Arsip itu telah dibuka.
Ali mengingat-ingat apa yang hendak ia cantumkan dari referensi yang sudah ada.
Untung ia ingat nama penulis, judul, dan tahun cetakan terbaru buku tersebut—yang
tetap saja sudah lama—tapi nama penerbitnya lupa. Ali juga lupa kalau database semua buku yang pernah ada di
rumah itu tersedia di komputer. Setelah berkali-kali memainkan scroll pada mouse, Ali memutuskan untuk mencetak tulisan tersebut. Lebih
karena hasratnya menguap sudah, alih-alih tidak teraba apa yang harus
ditambahkan lagi di situ.
Mendadak ia merasa
suntuk. Kenapa ia harus begitu bergantung pada satu buku—buku-buku. Tulisan,
apalah pentingnya tulisan ini? Ali menyentak halaman pertama yang telah
tercetak. Ia tidak ingin membicarakan tentang buku, bagaimana menulis yang
baik, dan sebagai-bagainya itu lagi dengan Zia, bosan, ia ingin membicarakan
tentang hidup. Kamu ingin tahu versi mana dari cerita Opung yang paling mendekati
kebenaran, Zia? Kamu tahu, Zia, kelihatannya keluargaku sangat mencintai buku,
tapi sesungguhnya yang baca buku di rumah cuman aku. Ibu terlalu sibuk dengan
urusan domestik, merawat Opung, dan menimba penghasilan di sana-sini. Opung?
Ia pengkhianat, sekarang lebih cinta TV daripada buku. Fathim dan Aziz, hah,
mereka itu korban zaman. Lebih gandrung teknologi, yang kawan-kawan mereka
miliki. Tapi kamu tahu betapa menakjubkannya mereka, Zia? Mereka tidak
pernah terlihat keberatan karena tidak punya bapak, mungkin karena memori
yang mereka miliki tentang Bapak terlalu sedikit. Ya Zia, aku tidak ada bapak,
kamu boleh bayari aku jajan di kantin supaya kamu mendapat pahala berlipat
ganda. Tapi siapa yang bisa memastikan bapakku sudah mati? Aku tidak bakal
percaya sampai melihat jasadnya dengan mataku sendiri. Menurut kamu bagaimana
Zia, apakah ia masih hidup?
Tapi Zia tidak pernah
menyinggung hal yang pribadi. Yang Ali tahu hanya itu cewek itu punya dua lemari
buku, orangtuanya tidak begitu doyan baca buku, adiknya cuman satu dan tidak
lucu. Memang mereka sudah sedekat apa sih sampai bisa bertukar informasi
pribadi? Bukannya Ali tidak insaf. Ia bercerita pada Zia dalam benaknya saja,
selagi cewek itu membaca tulisannya.
Mereka bertemu di
perpustakaan pada jam istirahat itu. Ali yang mengajak Zia lewat
sms—akhirnya ia menekan nomor itu lagi.
Besok di perpus y
Ngap? Jam berapa?
Ali tidak membalas.
Cewek ini seperti yang tidak tahu saja… Memangnya apa sih yang biasa mereka lakukan
saat bertemu? Kapan lagi kalau bukan pada jam istirahat?
Besoknya memang ia
menemukan cewek itu di perpustakaan. Entah apa karena sms Ali atau memang niat
cewek itu untuk mendekam di perpustakaan pada jam istirahat hari itu, sama
saja. Yang penting Ali sudah menyerahkan tugasnya. Ini, Bu Guru…
“…sebetulnya masih ada
yang perlu ditambahin lagi sih… Yah, masih draflah.” Hasil revisi keenam kali.
Barangkali cewek itu bisa memaklumi kalau masih ada kekurangan dalam tulisan
itu, kan masih draf.
“Hebat.” Akhirnya Zia mengangkat wajah. “Aku
enggak begitu ngerti sih. Tapi, hebat. Aku bacanya kayak ini tulisan opini di
koran gitu, yang emang aku biasanya enggak ngerti kalau baca bagian itu,
tapi aku baca aja, jadi tahu banyak istilah baru deh, biar enggak nangkap
maksudnya apa juga, hehehe.” Cewek itu menarik napas.
Makanya kalau bicara
itu pelan-pelan, pendek-pendek. Satu kalimat satu gagasan. Jangan serentetan
langsung dalam sekali napas. Ngos-ngosan kan.
“Aku belum terlalu
mendalami nonfiksi soalnya. Kamu bikin cerpen atau novel aja deh. Siapa tahu
aja aku bisa ngomentarin lebih banyak?”
Ali membayangkan
kemungkinan Zia bisa mengata-ngatainya sampai puas.
“Cerpen?” Kening Alis
berkerut, seakan-akan cerpen adalah barang yang baru didengarnya sekali itu.
Eh cerpen itu barang apa bukan sih? Jangan-jangan nama orang?
“Bukannya ngarang fiksi
mestinya jauh lebih mudah ya?” Zia membuka-buka tulisan Ali lagi. Daftar referensi
yang dicantumkan Ali dalam tulisannya itu mencapai setengah halaman. “Tinggal
ngarang-ngarang, enggak usah nyari referensi…”
“Imajinasi saya kan
enggak aneh-aneh kayak kamu…” meskipun cerpen Zia yang sudah Ali lihat—sekadar
memindai, tidak benar-benar dibaca per kata—lebih terasa seperti curahan hati
ABG pada umumnya. Tapi siapa tahu saja sesungguhnya imajinasi Zia jauh lebih
liar dari itu, cuman belum dituangkan saja—belum dipajang di blog. Tengok saja penampilannya yang
urakan itu, imajinasinya mesti tidak kalah berantakan!
“Enggak mesti
aneh-aneh… Ya banyak sih yang kayak gitu, emang. Yang surealis. Tapi di
karya-karya besar tuh, banyak juga kok kayak yang cuman nyeritain kejadian
sehari-hari gitu. Realis. Tapi ternyata maknanya bisa dalam banget. Ernest
Hemingway contohnya. Sampai sekarang aku enggak ngerti-ngerti itu orang maksudnya
nyeritain apa. Ceritanya dia tuh kadang kayak yang cuman dialog aja gitu,
datar. Ramean baca Agatha Christie deh. Mungkin kamu bisa mulai dari nulisin kegiatan
kamu sehari-hari, terus dimodifikasi gitu… Suka nulis diary enggak sih?”
“Jurnal paling…”
“Sama aja, diary tuh!”
“Jurnal!” tegas Ali.
“Jurnal ya diary juga kali, sama-sama catatan keseharian
kan?”
Ali berdecak. “Terserah
kamu deh.”
“Ya mulai dari hal-hal
yang personal gitu aja… Kapan gitu aku main ke blog kamu. Isinya gariiing banget. Cuman berita-berita kecil gitu,
tentang SMANSON pula, mending kalau isinya yang sensitif gitu. Yang gereget!
Ini mah kayak baca halaman belakang majalah aja, itu loh yang isinya liputan
acara macam-macam itu. Ya mending aku dong, cerpen, diksinya lebih ‘be-ra-sa’…
Aku udah nambah cerpen lagi di blog
aku loh… Kamu udah ke sana lagi belum?”
“…iya, iya…”
Ali mempersilahkan Zia
membawa tulisan itu pulang. Ingin dipelajari, Zia bilang. Ali berlalu dari perpustakaan
usai jam istirahat itu dengan tanya berkecamuk, kapan pembicaraan ini bakal
melenceng dari dunia literasi? Bagaimana buku mempengaruhi hidupmu? Keluargamu?
Kehidupanmu bukan melulu soal buku, ya kan? Apa kesukaanmu yang lain? Kenapa
Ali ingin tahu hal-hal semacam itu? Kenapa Ali ingin menceritakan hal-hal semacam
itu pula tentang dirinya pada Zia?
.
Lusa ganti Zia yang
mengajak Ali bersua di perpustakaan. Dalam sms itu pula Zia berkata… cekidot blogku yaa XD
Huh enak saja
suruh-suruh. Malas tahu! Tapi Ali seret juga sandal jepitnya ke warnet.
Kali berikut di
perpustakaan mereka tenggelam dalam debat. Topik terputus-putus, sekaligus berkelanjutan.
…
“Saya mah enggak betah
baca yang ngawur-ngawur gitu Zia…”
“Ngawur apanya… Itu backstory dari tokoh yang mau aku buat
jadi novel…” Zia seperti mau menangis.
“Backstory itu maksudnya apa?”
…
“Tulisan kamu tuh
nonfiksi banget. Detailnya banyak banget. Aku enggak gampang nangkep. Dan ternyata
analisisnya ngebingungin.”
“Analisisnya yang
ngebingungin apa kamunya yang bingungan?”
“Kamu yang
ngebingungin!”
“Kalau kamu bacanya
buku-buku yang saya cantumin di situ sih, mungkin kamu bisa lebih ngerti…”
“Ya iyalah… Makanya
kamu tuh sering-sering baca teenlit.
Jadinya bisa bikin tulisan yang aku ngerti!”
“Loh?!”
…
“…jadi cerita yang Mang
Emen ini bukan cerpen?”
“Bukaan! Itu tuh aku
lagi nyoba-nyoba jurnalisme sastrawi. Aku beneran ngikutin sama ngobrol-ngobrol
sama si mamangnya tau.”
“Emang si Mang Emen ini
beneran sarapannya pakai impun? Kamu tanya sampai sedetail ini rasa impunnya
gimana? Apa kamu nyobain?”
“Itu tuh enggak
penting. Yang penting fakta tentang kehidupan si Mang Emen itu sebagai
pengumpul brangkal. Esensinya!”
“Kenapa enggak lugas
aja sih bahasanya? Yang efektif gitu. Ini pakai nyeritain dulu dia ngasih apa
ke anaknya… Sebenernya kamu mau nyeritain apa?”
“Aduh kamu nangkep
enggak sih sebetulnya sisi human interest-nya?
Mindset kamu tuh masih aja, jurnalistik
tuh kudu yang faktuil, aktual, valid,
lugas, singkat, padat, tajam, bla bla bla—”
“Kalau mau yang
imajinatif itu ya… ya udah, kalau fiksi mah ya fiksi aja. Tulisan kamu itu
ngalor-ngidul ke mana-mana, kayak jalan pikiran kamu. Abstrak! Melingkar-lingkar!”
…
Di sisi lain
perpustakaan dua cewek tengah membahas agenda LITERASON untuk pertemuan
terdekat. Sejak mula berada di perpustakaan itu mereka ngeh kalau ada sosok
yang sangat mereka kenal. Objek penderita dalam geng mereka, yang eksis hanya
dalam acara LEMPERs. Perhatian mereka makin tertuju ketika si objek bicara
dengan nada yang semakin intens. Persis sewaktu memaki-maki mereka satu hari
sebelum tenggat mading, hingga mereka pikir begitulah cara si bos menunjukkan
keakraban. Segencar apapun mereka mengerahkan upaya pengakraban, secara fisik
maupun emosional, tetap si bos hanya banyak omong kalau menyangkut urusan LEMPERs
semata.
Lawannya kali ini seorang cewek. Cewek.
Objek penderita sudah
kebal diledeki dengan cewek LEMPERs, kakak kelas maupun teman seangkatannya,
apalagi dengan salah satu di antara personil sixsweets. Setahun kebersamaan
tidak membuat si bos bergairah dengan satupun di antara enam, yang padahal sudah
sedemikian rupa tampil manis nan manja. Dengan yang + pun agaknya si bos
enggan.
Bagaimana dengan cewek
non-LEMPERs? Fika dan Indah belum jadi siswi SMANSON ketika Zia mulai nonaktif
dari LEMPERs. Kedua cewek itu mengingat-ingat adakah si bos memancarkan
percik-percik chemistry ketika sedang
bercengkerama dengan cewek non-LEMPERs.
Aduh. Emangnya kita mata-matanya si bos?
Siapa aja sih cewek yang pernah deket sama si bos?
Mungkin enggak ya sama si Teh Zia?
Mungkin aja lagi. Kayaknya enggak cuman sekali ini deh mereka di sini.
Oh ya?
Kangen ya udah lama enggak godain si bos.
Hihihi…
Yuk.
Yuk…
.
Panas kepala Ali. Bukan
saja karena terik matahari yang menggeru-geru. Pun hawa yang meruap dari aspal
jalanan yang ia tapaki. Sempat ia berhenti gundah selama beberapa jam
pelajaran sehabis jam istirahat. Tapi begitu ruang dalam kepala jadi miliknya
kembali, segala omongan cewek itu langsung menyerbu. Gila itu cewek!
Mengobrol dengannya seperti mengarungi kolam dangkal, tapi begitu luas…
terlalu luas untuk dijamah. Ketika Ali hendak menggali satu, satu… saja titik
penting, cewek itu sudah menyebut sejibun referensi baru. Masih berkaitan
dengan topik semula, tapi, pengembangannya kok malah berhenti di topik
baru. Kewalahan Ali mencerna demi menemukan titik penting baru, cewek itu sudah
lari lagi—pikirannya. Bagaimana Ali bisa menang dalam obrolan yang tak
terkendali ini? Moderator, please!
Setiap kali Ali hendak ganti memamerkan pemahamannya yang mendalam akan
satu… saja—sesuatu, Perang Salib, Perang Pasifik, apa kek, ia tahan lagi karena
Zia menggempurnya dengan istilah-istilah baru. Apa kita harus belajar ilmu
linguistik dulu supaya bisa bikin conlang
yang believable di fiksi fantasi?
Ketika aku coba bikin cerita, ternyata orang dalam ceritaku itu suka bikin cerita
juga, storyception dong namanya! Kamu
tahu apa bedanya new journalism
dengan jurnalisme sastrawi? Apalah!
Buku-bukunya cuman dua
lemari? Omong kosong. Setidaknya cewek itu punya perpustakaan seluas Dufan di
dalam kepalanya. Sedangkan Ali, begitu masuk ke dalam rumah dan mendapati
dinding yang polos tanpa satu rak buku pun yang menutupi, tidak memiliki
apa-apa. Boro-boro modal untuk membeli buku-buku baru tiap bulan sebagaimana
Zia, buku-buku warisan saja tidak ada! Bagaimana ia bisa menuliskan lagi
berbagai pengetahuan di dalam kepalanya? Ia perlu buku, buku!, untuk mengecek
ejaan, tahun, tempat, apapun yang berkecamuk dalam kepalanya. Buku tak cukup
sekali dibaca, lalu tak disentuh lagi seolah kita bakal ingat isinya untuk selama-lamanya.
Manusia itu tidak sama dengan gajah, gajah tidak berakal tapi selalu ingat,
manusia berakal tapi pelupa. Manusia itu Ibu!, Ibu yang lupa apa arti buku, arti
Bapak. Dari mana Ali tahu apa saja minat Bapak? Dari judul-judul buku yang
dimilikinya. Dari mana Ali mengenali jalan pikiran Bapak? Dari
coretan-coretan yang dibuat Bapak dalam bukunya.
Ali berusaha menjalani
hari itu sebagaimana biasa. Mengerjakan tugas-tugasnya. Membaca buku sambil
tiduran di kamar, biarpun ia sudah makin jemu dengan tumpukan yang itu-itu
saja judulnya. Ia terpikir untuk ke kios Mang Alwi segera, supaya otaknya
tetap bernyawa. Mang Alwi belum tentu mengizinkan Ali membawa pulang buku-buku
dari kiosnya. Tapi setidaknya Ali bisa membuka-buka dagangan mamang di sana,
sambil tiduran, selagi lelaki itu tidak ada, atau lupa menegur Ali. Buku-buku
di perpustakaan sekolah juga sepertinya cukup menarik, meski kebanyakan fiksi
pengayaan. Juga buku-buku dalam kepala Zia. Ah Zia. Zia Zia Zia oh Zia. Barangkali
ia dan cewek itu bisa ke Gramedia bersama, sebagai pencinta buku tak
bermodal, berdiri dari jam ke jam demi membacai buku-buku yang tanggal dari sampul
plastiknya.
Sebelum berniat
terlelap malam itu, sembari berbaring Ali memandangi tembok yang mepet tempat
tidurnya. Terasa dingin belakangan ini. Sebelumnya ia tahu di balik tembok
di atas kepalanya dan di salah satu sisi tubuhnya terdapat jajaran buku-buku.
Mereka mengepungnya. Menghangatkannya. Ia hanya perlu terbiasa kini, hidup
tanpa mereka. Bah. Apa-apaan ini. Jadi sentimentil. Mungkin ini yang
dikatakan orang, cinta itu bikin perasaan jadi sentimentil. Cinta. Cinta cinta
cinta oh cinta. Kantuk sudah jatuh ketika Ali ingat kalau ia belum menyikat
gigi. Bangkitlah ia.
Terseok-seok ia dari
kamar mandi. Sudah agak hilang kantuknya kini. Tapi gampanglah, begitu menempel
kasur mata pasti bakal langsung terpejam.
“Ali.”
Ali menoleh pada sosok
di sisi ruang tengah. Dulu di situ ada beberapa kursi untuk satu orang yang mengelilingi
meja bundar. Kini yang satu sudah berganti jadi kursi yang lebih panjang, meja
jadi kotak, sedang kursi-kursi lainnya tetap untuk satu orang namun berukuran
lebih lebar—para pengungsi dari ruang depan. Sedang entah ke mana set yang
semula ada di ruang tengah. Bagaimanapun juga Ibu duduk di tengah kursi yang
panjang itu.
“Ke sini.”
Ali ke sana. Duduk di
kursi yang berbeda. Ibu bergeser menjauh hingga ujung kursi yang ia duduki. Setelah
menyingkirkan jahitan ke atas meja, ia menepuk pangkuannya. Ali pun duduk di
ruang yang tersedia di samping Ibu. Dengan rikuh ia melabuhkan kepalanya di
pangkuan Ibu, membelakangi perut Ibu. Seketika air matanya hendak merebak.
Tapi segera ia mengingatkan diri kalau tidak ada yang perlu ditangisi. Saat SD
Ali masih suka menangis kalau dimarahi Ibu. Tapi beberapa lama setelah itu
kepalanya terbenam dalam pangkuan Ibu. Sambil diusap-usap.
“Marah sama Ibu?”
“Ibu enggak ngehargain
buku…” Akhirnya Ali mengutarakan.
“Tentu saja Ibu
menghargai buku. Harganya cukup untuk biaya Ali sama Aziz besok.”
Ali diam.
“Nanti kamu lihat
sendiri bagaimana buku bisa menghidupi kamu,” kata Ibu lagi.
Ali masih tidak tahu
bagaimana harus menanggapi.
Tahu-tahu Ibu mencopot
kacamata Ali. “Lihat ini… Kacamatamu juga udah harus diganti.” Gagang kacamata
Ali bergoyang-goyang di udara sebelum Ibu meletakkan benda itu di meja.
Ali hendak mengangkat
kepala, tapi tangan Ibu menahan. Kemudian Ali merasakan sapuan lembut di rambutnya.
Ali termenung. Dalam
kepalanya sedang berputar kenangan-kenangan. Sampai usia sepuluh tahun, Ali masih
bisa bersimpuh di dekat kaki Bapak. Hembusan asap kreteknya disertai laporan
pandangan matanya akan dunia. Bukan saja yang belum lama ia lalui, tapi juga
yang sudah lama. Sesekali Ali mengerlingkan mata pada Ibu. Benar apa yang
diceritakan Bapak tentangmu itu, Ibu?
“Ibu juga cinta buku.”
Ibu berasal dari
keluarga pencinta buku. Koleksi buku saudara Ibu tidak kalah banyak dari milik
Ibu, hingga bisa dijadikan balai bacaan, hah, cuman balai bacaan,
perpustakaan dong, lengkap dengan kafe. Semua saudara Ibu beserta keluarga
masing-masing dapat hidup layak, bahkan royal. Kenapa Ibu memilih hidup dalam
kebersahajaan? Apa karena Ibu memiliki terlalu banyak buku, hingga merasa
tidak memerlukan apa-apa lagi dalam hidupnya?
Bukan, Nak. Ada
kehidupan sebenarnya yang harus kamu jalani. Buku itu cuman bekal.
Ketika kamu sudah
memiliki buku-buku, kamu merasa telah menggenggam kehidupan. Ketika buku-buku
itu pergi, ke mana kehidupan itu menggelinding? Ke mana kehidupan itu harus
dicari? Kehidupan apa buku yang dicari? Sebagian orang bisa memiliki keduanya
sekaligus, sebagian harus mengutamakan salah satu. Yang diutamakan yang
pertama, tentu. Buku itu barang mewah ternyata.
“Tapi Ibu lebih cinta
anak-anak Ibu.”
Ibu tidak menahan lagi
saat Ali mengangkat kepala.
“Buku-buku masih dicari
lagi.” Mata Ibu pada mata Ali. “Di mana-mana ada buku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar