Senin, 27 Agustus 2012

15

Arsip itu telah dibuka. Ali mengingat-ingat apa yang hendak ia cantumkan dari referensi yang sudah ada. Un­tung ia ingat nama penulis, judul, dan tahun cetakan ter­baru buku tersebut—yang tetap saja sudah lama—tapi na­ma penerbitnya lupa. Ali juga lupa kalau database semua buku yang pernah ada di rumah itu tersedia di kom­puter. Setelah berkali-kali memainkan scroll pada mouse, Ali memutuskan untuk mencetak tu­lis­an tersebut. Le­bih karena hasratnya menguap sudah, alih-alih tidak te­raba apa yang harus ditambahkan lagi di situ.

Mendadak ia merasa suntuk. Kenapa ia harus be­gi­tu bergantung pada satu buku—buku-buku. Tulisan, apa­lah pentingnya tulisan ini? Ali menyentak halaman per­tama yang telah tercetak. Ia tidak ingin mem­bi­ca­ra­kan tentang buku, bagaimana menulis yang baik, dan se­ba­gai-bagainya itu lagi dengan Zia, bosan, ia ingin mem­bi­carakan tentang hidup. Kamu ingin tahu versi mana da­ri cerita Opung yang paling mendekati kebenaran, Zia? Kamu tahu, Zia, kelihatannya keluargaku sangat men­cintai buku, tapi sesungguhnya yang baca buku di ru­mah cuman aku. Ibu terlalu sibuk dengan urusan do­mes­tik, merawat Opung, dan menimba penghasilan di sa­na-sini. Opung? Ia pengkhianat, sekarang lebih cinta TV daripada buku. Fathim dan Aziz, hah, mereka itu kor­ban zaman. Lebih gandrung teknologi, yang kawan-ka­wan mereka miliki. Tapi kamu tahu betapa me­nak­jub­kan­nya mereka, Zia? Mereka tidak pernah terlihat ke­be­rat­an karena tidak punya bapak, mungkin karena memori yang mereka miliki tentang Bapak terlalu sedikit. Ya Zia, aku tidak ada bapak, kamu boleh bayari aku jajan di kan­tin supaya kamu mendapat pahala berlipat ganda. Ta­pi siapa yang bisa memastikan bapakku sudah mati? Aku ti­dak bakal percaya sampai melihat jasadnya dengan ma­ta­ku sendiri. Menurut kamu bagaimana Zia, apakah ia ma­sih hidup?

Tapi Zia tidak pernah menyinggung hal yang pri­ba­di. Yang Ali tahu hanya itu cewek itu punya dua le­ma­ri buku, orangtuanya tidak begitu doyan baca buku, adik­nya cuman satu dan tidak lucu. Memang mereka sudah se­dekat apa sih sampai bisa bertukar informasi pribadi? Bu­kannya Ali tidak insaf. Ia bercerita pada Zia dalam be­naknya saja, selagi cewek itu membaca tulisannya.

Mereka bertemu di perpustakaan pada jam is­ti­ra­hat itu. Ali yang mengajak Zia lewat sms—akhirnya ia me­nekan nomor itu lagi.

Besok di perpus y

Ngap? Jam berapa?

Ali tidak membalas. Cewek ini seperti yang tidak ta­hu saja… Memangnya apa sih yang biasa mereka la­ku­kan saat bertemu? Kapan lagi kalau bukan pada jam is­ti­ra­hat?

Besoknya memang ia menemukan cewek itu di per­pustakaan. Entah apa karena sms Ali atau memang ni­at cewek itu untuk mendekam di perpustakaan pada jam istirahat hari itu, sama saja. Yang penting Ali sudah me­nyerahkan tugasnya. Ini, Bu Guru…

“…sebetulnya masih ada yang perlu ditambahin la­gi sih… Yah, masih draflah.” Hasil revisi keenam kali. Ba­rangkali cewek itu bisa memaklumi kalau masih ada ke­kurangan dalam tulisan itu, kan masih draf.

 “Hebat.” Akhirnya Zia mengangkat wajah. “Aku eng­gak begitu ngerti sih. Tapi, hebat. Aku bacanya ka­yak ini tulisan opini di koran gitu, yang emang aku bi­a­sa­nya enggak ngerti kalau baca bagian itu, tapi aku baca aja, jadi tahu banyak istilah baru deh, biar enggak nang­kap maksudnya apa juga, hehehe.” Cewek itu menarik na­pas.

Makanya kalau bicara itu pelan-pelan, pendek-pen­dek. Satu kalimat satu gagasan. Jangan serentetan lang­sung dalam sekali napas. Ngos-ngosan kan.

“Aku belum terlalu mendalami nonfiksi soalnya. Ka­mu bikin cerpen atau novel aja deh. Siapa tahu aja aku bisa ngomentarin lebih banyak?”

Ali membayangkan kemungkinan Zia bisa me­nga­ta-ngatainya sampai puas.

“Cerpen?” Kening Alis berkerut, seakan-akan cer­pen adalah barang yang baru didengarnya sekali itu. Eh cerpen itu barang apa bukan sih? Jangan-jangan nama orang?

“Bukannya ngarang fiksi mestinya jauh lebih mu­dah ya?” Zia membuka-buka tulisan Ali lagi. Daftar re­fe­ren­si yang dicantumkan Ali dalam tulisannya itu men­ca­pai setengah halaman. “Tinggal ngarang-ngarang, eng­gak usah nyari referensi…”

“Imajinasi saya kan enggak aneh-aneh kayak ka­mu…” meskipun cerpen Zia yang sudah Ali lihat—se­ka­dar memindai, tidak benar-benar dibaca per kata—lebih te­rasa seperti curahan hati ABG pada umumnya. Tapi si­a­pa tahu saja sesungguhnya imajinasi Zia jauh lebih liar da­ri itu, cuman belum dituangkan saja—belum dipajang di blog. Tengok saja penampilannya yang urakan itu, ima­jinasinya mesti tidak kalah berantakan!

“Enggak mesti aneh-aneh… Ya banyak sih yang ka­yak gitu, emang. Yang surealis. Tapi di karya-karya be­sar tuh, banyak juga kok kayak yang cuman nyeritain ke­jadian sehari-hari gitu. Realis. Tapi ternyata maknanya bi­sa dalam banget. Ernest Hemingway contohnya. Sam­pai sekarang aku enggak ngerti-ngerti itu orang mak­sud­nya nyeritain apa. Ceritanya dia tuh kadang kayak yang cu­man dialog aja gitu, datar. Ramean baca Agatha Christie deh. Mungkin kamu bisa mulai dari nulisin ke­gi­atan kamu sehari-hari, terus dimodifikasi gitu… Suka nu­lis diary enggak sih?”

“Jurnal paling…”

“Sama aja, diary tuh!”

“Jurnal!” tegas Ali.

“Jurnal ya diary juga kali, sama-sama catatan ke­se­harian kan?”

Ali berdecak. “Terserah kamu deh.”

“Ya mulai dari hal-hal yang personal gitu aja… Ka­pan gitu aku main ke blog kamu. Isinya gariiing ba­nget. Cuman berita-berita kecil gitu, tentang SMANSON pu­la, mending kalau isinya yang sensitif gitu. Yang ge­re­get! Ini mah kayak baca halaman belakang majalah aja, itu loh yang isinya liputan acara macam-macam itu. Ya men­ding aku dong, cerpen, diksinya lebih ‘be-ra-sa’… Aku udah nambah cerpen lagi di blog aku loh… Kamu udah ke sana lagi belum?”

“…iya, iya…”

Ali mempersilahkan Zia membawa tulisan itu pu­lang. Ingin dipelajari, Zia bilang. Ali berlalu dari per­pus­ta­kaan usai jam istirahat itu dengan tanya berkecamuk, ka­pan pembicaraan ini bakal melenceng dari dunia li­te­ra­si? Bagaimana buku mempengaruhi hidupmu? Ke­lu­ar­ga­mu? Kehidupanmu bukan melulu soal buku, ya kan? Apa kesukaanmu yang lain? Kenapa Ali ingin tahu hal-hal semacam itu? Kenapa Ali ingin menceritakan hal-hal se­macam itu pula tentang dirinya pada Zia?

.

Lusa ganti Zia yang mengajak Ali bersua di per­pus­takaan. Dalam sms itu pula Zia berkata… cekidot blogku yaa XD

Huh enak saja suruh-suruh. Malas tahu! Tapi Ali se­ret juga sandal jepitnya ke warnet.

Kali berikut di perpustakaan mereka tenggelam da­lam debat. Topik terputus-putus, sekaligus ber­ke­lan­jut­an.

“Saya mah enggak betah baca yang ngawur-nga­wur gitu Zia…”

“Ngawur apanya… Itu backstory dari tokoh yang mau aku buat jadi novel…” Zia seperti mau menangis.

Backstory itu maksudnya apa?”

“Tulisan kamu tuh nonfiksi banget. Detailnya ba­nyak banget. Aku enggak gampang nangkep. Dan ter­nya­ta analisisnya ngebingungin.”

“Analisisnya yang ngebingungin apa kamunya yang bingungan?”

“Kamu yang ngebingungin!”

“Kalau kamu bacanya buku-buku yang saya can­tum­in di situ sih, mungkin kamu bisa lebih ngerti…”

“Ya iyalah… Makanya kamu tuh sering-sering ba­ca teenlit. Jadinya bisa bikin tulisan yang aku ngerti!”

“Loh?!”

“…jadi cerita yang Mang Emen ini bukan cer­pen?”

“Bukaan! Itu tuh aku lagi nyoba-nyoba jur­nal­is­me sastrawi. Aku beneran ngikutin sama ngobrol-ngo­brol sama si mamangnya tau.”

“Emang si Mang Emen ini beneran sarapannya pa­kai impun? Kamu tanya sampai sedetail ini rasa im­pun­nya gimana? Apa kamu nyobain?”

“Itu tuh enggak penting. Yang penting fakta ten­tang kehidupan si Mang Emen itu sebagai pengumpul brang­kal. Esensinya!”

“Kenapa enggak lugas aja sih bahasanya? Yang efek­­tif gitu. Ini pakai nyeritain dulu dia ngasih apa ke anak­nya… Sebenernya kamu mau nyeritain apa?”

“Aduh kamu nangkep enggak sih sebetulnya sisi human interest-nya? Mindset kamu tuh masih aja, jur­na­lis­­tik tuh kudu yang faktuil, aktual, valid, lugas, singkat, pa­dat, tajam, bla bla bla—”

“Kalau mau yang imajinatif itu ya… ya udah, ka­lau fiksi mah ya fiksi aja. Tulisan kamu itu ngalor-ngidul ke mana-mana, kayak jalan pikiran kamu. Abstrak! Me­ling­kar-lingkar!”

Di sisi lain perpustakaan dua cewek tengah mem­ba­has agenda LITERASON untuk pertemuan terdekat. Se­jak mula berada di perpustakaan itu mereka ngeh ka­lau ada sosok yang sangat mereka kenal. Objek penderita da­lam geng mereka, yang eksis hanya dalam acara LEM­PERs. Perhatian mereka makin tertuju ketika si objek bi­ca­ra dengan nada yang semakin intens. Persis sewaktu me­maki-maki mereka satu hari sebelum tenggat mading, hing­ga mereka pikir begitulah cara si bos menunjukkan ke­akraban. Segencar apapun mereka mengerahkan upaya peng­akraban, secara fisik maupun emosional, tetap si bos hanya banyak omong kalau menyangkut urusan LEM­PERs se­mata.

 Lawannya kali ini seorang cewek. Cewek.

Objek penderita sudah kebal diledeki dengan ce­wek LEMPERs, kakak kelas maupun teman se­ang­kat­an­nya, apalagi dengan salah satu di antara personil six­sweets. Setahun kebersamaan tidak membuat si bos ber­ga­irah dengan satupun di antara enam, yang padahal su­dah sedemikian rupa tampil manis nan manja. Dengan yang + pun agaknya si bos enggan.

Bagaimana dengan cewek non-LEMPERs? Fika dan Indah belum jadi siswi SMANSON ketika Zia mulai non­aktif dari LEMPERs. Kedua cewek itu mengingat-ingat adakah si bos memancarkan percik-percik chemistry ketika sedang bercengkerama dengan cewek non-LEMPERs.

Aduh. Emangnya kita mata-matanya si bos?

Siapa aja sih cewek yang pernah deket sama si bos?

Mungkin enggak ya sama si Teh Zia?

Mungkin aja lagi. Kayaknya enggak cuman se­ka­li ini deh mereka di sini.

Oh ya?

Kangen ya udah lama enggak godain si bos.

Hihihi…

Yuk.

Yuk…

.

Panas kepala Ali. Bukan saja karena terik ma­ta­ha­ri yang menggeru-geru. Pun hawa yang meruap dari as­pal jalanan yang ia tapaki. Sempat ia berhenti gundah se­lama beberapa jam pelajaran sehabis jam istirahat. Tapi begitu ruang dalam kepala jadi miliknya kembali, se­gala omongan cewek itu langsung menyerbu. Gila itu ce­wek! Mengobrol dengannya seperti mengarungi ko­lam dang­kal, tapi begitu luas… terlalu luas untuk dijamah. Ke­tika Ali hendak menggali satu, satu… saja titik pen­ting, cewek itu sudah menyebut sejibun referensi baru. Ma­sih berkaitan dengan topik semula, tapi, pe­ngem­bang­an­nya kok malah berhenti di topik baru. Kewalahan Ali men­cerna demi menemukan titik penting baru, cewek itu su­dah lari lagi—pikirannya. Bagaimana Ali bisa menang da­lam obrolan yang tak terkendali ini? Moderator, please! Setiap kali Ali hendak ganti memamerkan pe­ma­ham­annya yang mendalam akan satu… saja—sesuatu, Pe­rang Salib, Perang Pasifik, apa kek, ia tahan lagi ka­re­na Zia menggempurnya dengan istilah-istilah baru. Apa ki­ta harus belajar ilmu linguistik dulu supaya bisa bikin con­lang yang believable di fiksi fantasi? Ketika aku coba bi­kin cerita, ternyata orang dalam ceritaku itu suka bikin ce­rita juga, storyception dong namanya! Kamu tahu apa be­danya new journalism dengan jurnalisme sastrawi? Apa­lah!

Buku-bukunya cuman dua lemari? Omong ko­song. Setidaknya cewek itu punya perpustakaan seluas Du­fan di dalam kepalanya. Sedangkan Ali, begitu masuk ke dalam rumah dan mendapati dinding yang polos tanpa sa­tu rak buku pun yang menutupi, tidak memiliki apa-apa. Boro-boro modal untuk membeli buku-buku baru ti­ap bulan sebagaimana Zia, buku-buku warisan saja tidak ada! Bagaimana ia bisa menuliskan lagi berbagai pe­nge­ta­huan di dalam kepalanya? Ia perlu buku, buku!, untuk me­ngecek ejaan, tahun, tempat, apapun yang ber­ke­ca­muk dalam kepalanya. Buku tak cukup sekali dibaca, la­lu tak disentuh lagi seolah kita bakal ingat isinya untuk se­lama-lamanya. Manusia itu tidak sama dengan gajah, ga­jah tidak berakal tapi selalu ingat, manusia berakal ta­pi pelupa. Manusia itu Ibu!, Ibu yang lupa apa arti buku, ar­ti Bapak. Dari mana Ali tahu apa saja minat Bapak? Da­ri judul-judul buku yang dimilikinya. Dari mana Ali me­­ngenali jalan pikiran Bapak? Dari coretan-coretan yang dibuat Bapak dalam bukunya.

Ali berusaha menjalani hari itu sebagaimana bi­a­sa. Mengerjakan tugas-tugasnya. Membaca buku sambil ti­duran di kamar, biarpun ia sudah makin jemu dengan tum­pukan yang itu-itu saja judulnya. Ia terpikir untuk ke ki­os Mang Alwi segera, supaya otaknya tetap bernyawa. Mang Alwi belum tentu mengizinkan Ali membawa pu­lang buku-buku dari kiosnya. Tapi setidaknya Ali bisa mem­buka-buka dagangan mamang di sana, sambil ti­dur­an, selagi lelaki itu tidak ada, atau lupa menegur Ali. Bu­ku-buku di perpustakaan sekolah juga sepertinya cukup me­narik, meski kebanyakan fiksi pengayaan. Juga buku-bu­ku dalam kepala Zia. Ah Zia. Zia Zia Zia oh Zia. Ba­rang­kali ia dan cewek itu bisa ke Gramedia bersama, se­ba­gai pencinta buku tak bermodal, berdiri dari jam ke jam demi membacai buku-buku yang tanggal dari sam­pul plastiknya.

Sebelum berniat terlelap malam itu, sembari ber­baring Ali memandangi tembok yang mepet tempat ti­dur­nya. Terasa dingin belakangan ini. Sebelumnya ia ta­hu di balik tembok di atas kepalanya dan di salah satu si­si tubuhnya terdapat jajaran buku-buku. Mereka me­nge­pung­nya. Menghangatkannya. Ia hanya perlu terbiasa ki­ni, hidup tanpa mereka. Bah. Apa-apaan ini. Jadi sen­ti­men­til. Mungkin ini yang dikatakan orang, cinta itu bikin pe­rasaan jadi sentimentil. Cinta. Cinta cinta cinta oh cin­ta. Kantuk sudah jatuh ketika Ali ingat kalau ia belum me­nyikat gigi. Bangkitlah ia.

Terseok-seok ia dari kamar mandi. Sudah agak hi­lang kantuknya kini. Tapi gampanglah, begitu me­nem­pel kasur mata pasti bakal langsung terpejam.

“Ali.”

Ali menoleh pada sosok di sisi ruang tengah. Du­lu di situ ada beberapa kursi untuk satu orang yang me­ngelilingi meja bundar. Kini yang satu sudah berganti ja­di kursi yang lebih panjang, meja jadi kotak, sedang kur­si-kursi lainnya tetap untuk satu orang namun berukuran le­bih lebar—para pengungsi dari ruang depan. Sedang en­tah ke mana set yang semula ada di ruang tengah. Ba­gai­manapun juga Ibu duduk di tengah kursi yang pan­jang itu.

“Ke sini.”

Ali ke sana. Duduk di kursi yang berbeda. Ibu ber­geser menjauh hingga ujung kursi yang ia duduki. Se­te­lah menyingkirkan jahitan ke atas meja, ia menepuk pang­kuannya. Ali pun duduk di ruang yang tersedia di sam­ping Ibu. Dengan rikuh ia melabuhkan kepalanya di pang­kuan Ibu, membelakangi perut Ibu. Seketika air ma­ta­nya hendak merebak. Tapi segera ia mengingatkan diri ka­lau tidak ada yang perlu ditangisi. Saat SD Ali masih su­ka menangis kalau dimarahi Ibu. Tapi beberapa lama se­telah itu kepalanya terbenam dalam pangkuan Ibu. Sam­bil diusap-usap.

“Marah sama Ibu?”

“Ibu enggak ngehargain buku…” Akhirnya Ali meng­u­tarakan.

“Tentu saja Ibu menghargai buku. Harganya cu­kup untuk biaya Ali sama Aziz besok.”

Ali diam.

“Nanti kamu lihat sendiri bagaimana buku bisa meng­hidupi kamu,” kata Ibu lagi.

Ali masih tidak tahu bagaimana harus me­nang­gapi.

Tahu-tahu Ibu mencopot kacamata Ali. “Lihat ini… Kacamatamu juga udah harus diganti.” Gagang ka­ca­mata Ali bergoyang-goyang di udara sebelum Ibu me­le­takkan benda itu di meja.

Ali hendak mengangkat kepala, tapi tangan Ibu me­nahan. Kemudian Ali merasakan sapuan lembut di ram­butnya.

Ali termenung. Dalam kepalanya sedang berputar ke­nangan-kenangan. Sampai usia sepuluh tahun, Ali ma­sih bisa bersimpuh di dekat kaki Bapak. Hembusan asap kre­teknya disertai laporan pandangan matanya akan du­nia. Bukan saja yang belum lama ia lalui, tapi juga yang su­dah lama. Sesekali Ali mengerlingkan mata pada Ibu. Be­nar apa yang diceritakan Bapak tentangmu itu, Ibu? 

“Ibu juga cinta buku.”

Ibu berasal dari keluarga pencinta buku. Koleksi bu­ku saudara Ibu tidak kalah banyak dari milik Ibu, hing­ga bisa dijadikan balai bacaan, hah, cuman balai ba­ca­an, perpustakaan dong, lengkap dengan kafe. Semua sau­dara Ibu beserta keluarga masing-masing dapat hidup la­yak, bahkan royal. Kenapa Ibu memilih hidup dalam ke­bersahajaan? Apa karena Ibu memiliki terlalu banyak bu­ku, hingga merasa tidak memerlukan apa-apa lagi da­lam hidupnya?

Bukan, Nak. Ada kehidupan sebenarnya yang ha­rus kamu jalani. Buku itu cuman bekal.

Ketika kamu sudah memiliki buku-buku, kamu me­rasa telah menggenggam kehidupan. Ketika buku-bu­ku itu pergi, ke mana kehidupan itu menggelinding? Ke ma­na kehidupan itu harus dicari? Kehidupan apa buku yang dicari? Sebagian orang bisa memiliki keduanya se­ka­ligus, sebagian harus mengutamakan salah satu. Yang di­utamakan yang pertama, tentu. Buku itu barang mewah ter­nyata.

“Tapi Ibu lebih cinta anak-anak Ibu.”

Ibu tidak menahan lagi saat Ali mengangkat ke­pa­la.

“Buku-buku masih dicari lagi.” Mata Ibu pada ma­ta Ali. “Di mana-mana ada buku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain