Suatu siang sepulang
sekolah, Ali tidak tahan lagi. Terasa sudah begitu lama sejak ia terakhir kali
melintas ruangan itu. Melongok ke dalamnya. Menghisap pelabuhannya yang
biasa, kini tidak lagi kuasa, ke dalam penglihatannya. Maka ketika ia dapati
pintu itu tertutup, pun jendelanya, ia menjadi sukar percaya. Melalui lensanya
yang berkabut mata Ali berusaha menembus kaca jendela yang buram. Kedua
telapak tangannya lekat di sana. Benar-benar tidak ada seorangpun!
Genggamannya menggoyang-goyang gagang pintu. Di mana kunci itu? Di mana?!
Disebut-sebut sebagai sesepuh LEMPERs bukan berarti ia harus jadi pikun juga
kan? Jemarinya meraba-raba debu pada celah-celah di atas pintu. Dapat! Kunci
dengan kepala yang bulat, lubang di tengahnya sebagai alat bantu mengisi LKJ,
dan badan yang lurus ramping berujung pada sepasang gigi. Sudah lama benda perak
itu tak terbaring di atas telapak tangannya. Seperti Mary dan Colin yang
akhirnya menemukan akses menuju kebun rahasia[1].
Ketika badan kunci
diputar dalam lubangnya, “Kang,” Ali tergeragap. Sudah pikun, nyaris jantungan.
Dan post power syndromme-nya kumat
lagi, pikir seorang anak kelas X yang tengah berdiri di samping Ali, tapi
Ali tidak tahu. Ali juga tidak menyadari perubahan sorot di mata anak kelas X
tersebut, dari takjub ke permakluman. Anak kelas X tersebut dan
rekan-rekannya sesama penggawa LEMPERs telah diberi pesan oleh atasan mereka,
yang mantan anak buah Ali. Biarkan saja kalau si kakek datang lagi, daripada
kena stroke.
Pintu telah terbuka. Si
anak kelas X tersenyum lalu mendahului Ali masuk ke dalam sekre LEMPERs. Sebetulnya
ia ingin mengonfirmasi apakah Ali memang hendak mengumpulkan serpihan
kenangannya yang berceceran di sekre ini, barangkali senior satu ini telah
mengidap demensia juga, tapi demi kesopanan ia tahan. Ia tidak tahu harus
menegur apa. Pembinaan-inisiatif-junior-dalam-bertata-krama-dengan-senior
belum dimasukkan ke dalam agenda pengurus. Jadi bisa dimaklumi lagi apabila
kemudian Ali menunjukkan bahwa ia memang jauh lebih berpengalaman.
“Tumben kosong.”
“Pada ikut LITERASON,
Kang.”
“LITERASON…?” Ali
mengernyit. Baru kali ini ia mendengar nama itu. Sebetulnya ia termasuk front
yang anti dengan pemakaian imbuhan “-son” di akhir setiap ekskul, acara, atau
kegiatan apapun di SMANSON. Tuh kan. Setelah ORSON (Olahraga SMANSON), PAMERSON
(Palang Merah SMANSON), PAMANSON (Pencinta Alam SMANSON), SAMSON (Siswa Keamanan
SMANSON), SIMPSON (Sinematograpi SMANSON), BISON (Biliar SMANSON), hingga ROBINSON
(Robotika SMANSON), Ali bertanya-tanya kapan lahir ekskul yang menamakan
dirinya JACKSON, FERGUSON, JOHNSON, atau DICKSON. Jadi LITERASON tentu
Literasi SMANSON. Tentu semacam klub baca atau apa.
Si anak kelas X datang
ke sekre hanya untuk mengambil ransel. Pertemuan LITERASON siang itu belum
lagi mulai, tapi ia mendadak ditelepon oleh orangtuanya. Ia harus pulang
karena satu dan lain hal. Oke terima kasih infonya. LITERASON memang baru diadakan
tahun ajaran ini Kang, jadi tidak usah merasa ketinggalan peradaban. Tentu
saja.
Selepas si anak kelas X
beserta segenap pandangan subtilnya, Ali memandang kekosongan di seantero sekre.
Sebagian benda sudah tidak asing dalam memorinya, sebagian lagi tentu milik
para junior—baik junior yang masih junior maupun junior yang notabene senior bagi
junior baru. Sama berantakan seperti dahulu. Minus sarang laba-laba dan
gumpalan debu di mana-mana. Heran, kini Ali tak lagi tergugah untuk
membersamai mereka. Bak ikan sapu, menempel di dinding, lantas menjadi bagian
dari mereka. Nyaris tak kentara oleh mata yang tak terlatih.Tahu-tahu seseorang
melemparkan ransel ke perutnya, lalu sejuta permintaan maaf. Masa lalu. Lalu
bagaimana kalau hal sama terjadi kini, dan pelaku adalah anak kelas X? Masih
mending anak kelas XI, Ali masih merasa memiliki kedekatan emosional dengan
mereka. Memalukan, Ali tak sanggup membayangkan kemungkinan itu terjadi.
Mungkin sebaiknya ia mencari tahu apa itu LITERASON. Mungkin lintasan isu di
sana tak kalah menarik sebagaimana 4KANGSON—bahkan jauh lebih bermutu. Sial.
Ali lupa tanya lokasi pada anak kelas X tadi.
Baiklah. Sekali
memutari sekolah. Apabila tidak ketemu ya sudah. Ali akan pulang, berbaring di
kasur, dan melanjutkan bacaan—buku yang lain dengan yang terpendam di dalam
ranselnya tentu. Ah betapa simpelnya hidup. Baru lorong kedua yang Ali
tapaki, ia telah melihat lingkaran putih-kelabu di kejauhan. Mungkin itu. Sebagian
dari mereka adalah anak LEMPERs yang Ali kenal—cewek-cewek kelas XI. Semoga
mereka tidak sedang kegenitan. Ali lagi tidak mood untuk merinding. Juga ada si ikan layur. Ah bukankah dulu ia anak
LEMPERs juga? Ali tidak sadar telah mempercepat langkah. Sepertinya pertemuan
itu telah dimulai, dan si ikan layur tengah berbicara sementara lainnya
menyimak.
Tinggal beberapa belas
meter lagi menuju tengah taman sekolah, titik di mana lingkaran putih-kelabu
yang sedari tadi dituju. Kaki Ali mendadak membatu. Komposisi lingkaran
tersebut sangat genderis—apabila menggunakan istilah Zia—meskipun Ali tahu
ada istilah yang lebih tepat—seksis. Mana laki-lakinya?!
“Aaah… Itu dia abang
kita!” Kedua belah tangan Zia bertepuk tangan sekali. “Suatu kehormatan bagi
Abang Binsar Ali, pentolan LEMPERs, bergabung di forum ini…” Zia
berbisik-bisik pada cewek berambut panjang dan beralis tebal di sampingnya,
sementara Ali duduk dengan rikuh di antara dua anak kelas X yang belum teridentifikasi
sama sekali dalam memori Ali.
“…penasaran aja. Banyak
anak LEMPERs di sini…” ucap Ali sok tahu. Pandangannya beredar ke seluruh
penjuru lingkaran. Jangan-jangan ini bagian dari inisiasi LEMPERs yang baru.
Semoga begitu. Meski kurang ajar sekali kalau para anak kelas XI itu
memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan Dewan Penasihat. Jadi mungkin tidak
begitu. Tapi bukankah selama ini LEMPERs memang didominasi oleh kaum hawa?
Rilekslah, Ali. Ia tidak tahu kepada siapa harus tersenyum.
Indah, cewek kelas XI
yang tadi dibisiki Zia, angkat suara. Ia salah satu anak buah Ali di divisi mading
dulu, Ali merasa agak sedikit nyaman. Sekarang cewek itu tampak kalem, jadi
selain agak sedikit nyaman Ali pun agak sedikit senang. Ali mendengar Indah menjelaskan
tentang LITERASON, tapi ia tidak mendengarkan. Di dalam rongga kepalanya
seekor kucing tengah mengacak-ngacak gulungan benang wol. Zia menggaruk-garuk
rambutnya yang tidak diikat, dan sejumput-sejumput rambutnya yang terangkat
tidak terkulai kembali. “…Bumi Manusia
dari Pramoedya Ananta Toer,” akhirnya suara itu membuyarkan berbagai imaji
abstrak dalam benak Ali.
“…ya.” Ali mengangguk.
“Kebetulan banget kita
kedatangan Bang Ali. Dia suka baca-baca tentang sejarah. Ya kan, Bang Ali?” Wajah
semringah Zia bersinar dalam penglihatan Ali, tapi itu hanya membuat Ali
tersentak. Cewek itu menggigit bibir setelahnya.
“Uhm… Ya… Tokoh dalam
novel itu… Minke ya…?” Ali merasa bersyukur telah membaca blog Zia kapan itu. Apa lagi yang bisa digali dari ingatannya yang
telah merapuh? Ali harus menyuruh orang-orang berhenti mengatainya “kakek”.
“Dia… siswa AMS di Surabaya, tingkat akhir…” Wah Ali menyadari kalau ia dan
Minke mungkin satu umur—apakah Zia mengungkapkan detail berupa umur Minke
dalam review-nya? Aduh Ali tidak
ingat. Kenapa pula ia yang harus menyampaikan kembali isi review yang berantakan itu, bukan penulisnya sendiri? Alur
cerita itu tidak menempel sama sekali dalam ingatan Ali. Dan siapa itu
Ontosoroh? Kenapa tiba-tiba nama itu muncul? Jadilah Ali bercerita tentang sejarah
AMS di Indonesia, di mana gedung AMS pertama di Bandung didirikan, jenis
sekolah apa saja yang kemudian dibangun untuk menunjang lulusan AMS, bagaimana
kekhawatiran Belanda saat intelektual muda Indonesia—ya seperti Minke
itu—mulai bermunculan. “Di satu literatur…”, istilah yang terlalu mewah untuk blog apalagi macam yang milik Zia,
“…saya baca konon Minke ini terinspirasi dari sosok Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Nah, Raden Mas Tirto ini…” Ali pun menceritakan sejarah pers Indonesia,
“…kalian mungkin sempat dapet materi ini di diklat LEMPERs…”
Berpasang-pasang bola
mata menyorotkan keluguan. Menusuk-nusuk sanubari Ali. Ia sadar penjelasannya
yang panjang kali lebar tadi kurang runut. Coba kalau ada persiapan.
“Yak. Sehabis ini
materi ‘Manajemen Mading’, Kang!” celetuk Fika, mantan anak buah Ali yang lain
di divisi mading, seraya menunjuk Ali.
Ali tidak
menggubrisnya. “Sebenarnya saya belum baca novel itu, cuman baca review-nya aja. Emm… Saya harap
pemahaman temen-temen terhadap novel itu bisa lebih mendalam, setelah apa yang
saya ceritain tadi…” Desau angin siang tidak kuasa menelan gumaman-gumaman.
Ali kira ia telah mampu menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang cukup
simpel, apa ternyata tidak? “Eh ini klub nulis juga bukan sih? Saya kira menulis
review itu bagus, terus di-sharing ya, biar yang baca tahu apa dia
perlu membaca buku tertentu apa enggak.” Karena ada begitu banyak buku di
dunia ini, semoga kalian bisa membayangkannya, yang tidak akan pernah bisa
kita lahap semua biarpun kita lapar tidak kira-kira. Tapi Ali ragu untuk
melanjutkan. Ia tidak pasti apakah muka-muka di hadapannya ini adalah muka
lapar buku. Percuma bilang begitu pada orang yang baru melahap satu buku
lantas kekenyangan dan tidak sanggup makan lagi hingga waktu lama. Dan
sesungguhnya Ali memang lebih suka bungkam.
Sebagian besar di
antara peserta forum ini telah memegang Bumi
Manusia, entah punya sendiri apa punya teman atau yang terpajang di toko
buku. Ali mengamati bagaimana Zia memancing pendapat tiap orang mengenai
novel tersebut, sampai azan asar tahu-tahu menggema. Wah tidak terasa sudah
sore. Tiap orang sudah tidak nyaman duduk. Pacar telah lama menanti. Tapi yang
pasti ada PR yang mesti dikumpulkan esok hari. Ulangan Matematika besok
jangan sampai dapat satu koma lima lagi! Sayang sekali tapi kita harus sudahi
forum ini. Datang lagi minggu depan yaa. Hei Zia, mana pendapatmu sendiri?!
Ali sudah membentak-bentak dalam hati.
Orang-orang telah
berdiri lalu berangsur-angsur pergi. Sedang cewek itu masih asyik haha-hihi,
dengan siapa Ali tidak begitu peduli. Sepasang lengan Ali terlipat sedang
sepasang matanya mengawasi cewek itu. Ali yakin pasti fungsi Indah dalam forum
ini memang moderator, sedang cewek itu, cewek itu dengan semena-mena, berani-beraninya,
melimpahkan tanggungannya pada Ali. Memang Ali sendiri sih yang ingin datang ke
forum itu. Bukan penampilan yang buruk pula, tadi, tapi, Ali sadar untuk tidak
sepatutnya marah, tapi, memang ada sesuatu dari cewek itu yang perlu dibenahi.
Lawan bicaranya telah
pergi, cewek itu menyeringai pada Ali. “Makasih ya Bang Ali.”
Respons Ali hanya sorot
mata. Setelah itu ia berbalik. Dalam benaknya berkecamuk segala yang ia ingat
tentang Zia.
Bulan-bulan pertama
mereka di LEMPERs, Ali tidak begitu kenal Zia tapi ia tahu kalau para senior
menganggap Zia punya talenta. Diberi kepercayaan untuk mengurus mading, cewek
itu malah berpaling ke majalah semesteran. Tidak dikasih, cewek itu pun tidak
beredar lagi di LEMPERs.
Tahun kedua di SMANSON,
Zia kembali menunjukkan kemauannya untuk berkarya. Seperti ia rela melakukan
apa saja. Hanya Ali yang ia temui di sekre LEMPERs, Alipun meladeni seadanya.
Keterasingan cewek itu dengan tradisi LEMPERs justru membuat upayanya
membuahkan hasil yang unik—setidaknya bagi Ali. Tapi apa kabar kemudian dengan
cewek itu? Setelah kembali menghilang ia muncul dan menyentakkan Ali dengan
isu kontroversial di dalam tubuh SMANSON. Isu dilacak, ternyata memang fakta.
Ada yang tidak beres dengan keberlangsungan UN di SMANSON. Zia menyetor
bahan, Ali melengkapinya. Zia menyusun, Ali memolesnya. Karya mereka jadi.
Pihak sekolah mengetahui. Bungkamlah nyali. Pendar Zia redup lagi.
Kini nasib
menggiringnya untuk melihat sekelumit dari isi kepala Zia. Ali kembali
terkesima, tapi, kenapa ia harus begini kecewa? Memang apa yang ia harapkan
dari cewek itu? Toh tidak pernah ada hubungan bos-anak buah pula antara ia
dengan cewek itu, mending kalau Ali memikirkan kiprah Sheila, Indah, Fika,
Rieka, atau siapalah yang dulu wajib ia kasih instruksi ini-itu. Cuman hal
kecil begini pula, Ali mendengus, cewek itu sungguh lucu. Seharusnya Ali
tertawa malah karena telah terjebak. Ini kebodohannya. Cewek itu ternyata payah,
dan jadi manipulatif untuk mengatasinya, apa urusan Ali dengan itu?
Loh cewek itu sudah
menjajari langkahnya! Mereka bertukar pandang. Kemudian Ali sadar bahwa mereka
sama-sama mengarah ke tempat menyetop angkot.
“Kamu yang harusnya
ngomong tadi kan?”
Loh?!
Nyaris saja jin yang
jawab pertanyaan Ali. Zia sudah beberapa langkah dari Ali, tapi balik lagi
demi suara Ali yang sepertinya ditujukan padanya. “Apa?” tanya cewek itu.
“Enggak. Kirain mau
nyetop angkot.”
“Aku ke arah sana.” Zia
menunjuk arah yang berlainan dengan arah yang dituju Ali. “Mau ke rumah sepupu
dulu. Tapi emang angkot ke rumahku ke arah sana juga sih. Tapi lebih deket ke
rumah sepupu aku jadi aku mau ke sana dulu. Cuman sekitar sepuluh menit jalan
kaki.” Cewek yang sangat informatif. “Eh, tapi kamu tadi bukan nanyain itu
deh kayaknya.”
“Eh… Ehm. Yah. Tadi, di
LITERASON tadi, kamu yang harusnya ngomongin tentang novel itu kan?” Biarpun
sungkan menatap langsung mata Zia, Ali merasakan superioritas dalam nada
bicaranya pada cewek itu. Menyenangkan juga. Memangnya ada apa dengan diri kamu
sampai kamu mengalihkan tanggung jawab itu sama saya, ha? Hahaha. Tapi Ali
tidak melanjutkan ucapannya dengan itu tentu saja.
“Iya sih. Tapi aku
lebih suka diskusi ketimbang kalau harus aku yang banyak ngomong. Jadi tiap
orang bisa saling berbagi, gitu…” sahut cewek itu. Tanpa rasa bersalah
sedikitpun.
“Kalau gitu aja sih
sama moderator juga bisa. Mestinya kamu enggak jadi moderator di bawah moderator
kan?” Atau jangan-jangan moderatornya dobel. “Atau jangan-jangan moderatornya
dobel?” Lebih baik Ali mengungkapkannya saja sekalian.
Zia menggeleng, tampak
agak malu. “Sebetulnya aku udah nyiapin bahan. Tapi aku bingung harus mulai dari
mana…”
Ali mengernyit. “Kenapa
mereka pilih kamu sih?”
“Karena baru aku yang
nulis review… eh, enggak juga sih…
kayaknya cuman aku yang bikin review
sampai sepanjang itu. Terus kayaknya sih cuman aku juga rada-rada negatif
gimana gitu sama novel itu… Sebenarnya aku cuman kurang bisa simpati sama
karakter-karakternya aja sih.” Cewek itu memutar bola mata.
“Jelas kamu bingung
Zia. Gagasan kamu tuh kacau balau,” ucap Ali kalem.
“Masak sih? Eh?
Maksudnya apa?” Selagi Zia berkata begitu Ali mengangkat tangan pada sopir
angkot yang melintas di seberang jalan. Angkot berhenti. Ali memandang Zia
untuk terakhir kali, lalu menyeberang. Masuk ke dalam angkot. Kebingungan
cewek itu menempel di kaca jendela angkot, jadi ternyata yang sebelumnya
bukan yang terakhir kali Ali melihat Zia. Ini yang terakhir kali. Benar,
terakhir kali. Angkot ini melaju cepat sekali. Wajah Zia yang semakin
mengecil hingga hilang sama sekali setelah belokan, atau Ali yang kemudian
menyadari bahwa ia tidak perlu menangkap cewek itu dalam matanya hingga
sebegitu lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar