya menghalanginya. Dengan
senang hati Lindung menyambut saat Ali menawarkan.
Di samping kanan Ali
kini satu set bangku untuk empat orang, kosong. Mengingatkan Ali pada sebuah
perpustakaan, bukan perpustakaan yang sebenarnya, melainkan perpustakaan
yang berada dalam kepala seseorang. Perpustakaan yang hanya bisa Ali longok
ketika mulut itu mulai mencomel.
“He, Abang.” Bibir
Sheila berlumuran krim tart. Ali
tergeragap. Sayup-sayup keriuhan di sisi kirinya memudar. “Lagi mikirin cewek
yaa?”
Ketika Ali menoleh,
berpasang-pasang bola mata sudah tertaut padanya. Seperti yang tidak pernah
lihat Ali melamun saja mereka ini.
“Apa?”
“Ayolah, Bos,
cerita-cerita aja sama kita… Kita kan pinter jaga rahasia, namanya juga
jurnalis Bos… jurnalis sekolahan… Kepercayaan narasumber itu utama, gitu kan
kata Bos sendiri?” ucap Nilam kenes.
“Iya, siapa sih nih
Bos… Masak udah tua enggak cari-cari jodoh juga sih?” gempur Fika seraya
mencocol tempe ke sambal kangkung.
“Mikirin cewek yaa…”
Sheila mendorong lengan Ali dengan tangannya yang masih bersih dari krim.
“Enggak…” elak Ali.
“…huu… enggak salah…”
Memang bayangan cewek
itu sempat hinggap dalam benak Ali, tapi yang kemudian Ali lihat adalah buku.
Banyak buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar