Jumat, 24 Agustus 2012

12

Cewek yang menyimpan perpustakaan di ke­pa­la­nya. Begitu banyak buku di dalamnya.

Buku. Sudah begitu lama Ali tidak membaca bu­ku, Ali rindu baca buku, pada jam istirahat, di kelas.

Suara cewek itu tidak terdengar senyaring dulu, ta­pi itu lebih karena jarak di antara mereka tiga bangku ja­uhnya. Dulu hanya ruang selebar kurang lebih setengah me­ter. Sekali Ali menoleh. Pandangannya hinggap lagi ke buku di pangkuannya. Ali bahkan tidak duduk di bang­kunya sendiri. Ia pindah ke bangku sebelah se­hing­ga bisa membaca sambil menyandarkan separuh tu­buh­nya ke dinding. Pemandangan di sisi kanannya tampak be­gitu benderang, karena cahaya matahari menerjang da­ri arah sana. Cahaya yang dulu menyirami rambutnya, wa­jahnya, kini menyinari cewek itu. Ada temannya juga sih, si Regi, tapi yang Ali tuju cuman cewek itu.

Mana tulisanmu lagi?

Balai bacaan, Zia, balai bacaan. Kamu mau kan ke balai bacaan saya? Masak enggak ingat sih, kapan itu kan saya pernah cerita sama kamu. Di kios paman saya, di Palasari. Kamu hilang ingatan, Zia?! Dalam benaknya Ali mengguncang-guncang tubuh cewek itu—hal yang tak akan pernah Ali berani lakukan di alam nyata.

Di balai bacaan itu, Zia, perbendaharaanmu bakal ber­tambah. Kamu bisa memamerkan lebih banyak lagi ju­dul dan pengarang saat berbicara dengan temanmu si Re­gi itu, juga melimpahkan referensi yang lebih luas ba­gi para LITERASONmania yang kelihatannya masih pa­da awam-awam itu. Kamu sudah kenal Iwan Simatupang be­lum? Mana ada karyanya beredar di pasaran kini? Edi­si pertama Godlob—Danarto? Trilogi Ronggeng Dukuh Pa­ruk yang belum dijadikan satu buku—sebagaimana yang pernah kamu pinjamkan pada Regi? Apa lagi… Ali meng­ingat-ingat. Olenka? Rafilus? Kamu pasti belum ke­nal Budi Darma juga kan?

Sudah Ali, daripada meracau sendiri, lebih baik ka­mu langsung mendekati cewek itu. Serahkan tulisan yang sudah kamu siapkan dari kapan itu. Kapan lagi? Bi­sa saja tiga detik lagi cewek itu dan temannya marahan, la­lu tidak pernah kembali ke kelas ini? Apa kamu bakal le­bih bernyali untuk mendatanginya langsung di XII IPA 8 seperti kapan itu? Buat apa? Buat apa coba? Kamu pas­ti bakal bertanya-tanya seperti itu, dan lagi-lagi urung. Sampai kapanpun tidak jadi. Dan entah sampai be­rapa lama lagi kamu bakal tersiksa seperti ini, ber­kha­yal sendiri, seperti orang bingung. Orang bingung!

Ali meletakkan sebuah bundelan tipis di atas me­ja, di antara Zia dan Regi. Untung ada barang itu! Kalau ti­dak, Ali punya alasan apa lagi untuk mendekati Zia? Huh habis ini Ali mau main badminton saja sepuasnya, dan tidak hirau lagi sama cewek—cewek manapun. Zia itu cewek, bukan buku—buku-buku, makin hari makin te­rasa demikian adanya. “Nih. Tulisan kamu.”

Dua cewek itu kompak menoleh pada Ali, lalu pa­da tiga-lembar-kertas-HVS-distaples yang diangkat Zia.

“Ya ampun. Aku udah hampir lupa loh.”

“Sori yah.”

Cewek itu terpana mendapati sengkarut tulisan ta­ngan Ali di atas tulisan-ketiknya. Kok lama. Heh Regi ka­sih topik apa dong, biasanya kamu komunikatif. Ali ti­dak mau dibiarkan berdiri saja lebih lama, tanpa kata apa­pun keluar dari mulutnya.

“Li.”

“Ya?”

Regi yang panggil, tapi tidak apa.

“Liat LKS Ekonomi dong… Saya belum ngerjain hehehe.” Cewek itu menjulurkan lidah.

Setelah memberikan LKS Ekonomi pada Regi, Ali kembali ke bangkunya sendiri. Pandangan Zia masih men­cermati isi kertas. Ali memandang untuk terakhir ka­li. Setelah itu bel tanda jam istirahat berakhir ber­den­dang. Percuma saja menengok ke arah Zia lagi, cewek itu tidak akan lebih lama di kelas ini. Tidak akan cukup wak­tu untuk menghampiri bangku Ali, bahkan sejenak, un­tuk memperdengarkan ocehannya.

.

Ali terkapar di lantai stadion. Cuman capek. Ham­pir setengah jam penuh ia mengayunkan raket ke sa­na ke mari. Langkah tidak banyak wira-wiri, tapi posisi ber­tahan yang salah bikin urat tegang. Bagaimanapun ju­ga hari ini adalah kegemilangan baginya, makanya. Bi­a­sa­nya ia main tidak lama, lebih karena skor yang rendah alih-alih aturan untuk beri giliran pada yang lain. Tapi ha­­ri ini semua yang bertanding dengannya dapat takluk.

Hari ini juga ia berusaha melupakan ke­mung­kin­an cewek itu datang ke XII IPS 1… mungkin untuk mem­­perlihatkan tulisannya yang baru, mungkin, mung­kin, mungkin… Ali ingin lebih lama tiduran di stadion sa­ja. Tidak mengerti kenapa ia ingin menghindari cewek itu. Kenapa ya? Kenapa sih? Tidak ada apa-apa kok. Ali me­nimbang-nimbang apakah cewek itu membuatnya mu­ak. Muak? Kenapa harus muak? Malah ia yang meng­a­sah kemampuan Ali dalam menyunting. Ia yang bikin Ali mengenal bacaan yang lain dari yang biasa Ali kon­sum­si. Kenapa sih? Kenapa ya?

Besok ia akan mendekam lagi di kelas ah.

Tapi olahraga kan sehat.

Ali bangkit. Ia mencari-cari jam dinding. Wah. Mes­tinya pelajaran Akuntansi sudah lima menit di­lang­sung­kan, kalau gurunya tidak korupsi waktu. Mana ia ma­sih pakai kaos pula. Belakangan ini Ali sadar untuk ti­dak mencemari udara kelas pada jam-jam pelajaran se­ha­bis istirahat, jadi ia mengganti atasan seragamnya de­ngan kaos saat hendak beraksi di stadion. Setelah meng­gan­ti pakaiannya lagi, Ali merasa badannya tetap bau. Yang terbawa bukan deodoran, tapi wadah sabun yang bi­asa ia bawa kalau hendak berenang. Kawan-kawan su­dah pada pamit ke kelas masing-masing. Mari mandi di se­kolah dan mabal saja deh, yuk, hal yang tidak pernah Ali lakukan sebelumnya. Setidaknya ia akan menghadapi pe­lajaran berikutnya dalam keadaan lebih segar.

Ali menyusuri koridor sembari menenteng kaos yang terlipat. Wadah sabun menonjol dari dalam saku ce­lana. Ali mengirim sms pada teman sebangkunya un­tuk menyembunyikan ranselnya—bukan lagi si Anwar, syu­kur…—daripada Bu Dedeh nanti tanya-tanya, “tas­nya ada, orangnya ke mana?”

Melewati toilet cewek langkah Ali terhenti. Toi­let di SMANSON memang masih kurang dari layak, se­dang kantin sudah ngabibita demikian rupa. Bilik-bilik toi­let yang tidak ditutupi oleh dinding memperlihatkan klo­set-kloset yang menganga. Tapi bukan itu yang jadi per­hatian Ali. Sebuah cermin pada dinding di antara dua bi­lik, seorang cewek sedang bercermin di sana.

“Zia?” panggil Ali.

Cewek itu menoleh. Tisu di pipi kanannya.

“Kenapa?

“Enggak asyik banget. Jerawat aku pecah pas Fi­si­ka. Momentumnya enggak pas buat ngeluarin fluida ma­cam gini.”

“Oh.” Sebagaimanapun wajah Ali berjerawat, un­tung­nya bukan tipe jerawat yang bisa meletupkan lahar se­waktu-waktu. Mereka cuman bukit-bukit kecil. Be­be­ra­pa lembar poni cukup untuk menutupi.

Ali mau melangkah lagi. Kakinya tidak bisa di­ge­rak­kan. Aduh. Aduh. Aduh.

“Eh Ali.”

“Ya?”

Dari mata turun ke tangan.

“Apaan tuh?”

“Kaos.”

“Ho?”

“Habis pingpong.”

“Hm…”

Mereka sudah saling memunggungi. Ali sudah bi­sa mengangkat kakinya.

“Eh Ali.”

Sontak Ali berbalik. “Ya?”

“Balai bacaan kamu t­ea di mana sih?”

Ali tidak lagi merasakan lengket di badannya. Ia me­nyebutkan daerah di mana rumahnya berada.

“Oh. Itu te­h buat umum?”

“Enggak juga sih. Orang-orang yang kenal aja yang suka main ke sana. Mau main?”

“Hm…” Cewek itu mengerutkan dahi. Hi­dung­nya juga ikut berkerut. “Mau-mau aja sih. Tapi aku kan eng­gak tahu arahnya ke sana, naik angkot apa, jalan ma­suk­nya…”

“Bareng saya aja. Sekalian pulang.”

“Oh. Gitu?” Wajah cewek itu agak cerah, meski de­ngan tisu yang ditekan-tekan ke pipinya. “Kapan?”

“Terserah. Hari ini juga boleh.”

“Mmm… Enggak ah. Besok Kimia euy, ulangan. Ka­mu enggak sibuknya kapan aja?”

Jangan tanya soal kesibukan sama orang yang di­cu­rigai mengidap post power syndromme. Itu hanya meng­ingatkan Ali untuk meninjau sekre LEMPERs lagi se­pulang sekolah. Sudah terlalu lama sejak ia terakhir ka­li melakukan itu. Semester ini belum sama sekali. Ka­lau begitu sepulang sekolah ini Ali akan melakukannya.

“Nyantai weh.”

“Oke. Entar aku samperin kamu aja deh pas udah enak waktunya.”

“Sip.”

“Duluan Li!”

“Yo!”

Ali tidak ingin mandi lagi. Cewek itu sudah me­nye­garkannya. Tapi ke mana Ali harus menunggu sam­pai pelajaran Akuntansi berakhir? Ingin mengajak cewek itu main pingpong, tapi sosoknya sudah semakin jauh… me­ski dekat kembali terasa.

.

Rumah Ali terasa jauh. Jalan Soekarno-Hatta be­gi­tu panjang. Dua kali ganti angkot pula. Perjalanan de­ngan angkot kedua menghabiskan waktu lebih lama. Ta­pi tidak terasa, sudah setengah jam lebih mulut banyak ter­buka.

“…ciri khasnya si Om Arry Risaf Arisandi itu, dia tuh kalau menuturkan suatu hal, pasti diakhirin sama ke­simpulan yang enggak terduga gitu. Makanya lucu. Ka­lau menurut aku Drop Out sama XX yang terbaik. Cewephobia sama Metal vs Dugem rada kurang gimana gi­tu…”

“…bukunya Djumhur sama Danasuparta bisa jadi peng­antar sebelum baca bukunya Nasution. Di situ di­te­rang­in juga pendidikan kita sebelum zaman Belanda itu gi­mana. Tinjauan umum aja sih. Bahkan termasuk di be­be­rapa negara Asia-Afrika juga ada, sama negara-negara Ba­rat. Kalau mau ngelengkapin data sekolah apa aja yang pernah dibangun juga bisa dari sana…”

“…menurut aku dia itu pengarang komedi yang ber­hasil loh. Banyak banget fiksi komedi yang udah ter­bit, tapi yang bener-bener ngerti gimana cara nyusun ka­ta biar lucu tuh… ya aku baru nemu Om Arry itu aja sih…”

“…menarik kalau kita lihat, rentang sistem se­ko­lah­an Belanda itu mungkin baru berjalan sekitar 1,5 abad, tapi udah cukup buat ngebentuk generasi in­te­lek­tu­al di negara kita, yang akhirnya malah berbalik melawan Be­landa sendiri. Ini sebetulnya yang ditakutin sama Be­lan­da….”

“…omongan kita kok kayaknya enggak nyam­bung ya?”

“Saya enggak ngerti kamu ngomong apa.”

“Tapi kita terus aja ngomong…”

“Heh. Iya.”

“He, aneh.”

Beberapa kemudian Ali kiri-kiri.

“Masih jalan lagi loh.” Tadinya Ali tidak ingin mem­peringatkan begitu. Tapi mendadak ia merasa perlu un­tuk mengecek suasana hati cewek itu. Ali jarang mem­ba­wa teman ke rumah. Yang Ali ingat dari pengalaman mem­bawa teman ke rumah ialah keluhan karena harus ja­lan kaki meski lima menit saja. Siang pula. Panas pasti, ke­ring apalagi. Memangnya Lembang? Ini titik terendah di Bandung, Bung!

“Enggak apa-apa,” sahut cewek itu walaupun pe­li­pisnya sudah basah. Semangat amat mau ketemu buku-bu­ku. Bahkan cewek itu pula yang berinisiatif men­da­tangi Ali di XII IPS 1, sekadar untuk melapor bahwa se­pu­lang sekolah ini adalah hari yang tepat untuk main ke ba­lai bacaan—meski itu memang yang Ali tunggu-tung­gu. Semoga nanti Zia tidak kecewa. Jumlah bukunya ku­rang banyak, atau ternyata ia tidak sebegitu berminat pa­da fiksi lawas. Wah iya bagaimana dong?

Sudah terlanjur. Jalan saja.

Ali mempertimbangkan apakah cewek itu mau di­ajak membicarakan perkembangan paham liberalisme. Ta­pi Ali dengar cewek itu asyik bersenandung sembari me­nendangi kerikil di jalanan berdebu. Senandungnya te­redam mobil-mobil yang berseliweran, tapi kalaupun ter­dengar jelas Ali tidak peduli itu lagu apa. Ia malah men­duga-duga apakah Zia si anak IPA ini tahu partikel apa saja yang terdapat dalam udara yang mereka hirup. Ce­wek itu balas memandangnya. Ali tersenyum, lalu me­nunduk.

Mereka memasuki jalanan yang lebih tenang, bu­kan lagi jalur utama lintasan kendaraan. Zia bertanya mu­sik apa yang Ali suka.

“Enggak tahu.”

“Kamu enggak suka dengerin musik?” Nada Zia se­perti yang tidak percaya.

Ali menggeleng, tapi tidak yakin apakah itu res­pons yang tepat. Zia terlihat begitu miris padanya. Jadi kri­teria hidup yang basah adalah fiksi dan musik? Hidup ce­wek itu pasti becek sekali. Ali harus panggil tukang ojek sebelum hujan.

Ali mempercepat langkah begitu tinggal be­be­ra­pa meter dari depan rumah. Zia mengekor. Rumah itu ti­dak berhalaman. Tepinya warung, lalu lorong sempit dan pen­dek untuk memasuki rumah, sedang selebihnya ada­lah dinding jendela. Warung dan lorong berlantaikan se­men, sedang area di sampingnya masih dilapisi ubin hi­tam. Mebel di dalamnya sebagaimana yang dapat di­jum­pai di film-film Rano Karno saat belia.

Di ambang pintu alas kaki dicopot. Ali masuk le­bih dulu, begitu saja. Sepi. Bahkan warung tidak ada yang menjaga. Ali belum sampai ke ruang tengah,

“Assalamualaikum,” sahut Zia.

“Waalaikum salam,” jawab Ali kagok. Ketahuan nih bukan keluarga religius.

Ali tidak melanjutkan langkah lagi. Cewek itu pun begitu. Beberapa langkah dari ambang pintu kakinya yang dilapisi kaos kaki putih itu bak dilem. Pan­dang­an­nya terpaku pada deretan rak di seberang ruangan. War­na-warni judul buku dan latarnya menyambut. Ali hapal se­harusnya ada 505 buku di sana. Tiga belas berada di ka­marnya, tiga sedang dipinjam mahasiswa Om Nugraha yang wartawan sekaligus dosen itu, satu dibawa Om Wen­do, lima belum dikembalikan Tante Lalik, sedang ada sekitar tujuh atau delapan yang entah dipinjam siapa. Pa­ling sebal kalau ingat yang terakhir itu. Kalau pinjam bu­ku tuh sadar diri untuk mengembalikan dong. Tapi le­bih goblok lagi yang meminjamkan—ada yang pinjam kok lupa dicatat, sudah tahu barang yang dipinjamkan itu ber­harga.

“Sini.” Ali meraih pergelangan tangan cewek itu. Se­gera melepasnya begitu bagian dalam ruang tengah ter­lihat dari titik mereka berpijak. “Fiksi di sebelah sini.”

Cewek itu masih bungkam. Loncat-loncat kek, apa kek. Biasa berisik kan. Ali heran. Tapi ia men­da­hu­lui maju ke ruang tengah. Ia sudah capek memanggul ran­sel sejak hampir sejam ini. Ia taruh ransel pada salah sa­tu kursi di tengah ruangan, sedang ia sendiri duduk di kur­si lain. Sembari mencopot kaos kaki, ia amati Zia yang bergerak pelan-pelan. Mulai tersenyum-senyum sen­diri pada rak terdekat. Berjongkok. Mengamati.

Tanpa lapor Ali meninggalkan cewek itu di ruang te­ngah. Lagipula dekat kok jarak antara ruang tengah de­ngan kamar mandi. Sekalian Ali ke sana untuk mencari Ibu atau siapa. Opung sudah pasti lagi tidur siang di ka­mar­nya di pojok dapur, tidak usah dicek. Waktu zuhur ma­sih setengah jam lagi.

Ibu tidak ditemukan. Pintu kamar Ali tepat di sam­ping rak yang masih saja diamati Zia. Masih juga de­ngan posisi jongkok.

“Kamu salat enggak Zia?” Ali berdiri di depan pin­tu kamarnya seraya memperbaiki lipatan celana abu-abu.

Zia mendongak dengan senyum. “Udah tadi di sekolah.”

Masuklah Ali ke dalam kamar. Langsung tutup pin­tu, jangan sampai isi kamarnya yang suram itu ter­in­tip. Selain itu tempat tidur Ali sih rapi-rapi saja, tapi ba­gi­an bawahnya—area tidur Aziz—belum dibereskan oleh yang harusnya bertanggung jawab. Aduh. Tadi se­be­lum ia ke kamar, pintunya tidak tertutup. Zia sempat meng­intip tidak ya. Sudahlah. Ali mengganti pakaiannya de­ngan kaos dan celana panjang, yang baru dicuci dan di­setrika rapi tentu saja. Yang dipakai tadi pagi ia cam­pak­kan ke sudut kamar—di mana pakaian kotor biasa men­dapatkan tempatnya—padahal baru dua hari. Bi­a­sa­nya empat sampai tujuh hari, lebih sering lagi sampai ada orang rumah yang mengingatkannya untuk ganti pa­kai­an.

Begitu Ali keluar kamar, tidak lupa dengan me­nu­tup pintu, cewek itu masih di depan rak yang sama. Su­dah tidak jongkok, tapi duduk di lantai. Masih ada rak-rak lainnya loh. Kamu berminat baca Bobo edisi ta­hun di mana kamu belum lahir enggak, Zia? Ada 496 item bacaan di ruangan ini, Ali tahu betul, sudah ter­ma­suk yang lagi dipinjam dan yang hilang.

Rupanya di samping cewek itu telah menumpuk be­berapa buku. Tidak terlihat oleh Ali sebelumnya, sam­pai cewek itu menyingkir sedikit dari pijakannya semula.

Cewek itu tersenyum. “Putu Wijaya.” Ia me­ne­puk-nepuk tumpukan buku di sampingnya itu. “Kenapa ya, Putu Wijaya itu kalo ngasih judul buku-bukunya tuh su­­ka pendek-pendek gitu? Teror, Bom, apa deh.” Be­be­ra­pa helai pada kunciran rambut cewek itu keluar dari ja­lur­nya. Entah sudah berapa kali cewek itu garuk-garuk ke­pala. Ia mengambil lagi sebuah buku dari susunan di rak. Membolak-baliknya. “Heran deh. Buku sebegini ba­nyak tapi kamu enggak doyan fiksi?”

Ali tidak menjawab. Ia ikut berjongkok di dekat Zia, mengambil satu buku secara acak, lalu melihat-lihat ba­gian dalamnya. Bukannya ia tidak doyan, ia cuman ku­rang punya ketahanan untuk menghabiskannya. Tidak se­bagaimana nonfiksi. Tiap orang punya preferensi ma­sing-masing toh. Apalagi dengan pilihan yang begitu ba-nyak. Tidak usah berdebat lagi, Zia. Maka Ali pun an­teng.

“Eh, ini buku-bukunya… punya kamu semua?” ta­nya Zia. Suaranya memelan, hampir bisikan.

“Punya Bapak sama Ibu… Punya Mamang juga ada sih.” Lalu saking banyaknya buku mereka apabila di­kumpulkan, akhirnya dibuat semacam balai bacaan ini. Ek­sistensinya disebarkan hanya melalui mulut ke mulut. “Yang dikasih juga ada.” Kepala Ali menengok ke sisi la­in ruangan. Pernah ada anak-anak KKN yang mangkal di sini, lalu memberikan sumbangan buku anak-anak.

“Yang punya kamu?”

“Ada sih beberapa…” Sampai SMP Ali masih do­yan beli komik sesekali, Naruto dan One Piece mi­sal­nya, meski dengan nomor yang acak. Kadang Aziz yang be­li. Fathim juga. Tapi ketiga bersaudara lama-lama ber­pi­kir bahwa sebaiknya mereka tidak perlu lagi me­nam­bah jumlah buku di rumah.

“Boleh dipinjem enggak sih, buku-buku di sini?” ta­nya cewek itu dengan hati-hati.

“Bisa,” jawab Ali.

“Ada syaratnya gitu enggak?”

“Kita bukan profesional sih…” Biasanya yang pin­jam adalah orang-orang yang sudah dikenal dengan ba­ik. Kalau tidak begitu, kartu identitas diminta jadi ja­min­an. Setiap peminjaman dan pengembalian dicatat da­lam buku folio di meja samping komputer. Tapi karena Zia teman Ali, yang Ali sudah tahu bagaimana perhatian ce­wek itu terhadap buku, “kalau mau pinjem, pinjem aja.”

“Bayar enggak?”

“Enggak usah…” ujar Ali dengan nada meng­gam­pangkan.

“Maksimal berapa?”

“Semampunya kamu bawa.”

Ali terkesima akan kemampuannya sendiri untuk mem­buat Zia terkekeh. Setelahnya terdengar hembusan na­pas cewek itu. Cuping hidung yang mengembang. Du­duk bersila, sambil tersenyum Zia mulai menekuri salah sa­tu buku dari tumpukan di sampingnya.

Ali pun beranjak. Biarkan Zia larut dalam ke­ter­pu­kauannya, sebaiknya Ali menghabiskan hari se­ba­gai­ma­na biasa. Tiduran di kamar sambil baca buku? Tidak mung­kin, lagi ada tamu. Ali ingin mencari Ibu. Tapi Ali ingin menjaga Zia dari sergapan Opung, kalau tahu-tahu le­laki tua itu bangun. Entah apa cewek itu bakal ngeri de­ngan lengan Opung yang tinggal separuh. Maka sing­ga­sana Ali pindah siang itu dari tempat tidur ke salah sa­tu kursi di ruang tengah. Tidak senyaman biasa, mulanya te­rasa begitu. Tapi cewek itu hening membaca. Ali pun de­mikian. Bersama dalam satu ruangan, hanyut dalam ke­asyikan yang sama tapi masing-masing. Ada lagikah yang lebih nyaman dari ini? Ali tidak bisa membaca. De­nyut jantungnya bikin ia susah berkonsentrasi.

Bahkan cewek itu seperti tidak ngeh saat Ibu me­lin­tas di balik punggungnya. Memang keahlian Ibu me­na­pak lantai tanpa suara. Pandangan mata Ibu me­na­nya­kan sosok Zia pada Ali.

“Zia,” panggil Ali.

“Eh—iya?” Cewek itu tergeragap. Ia menoleh ke ka­nan-kiri dengan bingung. Punggungnya berbalik, ber­gan­ti wajah cewek itu yang Ali lihat. Tapi dengan cepat pu­la cewek itu sudah melihat Ibu yang telah berlalu ke da­pur.

“Ibu kamu?” tanya Zia pelan.

Ali mengangguk.

“Aku… salam dulu enggak ya?” Belum sempat Ali merespons, cewek itu keburu bangkit. Ali masih du­duk, ketika ia lihat cewek itu tersenyum ke arah dapur. Mung­kin sudah bertukar pandang dengan Ibu. Se­lan­jut­nya cewek itu tahu sendiri apa yang ia pikir mesti ia la­ku­kan.

“Temannya Ali?” suara Ibu.

“Iya Tante…”

Zia kembali ke tempatnya semula dengan kikuk. Ali geli. Cewek itu terus menuju kursi di hadapan Ali, du­duk di sana, meninggalkan tumpukan buku yang telah di­susunnya. Ali ingin lanjut membaca buku—me­ngum­pul­kan konsentrasi membaca buku. Tapi dengan Zia yang diam begitu, jadi buyar sama sekali keping-keping kon­sentrasi yang hendak direkat Ali. Cewek itu seperti te­ngah menatap dirinya, meski bukan. Ali mengikuti arah sorot mata itu, o, rupanya.

Pada dinding di belakang Ali, di atas rak-rak, ter­can­tol foto-foto. Sebagian telah memudar warnanya. Fo­to-foto Ali, Fathim, dan Aziz saat masih kecil yang di­am­bil, dicuci, dan dicetak sendiri oleh Bapak. Foto Ibu sa­at muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari Ali, menatap tajam, tak berwarna. Dan beberapa foto la­in, tapi tidak bisa dibilang banyak.

Zia mendekati foto Ali dan Fathim dalam gaya yang ketinggalan zaman, sandal dengan lampu warna-war­ni sedang jadi tren saat itu. Seorang lelaki di be­la­kang mereka. “Ini papa kamu?”

“Bukan. Paman.”

“Yang kemarin itu?” Zia mengernyit. Bibir ba­wah­nya agak maju.

“Iya.”

Entah di mana sekarang Ibu menyimpan album-al­bum, mungkin ada di bawah tempat tidurnya. Ada fo­to-foto Bapak yang bisa dilihat, barangkali ingin me­nge­nang­nya. Yang Ali paling ingat adalah foto Bapak saat mu­da. Close up. Hitam-putih. Rambut lurus belah ping­gir nan mengkilat. Matanya bulat besar dengan lipatan ke­lopak, agak sayu, demikian pula mata Ali.

Zia tidak tanya-tanya lagi. Padahal kalau Zia mau ta­nya soal papa Ali, Ali bisa cerita. Papa Ali wartawan, do­yan bercerita, bertualang, pemberani. Tidak seperti Ali yang malas buka mulut, segan sama cewek. Sudah itu sa­ja, itu saja ternyata yang Ali bisa ceritakan tentang papa Ali.

Aziz melintasi ruang tengah sambil menyeret ran­sel. Atasan seragamnya utuh di luar celana pendek me­rah. Ia melihat pada Zia sekilas.

Agaknya ngeh, Zia kembali duduk di hadapan Ali. Meski pandangannya masih terarah pada foto-foto.

“…siapa itu, Ibu?” suara Aziz dengan intonasi khas preman, dilatari denting spatula dan wajan.

“…temannya Abang…” suara Ibu sayup-sayup, nya­ris tak terdengar saking tenang dan lembut.

“Abang tuh bawa-bawa cewek ke rumah. Sudah mau kawin dia, Bu?” Aziz tiru-tiru logat Opung.

Sontak Zia menoleh ke arah dapur. Ali melempar pan­dang ke langit-langit. Begitu Zia pulang Ali akan meng­gampar Aziz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain