Selasa. Beberapa menit
setelah bel tanda jam istirahat dimulai, tubuh Ali masih lengket pada
bangku. Cowok-cowok di ruang diskusi lambat laun tidak lagi membicarakan
makanan. Ali jadi kurang berselera. Masih bisa bikin segar sebetulnya, efek
dari menghadiri 4KANGSON itu. Tapi ada diskusi yang tak kalah menarik bakal
berlangsung beberapa menit lagi. Ketika seorang cewek dengan ekor kuda yang
semrawut memasuki ruang kelas yang bukan kelasnya. Membawa satu atau beberapa
buku di tangannya. Ia, yang bisa mengkaitkan JK Rowling dengan Pandir
Kelana—siapa coba anak zaman sekarang yang kenal Pandir Kelana? Ali pun tidak
pernah baca novel-novel Pandir Kelana, hanya kerap membereskannya saja di
balai bacaan.
Tapi bagaimanapun Ali
seorang lelaki, cowok, pria, jejaka. Ia bangkit. Bukan karena kalau ia tidak datang
ke pertemuan Anwar bakal makin cerewet padanya, bukan. Semoga bukan. Ini
adalah panggilan yang alamiah.
Di tengah jalan Ali
berpapasan dengan cewek itu. Ia tahu, tapi tidak menoleh untuk dua kali. Cewek
itupun tidak melirik sama sekali padanya. Ali termenung. Betul juga. Ia kan
tidak terlalu kenal cewek itu. Persinggungan mereka hanya di LEMPERs, itupun
si cewek hanya sesekali saja nimbrung di tahun pertama mereka. Di tahun kedua
sempat muncul lagi sesekali. Tahun ketiga? Entah sibuk apa ia… Mereka juga
tidak pernah mengobrol, kecuali untuk urusan tulisan yang tidak jadi dimuat
tahun lalu. Aduh. Ali jadi ingin bilang, Zia, saya tulis ulang tulisan kamu
waktu itu loh, dikomentari dong. Tapi jarak di antara mereka sudah terlalu
jauh. Ali kadung menginjak lantai ruang diskusi.
Alhamdulillah kursi di
pojok kosong. Pojok favorit Ali. Di situ ia bisa membuka buku. Sesekali
angkat kepala untuk menyimak. Sesekali angkat suara untuk berkontribusi. Hari
ini siapa lagi kembang atau pasangan di SMANSON yang akan mereka ini bicarakan?
Apakah kisah si Manis Tanpa Sakarin-Dendeng masih hangat? Peduli amat. Yang
penting Ali bisa melanjutkan bacaan di sini.
Ali mulai menganggap
4KANGSON sebagai forum tidak jelas. Para laki-laki berkumpul dalam satu ruangan,
lalu merumpi. Topik berganti-ganti seenaknya. Sudah habis bahan, lanjut ke
topik lain sekenanya. Belum habis bahan pun, apabila ada celetukan yang lebih
menarik tahu-tahu langsung lain yang dibicarakan. Apa bedanya dengan
sekumpulan ibu-ibu arisan? Mereka membicarakan cewek ini dan cewek itu,
pasangan anu lalu pasangan mana, seakan-akan mereka tahu melebihi siapa yang
mereka bicarakan.
.
Mungkin ini yang
dirasakan buku-buku di balai bacaan, saat bulu-bulu kemoceng bergetar di
sekujur tubuh mereka. Warna-warni atau sekadar cokelat bergradasi
menyingkirkan debu-debu. Hasrat tidak lagi dihalangi. Sama ketika mata
menyoroti deretan buku di perpustakaan manapun. Tiap judul menimbulkan
keterkesimaan. Koor mengawang di balik daun telinga. Pada cewek itu juga Ali
mengalaminya. Cewek yang menyimpan buku-buku di dalam kepalanya. Di balik
sejumput-sejumput rambutnya yang ringan melayang.
Mungkin cewek itu tidak
kenal istri Soekarno yang kesembilan, atau siapa sultan pertama di Kalimantan.
Ali juga tidak membaca Umar Kayam, Kuntowijoyo, Trisnoyuwono, apalagi Nur
Sutan Iskandar, tapi ia tahu, sementara cewek itu lebih tahu. Ali membaca Pramoedya
Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Sirikit Syah pun hanya karena mereka juga
wartawan, sedang cewek itu mencari-cari mereka karena mereka sastrawan.
Dan terbukti kalau
cewek itu pun sudi menyeberangi garis minat.
Regi tidak selalu ada
untuknya, di saat cewek itu sudah begitu terbiasa untuk duduk di belakang
bangku teman dekatnya itu. Maka cewek itu menegur Ali yang duduk di bangku
sebelah. Ali menyerahkan buku di atas pangkuan. Terbunuhnya Indira Gandhi.
Cewek itu pernah
membaca buku itu sekilas-kilas saat di loakan. Satu-satunya yang ia ingat dari
buku itu adalah namanya tercantum dalam buku itu. Ali tidak sempat
mengernyit. Cewek itu terlanjur menjelaskan kalau namanya adalah nama Presiden
Pakistan saat Indira Gandhi terbunuh.
“Zia Ul-Haq?” Ali
mengonfirmasi.
Cewek itu tersenyum.
Ali mendengus.
Tapi Zia juga bisa
mengungkapkan bagaimana Indira remaja ditinggal kedua orangtuanya, lalu
belajar di Oxford. Ia jatuh cinta pada seorang pemuda India, lalu mereka
menikah dan memiliki dua putra. Pernikahan mereka tidak berlangsung bahagia. Zia
mengingat semua itu dari tayangan di BBC. Ali manggut-manggut.
“Kirain cuman baca
novel…” sahut Ali seraya memperbaiki posisi duduknya. Tidak terperbaiki sebetulnya.
Ia kembali ke posisi duduk yang sama, hanya merasa perlu bergerak sedikit
saja tadi.
“Aku sebetulnya
omnivora, pembaca buku apa aja. Tapi, ya, aku lebih banyak baca novel. Kayak beruang.
Dia omnivora. Tapi dia lebih banyak makan daging atau buah, coba?”
Ali tidak tahu. Zia
yang anak IPA, yang tiap jam istirahat nyasar ke kelas IPS.
“Jadi aku mungkin
cenderung ke fiksivora. Kalau kamu apa-vora?”
Lagi-lagi cewek itu
bermain-main dengan istilah. Sebelumnya ia membuat istilah baru, “jurusanis”,
saat suatu kali Ali menyinggung kenapa ia berada di kelas ini. Sejalan dengan
“chauvinis”, istilah tersebut berarti “suka membeda-bedakan jurusan”. Lalu apa
artinya “agamis”, “borjuis”, “pesimis”, “vernis”?
“Saya senengnya sih
lebih ke sejarah, sosial, politik gitu. Yang semacam ini…” …apapun yang
tersedia di balai bacaan atau kios buku Mang Alwi, sebetulnya. Ali
membolak-balik bukunya yang baru dikembalikan Zia.
“…sejarahvora,” gumam
Zia. Betapa keukeuh-nya cewek itu,
Ali takjub. “Kamu nonfiksivora berarti. Hmm…” Mungkin cewek itu merenungkan apa
pembentukan istilahnya sudah tepat dan layak untuk jadi lema baru di KBBI.
Lalu bagaimana dengan “berpestavora”, apa itu istilah tepat bagi orang yang
suka berpesta?
Akan lebih menyenangkan
sekiranya batok kepala cewek itu bisa Ali buka. Lalu Ali bisa melongok sendiri
berapa deret lemari buku di dalamnya, menelusuri sendiri judul demi judul yang
berbaris pada tiap lemari, mungkin mengambil satu, dua, atau beberapa yang menarik
minatnya, membaca-baca isinya sekilas kalau boleh.
Dengan rikuh Ali
mengarahkan lagi pandangannya pada buku di pangkuan. Halaman cokelatnya
telah terbuka. Menatap Zia lebih lama dari lima detik ternyata menyebabkan
memorinya lenyap sesaat.
“…kayaknya buku lama.
Punya kamu?”
“Ya.” Ali menoleh lagi.
“Buku-buku yang biasa
kamu bawa juga?”
“…ya…”
“Kamu kayaknya punya
banyak buku ya?” Cewek itu mulai tersenyum lagi.
“Masih banyakan punya
kamu kayaknya.” Ali membalas senyum itu.
Setelah lima detik Ali
memalingkan lagi pandangannya ke arah buku. Cewek itu tidak bersuara lagi.
Ali pun tidak mengharapkannya, tapi telinganya jadi gatal karena mulut itu
tidak lagi meluncurkan buku—buku apapun. Sebutlah. Barangkali Ali tahu.
Kalaupun Ali tahu, cukuplah bagi Ali untuk menyempurnakan gambaran akan
perpustakaan dalam kepala itu.
“Eh sori, udah lama ya nunggunya?”
“Mana cakue titipan
aku?”
“Nih.”
Malah Ali mendengar
suara Regi, bangku digeser, mulut mengecap… hawa segar es bercampur aroma menyengat
sambal bawang. Kedua cewek itu tidak membicarakan buku kali ini, tapi seorang
teman mereka, bersama teman mereka lain, dan beberapa teman mereka lagi, di
kelas ini dan kelas anu serta kelas itu. Ali mengingat-ingat kapan terakhir
kali ia terlibat percakapan selancar kedua cewek itu dengan seorang cewek,
atau cewek-cewek. O cukup sering—sering. Ternyata. Ali mungkin hanya butuh
kesempatan lain. Ali melirik Zia beberapa saat. Lain kali, bakal. Demi apapun
yang cewek itu simpan dalam kepalanya.
.
Beberapa hari Ali
sempat lupa pada Zia. Itu adalah hari-hari di mana Zia memang tidak hadir di
bangku sebelahnya. Pada hari ke sekian, cewek itu kembali berada di sana.
Ali ngeh. Pantas kemarin-kemarin rasanya sepi, pikirnya. Kecuali satu hari,
ketika Ali menghadiri acara rumpi mingguan bareng cowok-cowok paling gaul
se-SMANSON.
Beberapa kali Ali
menoleh pada cewek itu. Asyik bercakap dengan Regi, tanpa khawatir sedikitpun
pesonanya akan runtuh karena remah-remah gorengan di sekitar bibirnya.
Mereka tidak membicarakan buku kali itu, melainkan bagaimana gorengan bisa
menjadi begitu renyah. Mereka sampai pada asumsi kalau tepung yang digunakan
dicampur dengan lilin atau plastik. Lalu kenapa mereka masih makan gorengan
itu dengan begitu lahap?
Ali telah tamat membaca
riwayat Indira Ghandi, kini ia baru membuka halaman ke-11 biografi Tan Malaka.
Tapi indra pendengarannya jauh lebih aktif ketimbang indra penglihatannya.
“Enggak ih. Emang kapan
saya ngomong gitu?”
“Loh kemarin…!? Si Tata
bilang katanya kamu tuh…“
Nada kedua cewek itu
seperti mulai main sentak. Bagaimana jika keduanya lanjut marahan, lalu Zia
tidak pernah bertandang ke kelas XII IPS 1 lagi? Apa Ali yang harus
mendatangi Zia di kelasnya? Memangnya Zia kelas XII IPA mana?
“Eh punten… Liat dong…” Lengan Ali terjulur
ke bangku sebelah. Ia mengambil buku yang berada di paling atas pada tumpukan
di antara Regi dan Zia. Ia bahkan tidak sempat memindai semua judul. Bumi Manusia. Barulah Ali melirik
judul-judul yang tersisa. Arok Dedes.
Arus Balik. O episode Karl May sudah
berlalu rupanya.
“Kalo gitu jangan asal
ngomong dong dia…”
Wah si Regi kalau sudah
berang bisa sampai lempar meja. Bagai burung unta, Ali menelusupkan kepalanya
ke dalam halaman buku yang tersibak. Ia kembali pada posisi duduk semula,
membiarkan dinginnya dinding merembesi kulitnya, terik matahari menyinarkan
rambutnya.
“…ya udah, bilang
sendiri sama dia…” suara Zia seperti menciut.
Posisi duduk Ali
merosot. Kini kepalanya bertelekan kosen. Dengar cewek-cewek ribut memang
bukan pengalaman yang menyenangkan, walaupun emosinya positif sekalipun,
apalagi negatif. Ali menanti Zia menagih buku di tangannya. Setelah itu Zia
kembali ke kelas XII IPA mana sambil menghentak-hentakkan kaki. Tapi itu tidak
terjadi.
Ali menyodorkan kembali
Bumi Manusia di antara mereka, di
atas tumpukan. Di balai bacaan tersedia keempat judul dalam tetralogi
tersebut—dalam edisi yang pernah diberedel pemerintah. Baiklah. Sekarang apa?
Ali menanti, tapi apapun yang terjadi semoga kedua cewek itu tidak saling
cakar. Mereka hanya saling angkat suara lagi.
“Jadi mau pinjem ini?”
Zia mendorong tumpukan buku Pramoedya Ananta Toer ke arah Regi. Regi melirik
ke bawah.
“Oh iya.” Regi
mengeluarkan tumpukan buku dari dalam kolong bangkunya. “Yang ini makasih ya.”
“Berapa lama tamatnya?”
“Mmm… Yang dua ini sih
semalam cukup. Yang Winnetou rada lama soalnya pas lagi ada kerjaan. Terus…”
Kali ini Ali menoleh
pada Regi. Berapa IQ cewek itu sampai-sampai kecepatan membacanya lebih kilat
dari perjalanan Bandung – Denpansar pakai bis?
Zia mengangkat tumpukan
yang ganti disodorkan Regi padanya. “Huff…” Ia menurunkan tumpukan itu lagi.
Pada saat itu tidak sengaja ia menangkap mata Ali terarah padanya. “Mau
pinjem?”
Ali menggeleng. Masih
ada beberapa tumpuk buku berdebu di balai bacaan yang belum habis Ali eksplorasi.
“Eh, Ali kan sukanya
buku-buku sejarah, Zia,” celetuk Regi. Memang beberapa kali ia terlibat
obrolan dengan Ali seusai pelajaran Sejarah.
“Karl May kan ada
sejarahnya juga.” Regi tersipu-sipu. Zia memalingkan wajah lagi pada Ali.
“Bawa aja enggak apa-apa. Biar aku enggak berat pas pulang… hehehe…”
Ali mesem. Kalau begitu
malah Ali dong yang keberatan beban. Lagipula ransel hijau buluknya sudah mau
jebol. Tidak. Terima kasih.
“Si Ali disuruh baca review kamu dulu Zia, biar mau pinjem,
hihihi…” Regi mulai membukai halaman demi halaman Arus Balik.
“Oh… Iya… Kayak kamu ya
Reg.” Zia menoleh pada Regi, yang ditoleh tersipu-sipu lagi.
“Kamu nulis review juga, Zia?” Ternyata enak juga
bisa bersuara, pikir Ali, daripada diam melulu. Dan tidak kepikiran lagi apa
yang mau dikatakan, itupun melintas begitu saja. Setidaknya ia punya sesuatu
untuk memulai dengan Zia.
“Iyaa…”
“Buka deh
ziaziazia.********.com,” celetuk Regi.
“…soalnya aku
mikir-mikir… selama ini aku lumayan banyak baca buku, tapi apa faedahnya gitu
loh selain buat diri aku seorang…” Zia menoleh pada Regi lagi saat cewek itu
terkikik. “Ayo kamu aktifin blog kamu
juga, Reg.”
“…iya, insya Allah…
kalau udah enggak sibuk ya…”
“Huuu…”
Memang Regi masih sibuk
di OSIS ya? Ali bertanya dalam hati, selintas.
“Eh bukannya waktu itu
aku udah pernah ngasih tahu kamu alamat blog
aku ya?”
“Em. Iya sih.” Ali
teringat pertemuan mereka di kios buku Mang Alwi kapan itu. Tapi Ali tidak
teringat sama sekali apa alamat blog
Zia. Ali jadi merasa tidak enak, tapi tidak cukup berminat juga untuk menyengajakan
diri ke warnet. Demi Tuhan, apa sih isi blog
cewek seperti Zia? Buku-bukunya? Benar juga. Tapi di rumah Ali pun sudah
banyak buku. Seperti nafsu makan, antusiasme terhadap buku pun dapat
berkurang. Apalagi kalau sudah ada setumpuk bacaan menunggu untuk dilahap. Butuh
suplemen sepertinya.
.
Untung kenal sama si
penjaga warnet. Sebisa mungkin ke warnetlah saat orang itu sedang berjaga. Ali
jadi bisa menebeng komputer operator. Tak pakai bayar, tentu. Asal si
operator cuman harus menyingkir sejenak. Guru Ekonomi mengharuskan seluruh
kelas XII IPS untuk bikin makalah. Jarang anggota keluarga Ali yang berminat
di bidang itu, Ali pesimis bisa menemukan banyak sumber baik di balai bacaan
maupun kios buku Mang Alwi, sehingga Ali memutuskan untuk melakukan penelusuran
awal di internet. Sisanya minta dicarikan oleh teman-teman Mang Alwi di
Palasari tentu saja. Sekalian Ali ke warnet hendak mengirim PR makalah Sejarah.
Ia mengulas pengaruh ajaran Machiavelli terhadap berbagai pembantaian di Eropa
di abad pertengahan—kalau buku tentang itu atau sekadar menyinggung itu sih
ada lumayan jumlahnya.
Selagi mengetik alamat
surel guru dalam kepala Ali terngiang-ngiang… “ziaziazia… ziaziazia…” Untung
benar alamat blog Zia mudah dihapal.
Ali membuka tab baru ketimbang
membiarkan nama itu terus berdenging. LEMPERs pernah membuat database blog anggota untuk ditampilkan di laman LEMPERs, biar eksis begitulah.
Seingat Ali kebanyakan anak menggunakan alamat blog yang tidak lazim, yang membuatnya jadi sukar diingat,
sedangkan sebagian sekadar menggunakan penggalan atau seluruh nama lengkapnya
saja. Sedang Ali tidak ingat sama sekali apa alamat blognya. Selagi menunggu
tampilan halaman blog Zia utuh, Ali
mengingat-ngingat apa alamat blog
miliknya seraya mengetiknya di kotak pencarian.
binsarali.blogspot.com.
Salah.
binsar-ali.blogspot.com.
Bukan juga.
Jangan-jangan
binsar-aliharahap.blogspot.com. Aduh. Kenapa pakai nama marga segala? Bagaimana
kalau ada orang Batak kesasar dan meninggalkan komentar di blog miliknya—dalam bahasa Batak? Ali
harus jawab apa? Sudah tinggal seumur hidup di Bandung saja bahasa Sunda Ali
tidak fasih! Nihil blog dengan alamat
seperti itu. Alhamdulillah.
alitopananakjalanan.blogspot.com.
Tidak ada.
alitopan-anakjalanan.blogspot.com.
Idem.
alibaba-sihulahula.blogspot.com.
Sama saja.
alipotter-dan-batubertuah.blogspot.com.
Ali menyerah. Apakah ia
memang pernah membuat blog? Jangan-jangan
tidak pernah lagi, tidak pernah di Blogger, melainkan di Wordpress. Ali
mengetik beberapa karakter… dot… wordpress… dot… com. Ali terperangah. Ia
tidak bisa melihat tampilan blog
miliknya dengan jelas, saking banyaknya laba-laba yang bersarang di situ.
Setelah dibersihkan barulah tampak tulisan terakhir yang Ali unggah. Ternyata
isi blog miliknya hanya dokumentasi
tulisan Ali selama berkiprah di LEMPERs. Sekarang Ali masih berkontribusi
untuk LEMPERs, meski “sekadar” memberikan nasihat, dan dari jumlah laba-laba
yang bertelur lantas beranak-pinak di situ Ali tidak perlu diberi tahu lagi
betapa ia sudah begitu lama tidak menulis apapun—menyelesaikan tulisan apapun.
Setelah menyelesaikan
kiriman untuk sang guru, lalu menyimpan beberapa halaman hasil pencariannya ke
flashdisk, Ali kembali ke blog Zia. Mata Ali seperti ketumpahan
sirup frambose. Tidak menyangka Zia ternyata begitu kecewek-cewekan. Tapi
mungkin itu hanya kamuflase—pencitraan. Ali teringat suatu bacaan yang mengatakan
bahwa di dunia maya setiap orang bisa jadi apapun, bahkan tanaman.
Telunjuk Ali
mengelus-ngelus scroll pada mouse, sementara matanya lekat pada
layar. Beberapa lama ia hanyut dalam aliran kata-kata, sampai ia diusir
operator yang hendak mengecek hasil unduhannya. Ali mengucapkan terima kasih
karena telah dibiarkan mengakses internet dengan cuma-cuma. Aa operator
menawarkan hasil unduhannya. Ali menggeleng serta-merta, karena ingat perintah
Tuhan untuk menjaga hawa nafsu dan pandangan.
Pagi menjelang siang
berikut Ali merasakan betul kosong di bangku sebelahnya. Pun Regi. Setidaknya
kalau Regi ada ia bisa sekadar menegur, tumben Zia tidak datang. Bukan tumben
juga sih, karena cewek itu tidak setiap hari juga menyantroni XII IPS 1.
Jangan-jangan mereka sudah betulan marahan?
Ali merasa dingin,
meski hangat matahari menyambar-nyambar rambut hingga tengkuknya. Sunyi berdenging
di telinganya, meski lanskap suara terisi ocehan beberapa anak yang tinggal di
kelas alih-alih jajan. Kenapa ini bukan hari Selasa? Setidaknya Ali punya keperluan
untuk minggat. Ali melongok saku atasannya. Ada selembar uang dua ribu. Ali
mengingat-ingat apa ia masih punya beberapa lembar lagi di saku ransel.
Setelah mengelap
kacamata Ali pun keluar dari kelas.
“Weh si buta dari gua
hantu keluar gua!” celetuk seseorang.
“Heh!” gertak Ali
sambil lalu.
O jadi beginilah dunia
di luar hari Selasa, pada waktu antara jam 9.30 – 10.00 WIB! Burung-burung berkicau.
Angin sejuk semilir. Anak-anak seusia—lebih muda, karena Ali ditengarai siswa
tertua di SMANSON saat ini—Ali berbincang dalam irama. Ali menduga sebentar
lagi bakal ada yang berlari ke lapangan, mendendangkan sebait lirik, diikuti
beberapa anak lagi di belakangnya. Tapi itu tidak terjadi. Lagipula setelan
otak Ali tidak kompatibel untuk menyimpan videoklip dari jenis musik apapun,
kecuali film dokumenter barangkali.
Apa yang sebenarnya
dicari Ali di lingkungan terbuka ini? Sembari memasukkan tangan ke saku celana
ia menengok kanan-kiri, bak Sidharta Gautama yang baru pertama kali keluar
dari istana, tapi mana ia menemukan kaum papa di tempat seperti ini. Tidak
terciri, kecuali barangkali mereka yang seragamnya sudah kuning dan lusuh
tapi tak kunjung diganti. Hati Ali mulai sejuk, yang kemudian ia sadari…
jangan-jangan karena kembang-kembang SMANSON? Tahu-tahu ia mendengar batinnya
menyebut-nyebut… “…Good Times. Arah jam tiga Silverqueen. Cadburry di jam
satu. Lihat arah jam tujuh, Cokelat Monggo. Geser sedikit tiga menit, Chocodot
rasa dorokdok. Kenapa semua manis-manis tapi agak pahit? Tidak ada satupun
yang hendak Ali dekati.
Melewati perpustakaan
langkah panjang Ali stagnan, berhenti sesaat. Masih langkah yang stagnan, tapi
tumit yang jadi pimpinan. Pintu perpustakaan terbuka lebar. Memperlihatkan
deretan lemari yang mengepung meja-meja panjang dan lebar. Kursi-kursi lipat
mengitari meja-meja bertaplak biru itu. Beberapa komputer juga tampak. Tapi
yang ditangkap mata Ali hanya sosok itu. Ekor kuda mencuat dari kepala yang tengah
menekur. Sebuah buku tipis yang isinya telah menguning terbuka di bawah kepala
itu. Buku apa yang sedang cewek itu baca? Apakah ia akan menceritakannya lagi
dengan begitu riuh di blog
miliknya? Mungkin Ali akan menanyakannya sebagai pemantik obrolan, nanti,
saat cewek itu datang lagi ke XII IPS 1.
Ali tidak terbayang
makanan manis apapun, melainkan ikan layur. Ikan layur?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar