Minggu berarti hari di
mana Ali dan Fathim menjadi satu tim. Sejak subuh mereka mencelupkan tangan
mereka ke dalam baskom besar berisi puluhan setel pakaian berbusa. Sementara
Aziz memeras lantas menjemur hasil cucian di area depan kamar mandi, Ali memilah-milih
bawang, cabai, dan berbagai rupa bumbu lain. Fathim menyingsingkan lengan baju,
siap dengan muntu. Ia selalu bersemangat dalam setiap upaya membesarkan otot.
Tapi tidak piawai mengendalikan sewajan besar nasi dengan spatula. Ia
meringis. Menahan panas dan pedih dari bumbu yang meruap ke muka. Wajan goyah.
Nasi terawur-awur. Hardikan abangnya dari belakang. Tapi dengan bangga di
depan Ibu dan Opung ia mengatakan bahwa nasi goreng ini hasil karyanya. Tapi
Opung tidak pernah terkecoh.
“Sesekali kau masaklah
yang ada santannya itu, Li.”
“Ah males yang
ribet-ribet, Pung.” Ali berdecak seraya menyendokkan nasi goreng ke piringnya
sendiri.
“Sudah tiga kali Minggu
tidak ada kuahnya!” teriak Opung karena Ali menjauh darinya.
“Besok kau masak sayur
asem, Li,” titah Ibu.
Decak Ali bertambah-tambah.
“Suruhlah itu anak perempuan Ibu,” keluh Ali.
“Malulah si Fathim itu,
kalah jago dari abangnya.” Rupa-rupanya Opung masih dengar.
“Udah Fathim bilang,
ini nasi goreng Fathim!” jerit Fathim.
“Buteet… Butet…” Aziz
menceracau sendiri.
Sudah tiga kali Minggu
ini juga sebab, Paguyuban Siswa Sosial SMANSON alias PS3 rutin mengadakan
olahraga bareng di stadion sekolah. Anwar akan jemput Ali pukul sembilan pagi
dengan motor. Dengan girang Ali meninggalkan parade kartun dan keriuhan isi
rumah.
“Malu ih Abang, bawa
motor sendiri atuh!”
“Rewel kau Fathim!”
Setelah duduk di
belakang Anwar pun, “Umur maneh 18
tahun kan? Belum punya SIM?” Baru dua hari Anwar berusia 17 tahun, tapi ia
sudah punya SIM sejak dua tahun lalu.
Ibu harus lebih sering
menyuruh Ali beli ikan.
Satu cara mengajak Ali
bergaul adalah dengan olahraga cuma-cuma. Ali akan mengoptimalkannya. Menjelang
asar, cuman Ali dan seorang kawannya yang tak-tok-tak-tok di dalam stadion.
Pulang dengan angkot, karena sudah ditinggal Anwar yang harus apel ke rumah pacarnya.
Lampu di ruang tengah sudah dinyalakan saat Ali tiba di rumah. Semakin cerah
pemandangan yang ditangkap Ali karena mendapati punggung Om Arman. Ia menyalami
lelaki seusia orangtuanya itu.
“Om. Mau periksa
tulisan…”
“Mau, mau, mana?” Ali
belum menyelesaikan ucapannya tapi Om Arman sudah antusias. Sambil meneguk
tehnya pula. Ali lanjut ke kamar untuk mengambil yang ia maksudkan. “Tapi habis
kamu mandi saja, Li!”
Ali mesem. Sudah sering
sebetulnya orang rumah memprotes aroma badannya kalau sehabis berolahraga seharian.
Yang Ali maksudkan
ialah tulisan Zia yang sudah ia permak. Saking banyaknya bagian yang ia permak,
Ali merasa lebih tepat mengatakan tulisan itu adalah hasil karyanya berdua
Zia. Usai menyingkirkan segala yang melekat di badannya, mulai dari pakaian,
debu, dan keringat, lalu memakai kaos yang baru disetrika Ibu, Ali siap
mendengarkan komentar Om Arman. Biar suara-suara dari TV di dapur menyeruak
ke dalam pendengarannya, Fathim berkicau, sedang Opung berkoar-koar dalam
parau, fokus Ali hanya pada sang wartawan koran regional itu. Sekian kali
menghirup teh, Om Arman meminta alat tulis pada Ali. Mulai.
“Kalimat ini, dengan
yang selanjutnya, bisa digabung enggak?” Om Arman menunjuk-nunjuk dengan pensil.
“Satu paragraf ini bisa jadi dua kalimat aja, digabung sama paragraf di
bawahnya.” Lalu Om Arman menjelaskan bagaimana terbatasnya ruang kolom di koran.
“Kalimat-kalimat Ali ini masih terlalu encer, harus dikasih Diapet.”
“Oh, gitu ya, Om…” Ali
termangu melihat Om Arman membuat guratan-guratan di atas tulisan itu. Padahal
ia sudah susah payah memecah kalimat Zia, tapi kalimat-kalimatnya sendiri pun
belum cukup padat. Begitulah, menulis. Ali manggut-manggut mendengarkan kuliah
Om Arman tentang ekonomi kata.
“…terus… apa kata Ali
tadi? Ini bukan tulisan Ali sendiri?”
“Iya, nulis bareng
temen Om.” Tidak persis seperti itu sih, tapi Ali hendak menerapkan ekonomi
kata.
“Yah… Mana tulisan Ali
sendiri?” Om Arman meletakkan bundelan tipis itu ke atas meja.
Ibu mengisi kursi di
samping Ali.
“Nyusul Om.” Ali mesem.
Lagi Om Arman menyesap
teh. “Jadinya mau ngelanjutin ke mana, Li? Sekarang kamu udah kelas tiga kan?”
Ali menunduk saja. Jadi
apa ya? Entah kenapa Ali merasa ragu untuk mengatakannya. Malu? Tidak tahu.
Tidak terasa akan secepat ini. Tidak ada yang harus diputuskan, sebetulnya.
Ali hanya merasa takdirnya akan segera tiba.
“Ali…” tegur Ibu.
“Hm… Mungkin
Jurnalistik Om…” Ali melanjutkan dengan menyebut nama perguruan tinggi
negeri di Jatinangor.
“Kok mungkin?”
“Jurnalistik, Om,”
jawab Ali, lebih mantap. Lagipula ia tidak terpikir yang lain toh, selain
Sejarah.
“Iya. Gitu dong, yang
tegas. Nurutin jejak Bapak ya,” juga Opung dan Ibu, dulu, “…sama om juga nih
hahaha…”
Justru karena itulah
Ali tidak melihat ada profesi selain wartawan, sebagaimana anak kelas dua SD
tidak mengetahui kalau ada profesi selain dokter dan pilot. Kelas tiga SD Ali
diberi PR membuat karangan mengenai cita-cita, ia menulis hendak jadi wartawan.
Dua tahun kemudian diberi lagi PR serupa, ia tinggal memoles karangannya dua
tahun lalu. Apalagi jika merunut sejarah keluarga, agaknya tiap putra sulung
Harahap ditakdirkan untuk menjadi wartawan. Sejak Abdullah, Ahmad, dan kini
Ali.
“Dari sekarang Ali
harus banyak latihan nulis, banyak baca…”
“Iya Om.” Ali
mengangguk-angguk.
“Sama rajin dengerin
pengalaman opungnya Ali nih, sang jagoan, hahahaha…” ujar Om Arman bertepatan
dengan masuknya Opung ke ruang tengah. Menunggu beberapa detik hingga jarak
Opung dengan Om Arman kian dekat, dengan bantuan tongkat hitamnya, Om Arman
menyalami pria tua itu. Cuman Om Arman agaknya yang betah mendengarkan racauan
Opung. Coba kalau ia tinggal di rumah ini juga.
Sampai SD Ali masih
terkesima dengan cerita-cerita Opung. Tahulah ia darimana Bapak mewarisi kegigihan
dan kepiawaian dalam menceritakannya. Cerita di balik berita yang Bapak maupun
Opung tulis selalu seru. Dahulu Bapak cerita bagaimana ia harus berkelit dari
oknum X, tapi malah kepergok antek Y, lalu bergonta-ganti nama supaya mudah
aksesnya dalam menemui pejabat Z. Cerita Opung semacam itu, dengan latar waktu
yang lebih lampau. Tapi Ali, Fathim, dan Aziz sudah kenyang dengan cerita
Opung yang itu lagi-itu lagi, yang kalau dikumpulkan tak kalah tebal dari
dongeng Grimm bersaudara maupun kisah 1001 malam, karena Opung sudah lama
tidak bertualang lagi.
Sedang besok kalau
Bapak pulang, Ali dan adik-adiknya bakal merasakan lagi kenikmatan
mendengarkan cerita. Kalau, kalau Bapak pulang. Ibu selalu bilang, jangan
mengharap. Toh terlepas dari apakah Bapak bakal pulang atau tidak pun,
bukankah sebelumnya mereka sudah biasa dengan ketidakhadiran Bapak?
.
Sebuah bundelan
meluncur ke arah Ali. Gerakan mata Ali mengikutinya. Cewek itu lagi. Ini
bukan sebuah de javu, ini sepertinya
sudah jadi kebiasaan. Cewek itu juga bukan duduk di bangku sebelah, tapi
kursi di samping Ali. Kenapa cewek itu tidak menyerahkan tulisannya secara
baik-baik, langsung dari tangannya sendiri? Apa ia sedang mempraktikkan salah
satu rumus Fisika tentang kecepatan yang harus ia pelajari? Tapi Ali ambil juga
tulisan itu. Tidak perlu dibaca. Cukup diambil, dan dengarkan Zia bicara.
Ocehan cewek itu selama dua menit ke depan adalah intisari.
“…di situ aku
mempertimbangkan faktor-faktor yang bikin diary
Anne Frank melejit… padahal itu ‘cuman sekadar diary cewek’ gitu loh…” Zia menekankan nadanya pada beberapa kata.
“Dari kontennya aja sih. Aku enggak sampai nyari tahu faktor-faktor di luar itu,
kayak misalnya siapa yang berinisiatif nerbitin itu… Malah mungkin sebenernya
itu yang penting.”
Ali menoleh pada Zia.
Omongan cewek ini sok tapi menggelikan. Ia sampai membaca ulang buku itu, menurutnya
ini yang termudah di antara buku-buku lain yang ia sebutkan pada Ali kapan
itu—demi apa coba? Apa sebenarnya cewek ini ingin dipinjamkan buku tentang
Nazi, sebagaimana Ali meminjamkan Sejarah
Pendidikan Indonesia terkait Bumi
Manusia dulu? Oh ya. Ali belum menemukan buku tentang teori konspirasi sebagaimana
yang ia maksudkan.
Sejenak Ali memindai
kata-kata yang tercetak di kertas. Cewek itu sudah mencoba untuk membuat kalimat-kalimat
pendek. Menarik. Ali mencari-cari di mana saja cewek itu meletakkan gagasan
pokoknya. “Eh Zia.”
“Hm?”
“Kapan kamu mau
berhenti nulis review, Zia?”
“Hm?” Cewek itu
mengulang dengan nada heran. Dari ekspresi cewek itu terbaca oleh Ali apa yang
tidak dikatakan, tapi bukan, Ali bukan hendak menyurutkan semangat.
“Kapan berhenti nulis review Zia? Ganti nulis yang lain dong.”
“Udah. Aku udah nulis
cerpen.” Mimik muka Zia kembali cerah.
Yang ada di blog cewek itu? Tapi itu enggak Ali banget.
“Nulis apaan dong?”
kata cewek itu lagi, seolah peka dengan suara hati Ali.
“Ya apa aja.”
“Tapi kalau cerpen kamu
enggak bisa ngomentarin.”
“Jadi kamu nulis supaya
bisa saya komentarin?” Ali menegakkan tubuh. Bukannya Ali tidak menduga sejak
awal maksud cewek itu menyodorkan tulisan demi tulisan. Senangnya bisa
memastikan dengan lagak menodong seperti ini.
Cewek itu membalas
dengan cengiran.
Berani bayar berapa?
Tapi pada saat itu juga
Ali terpikir kata-kata Om Arman untuk berlatih menulis dari sekarang. Berlatih
menulis apa? Apakah review dan
cerpen seperti Zia? Apa sebenarnya yang ingin Ali tulis? Apakah karena Ali hendak
jadi wartawan maka ia harus berlatih menulis berita?
Sekali lagi Ali
meninjau tulisan Zia. Sepertinya menarik sih. Satu halaman pertama membuat Ali
tersenyum. Halaman berikutnya senyum Ali memudar. Penipuan. Ibarat tisikan
yang dibuat Fathim. Jelujur awal rapi bak buah karya penjahit profesional, tapi
selanjutnya benang tersemat dengan kian amburadul.
“Kamu kalau udah
selesai nulis gitu, tulisannya dibaca lagi enggak sih?”
“Enggak… Hehehe…”
Cengiran.
Nambah-nambah kerjaan aja,
keluh Ali meski dengan rasa tergugah. Zia pasti dengan senang hati mempersilahkan
Ali membawa tulisan itu pulang. Semoga Ali ingat untuk mengkajinya sesampai ia
di rumah nanti. Sepertinya bakal menarik juga kalau buku yang Zia ulas ini dikaitkan
dengan buku-buku lain semacam. Ah iya, teori konspirasi. Benarkah itu ada? Ali
sekadar pernah baca di situ dan di sana saja, tapi ke mana ia harus mencari
tahu lebih banyak dan lebih dalam tentang itu? Internet? Buku-buku di rak-rak
kios Mang Alwi juga belum ia teliti benar-benar.
“Eh Zia, boleh deh saya
pinjem buku-buku kamu yang kemarin itu.”
“Yang mana?”
“Yang kamu bilang ada
hubungannya sama Nazi itu?”
Cengiran cewek itu
lagi. Lama-lama jadi meme di memori
Ali. “Hehe… Aku enggak punya buku-buku itu. Aku cuman pernah baca review-review-nya aja di internet.
Terus aku pikir kayaknya nyambung gitu.”
“…eeh…”
.
Menjelang semester
terakhir di SMANSON. Jeda selama dua minggu. Tidak ada yang mengajak liburan
ke luar pulau lagi, boro-boro ke luar kota. Tumpukan buku di kamar Ali kian
rendah dari hari ke hari, hingga tak tersentuh si empunya lagi.
“Jaga kios” adalah
titah halus Ibu untuk “keramas”. Tanggal-tanggal terakhir di kalender bebas
dari tanda silang, memang. Juga begitu Ali keluar kamar, sontak adik-adiknya
mencubit hidung masing-masing. Kerikil-kerikil kecil mulai bertumbuhan,
terutama di balik rambut panjang yang menutupi dahi. Ali sudah lama tidak
menyabuni wajah—sabun yang sama dengan yang ia pakai untuk menyapu keseluruhan
badannya. Usai keramas Ali meminta Ibu agar tidak memangkas rambut di bagian
dahi, tapi memang selalu begitu pinta Ali.
“Jerawat tuh jangan
ditutupin, tapi dihilangin!”
Bukan de javu, ini memang kebiasaan.
Limbah yang Ibu
hasilkan kala mengguntingi rambut Ali memang tak pernah banyak. Ali gigih mempertahankan
rambutnya agar cukup panjang untuk menutupi kekurangan-kekurangan di
wajahnya—apapun yang diledek Aziz selalu, tulang pipi yang menonjol, de el
el—tapi cukup pendek untuk bisa lolos dari razia rambut di sekolah.
Sama saja sebetulnya
apa yang Ali lakukan di kamarnya dengan yang ia lakukan kemudian di kios buku
Mang Alwi. Ali tak perlu bawa amunisi lagi tentunya. Di balik meja tinggi—front desk—ia menggelar tikar, berbaring,
dan membentangkan sebuah buku pada jarak baca yang memadai. Beginilah hidup.
“Enggak capek, Li, baca
terus?” tegur Bang Sori, karyawan baru Mang Alwi, sekaligus sepupu jauh Ali.
Jauh-jauh dari Sibolga konon untuk melanjutkan pendidikan, tapi malah lebih
betah menunggui buku-buku. Hampir saja jadi sopir angkot, kalau Mang Alwi
tidak mengultimatum. Dideportasi atau ambil kursus? Ia duduk pada bangku
bulat jenjang di ujung kaki Ali.
Ali sekadar merespons
dengan gerakan mata, sedang alis tetap berkerut dan mulut mengatup. Sekali tegur
lagi, Ali akan berdecak keras. Tidak ada Ibu, Bang Sori pun jadi. Setidaknya
Bang Sori tidak mungkin sampai berkata, “Di kepalamu isi buku jadi hidup, tapi
hidupmu sendiri tak keruan.” Cinta memang butuh pengorbanan, Ibu, kutip Ali
dari selentingan yang begitu sering bergaung. Meski itu hidupmu sendiri. Argh.
Ali jadi tidak konsentrasi. Ia jadi betulan berdecak meski maksudnya bukan
pada Bang Sori. Badannya bergulir ke samping. Tangan menopang kepala. Posisi
yang tidak lebih enak dari posisi semula. Ali hanya mampu bertahan selama
paling tidak setengah jam.
“Cari apa, Bu?”
Untung perhatian Bang
Sori sudah teralih. Barangkali sebetulnya Bang Sori yang capek melihat Ali tidak
putus membaca, sudah beberapa hari begitu terus. Tinggal berapa hari lagi sisa
liburan Ali? Bang Sori tak sabar menanti.
“Eeeh… Ali… Mamang
bilangin ibu kau ya.”
Ali tergeragap.
Tahu-tahu Mang Alwi menerobos pintu kayu di ujung kios. Kontan Ali berdiri.
“Sudah berapa halaman
dibaca?” tegur anak bungsu Opung yang menikahi wanita Sunda itu.
“Hm… Dua puluhan.”
“Sampai petang tamat
bukumu, tapi pelangganku lari semua…”
Lalu apa fungsinya si
Sori? Ali melabuhkan kedua lengannya di atas meja. Bang Sori mengamatinya dengan
mulut terbuka.
“Aku sudah kasih tahu
dia, Tulang,” ucap Bang Sori dari sisi kanan Ali sementara di sisi kiri Mang
Alwi membuka-buka pembukuannya. Lelaki dengan rambut cepak, kacamata, dan
kumis itu menanggapi dengan deham saja. Bersyukurlah Ali. Kadang Bang Sori dan
Mang Alwi berbincang dengan lantang dalam bahasa yang Ali tidak paham betul,
sehingga ujung-ujungnya ialah ledekan pada Ali karena tidak juga mau belajar
bahasa moyang. Satu-satunya kamus bahasa Batak yang tersedia di rumah cuman
mulut Opung, sedang di kios ini hanya mulut mereka itu.
Bahasa Belanda dan
Jerman saja kau pelajari. Bahasa opungmu sendiri kau tidak mau tahu!
Bang Sori menegur
orang-orang yang lalu kemudian lalang dengan lempeng, sedang Ali ingin membenamkan
mukanya ke balik meja acap kali ada yang menoleh ke arahnya. Ia ingin
mengambil bukunya lagi. Tadi ia geletakkan begitu saja di tepi rak, di
belakangnya, saat Mang Alwi menghampiri. Ia tidak akan tiduran lagi, tidak,
tidak dengan kepalanya di samping kaki Mang Alwi. Tapi akankah Mang Alwi menyentilnya
lagi kalau Ali membentangkan buku di atas meja?
Tidak tahan. Tapi Ali
malah mengambil sebuah buku bersampul keras yang dipajang di meja. Individu. Lumayan. Setidaknya ada
bacaan, apapun. Ia lirik Mang Alwi. Lelaki itu cuek saja, terlalu perhatian
pada hitung-hitungannya. Bang Sori bergurau dengan kenalan barunya, padahal
Ali mengakrabi kios ini sudah lebih lama tapi tak sepiawai itu. Pegal membaca
sambil berdiri, Ali menyiasatinya dengan melupakan kalau ia punya kaki.
“Ali…”
Ali mengangkat wajah.
Senyum cewek itu berseri. Sebelah tangannya menggenggam ujung plastik dari toko
buku besar di gang belakang. Isinya mesti penuh. Kaos dan celana pendek
selutut yang pas di badannya, sepatu kets. Ini bukan de javu, jika Ali selalu mangkal pada jadwal Zia belanja buku.
“Hei.”
Seharusnya sudah cukup
lama sejak Ali terakhir kali melihat cewek itu. Tulisannya masih Ali simpan,
sudah dicorat-coret tapi belum sempat diperlihatkan. Menjelang ulangan akhir
semester cewek itu sudah tidak mampir lagi ke XII IPS 1, apalagi saat ulangan
berlangsung, dan seterusnya. Sekarang dengan serta-merta Ali langsung merasa
hangat dengan cewek itu, seolah baru kemarin mereka duduk sebangku meski hanya
kurang dari setengah jam.
“Cari apa, Neng?” tegur
Bang Sori dengan “e” yang sangat jelas.
Mencari saya, ingin Ali
bilang begitu pada Bang Sori. Apalagi karena ia tahu hal kisah asmara Bang
Sori yang acap kandas, long distance
relationship memang berpotensi besar menuai perkara. Sibolga saja sudah
sembilan jam perjalanan dari Medan dengan transportasi darat, apalagi
Bandung!
Pandangan Zia beredar
ke deretan buku yang bertingkat-tingkat di atas kepala Ali. Ali bisa melihat
binar di mata cewek itu kian benderang. Barangkali ada koor pula sedang
meraung-raung di pendengarannya. Andai tidak ada Bang Sori dan Mang Alwi
seperti kapan itu, tentu Zia sudah Ali ajak naik ke kios. Cewek itu belum sampai
melihat koleksi di rak belakang bukan? Barangkali saja judul-judul di sana
bisa membuatnya lebih terkesima.
“Temannya Ali?” tegur
Mang Alwi dengan logat dibikin nyunda. Kacamatanya melorot. Kalkulator masih
bertengger di sebelah tangannya.
“Iya Pak,” angguk Zia.
Sorot mata Mang Alwi
beralih dari Zia ke Ali lalu ke Zia lagi berulang kali. “Tampang-tampang seneng
buku nih…” tuding Mang Alwi dengan nada seloroh. Zia meringis. Ali waspada
apa maksud Mang Alwi sebetulnya. “Mau liat-liat? Sok aja. Masuk ke dalam.”
“Eh? Boleh?”
“Boooleh!”
Bang Sori turun dari
bangku, lalu membukakan pintu untuk Zia. Cewek itu melepas sepatu sebelum
naik ke undakan.
“Sok, liat-liat aja…
Mau beli juga boleh…” ujar Mang Alwi tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.
Bang Sori mendekat pada lelaki tersebut.
Zia berdiri di dekat
pintu dengan menahan antusias, tapi canggung, sampai Ali menggiringnya.
“Belum liat-liat buku
yang di belakang kan?”
“Iya!” angguk Zia.
Berjalan sedikit saja.
Barisan rak membentuk lorong pendek di bagian dalam kios sempit itu. Terdengar
tarikan napas Zia ketika mendapati sisi kanan dan kirinya penuh dijejali
buku.
“Di sini buku-buku
fiksinya enggak begitu banyak Zia…”
“Itu om kamu?”
“Ya?”
Cewek itu menyapukan
ujung jemarinya pada tepi buku-buku. Ia mengambil sebuah. Peranakan Idealis.
“Baik ya?”
“Enggak juga.”
Saat menggiring Zia ke
mari, Ali masih sempat dengar pamannya itu bilang pada Bang Sori, “Dipesenin
ibunya, harus sering-sering ngomong sama manusia dia… Daripada melototin buku
terus…”
“Habis beli buku ya?”
tegur Ali basa-basi. Ia tidak tahu harus apa saat Zia menganga. Cewek itu mungkin
masih terpana dengan judul-judul yang baru ia temukan di sini. Tapi Ali sudah
puluhan kali melihat, membereskan. Banyak judul yang tidak laku selama
bertahun-tahun. Semua masih menarik sebetulnya, apalagi yang Ali belum baca,
tapi ada yang lebih menarik dari mereka saat ini.
Bukan lagi punggung
cewek itu yang Ali amati, saat tubuh itu berbalik seraya mengangkat plastik di
tangannya. Tidak sedikit buku yang mengisi plastik tersebut, tapi seolah
bukan beban yang berat. “He-eh. Aku habis borong novel lagi nih.”
Plastik itu pindah ke
tangan Ali. Buku-buku di dalamnya sudah disampuli plastik—memang termasuk servis
toko buku besar di gang belakang itu. Ali mengambil dan membaca satu demi
satu buku di dalamnya. Benar, semua novel. Novel teenlit. Ali membaca sinopsis pada sampul belakang salah satu
buku.
…Karina bingung,
mending pilih Rasya yang ganteng tapi pemalu, atau Donny yang kriwil tapi jago
main basket ya?
Kenapa aku harus tahu?
Batin Ali bertanya-tanya. Apa imbasnya pada situasi perpolitikan dunia? Apakah
dengan Karina memilih Donny maka prestasi basket Indonesia akan mencapai
kegemilangan?
“Kamu baca yang ginian
juga?” Bukannya Ali tidak pernah lihat Zia datang ke XII IPS 1 dengan menenteng
teenlit, tapi tidak sesering itu
juga, sehingga tidak terkesan cewek itu saking suka sampai memborong sebegini
banyak…
“Iya, aku doyannya
emang yang gituan.”
Padahal kalau bicara
cewek ini terkesan mengonsumsi bacaan yang lebih… berwawasan., berbobot, bergizi,
ber…mutu?
“Kalau kamu mau,
pinjem sekarang juga boleh. Paling
entar sampai rumah aku enggak langsung baca. Masih ada yang dari perpus euy, enggak selesai-selesai.”
“Kamu masih pinjem dari
perpus juga?”
“He-eh.” Ali kembali
menatap punggung cewek itu. Hebat juga Mang Alwi. Baru sekali bertemu sudah bisa
menerawang jiwa kutu buku di dalam diri Zia, padahal penampilan cuek dan
energik cewek itu bak remaja kota besar pada umumnya. Zia tidak berkacamata
pula. “Kalau yang beli sendiri malah enggak dibaca, kan bisa dibaca kapan aja.
Kalau yang dari perpus kan ada tenggatnya.”
“Kamu sering enggak sih
beli buku?”
“Lumayan. Aku emang
dikasih anggaran sih buat itu. Tapi enggak selalu dibeliin buku juga sih,
kadang CD, apalah.” Akhirnya Zia berhenti juga di satu titik. Sebelumnya ia
menolah-noleh tak tentu arah, diiringi gerak kakinya. Kepalanya mendongak. Ia
mencomot sebuah buku hingga lengannya terangkat lurus-lurus. Belum tergapai
buku itu—satu tangannya masih menclok di atas, dengan tangannya yang lain ia
memasukkan buku yang sebelumnya ia ambil ke tempatnya semula. Kenapa cewek
ini tidak menyelesaikan satu hal sebelum beralih ke hal lain? Kali ini Zia
mengambil sebuah buku bersampul emas dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Tiba-tiba bola mata itu terarah pada
Ali. Zia berkata dengan suara pelan. “Eh, enggak apa-apa kan kalo aku
liat-liat enggak beli?”Cewek itu menggigit bibir.
Beli dong, sebenarnya
Ali ingin bilang begitu. Tapi jiwa pedagangnya terlalu lemah untuk mewujudkan
hal itu.
“Sebenernya aku lebih
suka beli yang baru sih, ehe…” lanjut cewek itu. Hawa kios ini memang diliputi
aroma kertas berusia puluhan tahun, tapi justru itu Ali suka. Buku-buku lama
tak hanya menyimpan sejarah dalam apa yang dikandungnya, tapi juga hal buku
itu sendiri. Tahun-tahun yang ia lewati sejak ia diterbitkan, dipajang di
toko buku yang sudah tidak lagi ada, dibeli oleh seseorang yang telah
meninggalkan dunia, berpindah ke tangan yang menganut paham “sekali berarti
sesudah itu mati”, disusupi serangga-serangga yang merindukan kelembapan,
hingga terselip di antara ratusan buku lainnya di kios buku ini. Lagipula Mang
Alwi mendapat kekayaannya toh dari para kolektor yang hobi berburu buku zadul.
Makin sulit dicari justru makin bernilai. Ah biar lagaknya bak maniak,
agaknya Zia awam soal bisnis buku. “Lagian uang aku udah habis juga tadi di
sana…”
Pikiran mencerna tanpa
disadari. Begitu banyak dan begitu cepat yang masuk ke dalam kepala Ali. Ingin
menanggapi tapi tidak tahu mana yang harus didahulukan, lagipula tidak
terbaca apa yang berseliweran di dalam sana. Yang pasti ada suatu pemahaman
yang mengendap, biarkan saja. Cewek itu telah mendapatkan tempatnya.
Sekarang yang lebih teraba hanya rasa. Bahkan plastik berisi buku-buku milik
cewek itu tidak terasa beban di tangan Ali, meskipun ia bisa saja
mengembalikan barang itu pada pemiliknya, atau menaruhnya sejenak di lantai.
“Enggak apa-apa. Puas-puasin aja.” Tatapan Ali
melembut. Meskipun cewek itu tidak lihat. “Cuman di sini fiksinya enggak
banyak.”
“Enggak apa-apa…” ucap
cewek itu dengan nada santai. Sekarang ia membungkuk, menyoroti buku-buku di
deretan ketiga dari bawah. “Di sini juga rame-rame kok…”
“Emang kamu suka
buku-buku sejarah?”
“Enggak terlalu sih.
Cuman, sejarah itu kan kayak cerita. Jadi seneng ngebayanginnya aja…”
“Maksud kamu?”
“Suka aja ngebayangin
gimana rasanya jadi orang yang hidup di masa lalu. Keadaannya waktu itu kira-kira
gimana ya? Hidupnya kayak gimana? Apalagi kalau belum ada TV, radio… Cuman ya…
Dibandingin sama fiksi, aku lebih asyik aja sih baca fiksi ketimbang sejarah.
Lebih kebayang gitu, kalau fiksi. Kalau sejarah, kadang cuman ngasih
fakta-fakta aja tapi enggak begitu kebayang suasananya kayak gimana. Kurang
ada feel-nya aja…”
“Kalau mau liat-liat
fiksi, di rumah saya ada… lumayan banyak.”
“Bukannya kamu enggak
seneng fiksi?” Zia mengangkat kepala.
“Punya ibu saya.
Kebanyakan udah zadul gitu sih.”
“Oh… Boleh gitu,
diliat-liat?” Zia menegakkan tubuh.
“Boleh. Rumah saya kan
balai bacaan.”
“Wah…” Ekspresi cewek
itu meminta penjelasan.
“Koleksi buku bapak
sama ibu saya ada banyak, jadi ya… dikumpulin aja terus dijadiin balai bacaan
gitu. Banyak kok yang suka datang ke rumah. Lihat-lihat, pinjem…”
“Boleh dipinjem?” Zia
tampak lebih bersemangat.
“Boleh. Kalau mau, main
aja ke rumah.”
“Kapan?” Cewek itu
seperti mengharapkan sekarang.
“Entar aja. Kalau udah
masuk sekolah. Saya masih harus jaga di sini sampai liburan selesai. Pulang paling
jam limaan.”
“Waah…”
Zia. Zia Zia Zia oh
Zia.
Tidak terhitung berapa
lama lagi yang mereka habiskan di lorong sempit itu, tapi singkat. Bertukar kalimat-kalimat
pendek dengan suara pelan.
“Aduh aku enggak enak euy. Liat-liat tapi enggak beli
apa-apa.”
“Enggak apa-apa lagi.”
Nanti saja kalau kamu sudah sadar artinya buku-buku lama. Ali mengantar cewek
itu berpamitan plus basa-basi pada Mang Alwi, sebelum hengkang. Sekali cewek
itu berbalik untuk melempar senyum. Ikan layur bumbu madu saos nanas. Ali
membalas dengan cengiran.
“Betulan enggak jadi
beli apa-apa teman kau itu?” Mang Alwi sudah tidak lagi menekan-nekan tuts kalkulator.
Ia duduk saja di ujung kios dengan lengan tersampir pada meja tinggi. Bang
Sori entah ke mana.
“Enggak,” jawab Ali
pelan. Nadanya seolah percakapan ini tidak penting.
“Enggak rugi kan,
sekali-kali enggak baca buku?” Mang Alwi mengeluarkan logat Sundanya, nyaring.
Disusul tawa terkekeh yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar