Sabtu, 18 Agustus 2012

06

Suatu siang sepulang sekolah, Ali tidak tahan la­gi. Terasa sudah begitu lama sejak ia terakhir kali me­lin­tas ruangan itu. Melongok ke dalamnya. Menghisap pe­la­buhannya yang biasa, kini tidak lagi kuasa, ke dalam peng­lihatannya. Maka ketika ia dapati pintu itu tertutup, pun jendelanya, ia menjadi sukar percaya. Melalui len­sa­nya yang berkabut mata Ali berusaha menembus kaca jen­dela yang buram. Kedua telapak tangannya lekat di sa­na. Benar-benar tidak ada seorangpun! Genggamannya meng­goyang-goyang gagang pintu. Di mana kunci itu? Di mana?! Disebut-sebut sebagai sesepuh LEMPERs bu­kan berarti ia harus jadi pikun juga kan? Jemarinya me­ra­ba-raba debu pada celah-celah di atas pintu. Dapat! Kun­ci dengan kepala yang bulat, lubang di tengahnya se­ba­gai alat bantu mengisi LKJ, dan badan yang lurus ram­ping berujung pada sepasang gigi. Sudah lama benda pe­rak itu tak terbaring di atas telapak tangannya. Seperti Mary dan Colin yang akhirnya menemukan akses me­nu­ju kebun rahasia[1].

Ketika badan kunci diputar dalam lubangnya, “Kang,” Ali tergeragap. Sudah pikun, nyaris jantungan. Dan post power syndromme-nya kumat lagi, pikir se­o­rang anak kelas X yang tengah berdiri di samping Ali, ta­pi Ali tidak tahu. Ali juga tidak menyadari perubahan so­rot di mata anak kelas X tersebut, dari takjub ke per­mak­luman. Anak kelas X tersebut dan rekan-rekannya se­sama penggawa LEMPERs telah diberi pesan oleh atas­an mereka, yang mantan anak buah Ali. Biarkan saja ka­lau si kakek datang lagi, daripada kena stroke.

Pintu telah terbuka. Si anak kelas X tersenyum la­lu mendahului Ali masuk ke dalam sekre LEMPERs. Se­betulnya ia ingin mengonfirmasi apakah Ali memang hen­dak mengumpulkan serpihan kenangannya yang ber­ce­ceran di sekre ini, barangkali senior satu ini telah meng­idap demensia juga, tapi demi kesopanan ia tahan. Ia tidak tahu harus menegur apa. Pembinaan-inisiatif-ju­ni­or-dalam-bertata-krama-dengan-senior belum di­ma­suk­kan ke dalam agenda pengurus. Jadi bisa dimaklumi la­gi apabila kemudian Ali menunjukkan bahwa ia me­mang jauh lebih berpengalaman.

“Tumben kosong.”

“Pada ikut LITERASON, Kang.”

“LITERASON…?” Ali mengernyit. Baru kali ini ia mendengar nama itu. Sebetulnya ia termasuk front yang anti dengan pemakaian imbuhan “-son” di akhir se­ti­ap ekskul, acara, atau kegiatan apapun di SMANSON. Tuh kan. Setelah ORSON (Olahraga SMANSON), PA­MER­SON (Palang Merah SMANSON), PAMANSON (Pen­cinta Alam SMANSON), SAMSON (Siswa Ke­aman­an SMANSON), SIMPSON (Sinematograpi SMAN­SON), BISON (Biliar SMANSON), hingga RO­BIN­SON (Robotika SMANSON), Ali bertanya-tanya ka­pan lahir ekskul yang menamakan dirinya JACKSON, FER­GUSON, JOHNSON, atau DICKSON. Jadi LI­TE­RA­SON tentu Literasi SMANSON. Tentu semacam klub ba­ca atau apa.

Si anak kelas X datang ke sekre hanya untuk meng­­ambil ransel. Pertemuan LITERASON siang itu be­lum lagi mulai, tapi ia mendadak ditelepon oleh orang­tua­nya. Ia harus pulang karena satu dan lain hal. Oke te­ri­ma kasih infonya. LITERASON memang baru di­a­da­kan tahun ajaran ini Kang, jadi tidak usah merasa ke­ting­gal­an peradaban. Tentu saja.

Selepas si anak kelas X beserta segenap pan­dang­an subtilnya, Ali memandang kekosongan di seantero sek­re. Sebagian benda sudah tidak asing dalam me­mo­ri­nya, sebagian lagi tentu milik para junior—baik junior yang masih junior maupun junior yang notabene senior ba­gi junior baru. Sama berantakan seperti dahulu. Minus sa­rang laba-laba dan gumpalan debu di mana-mana. He­ran, kini Ali tak lagi tergugah untuk membersamai me­re­ka. Bak ikan sapu, menempel di dinding, lantas menjadi ba­gian dari mereka. Nyaris tak kentara oleh mata yang tak terlatih.Tahu-tahu seseorang melemparkan ransel ke pe­rutnya, lalu sejuta permintaan maaf. Masa lalu. Lalu ba­gaimana kalau hal sama terjadi kini, dan pelaku adalah anak kelas X? Masih mending anak kelas XI, Ali masih me­rasa memiliki kedekatan emosional dengan mereka. Me­malukan, Ali tak sanggup membayangkan ke­mung­kin­an itu terjadi. Mungkin sebaiknya ia mencari tahu apa itu LITERASON. Mungkin lintasan isu di sana tak kalah me­narik sebagaimana 4KANGSON—bahkan jauh lebih ber­mutu. Sial. Ali lupa tanya lokasi pada anak kelas X ta­­di.

Baiklah. Sekali memutari sekolah. Apabila tidak ke­temu ya sudah. Ali akan pulang, berbaring di kasur, dan melanjutkan bacaan—buku yang lain dengan yang ter­pendam di dalam ranselnya tentu. Ah betapa sim­pel­nya hidup. Baru lorong kedua yang Ali tapaki, ia telah me­lihat lingkaran putih-kelabu di kejauhan. Mungkin itu. Se­bagian dari mereka adalah anak LEMPERs yang Ali ke­nal—cewek-cewek kelas XI. Semoga mereka tidak se­dang kegenitan. Ali lagi tidak mood untuk merinding. Ju­ga ada si ikan layur. Ah bukankah dulu ia anak LEM­PERs juga? Ali tidak sadar telah mempercepat langkah. Se­pertinya pertemuan itu telah dimulai, dan si ikan layur te­ngah berbicara sementara lainnya menyimak.

Tinggal beberapa belas meter lagi menuju tengah ta­man sekolah, titik di mana lingkaran putih-kelabu yang se­dari tadi dituju. Kaki Ali mendadak membatu. Kom­po­si­si lingkaran tersebut sangat genderis—apabila meng­gu­na­kan istilah Zia—meskipun Ali tahu ada istilah yang le­bih tepat—seksis. Mana laki-lakinya?!

“Aaah… Itu dia abang kita!” Kedua belah tangan Zia bertepuk tangan sekali. “Suatu kehormatan bagi Abang Binsar Ali, pentolan LEMPERs, bergabung di fo­rum ini…” Zia berbisik-bisik pada cewek berambut pan­jang dan beralis tebal di sampingnya, sementara Ali du­duk dengan rikuh di antara dua anak kelas X yang belum ter­identifikasi sama sekali dalam memori Ali.

“…penasaran aja. Banyak anak LEMPERs di si­ni…” ucap Ali sok tahu. Pandangannya beredar ke se­lu­ruh penjuru lingkaran. Jangan-jangan ini bagian dari ini­si­asi LEMPERs yang baru. Semoga begitu. Meski ku­rang ajar sekali kalau para anak kelas XI itu memutuskan se­suatu tanpa pertimbangan Dewan Penasihat. Jadi mung­kin tidak begitu. Tapi bukankah selama ini LEM­PERs memang didominasi oleh kaum hawa? Rilekslah, Ali. Ia tidak tahu kepada siapa harus tersenyum.

Indah, cewek kelas XI yang tadi dibisiki Zia, ang­kat suara. Ia salah satu anak buah Ali di divisi ma­ding dulu, Ali merasa agak sedikit nyaman. Sekarang ce­wek itu tampak kalem, jadi selain agak sedikit nyaman Ali pun agak sedikit senang. Ali mendengar Indah men­je­laskan tentang LITERASON, tapi ia tidak men­de­ngar­kan. Di dalam rongga kepalanya seekor kucing tengah meng­acak-ngacak gulungan benang wol. Zia meng­ga­ruk-garuk rambutnya yang tidak diikat, dan sejumput-se­jum­put rambutnya yang terangkat tidak terkulai kembali. “…Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer,” ak­hir­nya suara itu membuyarkan berbagai imaji abstrak dalam be­nak Ali.

“…ya.” Ali mengangguk.

“Kebetulan banget kita kedatangan Bang Ali. Dia su­ka baca-baca tentang sejarah. Ya kan, Bang Ali?” Wa­jah semringah Zia bersinar dalam penglihatan Ali, tapi itu hanya membuat Ali tersentak. Cewek itu menggigit bi­bir setelahnya.

“Uhm… Ya… Tokoh dalam novel itu… Minke ya…?” Ali merasa bersyukur telah membaca blog Zia ka­pan itu. Apa lagi yang bisa digali dari ingatannya yang te­lah merapuh? Ali harus menyuruh orang-orang ber­hen­ti mengatainya “kakek”. “Dia… siswa AMS di Su­ra­ba­ya, tingkat akhir…” Wah Ali menyadari kalau ia dan Min­ke mungkin satu umur—apakah Zia mengungkapkan de­tail berupa umur Minke dalam review-nya? Aduh Ali ti­dak ingat. Kenapa pula ia yang harus menyampaikan kem­bali isi review yang berantakan itu, bukan pe­nu­lis­nya sendiri? Alur cerita itu tidak menempel sama sekali da­lam ingatan Ali. Dan siapa itu Ontosoroh? Kenapa ti­ba-tiba nama itu muncul? Jadilah Ali bercerita tentang se­jarah AMS di Indonesia, di mana gedung AMS per­ta­ma di Bandung didirikan, jenis sekolah apa saja yang ke­mu­dian dibangun untuk menunjang lulusan AMS, ba­gai­ma­na kekhawatiran Belanda saat intelektual muda In­do­ne­sia—ya seperti Minke itu—mulai bermunculan. “Di sa­tu literatur…”, istilah yang terlalu mewah untuk blog apa­lagi macam yang milik Zia, “…saya baca konon Min­ke ini terinspirasi dari sosok Raden Mas Tirto Adhi Soer­jo. Nah, Raden Mas Tirto ini…” Ali pun men­ce­ri­ta­kan sejarah pers Indonesia, “…kalian mungkin sempat da­pet materi ini di diklat LEMPERs…”

Berpasang-pasang bola mata menyorotkan ke­lu­gu­an. Menusuk-nusuk sanubari Ali. Ia sadar pen­je­las­an­nya yang panjang kali lebar tadi kurang runut. Coba ka­lau ada persiapan.

“Yak. Sehabis ini materi ‘Manajemen Mading’, Kang!” celetuk Fika, mantan anak buah Ali yang lain di di­visi mading, seraya menunjuk Ali.

Ali tidak menggubrisnya. “Sebenarnya saya be­lum baca novel itu, cuman baca review-nya aja. Emm… Sa­ya harap pemahaman temen-temen terhadap novel itu bi­sa lebih mendalam, setelah apa yang saya ceritain ta­di…” Desau angin siang tidak kuasa menelan gumaman-gu­maman. Ali kira ia telah mampu menyampaikan se­su­a­tu dengan bahasa yang cukup simpel, apa ternyata ti­dak? “Eh ini klub nulis juga bukan sih? Saya kira me­nu­lis review itu bagus, terus di-sharing ya, biar yang baca ta­hu apa dia perlu membaca buku tertentu apa enggak.” Ka­rena ada begitu banyak buku di dunia ini, semoga ka­li­an bisa membayangkannya, yang tidak akan pernah bi­sa kita lahap semua biarpun kita lapar tidak kira-kira. Ta­pi Ali ragu untuk melanjutkan. Ia tidak pasti apakah mu­ka-muka di hadapannya ini adalah muka lapar buku. Per­cu­ma bilang begitu pada orang yang baru melahap satu bu­ku lantas kekenyangan dan tidak sanggup makan lagi hing­ga waktu lama. Dan sesungguhnya Ali memang le­bih suka bungkam.

Sebagian besar di antara peserta forum ini telah me­megang Bumi Manusia, entah punya sendiri apa pu­nya teman atau yang terpajang di toko buku. Ali meng­a­mati bagaimana Zia memancing pendapat tiap orang me­nge­nai novel tersebut, sampai azan asar tahu-tahu meng­ge­ma. Wah tidak terasa sudah sore. Tiap orang sudah ti­dak nyaman duduk. Pacar telah lama menanti. Tapi yang pas­ti ada PR yang mesti dikumpulkan esok hari. Ulangan Ma­tematika besok jangan sampai dapat satu koma lima la­gi! Sayang sekali tapi kita harus sudahi forum ini. Da­tang lagi minggu depan yaa. Hei Zia, mana pendapatmu sen­diri?! Ali sudah membentak-bentak dalam hati.

Orang-orang telah berdiri lalu berangsur-angsur per­gi. Sedang cewek itu masih asyik haha-hihi, dengan si­apa Ali tidak begitu peduli. Sepasang lengan Ali ter­li­pat sedang sepasang matanya mengawasi cewek itu. Ali ya­kin pasti fungsi Indah dalam forum ini memang mo­de­ra­tor, sedang cewek itu, cewek itu dengan semena-mena, be­rani-beraninya, melimpahkan tanggungannya pada Ali. Memang Ali sendiri sih yang ingin datang ke forum itu. Bukan penampilan yang buruk pula, tadi, tapi, Ali sa­dar untuk tidak sepatutnya marah, tapi, memang ada se­suatu dari cewek itu yang perlu dibenahi.

Lawan bicaranya telah pergi, cewek itu me­nye­ri­ngai pada Ali. “Makasih ya Bang Ali.”

Respons Ali hanya sorot mata. Setelah itu ia ber­ba­lik. Dalam benaknya berkecamuk segala yang ia ingat ten­tang Zia.

Bulan-bulan pertama mereka di LEMPERs, Ali ti­dak begitu kenal Zia tapi ia tahu kalau para senior meng­anggap Zia punya talenta. Diberi kepercayaan un­tuk mengurus mading, cewek itu malah berpaling ke ma­ja­lah semesteran. Tidak dikasih, cewek itu pun tidak ber­e­dar lagi di LEMPERs.

Tahun kedua di SMANSON, Zia kembali me­nun­jukkan kemauannya untuk berkarya. Seperti ia rela me­lakukan apa saja. Hanya Ali yang ia temui di sekre LEM­PERs, Alipun meladeni seadanya. Keterasingan ce­wek itu dengan tradisi LEMPERs justru membuat upa­ya­nya membuahkan hasil yang unik—setidaknya bagi Ali. Ta­pi apa kabar kemudian dengan cewek itu? Setelah kem­bali menghilang ia muncul dan menyentakkan Ali de­ngan isu kontroversial di dalam tubuh SMANSON. Isu di­lacak, ternyata memang fakta. Ada yang tidak beres de­ngan keberlangsungan UN di SMANSON. Zia me­nye­tor bahan, Ali melengkapinya. Zia menyusun, Ali me­mo­les­nya. Karya mereka jadi. Pihak sekolah mengetahui. Bung­kamlah nyali. Pendar Zia redup lagi.

Kini nasib menggiringnya untuk melihat se­ke­lu­mit dari isi kepala Zia. Ali kembali terkesima, tapi, ke­na­pa ia harus begini kecewa? Memang apa yang ia ha­rap­kan dari cewek itu? Toh tidak pernah ada hubungan bos-anak buah pula antara ia dengan cewek itu, mending ka­lau Ali memikirkan kiprah Sheila, Indah, Fika, Rieka, atau siapalah yang dulu wajib ia kasih instruksi ini-itu. Cu­man hal kecil begini pula, Ali mendengus, cewek itu sung­guh lucu. Seharusnya Ali tertawa malah karena te­lah terjebak. Ini kebodohannya. Cewek itu ternyata pa­yah, dan jadi manipulatif untuk mengatasinya, apa urus­an Ali dengan itu?

Loh cewek itu sudah menjajari langkahnya! Me­re­ka bertukar pandang. Kemudian Ali sadar bahwa me­re­ka sama-sama mengarah ke tempat menyetop angkot.

“Kamu yang harusnya ngomong tadi kan?”

Loh?!

Nyaris saja jin yang jawab pertanyaan Ali. Zia su­dah beberapa langkah dari Ali, tapi balik lagi demi su­a­ra Ali yang sepertinya ditujukan padanya. “Apa?” tanya ce­wek itu.

“Enggak. Kirain mau nyetop angkot.”

“Aku ke arah sana.” Zia menunjuk arah yang ber­la­inan dengan arah yang dituju Ali. “Mau ke rumah se­pu­pu dulu. Tapi emang angkot ke rumahku ke arah sana ju­ga sih. Tapi lebih deket ke rumah sepupu aku jadi aku mau ke sana dulu. Cuman sekitar sepuluh menit jalan ka­ki.” Cewek yang sangat informatif. “Eh, tapi kamu tadi bu­kan nanyain itu deh kayaknya.”

“Eh… Ehm. Yah. Tadi, di LITERASON tadi, ka­mu yang harusnya ngomongin tentang novel itu kan?” Bi­arpun sungkan menatap langsung mata Zia, Ali me­ra­sa­kan superioritas dalam nada bicaranya pada cewek itu. Me­nyenangkan juga. Memangnya ada apa dengan diri ka­mu sampai kamu mengalihkan tanggung jawab itu sa­ma saya, ha? Hahaha. Tapi Ali tidak melanjutkan ucap­an­nya dengan itu tentu saja.

“Iya sih. Tapi aku lebih suka diskusi ketimbang ka­lau harus aku yang banyak ngomong. Jadi tiap orang bi­sa saling berbagi, gitu…” sahut cewek itu. Tanpa rasa ber­salah sedikitpun.

“Kalau gitu aja sih sama moderator juga bisa. Mes­tinya kamu enggak jadi moderator di bawah mo­de­ra­tor kan?” Atau jangan-jangan moderatornya dobel. “Atau jangan-jangan moderatornya dobel?” Lebih baik Ali mengungkapkannya saja sekalian.

Zia menggeleng, tampak agak malu. “Sebetulnya aku udah nyiapin bahan. Tapi aku bingung harus mulai da­ri mana…”

Ali mengernyit. “Kenapa mereka pilih kamu sih?”

“Karena baru aku yang nulis review… eh, enggak ju­ga sih… kayaknya cuman aku yang bikin review sam­pai sepanjang itu. Terus kayaknya sih cuman aku juga ra­da-rada negatif gimana gitu sama novel itu… Se­be­nar­nya aku cuman kurang bisa simpati sama karakter-ka­rak­ter­nya aja sih.” Cewek itu memutar bola mata.

“Jelas kamu bingung Zia. Gagasan kamu tuh ka­cau balau,” ucap Ali kalem.

“Masak sih? Eh? Maksudnya apa?” Selagi Zia ber­kata begitu Ali mengangkat tangan pada sopir angkot yang melintas di seberang jalan. Angkot berhenti. Ali me­mandang Zia untuk terakhir kali, lalu menyeberang. Ma­suk ke dalam angkot. Kebingungan cewek itu me­nem­pel di kaca jendela angkot, jadi ternyata yang se­be­lum­nya bukan yang terakhir kali Ali melihat Zia. Ini yang terakhir kali. Benar, terakhir kali. Angkot ini me­la­ju cepat sekali. Wajah Zia yang semakin mengecil hing­ga hilang sama sekali setelah belokan, atau Ali yang ke­mu­dian menyadari bahwa ia tidak perlu menangkap ce­wek itu dalam matanya hingga sebegitu lama.



[1] Frances Hodgson Burnett – The Secret Garden, novel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain