Jumat, 17 Agustus 2012

05

Selasa. Beberapa menit setelah bel tanda jam is­ti­ra­hat dimulai, tubuh Ali masih lengket pada bangku. Co­wok-cowok di ruang diskusi lambat laun tidak lagi mem­bi­carakan makanan. Ali jadi kurang berselera. Masih bi­sa bikin segar sebetulnya, efek dari menghadiri 4KANG­SON itu. Tapi ada diskusi yang tak kalah menarik bakal ber­langsung beberapa menit lagi. Ketika seorang cewek de­ngan ekor kuda yang semrawut memasuki ruang kelas yang bukan kelasnya. Membawa satu atau beberapa bu­ku di tangannya. Ia, yang bisa mengkaitkan JK Rowling de­ngan Pandir Kelana—siapa coba anak zaman sekarang yang kenal Pandir Kelana? Ali pun tidak pernah baca no­vel-novel Pandir Kelana, hanya kerap membereskannya sa­ja di balai bacaan.

Tapi bagaimanapun Ali seorang lelaki, cowok, pria, jejaka. Ia bangkit. Bukan karena kalau ia tidak da­tang ke pertemuan Anwar bakal makin cerewet padanya, bu­kan. Semoga bukan. Ini adalah panggilan yang ala­mi­ah.

Di tengah jalan Ali berpapasan dengan cewek itu. Ia tahu, tapi tidak menoleh untuk dua kali. Cewek itupun ti­dak melirik sama sekali padanya. Ali termenung. Betul ju­ga. Ia kan tidak terlalu kenal cewek itu. Persinggungan me­reka hanya di LEMPERs, itupun si cewek hanya se­se­ka­li saja nimbrung di tahun pertama mereka. Di tahun ke­dua sempat muncul lagi sesekali. Tahun ketiga? Entah si­buk apa ia… Mereka juga tidak pernah mengobrol, ke­cu­ali untuk urusan tulisan yang tidak jadi dimuat tahun la­lu. Aduh. Ali jadi ingin bilang, Zia, saya tulis ulang tu­lis­an kamu waktu itu loh, dikomentari dong. Tapi jarak di antara mereka sudah terlalu jauh. Ali kadung meng­in­jak lantai ruang diskusi.

Alhamdulillah kursi di pojok kosong. Pojok fa­vo­rit Ali. Di situ ia bisa membuka buku. Sesekali angkat ke­pala untuk menyimak. Sesekali angkat suara untuk ber­kontribusi. Hari ini siapa lagi kembang atau pasangan di SMANSON yang akan mereka ini bi­carakan? Apa­kah ki­sah si Manis Tanpa Sakarin-Dendeng masih ha­ngat? Pe­duli amat. Yang penting Ali bisa melanjutkan ba­caan di sini.

Ali mulai menganggap 4KANGSON sebagai fo­rum tidak jelas. Para laki-laki berkumpul dalam satu ru­ang­an, lalu merumpi. Topik berganti-ganti seenaknya. Su­dah habis bahan, lanjut ke topik lain sekenanya. Be­lum habis bahan pun, apabila ada celetukan yang lebih me­narik tahu-tahu langsung lain yang dibicarakan. Apa be­danya dengan sekumpulan ibu-ibu arisan? Mereka mem­bicarakan cewek ini dan cewek itu, pasangan anu la­lu pasangan mana, seakan-akan mereka tahu melebihi si­a­pa yang mereka bicarakan.

.

Mungkin ini yang dirasakan buku-buku di balai ba­caan, saat bulu-bulu kemoceng bergetar di sekujur tu­buh mereka. Warna-warni atau sekadar cokelat ber­gra­da­si menyingkirkan debu-debu. Hasrat tidak lagi dihalangi. Sa­ma ketika mata menyoroti deretan buku di per­pus­ta­ka­an manapun. Tiap judul menimbulkan keterkesimaan. Ko­or mengawang di balik daun telinga. Pada cewek itu ju­ga Ali mengalaminya. Cewek yang menyimpan buku-bu­ku di dalam kepalanya. Di balik sejumput-sejumput ram­butnya yang ringan melayang.

Mungkin cewek itu tidak kenal istri Soekarno yang kesembilan, atau siapa sultan pertama di Ka­li­man­tan. Ali juga tidak membaca Umar Kayam, Kun­to­wi­jo­yo, Trisnoyuwono, apalagi Nur Sutan Iskandar, tapi ia ta­hu, sementara cewek itu lebih tahu. Ali membaca Pra­moe­dya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Sirikit Syah pun hanya karena mereka juga wartawan, sedang cewek itu mencari-cari mereka karena mereka sastrawan.

Dan terbukti kalau cewek itu pun sudi me­nye­be­rangi garis minat.

Regi tidak selalu ada untuknya, di saat cewek itu su­dah begitu terbiasa untuk duduk di belakang bangku te­man dekatnya itu. Maka cewek itu menegur Ali yang du­duk di bangku sebelah. Ali menyerahkan buku di atas pang­kuan. Terbunuhnya Indira Gandhi.

Cewek itu pernah membaca buku itu sekilas-kilas sa­at di loakan. Satu-satunya yang ia ingat dari buku itu ada­lah namanya tercantum dalam buku itu. Ali tidak sem­pat mengernyit. Cewek itu terlanjur menjelaskan ka­lau namanya adalah nama Presiden Pakistan saat Indira Gan­dhi terbunuh.

“Zia Ul-Haq?” Ali mengonfirmasi.

Cewek itu tersenyum. Ali mendengus.

Tapi Zia juga bisa mengungkapkan bagaimana In­dira remaja ditinggal kedua orangtuanya, lalu belajar di Oxford. Ia jatuh cinta pada seorang pemuda India, lalu me­reka menikah dan memiliki dua putra. Pernikahan me­reka tidak berlangsung bahagia. Zia mengingat semua itu dari tayangan di BBC. Ali manggut-manggut.

“Kirain cuman baca novel…” sahut Ali seraya mem­perbaiki posisi duduknya. Tidak terperbaiki se­be­tul­nya. Ia kembali ke posisi duduk yang sama, hanya me­ra­sa perlu bergerak sedikit saja tadi.

“Aku sebetulnya omnivora, pembaca buku apa aja. Tapi, ya, aku lebih banyak baca novel. Kayak be­ru­ang. Dia omnivora. Tapi dia lebih banyak makan daging atau buah, coba?”

Ali tidak tahu. Zia yang anak IPA, yang tiap jam is­tirahat nyasar ke kelas IPS.

“Jadi aku mungkin cenderung ke fiksivora. Kalau ka­mu apa-vora?”

Lagi-lagi cewek itu bermain-main dengan istilah. Se­belumnya ia membuat istilah baru, “jurusanis”, saat su­atu kali Ali menyinggung kenapa ia berada di kelas ini. Sejalan dengan “chauvinis”, istilah tersebut berarti “su­ka membeda-bedakan jurusan”. Lalu apa artinya “aga­mis”, “borjuis”, “pesimis”, “vernis”?

“Saya senengnya sih lebih ke sejarah, sosial, po­li­tik gitu. Yang semacam ini…” …apapun yang tersedia di balai bacaan atau kios buku Mang Alwi, sebetulnya. Ali membolak-balik bukunya yang baru dikembalikan Zia.

“…sejarahvora,” gumam Zia. Betapa keukeuh-nya cewek itu, Ali takjub. “Kamu nonfiksivora berarti. Hmm…” Mungkin cewek itu merenungkan apa pem­ben­tuk­an istilahnya sudah tepat dan layak untuk jadi lema ba­ru di KBBI. Lalu bagaimana dengan “berpestavora”, apa itu istilah tepat bagi orang yang suka berpesta?

Akan lebih menyenangkan sekiranya batok ke­pa­la cewek itu bisa Ali buka. Lalu Ali bisa melongok sen­di­ri berapa deret lemari buku di dalamnya, menelusuri sen­diri judul demi judul yang berbaris pada tiap lemari, mung­kin mengambil satu, dua, atau beberapa yang me­na­rik minatnya, membaca-baca isinya sekilas kalau bo­leh.

Dengan rikuh Ali mengarahkan lagi pan­dang­an­nya pada buku di pangkuan. Halaman cokelatnya telah ter­buka. Menatap Zia lebih lama dari lima detik ternyata me­nyebabkan memorinya lenyap sesaat.

“…kayaknya buku lama. Punya kamu?”

“Ya.” Ali menoleh lagi.

“Buku-buku yang biasa kamu bawa juga?”

“…ya…”

“Kamu kayaknya punya banyak buku ya?” Ce­wek itu mulai tersenyum lagi.

“Masih banyakan punya kamu kayaknya.” Ali mem­balas senyum itu.

Setelah lima detik Ali memalingkan lagi pan­dang­annya ke arah buku. Cewek itu tidak bersuara lagi. Ali pun tidak mengharapkannya, tapi telinganya jadi ga­tal karena mulut itu tidak lagi meluncurkan buku—buku apa­pun. Sebutlah. Barangkali Ali tahu. Kalaupun Ali ta­hu, cukuplah bagi Ali untuk menyempurnakan gambaran akan perpustakaan dalam kepala itu.

“Eh sori, udah lama ya nunggunya?”

“Mana cakue titipan aku?”

“Nih.”

Malah Ali mendengar suara Regi, bangku di­ge­ser, mulut mengecap… hawa segar es bercampur aroma me­nyengat sambal bawang. Kedua cewek itu tidak mem­bi­carakan buku kali ini, tapi seorang teman mereka, ber­sa­ma teman mereka lain, dan beberapa teman mereka la­gi, di kelas ini dan kelas anu serta kelas itu. Ali meng­i­ngat-ingat kapan terakhir kali ia terlibat percakapan se­lan­car kedua cewek itu dengan seorang cewek, atau ce­wek-cewek. O cukup sering—sering. Ternyata. Ali mung­kin hanya butuh kesempatan lain. Ali melirik Zia be­berapa saat. Lain kali, bakal. Demi apapun yang ce­wek itu simpan dalam kepalanya.

.

Beberapa hari Ali sempat lupa pada Zia. Itu ada­lah hari-hari di mana Zia memang tidak hadir di bangku se­belahnya. Pada hari ke sekian, cewek itu kembali ber­a­da di sana. Ali ngeh. Pantas kemarin-kemarin rasanya se­pi, pikirnya. Kecuali satu hari, ketika Ali menghadiri aca­ra rumpi mingguan bareng cowok-cowok paling gaul se-SMANSON.

Beberapa kali Ali menoleh pada cewek itu. Asyik ber­cakap dengan Regi, tanpa khawatir sedikitpun pe­so­na­nya akan runtuh karena remah-remah gorengan di se­ki­tar bibirnya. Mereka tidak membicarakan buku kali itu, me­lainkan bagaimana gorengan bisa menjadi begitu re­nyah. Mereka sampai pada asumsi kalau tepung yang di­gu­nakan dicampur dengan lilin atau plastik. Lalu kenapa me­reka masih makan gorengan itu dengan begitu lahap?

Ali telah tamat membaca riwayat Indira Ghandi, ki­ni ia baru membuka halaman ke-11 biografi Tan Ma­la­ka. Tapi indra pendengarannya jauh lebih aktif ke­tim­bang indra penglihatannya.

“Enggak ih. Emang kapan saya ngomong gitu?”

“Loh kemarin…!? Si Tata bilang katanya kamu tuh…“

Nada kedua cewek itu seperti mulai main sentak. Ba­gaimana jika keduanya lanjut marahan, lalu Zia tidak per­nah bertandang ke kelas XII IPS 1 lagi? Apa Ali yang ha­rus mendatangi Zia di kelasnya? Memangnya Zia ke­las XII IPA mana?

“Eh punten… Liat dong…” Lengan Ali terjulur ke bangku sebelah. Ia mengambil buku yang berada di pa­ling atas pada tumpukan di antara Regi dan Zia. Ia bah­kan tidak sempat memindai semua judul. Bumi Ma­nu­sia. Barulah Ali melirik judul-judul yang tersisa. Arok De­des. Arus Balik. O episode Karl May sudah berlalu ru­pa­nya.

“Kalo gitu jangan asal ngomong dong dia…”

Wah si Regi kalau sudah berang bisa sampai lem­par meja. Bagai burung unta, Ali menelusupkan ke­pa­la­nya ke dalam halaman buku yang tersibak. Ia kembali pa­da posisi duduk semula, membiarkan dinginnya din­ding merembesi kulitnya, terik matahari menyinarkan ram­butnya.

“…ya udah, bilang sendiri sama dia…” suara Zia se­perti menciut.

Posisi duduk Ali merosot. Kini kepalanya ber­te­le­kan kosen. Dengar cewek-cewek ribut memang bukan peng­alaman yang menyenangkan, walaupun emosinya po­sitif sekalipun, apalagi negatif. Ali menanti Zia me­na­gih buku di tangannya. Setelah itu Zia kembali ke kelas XII IPA mana sambil menghentak-hentakkan kaki. Tapi itu tidak terjadi.

Ali menyodorkan kembali Bumi Manusia di an­ta­ra mereka, di atas tumpukan. Di balai bacaan tersedia ke­em­pat judul dalam tetralogi tersebut—dalam edisi yang per­nah diberedel pemerintah. Baiklah. Sekarang apa? Ali me­nanti, tapi apapun yang terjadi semoga kedua cewek itu tidak saling cakar. Mereka hanya saling angkat suara la­gi.

“Jadi mau pinjem ini?” Zia mendorong tumpukan bu­ku Pramoedya Ananta Toer ke arah Regi. Regi melirik ke bawah.

“Oh iya.” Regi mengeluarkan tumpukan buku da­ri dalam kolong bangkunya. “Yang ini makasih ya.”       

“Berapa lama tamatnya?”

“Mmm… Yang dua ini sih semalam cukup. Yang Win­netou rada lama soalnya pas lagi ada kerjaan. Te­rus…”

Kali ini Ali menoleh pada Regi. Berapa IQ ce­wek itu sampai-sampai kecepatan membacanya lebih ki­lat dari perjalanan Bandung – Denpansar pakai bis?

Zia mengangkat tumpukan yang ganti disodorkan Re­gi padanya. “Huff…” Ia menurunkan tumpukan itu la­gi. Pada saat itu tidak sengaja ia menangkap mata Ali ter­arah padanya. “Mau pinjem?”

Ali menggeleng. Masih ada beberapa tumpuk bu­ku berdebu di balai bacaan yang belum habis Ali eks­plo­ra­si.

“Eh, Ali kan sukanya buku-buku sejarah, Zia,” ce­letuk Regi. Memang beberapa kali ia terlibat obrolan de­ngan Ali seusai pelajaran Sejarah.

“Karl May kan ada sejarahnya juga.” Regi ter­si­pu-sipu. Zia memalingkan wajah lagi pada Ali. “Bawa aja enggak apa-apa. Biar aku enggak berat pas pulang… hehehe…”

Ali mesem. Kalau begitu malah Ali dong yang ke­beratan beban. Lagipula ransel hijau buluknya sudah mau jebol. Tidak. Terima kasih.

“Si Ali disuruh baca review kamu dulu Zia, biar mau pinjem, hihihi…” Regi mulai membukai halaman de­mi halaman Arus Balik.

“Oh… Iya… Kayak kamu ya Reg.” Zia menoleh pa­da Regi, yang ditoleh tersipu-sipu lagi.

“Kamu nulis review juga, Zia?” Ternyata enak ju­ga bisa bersuara, pikir Ali, daripada diam melulu. Dan ti­dak kepikiran lagi apa yang mau dikatakan, itupun me­lin­tas begitu saja. Setidaknya ia punya sesuatu untuk me­mu­lai dengan Zia.

“Iyaa…”

“Buka deh ziaziazia.********.com,” celetuk Re­gi.

“…soalnya aku mikir-mikir… selama ini aku lu­ma­yan banyak baca buku, tapi apa faedahnya gitu loh se­la­in buat diri aku seorang…” Zia menoleh pada Regi lagi sa­at cewek itu terkikik. “Ayo kamu aktifin blog kamu ju­ga, Reg.”

“…iya, insya Allah… kalau udah enggak sibuk ya…”

“Huuu…”

Memang Regi masih sibuk di OSIS ya? Ali ber­ta­nya dalam hati, selintas.

“Eh bukannya waktu itu aku udah pernah ngasih tahu kamu alamat blog aku ya?” 

“Em. Iya sih.” Ali teringat pertemuan mereka di ki­os buku Mang Alwi kapan itu. Tapi Ali tidak teringat sa­ma sekali apa alamat blog Zia. Ali jadi merasa tidak enak, tapi tidak cukup berminat juga untuk me­nye­nga­ja­kan diri ke warnet. Demi Tuhan, apa sih isi blog cewek se­perti Zia? Buku-bukunya? Benar juga. Tapi di rumah Ali pun sudah banyak buku. Seperti nafsu makan, an­tu­si­as­me terhadap buku pun dapat berkurang. Apalagi kalau su­dah ada setumpuk bacaan menunggu untuk dilahap. Bu­tuh suplemen sepertinya.

.

Untung kenal sama si penjaga warnet. Sebisa mung­kin ke warnetlah saat orang itu sedang berjaga. Ali ja­di bisa menebeng komputer operator. Tak pakai bayar, ten­tu. Asal si operator cuman harus menyingkir sejenak. Gu­ru Ekonomi mengharuskan seluruh kelas XII IPS un­tuk bikin makalah. Jarang anggota keluarga Ali yang ber­­minat di bidang itu, Ali pesimis bisa menemukan ba­nyak sumber baik di balai bacaan maupun kios buku Mang Alwi, sehingga Ali memutuskan untuk melakukan pe­nelusuran awal di internet. Sisanya minta dicarikan oleh teman-teman Mang Alwi di Palasari tentu saja. Se­ka­lian Ali ke warnet hendak mengirim PR makalah Se­ja­rah. Ia mengulas pengaruh ajaran Machiavelli terhadap ber­bagai pembantaian di Eropa di abad pertengahan—ka­lau buku tentang itu atau sekadar menyinggung itu sih ada lumayan jumlahnya.

Selagi mengetik alamat surel guru dalam kepala Ali terngiang-ngiang… “ziaziazia… ziaziazia…” Un­tung benar alamat blog Zia mudah dihapal. Ali membuka tab baru ketimbang membiarkan nama itu terus ber­de­nging. LEMPERs pernah membuat database blog ang­go­ta untuk ditampilkan di laman LEMPERs, biar eksis be­gitulah. Seingat Ali kebanyakan anak menggunakan ala­mat blog yang tidak lazim, yang membuatnya jadi su­kar diingat, sedangkan sebagian sekadar menggunakan peng­galan atau seluruh nama lengkapnya saja. Sedang Ali tidak ingat sama sekali apa alamat blognya. Selagi me­­nunggu tampilan halaman blog Zia utuh, Ali meng­i­ngat-ngingat apa alamat blog miliknya seraya me­nge­tik­nya di kotak pencarian.

binsarali.blogspot.com. Salah.

binsar-ali.blogspot.com. Bukan juga.

Jangan-jangan binsar-aliharahap.blogspot.com. Aduh. Kenapa pakai nama marga segala? Bagaimana ka­lau ada orang Batak kesasar dan meninggalkan komentar di blog miliknya—dalam bahasa Batak? Ali harus jawab apa? Sudah tinggal seumur hidup di Bandung saja ba­ha­sa Sunda Ali tidak fasih! Nihil blog dengan alamat se­per­ti itu. Alhamdulillah.

alitopananakjalanan.blogspot.com. Tidak ada.

alitopan-anakjalanan.blogspot.com. Idem.

alibaba-sihulahula.blogspot.com. Sama saja.

alipotter-dan-batubertuah.blogspot.com.

Ali menyerah. Apakah ia memang pernah mem­buat blog? Jangan-jangan tidak pernah lagi, tidak pernah di Blogger, melainkan di Wordpress. Ali mengetik be­be­ra­pa karakter… dot… wordpress… dot… com. Ali ter­pe­rangah. Ia tidak bisa melihat tampilan blog miliknya de­ngan jelas, saking banyaknya laba-laba yang bersarang di situ. Setelah dibersihkan barulah tampak tulisan ter­ak­hir yang Ali unggah. Ternyata isi blog miliknya hanya do­kumentasi tulisan Ali selama berkiprah di LEMPERs. Se­karang Ali masih berkontribusi untuk LEMPERs, mes­ki “sekadar” memberikan nasihat, dan dari jumlah la­ba-laba yang bertelur lantas beranak-pinak di situ Ali ti­dak perlu diberi tahu lagi betapa ia sudah begitu lama ti­dak menulis apapun—menyelesaikan tulisan apapun.

Setelah menyelesaikan kiriman untuk sang guru, la­lu menyimpan beberapa halaman hasil pencariannya ke flashdisk, Ali kembali ke blog Zia. Mata Ali seperti ke­tum­pahan sirup frambose. Tidak menyangka Zia ternyata be­gitu kecewek-cewekan. Tapi mungkin itu hanya ka­mu­flase—pencitraan. Ali teringat suatu bacaan yang me­nga­takan bahwa di dunia maya setiap orang bisa jadi apa­pun, bahkan tanaman.

Telunjuk Ali mengelus-ngelus scroll pada mouse, se­mentara matanya lekat pada layar. Beberapa lama ia ha­nyut dalam aliran kata-kata, sampai ia diusir operator yang hendak mengecek hasil unduhannya. Ali meng­u­cap­kan terima kasih karena telah dibiarkan mengakses in­ternet dengan cuma-cuma. Aa operator menawarkan ha­sil unduhannya. Ali menggeleng serta-merta, karena ingat perintah Tuhan untuk menjaga hawa nafsu dan pan­dangan.

Pagi menjelang siang berikut Ali merasakan betul ko­song di bangku sebelahnya. Pun Regi. Setidaknya ka­lau Regi ada ia bisa sekadar menegur, tumben Zia tidak da­tang. Bukan tumben juga sih, karena cewek itu tidak se­tiap hari juga menyantroni XII IPS 1. Jangan-jangan me­reka sudah betulan marahan?

Ali merasa dingin, meski hangat matahari me­nyam­bar-nyambar rambut hingga tengkuknya. Sunyi ber­denging di telinganya, meski lanskap suara terisi oceh­an beberapa anak yang tinggal di kelas alih-alih ja­jan. Kenapa ini bukan hari Selasa? Setidaknya Ali punya ke­perluan untuk minggat. Ali melongok saku atasannya. Ada selembar uang dua ribu. Ali mengingat-ingat apa ia ma­sih punya beberapa lembar lagi di saku ransel.

Setelah mengelap kacamata Ali pun keluar dari ke­las.

“Weh si buta dari gua hantu keluar gua!” celetuk se­seorang.

“Heh!” gertak Ali sambil lalu.

O jadi beginilah dunia di luar hari Selasa, pada wak­tu antara jam 9.30 – 10.00 WIB! Burung-burung ber­ki­cau. Angin sejuk semilir. Anak-anak seusia—lebih mu­da, karena Ali ditengarai siswa tertua di SMANSON sa­at ini—Ali berbincang dalam irama. Ali menduga se­ben­tar lagi bakal ada yang berlari ke lapangan, men­den­dang­kan sebait lirik, diikuti beberapa anak lagi di be­la­kang­nya. Tapi itu tidak terjadi. Lagipula setelan otak Ali ti­dak kompatibel untuk menyimpan videoklip dari jenis mu­sik apapun, kecuali film dokumenter barangkali.

Apa yang sebenarnya dicari Ali di lingkungan ter­buka ini? Sembari memasukkan tangan ke saku celana ia menengok kanan-kiri, bak Sidharta Gautama yang ba­ru pertama kali keluar dari istana, tapi mana ia me­ne­mu­kan kaum papa di tempat seperti ini. Tidak terciri, ke­cu­a­li barangkali mereka yang seragamnya sudah kuning dan lu­suh tapi tak kunjung diganti. Hati Ali mulai sejuk, yang kemudian ia sadari… jangan-jangan karena kem­bang-kembang SMANSON? Tahu-tahu ia mendengar ba­tinnya menyebut-nyebut… “…Good Times. Arah jam ti­ga Silverqueen. Cadburry di jam satu. Lihat arah jam tu­juh, Cokelat Monggo. Geser sedikit tiga menit, Cho­co­dot rasa dorokdok. Kenapa semua manis-manis tapi agak pa­hit? Tidak ada satupun yang hendak Ali dekati.

Melewati perpustakaan langkah panjang Ali stag­nan, berhenti sesaat. Masih langkah yang stagnan, tapi tu­mit yang jadi pimpinan. Pintu perpustakaan terbuka le­bar. Memperlihatkan deretan lemari yang mengepung me­ja-meja panjang dan lebar. Kursi-kursi lipat mengitari me­ja-meja bertaplak biru itu. Beberapa komputer juga tam­pak. Tapi yang ditangkap mata Ali hanya sosok itu. Ekor kuda mencuat dari kepala yang tengah menekur. Se­buah buku tipis yang isinya telah menguning terbuka di bawah kepala itu. Buku apa yang sedang cewek itu ba­ca? Apakah ia akan menceritakannya lagi dengan be­gi­tu riuh di blog miliknya? Mungkin Ali akan me­na­nya­kan­nya sebagai pemantik obrolan, nanti, saat cewek itu da­tang lagi ke XII IPS 1.

Ali tidak terbayang makanan manis apapun, me­la­inkan ikan layur. Ikan layur?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain