Senin, 20 Agustus 2012

08

Tahu-tahu cewek itu duduk di sampingnya. Me­mang tidak ada Regi di kelas saat itu. Tapi sepertinya me­mang Ali yang hendak cewek itu temui. “Kemarin aku ke sini tapi kamu enggak ada,” kata cewek itu. Ia be­lum tahu kalau percuma mencari Ali di kelas saat hari Se­lasa. Pada hari itu Ali tengah sibuk menyimak per­kem­bangan kehidupan berasmara para siswa SMAN­SON, kalau bukan mendekam di pojok dan melanjutkan ba­caan—lebih sering yang kedua sebetulnya.

Ali agak terkejut dengan kedatangan cewek itu. Po­sisi duduknya sudah beberapa kali ganti dalam se­me­nit. Ia merasa urusan dengan cewek itu sudah selesai. Se­be­rapa lama cewek yang sama-sama menggilai buku bisa menarik minatmu? Bagi Ali itu tidak sampai berminggu-ming­gu. Tapi terima kasih pada Zia karena Ali akhirnya bi­sa menulis lagi sesuatu yang panjang, meski tidak se­pan­jang resensi cewek itu atas novel Bumi Manusia.

“Kamu udah mampir ke blog aku lagi?” tanya ce­wek itu. Ali menggeleng. “Aku udah coba ngikutin ma­suk­an dari kamu kemarin.” Senyum cewek itu me­ngem­bang.

“Oh…” Ali tidak tahu lagi harus berkomentar apa. Jadi apa sekarang ia harus memeriksa hasil per­baik­an cewek itu, begitu? Ali tidak berminat untuk me­na­war­kan­nya. Baru sekarang Ali memaknai kemerdekaan, ti­dak lagi dituntut untuk memeriksa hasil kerja orang lain, me­lainkan hasil kerjanya sendiri saja—yang sudah cu­kup bikin keruh rongga kepala! Enak juga sudah lepas ja­batan. Lagipula anak-anak kelas XI dan X itu juga ti­dak terlalu butuh nasihatnya, kan? Biarkan saja mereka mau mengarahkan LEMPERs ke mana.

Memang demikian maksud cewek itu.

“Oh insya Allah ya,” jawab Ali diplomatis, kalau ke­betulan saya lagi di warnet dan ingat buat ke blog ka­mu, kalau enggak, ya, kapan lagi deh sampai ada momen ka­yak gitu lagi. Mendadak Ali ingat sesuatu. Sepertinya bu­ku hijau itu belum ia keluarkan dari ranselnya. Betul. “Nih bawa aja.”

Zia meraih buku yang disodorkan Ali. Sejarah Pendidikan Indonesia.

“Barangkali aja bisa jadi referensi, buat ngem­bang­in tulisan kamu yang kemarin itu.”

“Oh. Jangan-jangan dari buku ini apa ya, yang wak­tu itu kamu ngejelasin tentang AMS-AMS-an, di LI­TE­RASON tea?”

“Iya.”

“Dikasih apa dipinjemin nih?”

Ali mengerutkan kening. Tidak terpikir sama se­ka­li untuk membiarkan buku itu berada di tangan orang la­in selamanya. “Balikin aja seselesainya.”

“Makasih ya…”

“Oke.” Apa memang cewek ini biasa bersikap ma­nis seperti ini? Hm, ikan layur… dimasak pakai bum­bu madu kali ya?

Ali sudah hendak menekuri buku di pangkuannya la­gi, ketika Zia bersuara lagi, “Kamu baca tulisan-tulisan aku yang lain enggak?” Cewek itu menggigit bibir.

Apa memang gestur dasar cewek ini tidak bisa di­am? “Sempet sih…” Ali memandangi Zia. Menebak-ne­bak apa tepatnya arah yang hendak dituju cewek ter­se­but.

“Menurut kamu?”

“Menurut saya… Itu kayaknya terlalu personal. Sa­ya enggak bisa mengomentari yang kayak gitu.”

“O ya?” Cewek itu tampak heran. “Terlalu per­so­nal? Aku kira kamu enggak doyan fiksi…”

“Itu fiksi?” Ali mengerjapkan mata.

“Iya. Kamu enggak perhatiin labelnya?”

“Jadi cerita tentang kamu enggak bisa keluar ru­mah karena ada orang gila di teras itu…”

“Itu bukan aku, itu tokohku… Aku kan pakai su­dut pandang orang pertama.”

“Yang ada copet, terus kamu ditolong waria di bis itu…”

Zia menggeleng dengan cepat.

“…nempel-nempelin cerpen di WC biar kebaca sa­ma orang lagi…”

“Bukaan…!”

“Yang ngumpulin koran, yang ada orang ter­ke­nal­nya, terus korannya dijadiin…”

“Itu aku pakai sudut pandang orang ketiga ya. Bi­sa enggak sih kamu enggak ngeidentikkin apa yang aku tu­lis di blog aku dengan aku melulu?”

“Oh.” Ali mengangkat kepala. “Itu cerpen?”

Zia mengangguk, dengan cepat pula.

“Keliatannya kayak yang beneran yah? Aku emang seneng gaya realis sih, yah, kayak Pramoedya Anan­ta Toer gitu, Umar Kayam…”

Tampaknya lipatan di kening Ali semakin ba­nyak. “Saya enggak ngerti.”

“Kamu beneran enggak bisa ngebedain fiksi sa­ma nonfiksi?”

“Fiksi itu yang bohongan kan?”

“Kamu tahu Pablo Picasso?”

“Dia penulis fiksi? Bukannya pelukis?” Ali be­nar-benar sudah tidak bisa menaruh konsentrasi lagi pa­da buku di pangkuannya, seberapa kalipun ia memindah-min­dahkan pandangannya antara Zia dan bentangan bu­ku itu.

“Bukan—eh, enggak tahu kalau ternyata Picasso nu­lis fiksi juga, tapi, ya, dia pelukis—dia seniman, dia yang bilang kalau seni itu menyatakan kebenaran dengan ke­bohongan. Fiksi itu termasuk karya seni, ngomong-ngo­mong. Sastra? Kamu pernah dengar sastra? Sas­tra­wan? Seniman kata?”

Aduh cewek ini cerewet sekali. Terlalu banyak ka­ta yang masuk ke dalam lorong telinga Ali, sampai-sam­pai menyumbat lubang keong di sana, dan tidak ter­sa­lurkan ke labirin otak.

“Saya enggak baca fiksi.” Ali menggeleng.

“Tapi pasti awalnya kamu suka baca fiksi dulu kan? Doraemon… Lupus… Asterix-Obelix? Tintin?”

“…ya.” Ali mengangguk pelan. Juga komik-ko­mik Karl May, Kho Ping Hoo, Anita Cemerlang, Kun­cung, Bobo, dan lainnya yang dibaca bapak-bapak ma­na­pun saat masih kecil. Apapun yang tersedia di balai ba­ca­an maupun kios buku Mang Alwi pokoknya. Tapi Ali su­dah lupa kapan terakhir kali ia menamatkan suatu ba­ca­an fiksi atas minatnya sendiri, belakangan ini ia me­la­ku­kannya hanya sekadar untuk memenuhi tugas Bahasa In­donesia.

Bukannya Ali tidak kenal dengan nama beberapa pe­nulis fiksi yang pernah Zia sebut saat berbincang de­ngan Regi, tapi ya sekadar tahu bukan berarti memahami kan. Ali hanya kebetulan baca judul dan nama pe­nu­lis­nya saja saat membereskan buku-buku di kedua tempat mang­kalnya itu. Kadang ia membaca satu-dua secara se­ki­las, lalu meletakkannya kembali karena tidak tertarik un­tuk membaca keseluruhannya.

“Waktu kamu masih kecil, enggak mungkin ka­mu mulai dengan apa-apa yang kamu baca sekarang. Apa itu?” Zia memicingkan mata saat Ali mem­per­li­hat­kan sampul buku di pangkuannya. “Kamus Jawa Kuna?” Zia mengernyit. “Pasti mulai dari yang ringan-ringan du­lu…”

“Ya, kayak fiksi itu…”

“Tapi fiksi enggak semuanya ringan! Fiksi juga ada tahap-tahapnya, dari yang ece-ece, enggak usah di­ba­ca sampai tamat juga kita udah bisa nebak ceritanya, sam­pai yang berat-berat, jelimet, enggak bakal ngerti ka­lau cuman sekali baca.”

Ali tidak tahu harus mengucapkan apa selain, “ya.” Ia ingin kembali menekuni kata demi kata yang ter­tera di bacaannya, meski ia perlu membacanya ber­u­lang-ulang supaya menempel pada ingatan, tapi suara ce­wek itu terlalu sukar untuk dihiraukan. Ali sudah tidak be­gitu mendengarkan, tapi iapun tidak menemukan lem un­tuk merekatkan kembali konsentrasinya yang pecah.

“Jadi kamu sama sekali enggak baca fiksi lagi?”

Ali menggeleng.

“Meskipun fiksi sejarah?”

“Nonfiksi sejarah mestinya lebih autentik.”

“Ya ampun hidup kamu kering sekali.” Cewek itu menempelkan kompor menyala di kuping Ali, lalu meng­hunjamkan tombak ke arah dada.

Untung Ali gesit menghindar, meski akhirnya ke­se­rempet juga. Ali pikir lebih baik meladeni cewek ini alih-alih bertingkah bak cowok sok adem di cerita re­ma­ja pada lazimnya. Tidak, Ali tidak baca. Cuman sekadar ta­hu, tidak terelakkan untuk tahu karena cerita seperti itu ber­edar di mana-mana, apalagi baik di LEMPERs mau­pun di kelas IPS—di mana-mana!—Ali kerap dikelilingi ce­wek-cewek penggemar cerita macam demikian, masuk ku­ping begitu saja tanpa dikehendaki.

“Bagaimana kamu bisa nyimpulin hal yang se­per­ti itu, Zia?” tanya Ali. “Apa kriterianya, sampai kamu bi­sa nyimpulin hidup seseorang kering apa basah? Apa ka­mu udah pernah survei, bahkan ke orang yang enggak ter­sentuh sama budaya baca sekalipun?”

Kini Ali memahami bagaimana seorang fiksivora de­ngan Zia sebagai sampelnya. Jadi begini ya pikiran orang fiksi itu, abstrak? Hidup kok kering, basah, me­mang­nya baju? Kalau kering ya disiram saja. Kalau ba­sah, dijemur. Apa lagi itu Barisan Lelaki Kering Asmara, heuh, kering asmara itu apa maksudnya? Mendadak Ali ingat Anwar. Memang apa asmara itu? Abstrak juga kan?

Mendapati perubahan bentuk alis Zia, dalam hati bo­gem Ali terangkat. Hayo, mau ngomong apa?

“Nah itu dia!” Zia sontak mengacungkan telunjuk ke arah Ali. “Masih banyak orang yang enggak punya bu­daya baca. Kamu sadar enggak sih kalau membaca itu su­atu kemewahan? Enggak semua orang punya akses ke bu­ku. Bahkan kalaupun ada orang yang kebetulan lagi pe­gang buku,” Zia memeragakannya dengan si buku hi­jau, “bisa jadi sebetulnya dia buta huruf.”

Sesaat Ali bisu saja dengan mulut sedikit terbuka. Ce­wek ini memang pintar mengalihkan. “Jadi,” ulang Ali dengan tekanan pada tiap suku kata. “Kenapa orang yang membaca fiksi hidupnya lebih basah daripada orang yang cuman baca nonfiksi?”

“Karena fiksi itu enggak cuman sekadar bacaan bu­at nambah informasi, tapi di dalamnya juga ada emo­si… imajinasi…” jawab Zia dengan penghayatan. “Fiksi le­bih merasuk ke alam bawah sadar, memengaruhi pem­ba­canya untuk… menjadi sesuatu,” simpul cewek itu.

Yang pastinya asal-asalan, cibir Ali. Tapi ba­gai­ma­napun ia menghela napas karena alhamdulillah cewek itu bisa langsung diajak nyambung. “Kenapa harus ter­ba­tas sama fiksi aja? Bukannya ada banyak bacaan nonfiksi yang juga bisa memengaruhi pembacanya? Kamu tahu Machiavelli? Karl Marx? Darwin? Apa mereka nulis fik­si? Bukan. Tapi buku-buku mereka, yang masuk rak non­fiksi kalau di toko buku, “Ali menekankan, “kamu ta­hu bagaimana  buku-buku mereka sampai mengubah per­adaban? Atau enggak usah jauh-jauh deh. Kamu per­nah dengar Indonesia Menggugat? Pidatonya Presiden Soe­karno? Itu juga…”

“Oke deh. Tapi enggak cuman nonfiksi aja yang bi­sa fe-no-me-nal kayak gitu. Fiksi juga banyak yang eng­gak kalah kontroversial. Kamu tahu enggak, yang bu­nuh John Lennon katanya ngelakuin pembunuhan karena ter­motivasi setelah baca novel gitu, The Catcher in the Rye, kamu pasti enggak tahu. Banyak juga penulis fiksi yang harus dipenjara karena karya mereka, bahkan harus sem­bunyi karena terancam mati. The Satanic Verses, Sal­man Rushdie? Kamu pasti enggak tahu juga. Atau, oke, kita pakai contoh dalam negeri. Tetralogi Pulau Bu­ru­nya Pram, Langit Makin Mendung—Ki Panji Kus­min…”

Begitu disela oleh Zia tadi Ali seketika diam, na­mun tetap menyimak juga apa balasan cewek itu. Se­ma­kin lama semakin Ali berasumsi kalau cewek itu mulai me­lebarkan bahasan lagi.

“Kalau fiksi emang cuman bohongan, kok bisa, sam­pai ada orang-orang yang takut sama fiksi? Bukan orang-orang biasa lagi, tapi orang-orang yang punya ku­a­sa!”

Oh. Ternyata tidak.

“Saya lebih suka kalau kita bisa menghargai pre­fe­rensi bacaan masing-masing, oke? Juga preferensi orang-orang yang enggak suka baca untuk enggak milih ba­caan apapun.” Ali mengangkat kedua belah tangan. Ber­debat dengan Zia memang menambah wawasan, tapi ia lebih menginginkan wawasan yang ada di atas pang­ku­annya.

“DAN KENAPA,” suara Zia makin nyaring, “bah­kan wartawan pun, yang katanya harus me­nge­de­pan­kan fakta, fakta-fakta-fakta-fakta semata, sampai ber­pi­kir untuk menggunakan pendekatan fiksi…?”

Ampun apa lagi ini? Bisakah cewek ini tidak be­ri­sik? Bisakah ia buka saja buku yang telah dengan mu­rah hati dipinjamkan Ali, lalu duduk anteng mem­ba­ca­nya? Tetap di situ juga tidak apa-apa kok, selama em­pu­nya bangku belum datang dan bel tanda jam istirahat ber­akhir belum berdendang. Atau kalau tidak, aargh, bel, ke­napa kau harus menunggu sampai jam sepuluh untuk ber­bunyi? Ali ingin mengecek jam, tapi ia tidak me­mi­liki sesuatu yang melingkari pergelangan tangannya. Jam yang menempel di dinding kelas sudah lama terbunuh.

“Truman Capote. In Cold Blood!” seru Zia se­be­lum terdiam sejenak. “Kamu pasti enggak tahu.”

“Enggak…!” Nada Ali mulai senewen.

“Dia wartawan. Tapi dia nulis laporan pem­bu­nuh­an dalam bentuk novel. Novel nonfiksi jadinya. Te­rus apa kamu pernah dengar tentang—“

Indonesia Raya tumpah darahku, simfonimu me­nye­lamatkan ketenteraman batinku. Ali menikmati ba­gai­mana kata-kata Zia tertimpa oleh nada-nada monoton itu. Jam istirahat usai. Kembalilah ke kelasmu, ikan la­yur, di manapun itu berada. Cewek itu  cemberut se­men­ta­ra Ali sudah tidak begitu ingin cemberut lagi.

.

Niat banget cewek-cewek itu. O ya Lindung itu co­wok deng, bukan cewek. Satu per satu mengirimi Ali sms sejak kemarin malam dengan jarak waktu yang se­per­tinya sudah diatur. Fika, Indah, Nilam, Lindung, Ti­tew, Rieka, dan sekarang Sheila. Kalau merancang yang ma­cam begini saja cewek-cewek itu, plus Lindung, bisa ba­nget. Tapi kalau disuruh merancang TOR untuk calon na­rasumber luar biasa bebalnya. Semua sms itu isinya sa­ma, mengingatkan Ali untuk tidak ke mana-mana se­pu­lang sekolah hari ini.

“Kita belum pernah reuni dong, Bang, sejak ganti ke­pengurusan,” desak Sheila. Ia yang merasa paling pu­nya kedekatan kultural dengan Ali. Sama-sama ke­tu­run­an Raja Borbor, begitu kata Sheila. Sheila sih murni 75%, tapi Ali kan 15% saja tidak ada. Darah lumpur ba­rang­kali julukan yang tepat untuk Ali, kalau non-Batak eku­ivalen dengan Muggle.

“Mau ke mana sih?”

“Ih si Bos nanya mulu deh. Udah kalem aja. Kita kan udah pada sukses-sukses berkat didikan si Bos,” ucap Titew. Masih sempat-sempatnya mengikir kuku di da­lam angkot.

Sopir angkot tidak perlu lagi berkoar “tujuh-lima, tu­juh-lima” untuk menarik penumpang, tapi cukup “li­ma”, karena yang “tujuh” sudah diisi keluarga kecil Ali di LEMPERs. Ali si bapak tunggal, merangkap manager girlband+. Empat dari enam cewek ditambah satu cowok mu­lai bernyanyi. Mungkin itu lagu yang lagi ngetren di ka­langan anak muda zaman sekarang, pikir Ali. Mereka me­namakan diri mereka sixsweets+. Tadinya mau tam­bah satu lagi tanda “+” di belakang, tapi Ali menolak. Ia le­bih suka menjadi orang di belakang layar. Bukan Ali pri­badi yang memilih komposisi macam demikian, tapi ha­sil screening via formulir, diklat, dan macam-macam yang jadi penentu nasib Ali dan ketujuh orang awaknya. Se­tidaknya tujuh itu yang paling lama bertahan di LEM­PERs. Lainnya dipertanyakan, diakui tapi tidak di­sa­ma­kan.

Ali diapit dua dari empat cewek yang tengah ber­lag­ak biduanita. Ia ingin pindah ke bangku dekat pintu sa­ja, posisi ini sama sekali tidak menguntungkan. Tapi Ti­tew dengan jemarinya yang merah jambu menahan le­ngan Ali. Ali mendengus. Tepat di belakang kepalanya ada kenop untuk membuka jendela. Angkot sudah ber­ja­lan memang. Tapi Ali tidak keberatan untuk tetap meng­ge­linding melalui lubang di belakangnya, yang akan se­ge­ra ia buka… Bagaimana lagi cara untuk melarikan diri da­ri cewek-cewek ini?—plus satu cowok, o ya, Lindung itu cowok!

Satu-satunya penawar gelisah bagi Ali cuman ce­wek yang duduk di hadapannya, tidak persis, namun Ali bi­sa melihat cewek itu dengan leluasa. Ia satu di antara dua cewek yang memilih untuk mengobrol dengan satu sa­ma lain, alih-alih menambah hingar-bingar lalu lintas. Su­dah paling anteng, manisnya murni tanpa sakarin pula. Ti­dak pernah bolos “piket”.

“Mau ke mana sih?” tanya Ali lagi begitu mereka tu­run dari angkot. Ampun dekat begini saja pakai ang­kot, ratap Ali, jalan saja dua puluh menit sampai! Tapi ti­dak pantas Ali mengeluh secara ia belum mengeluarkan se­lembar uangpun dari kantong manapun baik dari se­ra­gam maupun ranselnya. Sekali lagi Titew coba me­nga­it­kan lengannya dengan lengan Ali, Ali sontak menarik le­ngan­nya sambil menggeram. Cewek itu hanya tertawa, di­timpali tawa Fika dan  Nilam.

“Ih si Bos, masih aja alergi sama cewek. Kapan pu­nya ceweknya dong, Bos?”

“Kapan kalian bisa berhenti kegatelan sama saya sih?”

“Sampai si Bos punya cewek dong. Nah kalo udah gitu kan mana berani kita?” celetuk Fika.

“Ah, enggak ada itu cewek-cewekan.”

“Ih si Bos sok alim ya, sok alim…” tuding Ni­lam.

“Makanya si Bos nongkrongnya di masjid aja se­ka­lian deh, biar kita percaya. Entar kan kita jadi takut de­ket­in si Bos lagi. Bisa-bisa kepanasan kita,” sahut Titew. Ali bersyukur kali ini cewek itu sudah jaga jarak. Saat me­masuki kafe pun ia tidak memilih tempat duduk di sam­ping Ali.

Ali agak lega saat Indah yang duduk di samping ka­nannya—cewek itu lumayan anteng, nomor dua se­te­lah Rieka—tapi hanya beberapa detik. Lindung meng­gan­tikan Indah, membuat Ali agak berjengit. Apalagi sa­at Nilam tiba-tiba bilang, “Eh iya, hari ini siapa yang pi­ket jadi pacarnya bos kita?”

“Tanggal berapa sih sekarang?” tanya Fika.

“Empat belas,” seseorang menjawab.

“Ih aku dong kalo gitu…” sambut Lindung. Ia meng­alihkan tatapannya sejenak dari android yang ber­co­kol di kedua belah tangannya, lalu menoleh pada Ali dan tersenyum. Ali tidak membalas—tidak tahu harus mem­balas dengan respons yang bagaimana.

Sejak mula jadi bawahan Ali, ketujuh anak itu se­pa­kat untuk membagi tugas piket. Yang piket wajib standby bersama si bos di sekre. Tidak ada satupun dari ke­tujuh anak itu yang betah lama-lama di sekre, tapi ha­rus ada yang meladeni si bos. Karena mereka bertujuh, se­dang jumlah hari bisa dalam sebulan bisa mencapai 31, ma­ka ada setidaknya tiga orang yang mendapat jatah pi­ket tiga kali dalam sebulan. Tiga orang yang malang itu, se­cara berturut-turut adalah Sheila, Rieka, dan Titew. Be­runtung bagi ia yang mendapat tanggal piket di hari Ming­gu atau tanggal merah. Barangsiapa yang piket ma­ka ia yang disebut sebagai “pacar” Bos Ali pada hari itu. Ten­tu saja mereka menyepakati ini tanpa omong-omong de­ngan si bos, meski lama-lama si bos ngeh jua. Masa bo­doh dengan piket-piketan, kalau Ali lagi butuh semua, ma­ka semua harus hadir, bukan cuman yang lagi piket. Se­mua sudah tahu bagaimana rasanya didamprat si bos, apa­lagi sejak mading kembali terbit seminggu sekali.

Semua telah mendapat kursi masing-masing. Di te­ras samping kafe mereka mengelilingi dua meja yang di­dempetkan.

“Bos, Bos mau apa nih, Bos?” Fika menyodorkan daf­tar menu.

“Pilihin aja.”

“Tuh, udah aku duga. Si Bos mah sok gitu da,” sa­hut Nilam. Cewek satu ini sebetulnya yang paling do­yan coba-coba menggelitiki Ali. “Bos tuh orangnya ter­la­lu serius. Yang cair dong Bos… Kan udah enak se­ka­rang, enggak dikejar-kejar deadline lagi…”

“Eh Bos, tahu enggak, sebenernya sekarang She­i­la ultah loh…” Indah menggoncang-goncang pundak ce­wek yang duduk tepat di hadapan Ali. Cewek itu cengar-ce­ngir.

“Oh. Selamat ya Shel.” Ali menjabat tangan Shei­la.

“Makasih, Bang.” Cewek itu mengangkat alis.

“Gimana sih, yang ulang tahun siapa, yang di­ka­sih kejutan kok malah si Bos, bukan yang ultah,” sahut Ni­lam dengan nada sok menggerutu.

Mereka tertawa. Ali ikut juga, meski tidak lebar-le­bar. Sepertinya ia barusan disindir karena tidak hapal ulang tahun anak buah sendiri, padahal saat ia ulang ta­hun yang ke-18—baru beberapa bulan lalu—mereka pa­tung­an untuk memberi Ali kado.

“Iyaa… Makanya Bos enggak usah mikir-mikir ang­garan lagi deh. Semua rebes dari kantong Sheila sen­di­ri!” seru Fika.

Makanan dan minuman mulai berdatangan, di­ser­tai sebuah tart ukuran sedang dengan lilin berbentuk ang­ka satu dan enam, perayaan dimulai. Ali sudah me­nyo­dorkan tangan, hendak menyambut kamera digital Fi­ka. Bos kamu ini sudah biasa jadi juru potret kok, ayo se­rahkan! Tapi protokol acara hari itu menyatakan bah­wa si bos diharamkan memegang apapun yang me­mung­kin­kannya untuk keluar dari kepungan.

Bagaimanapun sebetulnya para anak buahnya ini ada­lah cewek-cewek—plus cowok—yang perhatian, dan ta­hu cara merawat diri, asal tidak sedikit-sedikit main sen­tuh saja. Lindung dengan suara khasnya yang rada se­ngau. Indah yang ternyata ketua LITERASON, dengan ce­wek itu Ali paling nyambung. Titew yang mulai kipas-ki­pas. Nilam yang entah masih aktif di LEMPERs atau ti­dak. Fika yang nyanyiannya paling membahana. Sheila yang paling banyak sampingan di luar LEMPERs tapi te­tap sok asyik. Rieka yang kalem lagi menawan, sigap, dan manis seperti… madu, ah, ya, manis yang bukan bu­at­­an, bikin lengket pula—para cowok SMANSON. Sa­yang ia lengser dari LEMPERs, malah fokus di OSIS. Apa­kah pacarnya masih si Dendeng itu? Ali sudah me­ra­sa jauh lebih baik kini, berada di tengah anak-anak susah di­atur ini, apalagi karena Rieka yang duduk di samping ki­rinya.

Ali ingin mendengarkan cerita Rieka tentang si Den­deng pada Titew, tapi candaan Nilam, Lindung, dan la­in-lain begitu meriah. Ali bingung siapa di antara Ni­lam, Fika, dan Lindung yang harus ia simak betul. Se­mua berebut bicara. Sheila dan Indah lebih sering me­nim­pali. Sempat ada jeda, sehingga obrolan Rieka dan Ti­tew terdengar. Fokus pembicaraan beralih pada Ri­eka—eh si Dendeng. Para cewek membicarakan betapa si pesolek itu tampak luar biasa tampan sejak jadian de­ngan Rieka. Cewek itu tersipu-sipu. Mereka mem­bi­ca­ra­kan gaya berpakaian si Dendeng di luar sekolah kini, se­hing­ga Ali merasa harus tukar duduk dengan Lindung. Co­wok itu amat berminat untuk nimbrung, dan posisi Ali ha­nya menghalanginya. Dengan senang hati Lindung me­nyambut saat Ali menawarkan.

Di samping kanan Ali kini satu set bangku untuk em­pat orang, kosong. Mengingatkan Ali pada sebuah per­pustakaan, bukan perpustakaan yang sebenarnya, me­la­inkan perpustakaan yang berada dalam kepala se­se­o­rang. Perpustakaan yang hanya bisa Ali longok ketika mu­lut itu mulai mencomel.

“He, Abang.” Bibir Sheila berlumuran krim tart. Ali tergeragap. Sayup-sayup keriuhan di sisi kirinya me­mu­dar. “Lagi mikirin cewek yaa?”

Ketika Ali menoleh, berpasang-pasang bola mata su­dah tertaut padanya. Seperti yang tidak pernah lihat Ali melamun saja mereka ini.

“Apa?”

“Ayolah, Bos, cerita-cerita aja sama kita… Kita kan pinter jaga rahasia, namanya juga jurnalis Bos… jur­na­lis sekolahan… Kepercayaan narasumber itu utama, gi­tu kan kata Bos sendiri?” ucap Nilam kenes.

“Iya, siapa sih nih Bos… Masak udah tua enggak ca­ri-cari jodoh juga sih?” gempur Fika seraya mencocol tem­pe ke sambal kangkung.

“Mikirin cewek yaa…” Sheila mendorong lengan Ali dengan tangannya yang masih bersih dari krim.

“Enggak…” elak Ali.

“…huu… enggak salah…”

Memang bayangan cewek itu sempat hinggap da­lam benak Ali, tapi yang kemudian Ali lihat adalah bu­ku. Banyak buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain