Cewek yang menyimpan
perpustakaan di kepalanya. Begitu banyak buku di dalamnya.
Buku. Sudah begitu lama
Ali tidak membaca buku, Ali rindu baca buku, pada jam istirahat, di kelas.
Suara cewek itu tidak
terdengar senyaring dulu, tapi itu lebih karena jarak di antara mereka tiga
bangku jauhnya. Dulu hanya ruang selebar kurang lebih setengah meter. Sekali
Ali menoleh. Pandangannya hinggap lagi ke buku di pangkuannya. Ali bahkan tidak
duduk di bangkunya sendiri. Ia pindah ke bangku sebelah sehingga bisa
membaca sambil menyandarkan separuh tubuhnya ke dinding. Pemandangan di sisi
kanannya tampak begitu benderang, karena cahaya matahari menerjang dari arah
sana. Cahaya yang dulu menyirami rambutnya, wajahnya, kini menyinari cewek
itu. Ada temannya juga sih, si Regi, tapi yang Ali tuju cuman cewek itu.
Mana tulisanmu lagi?
Balai bacaan, Zia,
balai bacaan. Kamu mau kan ke balai bacaan saya? Masak enggak ingat sih, kapan
itu kan saya pernah cerita sama kamu. Di kios paman saya, di Palasari. Kamu
hilang ingatan, Zia?! Dalam benaknya Ali mengguncang-guncang tubuh cewek
itu—hal yang tak akan pernah Ali berani lakukan di alam nyata.
Di balai bacaan itu,
Zia, perbendaharaanmu bakal bertambah. Kamu bisa memamerkan lebih banyak lagi
judul dan pengarang saat berbicara dengan temanmu si Regi itu, juga
melimpahkan referensi yang lebih luas bagi para LITERASONmania yang
kelihatannya masih pada awam-awam itu. Kamu sudah kenal Iwan Simatupang belum?
Mana ada karyanya beredar di pasaran kini? Edisi pertama Godlob—Danarto? Trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk yang belum dijadikan satu buku—sebagaimana yang pernah kamu
pinjamkan pada Regi? Apa lagi… Ali mengingat-ingat. Olenka? Rafilus? Kamu
pasti belum kenal Budi Darma juga kan?
Sudah Ali, daripada
meracau sendiri, lebih baik kamu langsung mendekati cewek itu. Serahkan
tulisan yang sudah kamu siapkan dari kapan itu. Kapan lagi? Bisa saja tiga
detik lagi cewek itu dan temannya marahan, lalu tidak pernah kembali ke kelas
ini? Apa kamu bakal lebih bernyali untuk mendatanginya langsung di XII IPA 8
seperti kapan itu? Buat apa? Buat apa coba? Kamu pasti bakal bertanya-tanya
seperti itu, dan lagi-lagi urung. Sampai kapanpun tidak jadi. Dan entah sampai
berapa lama lagi kamu bakal tersiksa seperti ini, berkhayal sendiri, seperti
orang bingung. Orang bingung!
Ali meletakkan sebuah
bundelan tipis di atas meja, di antara Zia dan Regi. Untung ada barang itu!
Kalau tidak, Ali punya alasan apa lagi untuk mendekati Zia? Huh habis ini Ali
mau main badminton saja sepuasnya, dan tidak hirau lagi sama cewek—cewek
manapun. Zia itu cewek, bukan buku—buku-buku, makin hari makin terasa demikian
adanya. “Nih. Tulisan kamu.”
Dua cewek itu kompak
menoleh pada Ali, lalu pada tiga-lembar-kertas-HVS-distaples yang diangkat
Zia.
“Ya ampun. Aku udah
hampir lupa loh.”
“Sori yah.”
Cewek itu terpana
mendapati sengkarut tulisan tangan Ali di atas tulisan-ketiknya. Kok lama. Heh
Regi kasih topik apa dong, biasanya kamu komunikatif. Ali tidak mau dibiarkan
berdiri saja lebih lama, tanpa kata apapun keluar dari mulutnya.
“Li.”
“Ya?”
Regi yang panggil, tapi
tidak apa.
“Liat LKS Ekonomi dong…
Saya belum ngerjain hehehe.” Cewek itu menjulurkan lidah.
Setelah memberikan LKS
Ekonomi pada Regi, Ali kembali ke bangkunya sendiri. Pandangan Zia masih mencermati
isi kertas. Ali memandang untuk terakhir kali. Setelah itu bel tanda jam
istirahat berakhir berdendang. Percuma saja menengok ke arah Zia lagi, cewek
itu tidak akan lebih lama di kelas ini. Tidak akan cukup waktu untuk
menghampiri bangku Ali, bahkan sejenak, untuk memperdengarkan ocehannya.
.
Ali terkapar di lantai
stadion. Cuman capek. Hampir setengah jam penuh ia mengayunkan raket ke sana
ke mari. Langkah tidak banyak wira-wiri, tapi posisi bertahan yang salah bikin
urat tegang. Bagaimanapun juga hari ini adalah kegemilangan baginya, makanya.
Biasanya ia main tidak lama, lebih karena skor yang rendah alih-alih aturan
untuk beri giliran pada yang lain. Tapi hari ini semua yang bertanding
dengannya dapat takluk.
Hari ini juga ia
berusaha melupakan kemungkinan cewek itu datang ke XII IPS 1… mungkin untuk
memperlihatkan tulisannya yang baru, mungkin, mungkin, mungkin… Ali ingin
lebih lama tiduran di stadion saja. Tidak mengerti kenapa ia ingin menghindari
cewek itu. Kenapa ya? Kenapa sih? Tidak ada apa-apa kok. Ali menimbang-nimbang
apakah cewek itu membuatnya muak. Muak? Kenapa harus muak? Malah ia yang mengasah
kemampuan Ali dalam menyunting. Ia yang bikin Ali mengenal bacaan yang lain
dari yang biasa Ali konsumsi. Kenapa sih? Kenapa ya?
Besok ia akan mendekam
lagi di kelas ah.
Tapi olahraga kan
sehat.
Ali bangkit. Ia
mencari-cari jam dinding. Wah. Mestinya pelajaran Akuntansi sudah lima menit
dilangsungkan, kalau gurunya tidak korupsi waktu. Mana ia masih pakai kaos
pula. Belakangan ini Ali sadar untuk tidak mencemari udara kelas pada jam-jam
pelajaran sehabis istirahat, jadi ia mengganti atasan seragamnya dengan kaos
saat hendak beraksi di stadion. Setelah mengganti pakaiannya lagi, Ali merasa
badannya tetap bau. Yang terbawa bukan deodoran, tapi wadah sabun yang biasa
ia bawa kalau hendak berenang. Kawan-kawan sudah pada pamit ke kelas
masing-masing. Mari mandi di sekolah dan mabal saja deh, yuk, hal yang tidak
pernah Ali lakukan sebelumnya. Setidaknya ia akan menghadapi pelajaran
berikutnya dalam keadaan lebih segar.
Ali menyusuri koridor
sembari menenteng kaos yang terlipat. Wadah sabun menonjol dari dalam saku celana.
Ali mengirim sms pada teman sebangkunya untuk menyembunyikan ranselnya—bukan
lagi si Anwar, syukur…—daripada Bu Dedeh nanti tanya-tanya, “tasnya ada,
orangnya ke mana?”
Melewati toilet cewek
langkah Ali terhenti. Toilet di SMANSON memang masih kurang dari layak, sedang
kantin sudah ngabibita demikian rupa. Bilik-bilik toilet yang tidak ditutupi
oleh dinding memperlihatkan kloset-kloset yang menganga. Tapi bukan itu yang
jadi perhatian Ali. Sebuah cermin pada dinding di antara dua bilik, seorang
cewek sedang bercermin di sana.
“Zia?” panggil Ali.
Cewek itu menoleh. Tisu
di pipi kanannya.
“Kenapa?
“Enggak asyik banget.
Jerawat aku pecah pas Fisika. Momentumnya enggak pas buat ngeluarin fluida macam
gini.”
“Oh.” Sebagaimanapun
wajah Ali berjerawat, untungnya bukan tipe jerawat yang bisa meletupkan lahar
sewaktu-waktu. Mereka cuman bukit-bukit kecil. Beberapa lembar poni cukup
untuk menutupi.
Ali mau melangkah lagi.
Kakinya tidak bisa digerakkan. Aduh. Aduh. Aduh.
“Eh Ali.”
“Ya?”
Dari mata turun ke
tangan.
“Apaan tuh?”
“Kaos.”
“Ho?”
“Habis pingpong.”
“Hm…”
Mereka sudah saling
memunggungi. Ali sudah bisa mengangkat kakinya.
“Eh Ali.”
Sontak Ali berbalik.
“Ya?”
“Balai bacaan kamu tea di mana sih?”
Ali tidak lagi
merasakan lengket di badannya. Ia menyebutkan daerah di mana rumahnya berada.
“Oh. Itu teh buat umum?”
“Enggak juga sih.
Orang-orang yang kenal aja yang suka main ke sana. Mau main?”
“Hm…” Cewek itu
mengerutkan dahi. Hidungnya juga ikut berkerut. “Mau-mau aja sih. Tapi aku
kan enggak tahu arahnya ke sana, naik angkot apa, jalan masuknya…”
“Bareng saya aja.
Sekalian pulang.”
“Oh. Gitu?” Wajah cewek
itu agak cerah, meski dengan tisu yang ditekan-tekan ke pipinya. “Kapan?”
“Terserah. Hari ini
juga boleh.”
“Mmm… Enggak ah. Besok
Kimia euy, ulangan. Kamu enggak
sibuknya kapan aja?”
Jangan tanya soal
kesibukan sama orang yang dicurigai mengidap post power syndromme. Itu hanya mengingatkan Ali untuk meninjau
sekre LEMPERs lagi sepulang sekolah. Sudah terlalu lama sejak ia terakhir kali
melakukan itu. Semester ini belum sama sekali. Kalau begitu sepulang sekolah
ini Ali akan melakukannya.
“Nyantai weh.”
“Oke. Entar aku
samperin kamu aja deh pas udah enak waktunya.”
“Sip.”
“Duluan Li!”
“Yo!”
Ali tidak ingin mandi
lagi. Cewek itu sudah menyegarkannya. Tapi ke mana Ali harus menunggu sampai
pelajaran Akuntansi berakhir? Ingin mengajak cewek itu main pingpong, tapi
sosoknya sudah semakin jauh… meski dekat kembali terasa.
.
Rumah Ali terasa jauh.
Jalan Soekarno-Hatta begitu panjang. Dua kali ganti angkot pula. Perjalanan
dengan angkot kedua menghabiskan waktu lebih lama. Tapi tidak terasa, sudah
setengah jam lebih mulut banyak terbuka.
“…ciri khasnya si Om
Arry Risaf Arisandi itu, dia tuh kalau menuturkan suatu hal, pasti diakhirin
sama kesimpulan yang enggak terduga gitu. Makanya lucu. Kalau menurut aku Drop Out sama XX yang terbaik. Cewephobia
sama Metal vs Dugem rada kurang
gimana gitu…”
“…bukunya Djumhur sama
Danasuparta bisa jadi pengantar sebelum baca bukunya Nasution. Di situ diterangin
juga pendidikan kita sebelum zaman Belanda itu gimana. Tinjauan umum aja sih.
Bahkan termasuk di beberapa negara Asia-Afrika juga ada, sama negara-negara
Barat. Kalau mau ngelengkapin data sekolah apa aja yang pernah dibangun juga
bisa dari sana…”
“…menurut aku dia itu
pengarang komedi yang berhasil loh. Banyak banget fiksi komedi yang udah terbit,
tapi yang bener-bener ngerti gimana cara nyusun kata biar lucu tuh… ya aku
baru nemu Om Arry itu aja sih…”
“…menarik kalau kita
lihat, rentang sistem sekolahan Belanda itu mungkin baru berjalan sekitar
1,5 abad, tapi udah cukup buat ngebentuk generasi intelektual di negara
kita, yang akhirnya malah berbalik melawan Belanda sendiri. Ini sebetulnya
yang ditakutin sama Belanda….”
“…omongan kita kok
kayaknya enggak nyambung ya?”
“Saya enggak ngerti
kamu ngomong apa.”
“Tapi kita terus aja
ngomong…”
“Heh. Iya.”
“He, aneh.”
Beberapa kemudian Ali
kiri-kiri.
“Masih jalan lagi loh.”
Tadinya Ali tidak ingin memperingatkan begitu. Tapi mendadak ia merasa perlu
untuk mengecek suasana hati cewek itu. Ali jarang membawa teman ke rumah.
Yang Ali ingat dari pengalaman membawa teman ke rumah ialah keluhan karena
harus jalan kaki meski lima menit saja. Siang pula. Panas pasti, kering
apalagi. Memangnya Lembang? Ini titik terendah di Bandung, Bung!
“Enggak apa-apa,” sahut
cewek itu walaupun pelipisnya sudah basah. Semangat amat mau ketemu buku-buku.
Bahkan cewek itu pula yang berinisiatif mendatangi Ali di XII IPS 1, sekadar
untuk melapor bahwa sepulang sekolah ini adalah hari yang tepat untuk main ke
balai bacaan—meski itu memang yang Ali tunggu-tunggu. Semoga nanti Zia tidak
kecewa. Jumlah bukunya kurang banyak, atau ternyata ia tidak sebegitu berminat
pada fiksi lawas. Wah iya bagaimana dong?
Sudah terlanjur. Jalan
saja.
Ali mempertimbangkan
apakah cewek itu mau diajak membicarakan perkembangan paham liberalisme. Tapi
Ali dengar cewek itu asyik bersenandung sembari menendangi kerikil di jalanan
berdebu. Senandungnya teredam mobil-mobil yang berseliweran, tapi kalaupun terdengar
jelas Ali tidak peduli itu lagu apa. Ia malah menduga-duga apakah Zia si anak
IPA ini tahu partikel apa saja yang terdapat dalam udara yang mereka hirup. Cewek
itu balas memandangnya. Ali tersenyum, lalu menunduk.
Mereka memasuki jalanan
yang lebih tenang, bukan lagi jalur utama lintasan kendaraan. Zia bertanya musik
apa yang Ali suka.
“Enggak tahu.”
“Kamu enggak suka
dengerin musik?” Nada Zia seperti yang tidak percaya.
Ali menggeleng, tapi
tidak yakin apakah itu respons yang tepat. Zia terlihat begitu miris padanya.
Jadi kriteria hidup yang basah adalah fiksi dan musik? Hidup cewek itu pasti
becek sekali. Ali harus panggil tukang ojek sebelum hujan.
Ali mempercepat langkah
begitu tinggal beberapa meter dari depan rumah. Zia mengekor. Rumah itu tidak
berhalaman. Tepinya warung, lalu lorong sempit dan pendek untuk memasuki
rumah, sedang selebihnya adalah dinding jendela. Warung dan lorong berlantaikan
semen, sedang area di sampingnya masih dilapisi ubin hitam. Mebel di dalamnya
sebagaimana yang dapat dijumpai di film-film Rano Karno saat belia.
Di ambang pintu alas
kaki dicopot. Ali masuk lebih dulu, begitu saja. Sepi. Bahkan warung tidak ada
yang menjaga. Ali belum sampai ke ruang tengah,
“Assalamualaikum,”
sahut Zia.
“Waalaikum salam,”
jawab Ali kagok. Ketahuan nih bukan keluarga religius.
Ali tidak melanjutkan
langkah lagi. Cewek itu pun begitu. Beberapa langkah dari ambang pintu kakinya
yang dilapisi kaos kaki putih itu bak dilem. Pandangannya terpaku pada
deretan rak di seberang ruangan. Warna-warni judul buku dan latarnya
menyambut. Ali hapal seharusnya ada 505 buku di sana. Tiga belas berada di kamarnya,
tiga sedang dipinjam mahasiswa Om Nugraha yang wartawan sekaligus dosen itu,
satu dibawa Om Wendo, lima belum dikembalikan Tante Lalik, sedang ada sekitar
tujuh atau delapan yang entah dipinjam siapa. Paling sebal kalau ingat yang
terakhir itu. Kalau pinjam buku tuh sadar diri untuk mengembalikan dong. Tapi
lebih goblok lagi yang meminjamkan—ada yang pinjam kok lupa dicatat, sudah
tahu barang yang dipinjamkan itu berharga.
“Sini.” Ali meraih
pergelangan tangan cewek itu. Segera melepasnya begitu bagian dalam ruang
tengah terlihat dari titik mereka berpijak. “Fiksi di sebelah sini.”
Cewek itu masih
bungkam. Loncat-loncat kek, apa kek. Biasa berisik kan. Ali heran. Tapi ia mendahului
maju ke ruang tengah. Ia sudah capek memanggul ransel sejak hampir sejam ini.
Ia taruh ransel pada salah satu kursi di tengah ruangan, sedang ia sendiri
duduk di kursi lain. Sembari mencopot kaos kaki, ia amati Zia yang bergerak
pelan-pelan. Mulai tersenyum-senyum sendiri pada rak terdekat. Berjongkok.
Mengamati.
Tanpa lapor Ali meninggalkan
cewek itu di ruang tengah. Lagipula dekat kok jarak antara ruang tengah dengan
kamar mandi. Sekalian Ali ke sana untuk mencari Ibu atau siapa. Opung sudah
pasti lagi tidur siang di kamarnya di pojok dapur, tidak usah dicek. Waktu
zuhur masih setengah jam lagi.
Ibu tidak ditemukan.
Pintu kamar Ali tepat di samping rak yang masih saja diamati Zia. Masih juga
dengan posisi jongkok.
“Kamu salat enggak
Zia?” Ali berdiri di depan pintu kamarnya seraya memperbaiki lipatan celana
abu-abu.
Zia mendongak dengan
senyum. “Udah tadi di sekolah.”
Masuklah Ali ke dalam
kamar. Langsung tutup pintu, jangan sampai isi kamarnya yang suram itu terintip.
Selain itu tempat tidur Ali sih rapi-rapi saja, tapi bagian bawahnya—area
tidur Aziz—belum dibereskan oleh yang harusnya bertanggung jawab. Aduh. Tadi sebelum
ia ke kamar, pintunya tidak tertutup. Zia sempat mengintip tidak ya. Sudahlah.
Ali mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana panjang, yang baru dicuci dan
disetrika rapi tentu saja. Yang dipakai tadi pagi ia campakkan ke sudut
kamar—di mana pakaian kotor biasa mendapatkan tempatnya—padahal baru dua hari.
Biasanya empat sampai tujuh hari, lebih sering lagi sampai ada orang rumah
yang mengingatkannya untuk ganti pakaian.
Begitu Ali keluar kamar,
tidak lupa dengan menutup pintu, cewek itu masih di depan rak yang sama. Sudah
tidak jongkok, tapi duduk di lantai. Masih ada rak-rak lainnya loh. Kamu
berminat baca Bobo edisi tahun di
mana kamu belum lahir enggak, Zia? Ada 496 item bacaan di ruangan ini, Ali tahu
betul, sudah termasuk yang lagi dipinjam dan yang hilang.
Rupanya di samping
cewek itu telah menumpuk beberapa buku. Tidak terlihat oleh Ali sebelumnya,
sampai cewek itu menyingkir sedikit dari pijakannya semula.
Cewek itu tersenyum.
“Putu Wijaya.” Ia menepuk-nepuk tumpukan buku di sampingnya itu. “Kenapa ya,
Putu Wijaya itu kalo ngasih judul buku-bukunya tuh suka pendek-pendek gitu? Teror, Bom, apa deh.” Beberapa helai pada kunciran rambut cewek itu
keluar dari jalurnya. Entah sudah berapa kali cewek itu garuk-garuk kepala.
Ia mengambil lagi sebuah buku dari susunan di rak. Membolak-baliknya. “Heran
deh. Buku sebegini banyak tapi kamu enggak doyan fiksi?”
Ali tidak menjawab. Ia
ikut berjongkok di dekat Zia, mengambil satu buku secara acak, lalu
melihat-lihat bagian dalamnya. Bukannya ia tidak doyan, ia cuman kurang punya
ketahanan untuk menghabiskannya. Tidak sebagaimana nonfiksi. Tiap orang punya
preferensi masing-masing toh. Apalagi dengan pilihan yang begitu ba-nyak. Tidak
usah berdebat lagi, Zia. Maka Ali pun anteng.
“Eh, ini buku-bukunya…
punya kamu semua?” tanya Zia. Suaranya memelan, hampir bisikan.
“Punya Bapak sama Ibu…
Punya Mamang juga ada sih.” Lalu saking banyaknya buku mereka apabila dikumpulkan,
akhirnya dibuat semacam balai bacaan ini. Eksistensinya disebarkan hanya
melalui mulut ke mulut. “Yang dikasih juga ada.” Kepala Ali menengok ke sisi lain
ruangan. Pernah ada anak-anak KKN yang mangkal di sini, lalu memberikan
sumbangan buku anak-anak.
“Yang punya kamu?”
“Ada sih beberapa…”
Sampai SMP Ali masih doyan beli komik sesekali, Naruto dan One Piece misalnya,
meski dengan nomor yang acak. Kadang Aziz yang beli. Fathim juga. Tapi ketiga
bersaudara lama-lama berpikir bahwa sebaiknya mereka tidak perlu lagi menambah
jumlah buku di rumah.
“Boleh dipinjem enggak
sih, buku-buku di sini?” tanya cewek itu dengan hati-hati.
“Bisa,” jawab Ali.
“Ada syaratnya gitu
enggak?”
“Kita bukan profesional
sih…” Biasanya yang pinjam adalah orang-orang yang sudah dikenal dengan baik.
Kalau tidak begitu, kartu identitas diminta jadi jaminan. Setiap peminjaman
dan pengembalian dicatat dalam buku folio di meja samping komputer. Tapi
karena Zia teman Ali, yang Ali sudah tahu bagaimana perhatian cewek itu
terhadap buku, “kalau mau pinjem, pinjem aja.”
“Bayar enggak?”
“Enggak usah…” ujar Ali
dengan nada menggampangkan.
“Maksimal berapa?”
“Semampunya kamu bawa.”
Ali terkesima akan
kemampuannya sendiri untuk membuat Zia terkekeh. Setelahnya terdengar hembusan
napas cewek itu. Cuping hidung yang mengembang. Duduk bersila, sambil
tersenyum Zia mulai menekuri salah satu buku dari tumpukan di sampingnya.
Ali pun beranjak.
Biarkan Zia larut dalam keterpukauannya, sebaiknya Ali menghabiskan hari sebagaimana
biasa. Tiduran di kamar sambil baca buku? Tidak mungkin, lagi ada tamu. Ali
ingin mencari Ibu. Tapi Ali ingin menjaga Zia dari sergapan Opung, kalau
tahu-tahu lelaki tua itu bangun. Entah apa cewek itu bakal ngeri dengan
lengan Opung yang tinggal separuh. Maka singgasana Ali pindah siang itu dari
tempat tidur ke salah satu kursi di ruang tengah. Tidak senyaman biasa,
mulanya terasa begitu. Tapi cewek itu hening membaca. Ali pun demikian.
Bersama dalam satu ruangan, hanyut dalam keasyikan yang sama tapi
masing-masing. Ada lagikah yang lebih nyaman dari ini? Ali tidak bisa membaca.
Denyut jantungnya bikin ia susah berkonsentrasi.
Bahkan cewek itu
seperti tidak ngeh saat Ibu melintas di balik punggungnya. Memang keahlian
Ibu menapak lantai tanpa suara. Pandangan mata Ibu menanyakan sosok Zia
pada Ali.
“Zia,” panggil Ali.
“Eh—iya?” Cewek itu
tergeragap. Ia menoleh ke kanan-kiri dengan bingung. Punggungnya berbalik, berganti
wajah cewek itu yang Ali lihat. Tapi dengan cepat pula cewek itu sudah melihat
Ibu yang telah berlalu ke dapur.
“Ibu kamu?” tanya Zia
pelan.
Ali mengangguk.
“Aku… salam dulu enggak
ya?” Belum sempat Ali merespons, cewek itu keburu bangkit. Ali masih duduk,
ketika ia lihat cewek itu tersenyum ke arah dapur. Mungkin sudah bertukar
pandang dengan Ibu. Selanjutnya cewek itu tahu sendiri apa yang ia pikir
mesti ia lakukan.
“Temannya Ali?” suara
Ibu.
“Iya Tante…”
Zia kembali ke
tempatnya semula dengan kikuk. Ali geli. Cewek itu terus menuju kursi di
hadapan Ali, duduk di sana, meninggalkan tumpukan buku yang telah disusunnya.
Ali ingin lanjut membaca buku—mengumpulkan konsentrasi membaca buku. Tapi
dengan Zia yang diam begitu, jadi buyar sama sekali keping-keping konsentrasi
yang hendak direkat Ali. Cewek itu seperti tengah menatap dirinya, meski
bukan. Ali mengikuti arah sorot mata itu, o, rupanya.
Pada dinding di
belakang Ali, di atas rak-rak, tercantol foto-foto. Sebagian telah memudar
warnanya. Foto-foto Ali, Fathim, dan Aziz saat masih kecil yang diambil, dicuci,
dan dicetak sendiri oleh Bapak. Foto Ibu saat muda, mungkin hanya beberapa
tahun lebih tua dari Ali, menatap tajam, tak berwarna. Dan beberapa foto lain,
tapi tidak bisa dibilang banyak.
Zia mendekati foto Ali
dan Fathim dalam gaya yang ketinggalan zaman, sandal dengan lampu warna-warni
sedang jadi tren saat itu. Seorang lelaki di belakang mereka. “Ini papa
kamu?”
“Bukan. Paman.”
“Yang kemarin itu?” Zia
mengernyit. Bibir bawahnya agak maju.
“Iya.”
Entah di mana sekarang
Ibu menyimpan album-album, mungkin ada di bawah tempat tidurnya. Ada foto-foto
Bapak yang bisa dilihat, barangkali ingin mengenangnya. Yang Ali paling
ingat adalah foto Bapak saat muda. Close
up. Hitam-putih. Rambut lurus belah pinggir nan mengkilat. Matanya bulat
besar dengan lipatan kelopak, agak sayu, demikian pula mata Ali.
Zia tidak tanya-tanya
lagi. Padahal kalau Zia mau tanya soal papa Ali, Ali bisa cerita. Papa Ali
wartawan, doyan bercerita, bertualang, pemberani. Tidak seperti Ali yang malas
buka mulut, segan sama cewek. Sudah itu saja, itu saja ternyata yang Ali bisa
ceritakan tentang papa Ali.
Aziz melintasi ruang
tengah sambil menyeret ransel. Atasan seragamnya utuh di luar celana pendek merah.
Ia melihat pada Zia sekilas.
Agaknya ngeh, Zia
kembali duduk di hadapan Ali. Meski pandangannya masih terarah pada foto-foto.
“…siapa itu, Ibu?”
suara Aziz dengan intonasi khas preman, dilatari denting spatula dan wajan.
“…temannya Abang…”
suara Ibu sayup-sayup, nyaris tak terdengar saking tenang dan lembut.
“Abang tuh bawa-bawa
cewek ke rumah. Sudah mau kawin dia, Bu?” Aziz tiru-tiru logat Opung.
Sontak Zia menoleh ke
arah dapur. Ali melempar pandang ke langit-langit. Begitu Zia pulang Ali akan
menggampar Aziz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar