Rabu, 22 Agustus 2012

10

Minggu berarti hari di mana Ali dan Fathim men­ja­di satu tim. Sejak subuh mereka mencelupkan tangan me­reka ke dalam baskom besar berisi puluhan setel pa­kai­an berbusa. Sementara Aziz memeras lantas men­je­mur hasil cucian di area depan kamar mandi, Ali me­mi­lah-milih bawang, cabai, dan berbagai rupa bumbu lain. Fathim menyingsingkan lengan baju, siap dengan muntu. Ia selalu bersemangat dalam setiap upaya membesarkan otot. Tapi tidak piawai mengendalikan sewajan besar na­si dengan spatula. Ia meringis. Menahan panas dan pedih da­ri bumbu yang meruap ke muka. Wajan goyah. Nasi ter­awur-awur. Hardikan abangnya dari belakang. Tapi de­ngan bangga di depan Ibu dan Opung ia mengatakan bah­wa nasi goreng ini hasil karyanya. Tapi Opung tidak per­nah terkecoh.

“Sesekali kau masaklah yang ada santannya itu, Li.”

“Ah males yang ribet-ribet, Pung.” Ali berdecak se­raya menyendokkan nasi goreng ke piringnya sendiri.

“Sudah tiga kali Minggu tidak ada kuahnya!” te­ri­ak Opung karena Ali menjauh darinya.

“Besok kau masak sayur asem, Li,” titah Ibu.

Decak Ali bertambah-tambah. “Suruhlah itu anak pe­rempuan Ibu,” keluh Ali.

“Malulah si Fathim itu, kalah jago dari abang­nya.” Rupa-rupanya Opung masih dengar.

“Udah Fathim bilang, ini nasi goreng Fathim!” je­rit Fathim.

“Buteet… Butet…” Aziz menceracau sendiri.

Sudah tiga kali Minggu ini juga sebab, Pa­gu­yub­an Siswa Sosial SMANSON alias PS3 rutin mengadakan olah­raga bareng di stadion sekolah. Anwar akan jemput Ali pukul sembilan pagi dengan motor. Dengan girang Ali meninggalkan parade kartun dan keriuhan isi rumah.

“Malu ih Abang, bawa motor sendiri atuh!”

“Rewel kau Fathim!”

Setelah duduk di belakang Anwar pun, “Umur ma­neh 18 tahun kan? Belum punya SIM?” Baru dua hari An­war berusia 17 tahun, tapi ia sudah punya SIM sejak dua tahun lalu.

Ibu harus lebih sering menyuruh Ali beli ikan.

Satu cara mengajak Ali bergaul adalah dengan olah­raga cuma-cuma. Ali akan mengoptimalkannya. Men­jelang asar, cuman Ali dan seorang kawannya yang tak-tok-tak-tok di dalam stadion. Pulang dengan angkot, ka­rena sudah ditinggal Anwar yang harus apel ke rumah pa­carnya. Lampu di ruang tengah sudah dinyalakan saat Ali tiba di rumah. Semakin cerah pemandangan yang di­tang­kap Ali karena mendapati punggung Om Arman. Ia me­nyalami lelaki seusia orangtuanya itu.

“Om. Mau periksa tulisan…”

“Mau, mau, mana?” Ali belum menyelesaikan ucap­annya tapi Om Arman sudah antusias. Sambil me­ne­guk tehnya pula. Ali lanjut ke kamar untuk mengambil yang ia maksudkan. “Tapi habis kamu mandi saja, Li!”

Ali mesem. Sudah sering sebetulnya orang rumah mem­protes aroma badannya kalau sehabis berolahraga se­harian.

Yang Ali maksudkan ialah tulisan Zia yang su­dah ia permak. Saking banyaknya bagian yang ia per­mak, Ali merasa lebih tepat mengatakan tulisan itu ada­lah hasil karyanya berdua Zia. Usai menyingkirkan se­ga­la yang melekat di badannya, mulai dari pakaian, debu, dan keringat, lalu memakai kaos yang baru disetrika Ibu, Ali siap mendengarkan komentar Om Arman. Biar su­a­ra-suara dari TV di dapur menyeruak ke dalam pen­de­ngar­annya, Fathim berkicau, sedang Opung berkoar-koar da­lam parau, fokus Ali hanya pada sang wartawan koran re­gional itu. Sekian kali menghirup teh, Om Arman me­min­ta alat tulis pada Ali. Mulai.

“Kalimat ini, dengan yang selanjutnya, bisa di­ga­bung enggak?” Om Arman menunjuk-nunjuk dengan pen­sil. “Satu paragraf ini bisa jadi dua kalimat aja, di­ga­bung sama paragraf di bawahnya.” Lalu Om Arman men­jelaskan bagaimana terbatasnya ruang kolom di ko­ran. “Kalimat-kalimat Ali ini masih terlalu encer, harus di­kasih Diapet.”

“Oh, gitu ya, Om…” Ali termangu melihat Om Ar­man membuat guratan-guratan di atas tulisan itu. Pa­da­hal ia sudah susah payah memecah kalimat Zia, tapi ka­limat-kalimatnya sendiri pun belum cukup padat. Be­gi­tulah, menulis. Ali manggut-manggut mendengarkan ku­liah Om Arman tentang ekonomi kata.

“…terus… apa kata Ali tadi? Ini bukan tulisan Ali sendiri?”

“Iya, nulis bareng temen Om.” Tidak persis se­per­ti itu sih, tapi Ali hendak menerapkan ekonomi kata.

“Yah… Mana tulisan Ali sendiri?” Om Arman me­letakkan bundelan tipis itu ke atas meja.

Ibu mengisi kursi di samping Ali.

“Nyusul Om.” Ali mesem.

Lagi Om Arman menyesap teh. “Jadinya mau nge­lanjutin ke mana, Li? Sekarang kamu udah kelas tiga kan?”

Ali menunduk saja. Jadi apa ya? Entah kenapa Ali merasa ragu untuk mengatakannya. Malu? Tidak ta­hu. Tidak terasa akan secepat ini. Tidak ada yang harus di­putuskan, sebetulnya. Ali hanya merasa takdirnya akan se­gera tiba.

“Ali…” tegur Ibu.

“Hm… Mungkin Jurnalistik Om…” Ali me­lan­jut­kan dengan menyebut nama perguruan tinggi negeri di Ja­tinangor.

“Kok mungkin?”

“Jurnalistik, Om,” jawab Ali, lebih mantap. La­gi­pu­la ia tidak terpikir yang lain toh, selain Sejarah.

“Iya. Gitu dong, yang tegas. Nurutin jejak Bapak ya,” juga Opung dan Ibu, dulu, “…sama om juga nih hahaha…”

Justru karena itulah Ali tidak melihat ada profesi se­lain wartawan, sebagaimana anak kelas dua SD tidak me­ngetahui kalau ada profesi selain dokter dan pilot. Ke­las tiga SD Ali diberi PR membuat karangan mengenai ci­ta-cita, ia menulis hendak jadi wartawan. Dua tahun ke­mudian diberi lagi PR serupa, ia tinggal memoles ka­rang­annya dua tahun lalu. Apalagi jika merunut sejarah ke­luarga, agaknya tiap putra sulung Harahap ditakdirkan un­tuk menjadi wartawan. Sejak Abdullah, Ahmad, dan ki­ni Ali.

“Dari sekarang Ali harus banyak latihan nulis, ba­nyak baca…”

“Iya Om.” Ali mengangguk-angguk.

“Sama rajin dengerin pengalaman opungnya Ali nih, sang jagoan, hahahaha…” ujar Om Arman ber­te­pat­an dengan masuknya Opung ke ruang tengah. Menunggu be­berapa detik hingga jarak Opung dengan Om Arman ki­an dekat, dengan bantuan tongkat hitamnya, Om Ar­man menyalami pria tua itu. Cuman Om Arman agaknya yang betah mendengarkan racauan Opung. Coba kalau ia ting­gal di rumah ini juga.

Sampai SD Ali masih terkesima dengan cerita-ce­rita Opung. Tahulah ia darimana Bapak mewarisi ke­gi­gih­an dan kepiawaian dalam menceritakannya. Cerita di ba­lik berita yang Bapak maupun Opung tulis selalu seru. Da­hulu Bapak cerita bagaimana ia harus berkelit dari ok­num X, tapi malah kepergok antek Y, lalu bergonta-ganti na­ma supaya mudah aksesnya dalam menemui pejabat Z. Ce­rita Opung semacam itu, dengan latar waktu yang le­bih lampau. Tapi Ali, Fathim, dan Aziz sudah kenyang de­ngan cerita Opung yang itu lagi-itu lagi, yang kalau di­kum­pulkan tak kalah tebal dari dongeng Grimm ber­sau­da­ra maupun kisah 1001 malam, karena Opung sudah la­ma tidak bertualang lagi.

Sedang besok kalau Bapak pulang, Ali dan adik-adik­nya bakal merasakan lagi kenikmatan mendengarkan ce­rita. Kalau, kalau Bapak pulang. Ibu selalu bilang, ja­ngan mengharap. Toh terlepas dari apakah Bapak bakal pu­lang atau tidak pun, bukankah sebelumnya mereka su­dah biasa dengan ketidakhadiran Bapak?

.

Sebuah bundelan meluncur ke arah Ali. Gerakan ma­­ta Ali mengikutinya. Cewek itu lagi. Ini bukan sebuah de javu, ini sepertinya sudah jadi kebiasaan. Cewek itu ju­­ga bukan duduk di bangku sebelah, tapi kursi di sam­ping Ali. Kenapa cewek itu tidak menyerahkan tu­lis­an­nya secara baik-baik, langsung dari tangannya sendiri? Apa ia sedang mempraktikkan salah satu rumus Fisika ten­­tang kecepatan yang harus ia pelajari? Tapi Ali ambil ju­ga tulisan itu. Tidak perlu dibaca. Cukup diambil, dan de­ngarkan Zia bicara. Ocehan cewek itu selama dua me­nit ke depan adalah intisari.

“…di situ aku mempertimbangkan faktor-faktor yang bikin diary Anne Frank melejit… padahal itu ‘cu­man sekadar diary cewek’ gitu loh…” Zia menekankan na­danya pada beberapa kata. “Dari kontennya aja sih. Aku enggak sampai nyari tahu faktor-faktor di luar itu, ka­yak misalnya siapa yang berinisiatif nerbitin itu… Ma­lah mungkin sebenernya itu yang penting.”

Ali menoleh pada Zia. Omongan cewek ini sok ta­pi menggelikan. Ia sampai membaca ulang buku itu, me­nurutnya ini yang termudah di antara buku-buku lain yang ia sebutkan pada Ali kapan itu—demi apa coba? Apa sebenarnya cewek ini ingin dipinjamkan buku ten­tang Nazi, sebagaimana Ali meminjamkan Sejarah Pen­d­idikan Indonesia terkait Bumi Manusia dulu? Oh ya. Ali belum menemukan buku tentang teori konspirasi se­ba­gaimana yang ia maksudkan.

Sejenak Ali memindai kata-kata yang tercetak di ker­tas. Cewek itu sudah mencoba untuk membuat ka­li­mat-kalimat pendek. Menarik. Ali mencari-cari di mana sa­ja cewek itu meletakkan gagasan pokoknya. “Eh Zia.”

“Hm?”

“Kapan kamu mau berhenti nulis review, Zia?”

“Hm?” Cewek itu mengulang dengan nada heran. Da­ri ekspresi cewek itu terbaca oleh Ali apa yang tidak di­katakan, tapi bukan, Ali bukan hendak menyurutkan se­mangat.

“Kapan berhenti nulis review Zia? Ganti nulis yang lain dong.”

“Udah. Aku udah nulis cerpen.” Mimik muka Zia kem­bali cerah.

Yang ada di blog cewek itu? Tapi itu enggak Ali ba­nget.

“Nulis apaan dong?” kata cewek itu lagi, seolah pe­ka dengan suara hati Ali.

“Ya apa aja.”

“Tapi kalau cerpen kamu enggak bisa ngo­men­tar­in.”

“Jadi kamu nulis supaya bisa saya komentarin?” Ali menegakkan tubuh. Bukannya Ali tidak menduga se­jak awal maksud cewek itu menyodorkan tulisan demi tu­lisan. Senangnya bisa memastikan dengan lagak me­no­dong seperti ini.

Cewek itu membalas dengan cengiran.

Berani bayar berapa?

Tapi pada saat itu juga Ali terpikir kata-kata Om Ar­man untuk berlatih menulis dari sekarang. Berlatih me­nulis apa? Apakah review dan cerpen seperti Zia? Apa sebenarnya yang ingin Ali tulis? Apakah karena Ali hen­dak jadi wartawan maka ia harus berlatih menulis be­ri­ta?

Sekali lagi Ali meninjau tulisan Zia. Sepertinya me­narik sih. Satu halaman pertama membuat Ali ter­se­nyum. Halaman berikutnya senyum Ali memudar. Pe­ni­pu­an. Ibarat tisikan yang dibuat Fathim. Jelujur awal rapi bak buah karya penjahit profesional, tapi selanjutnya be­nang tersemat dengan kian amburadul.

“Kamu kalau udah selesai nulis gitu, tulisannya di­baca lagi enggak sih?”

“Enggak… Hehehe…” Cengiran.

Nambah-nambah kerjaan aja, keluh Ali meski de­ngan rasa tergugah. Zia pasti dengan senang hati mem­per­silahkan Ali membawa tulisan itu pulang. Semoga Ali ingat untuk mengkajinya sesampai ia di rumah nanti. Se­per­tinya bakal menarik juga kalau buku yang Zia ulas ini di­kaitkan dengan buku-buku lain semacam. Ah iya, teori kons­pirasi. Benarkah itu ada? Ali sekadar pernah baca di si­tu dan di sana saja, tapi ke mana ia harus mencari tahu le­bih banyak dan lebih dalam tentang itu? Internet? Bu­ku-buku di rak-rak kios Mang Alwi juga belum ia teliti be­nar-benar.

“Eh Zia, boleh deh saya pinjem buku-buku kamu yang kemarin itu.”

“Yang mana?”

“Yang kamu bilang ada hubungannya sama Nazi itu?”

Cengiran cewek itu lagi. Lama-lama jadi meme di me­mori Ali. “Hehe… Aku enggak punya buku-buku itu. Aku cuman pernah baca review-review-nya aja di in­ter­net. Terus aku pikir kayaknya nyambung gitu.”

“…eeh…”

.

Menjelang semester terakhir di SMANSON. Jeda se­lama dua minggu. Tidak ada yang mengajak liburan ke lu­ar pulau lagi, boro-boro ke luar kota. Tumpukan buku di kamar Ali kian rendah dari hari ke hari, hingga tak ter­sen­tuh si empunya lagi.

“Jaga kios” adalah titah halus Ibu untuk “ke­ra­mas”. Tanggal-tanggal terakhir di kalender bebas dari tan­da silang, memang. Juga begitu Ali keluar kamar, son­tak adik-adiknya mencubit hidung masing-masing. Ke­rikil-kerikil kecil mulai bertumbuhan, terutama di ba­lik rambut panjang yang menutupi dahi. Ali sudah lama ti­dak menyabuni wajah—sabun yang sama dengan yang ia pakai untuk menyapu keseluruhan badannya. Usai ke­ra­mas Ali meminta Ibu agar tidak memangkas rambut di ba­gian dahi, tapi memang selalu begitu pinta Ali.

“Jerawat tuh jangan ditutupin, tapi dihilangin!”

Bukan de javu, ini memang kebiasaan.

Limbah yang Ibu hasilkan kala mengguntingi ram­but Ali memang tak pernah banyak. Ali gigih mem­per­tahankan rambutnya agar cukup panjang untuk me­nu­tupi kekurangan-kekurangan di wajahnya—apapun yang di­ledek Aziz selalu, tulang pipi yang menonjol, de el el—tapi cukup pendek untuk bisa lolos dari razia rambut di sekolah.

Sama saja sebetulnya apa yang Ali lakukan di ka­mar­nya dengan yang ia lakukan kemudian di kios buku Mang Alwi. Ali tak perlu bawa amunisi lagi tentunya. Di ba­lik meja tinggi—front desk—ia menggelar tikar, ber­ba­ring, dan membentangkan sebuah buku pada jarak ba­ca yang memadai. Beginilah hidup.

“Enggak capek, Li, baca terus?” tegur Bang Sori, kar­yawan baru Mang Alwi, sekaligus sepupu jauh Ali. Ja­uh-jauh dari Sibolga konon untuk melanjutkan pen­di­dik­an, tapi malah lebih betah menunggui buku-buku. Ham­pir saja jadi sopir angkot, kalau Mang Alwi tidak meng­ultimatum. Dideportasi atau ambil kursus? Ia du­duk pada bangku bulat jenjang di ujung kaki Ali.

Ali sekadar merespons dengan gerakan mata, se­dang alis tetap berkerut dan mulut mengatup. Sekali te­gur lagi, Ali akan berdecak keras. Tidak ada Ibu, Bang So­ri pun jadi. Setidaknya Bang Sori tidak mungkin sam­pai berkata, “Di kepalamu isi buku jadi hidup, tapi hi­dup­mu sendiri tak keruan.” Cinta memang butuh pengor­ban­an, Ibu, kutip Ali dari selentingan yang begitu sering ber­gaung. Meski itu hidupmu sendiri. Argh. Ali jadi ti­dak konsentrasi. Ia jadi betulan berdecak meski mak­sud­nya bukan pada Bang Sori. Badannya bergulir ke sam­ping. Tangan menopang kepala. Posisi yang tidak lebih enak dari posisi semula. Ali hanya mampu bertahan se­la­ma paling tidak setengah jam.

“Cari apa, Bu?”

Untung perhatian Bang Sori sudah teralih. Ba­rang­kali sebetulnya Bang Sori yang capek melihat Ali ti­dak putus membaca, sudah beberapa hari begitu terus. Ting­gal berapa hari lagi sisa liburan Ali? Bang Sori tak sa­bar menanti.

“Eeeh… Ali… Mamang bilangin ibu kau ya.”

Ali tergeragap. Tahu-tahu Mang Alwi menerobos pin­tu kayu di ujung kios. Kontan Ali berdiri.

“Sudah berapa halaman dibaca?” tegur anak bung­su Opung yang menikahi wanita Sunda itu.

“Hm… Dua puluhan.”

“Sampai petang tamat bukumu, tapi pelangganku la­ri semua…”

Lalu apa fungsinya si Sori? Ali melabuhkan ke­dua lengannya di atas meja. Bang Sori mengamatinya de­ngan mulut terbuka.

“Aku sudah kasih tahu dia, Tulang,” ucap Bang So­ri dari sisi kanan Ali sementara di sisi kiri Mang Alwi mem­buka-buka pembukuannya. Lelaki dengan rambut ce­pak, kacamata, dan kumis itu menanggapi dengan de­ham saja. Bersyukurlah Ali. Kadang Bang Sori dan Mang Alwi berbincang dengan lantang dalam bahasa yang Ali tidak paham betul, sehingga ujung-ujungnya ia­lah ledekan pada Ali karena tidak juga mau belajar ba­ha­sa moyang. Satu-satunya kamus bahasa Batak yang ter­se­dia di rumah cuman mulut Opung, sedang di kios ini ha­nya mulut mereka itu.

Bahasa Belanda dan Jerman saja kau pelajari. Ba­ha­sa opungmu sendiri kau tidak mau tahu!

Bang Sori menegur orang-orang yang lalu ke­mu­di­an lalang dengan lempeng, sedang Ali ingin mem­be­nam­kan mukanya ke balik meja acap kali ada yang me­no­leh ke arahnya. Ia ingin mengambil bukunya lagi. Tadi ia geletakkan begitu saja di tepi rak, di belakangnya, saat Mang Alwi menghampiri. Ia tidak akan tiduran lagi, ti­dak, tidak dengan kepalanya di samping kaki Mang Al­wi. Tapi akankah Mang Alwi menyentilnya lagi kalau Ali membentangkan buku di atas meja?

Tidak tahan. Tapi Ali malah mengambil sebuah bu­ku bersampul keras yang dipajang di meja. Individu. Lu­mayan. Setidaknya ada bacaan, apapun. Ia lirik Mang Al­wi. Lelaki itu cuek saja, terlalu perhatian pada hitung-hi­tungannya. Bang Sori bergurau dengan kenalan ba­ru­nya, padahal Ali mengakrabi kios ini sudah lebih lama ta­pi tak sepiawai itu. Pegal membaca sambil berdiri, Ali me­nyiasatinya dengan melupakan kalau ia punya kaki.

“Ali…”

Ali mengangkat wajah. Senyum cewek itu ber­se­ri. Sebelah tangannya menggenggam ujung plastik dari to­ko buku besar di gang belakang. Isinya mesti penuh. Ka­os dan celana pendek selutut yang pas di badannya, se­patu kets. Ini bukan de javu, jika Ali selalu mangkal pa­da jadwal Zia belanja buku.

“Hei.”

Seharusnya sudah cukup lama sejak Ali terakhir ka­li melihat cewek itu. Tulisannya masih Ali simpan, su­dah dicorat-coret tapi belum sempat diperlihatkan. Men­je­lang ulangan akhir semester cewek itu sudah tidak mam­pir lagi ke XII IPS 1, apalagi saat ulangan ber­lang­sung, dan seterusnya. Sekarang dengan serta-merta Ali lang­sung merasa hangat dengan cewek itu, seolah baru ke­marin mereka duduk sebangku meski hanya kurang da­ri setengah jam.

“Cari apa, Neng?” tegur Bang Sori dengan “e” yang sangat jelas.

Mencari saya, ingin Ali bilang begitu pada Bang So­ri. Apalagi karena ia tahu hal kisah asmara Bang Sori yang acap kandas, long distance relationship memang ber­potensi besar menuai perkara. Sibolga saja sudah sem­bilan jam perjalanan dari Medan dengan transportasi da­rat, apalagi Bandung!

Pandangan Zia beredar ke deretan buku yang ber­ting­kat-tingkat di atas kepala Ali. Ali bisa melihat binar di mata cewek itu kian benderang. Barangkali ada koor pu­la sedang meraung-raung di pendengarannya. Andai ti­dak ada Bang Sori dan Mang Alwi seperti kapan itu, ten­tu Zia sudah Ali ajak naik ke kios. Cewek itu belum sam­pai melihat koleksi di rak belakang bukan? Ba­rang­kali saja judul-judul di sana bisa membuatnya lebih ter­ke­sima.

“Temannya Ali?” tegur Mang Alwi dengan logat di­bikin nyunda. Kacamatanya melorot. Kalkulator masih ber­tengger di sebelah tangannya.

“Iya Pak,” angguk Zia.

Sorot mata Mang Alwi beralih dari Zia ke Ali la­lu ke Zia lagi berulang kali. “Tampang-tampang seneng bu­ku nih…” tuding Mang Alwi dengan nada seloroh. Zia me­ringis. Ali waspada apa maksud Mang Alwi se­be­tul­nya. “Mau liat-liat? Sok aja. Masuk ke dalam.”

“Eh? Boleh?”

“Boooleh!”

Bang Sori turun dari bangku, lalu membukakan pin­­tu untuk Zia. Cewek itu melepas sepatu sebelum naik ke undakan.

“Sok, liat-liat aja… Mau beli juga boleh…” ujar Mang Alwi tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. Bang So­ri mendekat pada lelaki tersebut.

Zia berdiri di dekat pintu dengan menahan an­tu­si­as, tapi canggung, sampai Ali menggiringnya.

“Belum liat-liat buku yang di belakang kan?”

“Iya!” angguk Zia.

Berjalan sedikit saja. Barisan rak membentuk lo­rong pendek di bagian dalam kios sempit itu. Terdengar ta­rikan napas Zia ketika mendapati sisi kanan dan ki­ri­nya penuh dijejali buku.

“Di sini buku-buku fiksinya enggak begitu ba­nyak Zia…”

“Itu om kamu?”

“Ya?”

Cewek itu menyapukan ujung jemarinya pada te­pi buku-buku. Ia mengambil sebuah. Peranakan Idealis.

“Baik ya?”

“Enggak juga.”

Saat menggiring Zia ke mari, Ali masih sempat de­ngar pamannya itu bilang pada Bang Sori, “Dipesenin ibu­nya, harus sering-sering ngomong sama manusia dia… Daripada melototin buku terus…”

“Habis beli buku ya?” tegur Ali basa-basi. Ia ti­dak tahu harus apa saat Zia menganga. Cewek itu mung­kin masih terpana dengan judul-judul yang baru ia te­mu­kan di sini. Tapi Ali sudah puluhan kali melihat, mem­be­res­kan. Banyak judul yang tidak laku selama bertahun-ta­hun. Semua masih menarik sebetulnya, apalagi yang Ali belum baca, tapi ada yang lebih menarik dari mereka sa­at ini.

Bukan lagi punggung cewek itu yang Ali amati, sa­at tubuh itu berbalik seraya mengangkat plastik di ta­ngan­nya. Tidak sedikit buku yang mengisi plastik ter­se­but, tapi seolah bukan beban yang berat. “He-eh. Aku ha­bis borong novel lagi nih.”

Plastik itu pindah ke tangan Ali. Buku-buku di da­lamnya sudah disampuli plastik—memang termasuk ser­vis toko buku besar di gang belakang itu. Ali meng­am­bil dan membaca satu demi satu buku di dalamnya. Be­nar, semua novel. Novel teenlit. Ali membaca sinopsis pa­da sampul belakang salah satu buku.

…Karina bingung, mending pilih Rasya yang gan­teng tapi pemalu, atau Donny yang kriwil tapi jago ma­in basket ya?

Kenapa aku harus tahu? Batin Ali bertanya-ta­nya. Apa imbasnya pada situasi perpolitikan dunia? Apa­kah dengan Karina memilih Donny maka prestasi basket In­donesia akan mencapai kegemilangan?

“Kamu baca yang ginian juga?” Bukannya Ali ti­dak pernah lihat Zia datang ke XII IPS 1 dengan me­nen­teng teenlit, tapi tidak sesering itu juga, sehingga tidak ter­kesan cewek itu saking suka sampai memborong se­be­gi­ni banyak…

“Iya, aku doyannya emang yang gituan.”

Padahal kalau bicara cewek ini terkesan mengon­sum­si bacaan yang lebih… berwawasan., berbobot, ber­gi­zi, ber…mutu?

“Kalau kamu mau, pinjem  sekarang juga boleh. Pa­ling entar sampai rumah aku enggak langsung baca. Ma­sih ada yang dari perpus euy, enggak selesai-selesai.”

“Kamu masih pinjem dari perpus juga?”

“He-eh.” Ali kembali menatap punggung cewek itu. Hebat juga Mang Alwi. Baru sekali bertemu sudah bi­sa menerawang jiwa kutu buku di dalam diri Zia, pa­da­hal penampilan cuek dan energik cewek itu bak remaja ko­ta besar pada umumnya. Zia tidak berkacamata pula. “Ka­lau yang beli sendiri malah enggak dibaca, kan bisa di­baca kapan aja. Kalau yang dari perpus kan ada teng­gat­nya.”

“Kamu sering enggak sih beli buku?”

“Lumayan. Aku emang dikasih anggaran sih buat itu. Tapi enggak selalu dibeliin buku juga sih, kadang CD, apalah.” Akhirnya Zia berhenti juga di satu titik. Se­be­lumnya ia menolah-noleh tak tentu arah, diiringi gerak ka­kinya. Kepalanya mendongak. Ia mencomot sebuah bu­ku hingga lengannya terangkat lurus-lurus. Belum ter­ga­pai buku itu—satu tangannya masih menclok di atas, de­ngan tangannya yang lain ia memasukkan buku yang se­belumnya ia ambil ke tempatnya semula. Kenapa ce­wek ini tidak menyelesaikan satu hal sebelum beralih ke hal lain? Kali ini Zia mengambil sebuah buku bersampul emas dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Tiba-ti­ba bola mata itu terarah pada Ali. Zia berkata dengan su­ara pelan. “Eh, enggak apa-apa kan kalo aku liat-liat eng­gak beli?”Cewek itu menggigit bibir.

Beli dong, sebenarnya Ali ingin bilang begitu. Ta­pi jiwa pedagangnya terlalu lemah untuk mewujudkan hal itu.

“Sebenernya aku lebih suka beli yang baru sih, ehe…” lanjut cewek itu. Hawa kios ini memang diliputi aro­ma kertas berusia puluhan tahun, tapi justru itu Ali su­ka. Buku-buku lama tak hanya menyimpan sejarah da­lam apa yang dikandungnya, tapi juga hal buku itu sen­di­ri. Tahun-tahun yang ia lewati sejak ia diterbitkan, di­pa­jang di toko buku yang sudah tidak lagi ada, dibeli oleh se­seorang yang telah meninggalkan dunia, berpindah ke ta­ngan yang menganut paham “sekali berarti sesudah itu ma­ti”, disusupi serangga-serangga yang merindukan ke­lem­bapan, hingga terselip di antara ratusan buku lainnya di kios buku ini. Lagipula Mang Alwi mendapat ke­ka­ya­an­nya toh dari para kolektor yang hobi berburu buku za­dul. Makin sulit dicari justru makin bernilai. Ah biar la­gak­nya bak maniak, agaknya Zia awam soal bisnis buku. “La­gian uang aku udah habis juga tadi di sana…”

Pikiran mencerna tanpa disadari. Begitu banyak dan begitu cepat yang masuk ke dalam kepala Ali. Ingin me­nanggapi tapi tidak tahu mana yang harus di­da­hu­lu­kan, lagipula tidak terbaca apa yang berseliweran di da­lam sana. Yang pasti ada suatu pemahaman yang meng­en­­dap, biarkan saja. Cewek itu telah mendapatkan tem­pat­nya. Sekarang yang lebih teraba hanya rasa. Bahkan plas­tik berisi buku-buku milik cewek itu tidak terasa be­ban di tangan Ali, meskipun ia bisa saja mengembalikan ba­rang itu pada pemiliknya, atau menaruhnya sejenak di lan­tai.

 “Enggak apa-apa. Puas-puasin aja.” Tatapan Ali me­lembut. Meskipun cewek itu tidak lihat. “Cuman di si­ni fiksinya enggak banyak.”

“Enggak apa-apa…” ucap cewek itu dengan nada san­tai. Sekarang ia membungkuk, menyoroti buku-buku di deretan ketiga dari bawah. “Di sini juga rame-rame kok…”

“Emang kamu suka buku-buku sejarah?”

“Enggak terlalu sih. Cuman, sejarah itu kan ka­yak cerita. Jadi seneng ngebayanginnya aja…”

“Maksud kamu?”

“Suka aja ngebayangin gimana rasanya jadi orang yang hidup di masa lalu. Keadaannya waktu itu ki­ra-kira gimana ya? Hidupnya kayak gimana? Apalagi ka­lau belum ada TV, radio… Cuman ya… Dibandingin sa­ma fiksi, aku lebih asyik aja sih baca fiksi ketimbang se­ja­rah. Lebih kebayang gitu, kalau fiksi. Kalau sejarah, ka­dang cuman ngasih fakta-fakta aja tapi enggak begitu ke­bayang suasananya kayak gimana. Kurang ada feel-nya aja…”

“Kalau mau liat-liat fiksi, di rumah saya ada… lu­mayan banyak.”

“Bukannya kamu enggak seneng fiksi?” Zia meng­angkat kepala.

“Punya ibu saya. Kebanyakan udah zadul gitu sih.”

“Oh… Boleh gitu, diliat-liat?” Zia menegakkan tu­buh.

“Boleh. Rumah saya kan balai bacaan.”

“Wah…” Ekspresi cewek itu meminta pen­je­las­an.

“Koleksi buku bapak sama ibu saya ada banyak, ja­di ya… dikumpulin aja terus dijadiin balai bacaan gitu. Ba­nyak kok yang suka datang ke rumah. Lihat-lihat, pin­jem…”

“Boleh dipinjem?” Zia tampak lebih ber­se­ma­ngat.

“Boleh. Kalau mau, main aja ke rumah.”

“Kapan?” Cewek itu seperti mengharapkan se­ka­rang.

“Entar aja. Kalau udah masuk sekolah. Saya ma­sih harus jaga di sini sampai liburan selesai. Pulang pa­ling jam limaan.”

“Waah…”

Zia. Zia Zia Zia oh Zia.

Tidak terhitung berapa lama lagi yang mereka ha­biskan di lorong sempit itu, tapi singkat. Bertukar ka­li­mat-kalimat pendek dengan suara pelan.

“Aduh aku enggak enak euy. Liat-liat tapi enggak be­li apa-apa.”

“Enggak apa-apa lagi.” Nanti saja kalau kamu su­dah sadar artinya buku-buku lama. Ali mengantar cewek itu berpamitan plus basa-basi pada Mang Alwi, sebelum heng­kang. Sekali cewek itu berbalik untuk melempar se­nyum. Ikan layur bumbu madu saos nanas. Ali membalas de­ngan cengiran.

“Betulan enggak jadi beli apa-apa teman kau itu?” Mang Alwi sudah tidak lagi menekan-nekan tuts kal­kulator. Ia duduk saja di ujung kios dengan lengan ter­sampir pada meja tinggi. Bang Sori entah ke mana.

“Enggak,” jawab Ali pelan. Nadanya seolah per­ca­kapan ini tidak penting.

“Enggak rugi kan, sekali-kali enggak baca bu­ku?” Mang Alwi mengeluarkan logat Sundanya, nyaring. Di­susul tawa terkekeh yang panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain