Kamis, 16 Agustus 2012

04

Semalam Mang Alwi, Bik Astri, dan tiga anak me­reka main ke rumah. Saat itu Ali sempat ingat untuk me­minta Ibu memotong rambutnya, guru di sekolah su­dah kasih peringatan. Ali memang tidak pernah ke tu­kang cukur. Bagi Ali hasil potongan ibunya sudah yang ter­baik. Tapi kemudian Ali tidak ingat lagi untuk minta to­long Ibu. Alhasil keesokan paginya ia terjaring razia ram­but panjang. Seandainya saja para guru piket itu mau be­lajar, mereka bisa menghasilkan potongan rambut yang lebih rapi. Tapi apakah karena mereka sudah jadi gu­ru sehingga tidak merasa perlu lagi belajar?

Jam istirahat Ali mencari gunting dan beberapa je­pit kecil pada beberapa teman sekelasnya. Potongan ram­but yang tak rata bikin batin Ali gelisah sepanjang em­pat jam pelajaran, biarpun tak ada yang me­mer­ha­ti­kan. Ali akan coba merapikan sendiri potongan ram­but­nya. Selagi rambutnya dipotong oleh Ibu, Ali suka me­mer­hatikan teknik-teknik yang Ibu gunakan. Barangkali ia bisa menerapkannya sendiri. Bagaimanapun hasilnya, se­pulang sekolah ia akan minta Ibu merapikannya lagi.

Di pertengahan jam istirahat toilet cowok sudah ra­da sepi. Di depan cermin Ali coba menata rambutnya de­ngan jepit. Ia merasa begitu konyol. Tapi ia tidak akan per­nah tenang sampai ia mencoba.

Ternyata susah menyinkronkan apa yang tampak di dalam cermin dengan gerakan yang akan dilakukan di lu­ar cermin. Hampir saja Ali menggunting jarinya sen­di­ri. Sempat ujung guntingnya malah menyentuh per­mu­ka­an jepit yang keras, bukannya helai-helai rambut yang hen­dak dipotong. Ali sudah hendak mencabut satu jepit, per­tanda keputusasaan, ketika sebuah bayangan tampak di belakang punggungnya. Tinggi mereka mungkin ter­pa­ut sekitar 10 senti, Ali lebih rendah.

Sosok itu tersenyum padanya. Kagum. “Bisa mo­tong rambut sendiri Kang? Ih maulah Kang, dirapiin.”

Sontak Ali melepaskan satu per satu jepit yang me­lekat di rambutnya, begitu ia dan si Dendeng ber­ha­dap­an. Rupanya anak itu jadi korban razia juga. Kok tadi Ali tidak lihat ya?

Ali tidak tahu apa yang harus dikatakan. Setelah me­masukkan jepit-jepit dan gunting ke saku celana, ia ber­balik ke arah cermin. Ia tata sejumput-dua jemput ram­butnya yang berkarakter lemas. “Ah diatur-atur aja bi­ar enggak terlalu keliatan…”

Ia lalu bergeser sedikit untuk memberi anak itu tem­pat. Dua cowok berjajar di depan cermin untuk me­na­ta rambut masing-masing. Jika ia bukannya orang di sam­ping anak ini, melainkan orang lain yang kebetulan me­lewati mereka, ia akan merasa bahwa pemandangan ini sungguh ganjil.

Mengamati gerakan jemari si Dendeng, Ali men­da­pati asumsinya kalau cowok ini tipe pesolek memang be­nar.

Ali tidak begitu puas dengan hasil tataan ta­ngan­nya sendiri. Tapi ia tidak tahan berada lebih lama di sam­ping si Dendeng. “Duluan ya,” sahut Ali. Anak itu me­noleh pada Ali seraya tersenyum. Ali curiga anak itu akan menghabiskan sisa jam istirahat hanya untuk ber­di­ri di depan cermin.

Tidak ada tujuan selain kelas XII IPS 1 lagi. Ali me­mang dikenal sebagai penunggu-kelas-saat-jam-is­ti­ra­hat oleh teman-teman sekelasnya, kecuali pada hari Se­la­sa tentu saja. Ke manapun Ali pergi pada hari itu, yang je­las Ali jarang terlihat beredar di kantin.

Teman-teman yang meminjamkan jepit dan gun­ting pada Ali belum kembali. Baiklah Ali akan membaca bu­ku saja seperti biasa. Baru saja Ali duduk di bang­ku­nya, ia ngeh dengan cewek yang duduk di bangku se­be­lah. Cewek itu bukan penghuni kelas ini, tapi tengah asyik berbincang dengan Regi, yang memang penghuni.

Ali memerhatikan cewek itu beberapa lama. Se­per­tinya ada yang berbeda dengan saat mereka bertemu ter­akhir kali di Palasari, di kios buku Mang Alwi. Apa ya? Baju yang dikenakan? Tentu saja, saat ini ia pakai se­ragam sedang saat itu ia pakai baju bebas. Tapi bukan itu! Ali segan memanggil cewek itu. Tapi itu tidak perlu. Ka­rena akhirnya cewek itu menoleh padanya, tak se­nga­ja, tapi seketika senyum tergurat di bibirnya.

“Eh tetangga kamu ini ternyata punya kios buku di Palasari loh…” Dagu Zia menuding ke arah Ali.

“Oh ya?” Regi pun menoleh.

Ali tersenyum. Siap-siap menerima permohonan dis­kon, seperti biasa. Sebelum itu terjadi ia sudah tahu apa yang harus ia katakan untuk mengalihkan potensi to­pik pembicaraan. “Eh Zia, tadi kamu kena razia rambut ju­ga?”

Zia menoleh. Ali terperangah. Tuh benar. Ta­tap­an Ali tak lepas dari dahi Zia.

“Loh, emang cewek bisa kena razia rambut juga ya?” heran Regi.

“Emang kenapa gitu?” Kening Zia yang berkerut tam­pak dengan jelas sekali.

Tadinya Ali hendak memiringkan telunjuk di de­pan dahi, tapi ia takut Zia mempersepsikan lain. La­gi­pu­la Ali tidak senang bercanda, apalagi dianggap bercanda.

“…rambut kamu…”

“Oh… Ini…” Zia menyentuh poninya. Regi me­na­han tawa. “Tadi pagi aku coba motong sendiri. Bagus kan? Jarang-jarang loh ada yang punya poni asimetris ka­yak aku.”

Ali mengangguk-angguk. Upaya keras untuk me­na­han keterperangahan agar tak kentara. Perlahan ia me­ra­sa agak nyaman dengan potongan rambut hasil razia ta­di.

.

Salah satu sisi dapur disulap jadi tempat cukur pria bergengsi. Perkakas yang Ibu butuhkan hanya se­lem­bar cermin, gunting tipis, beberapa jepit, serta han­duk besar. Potongan rambut Ali dalam setengah jam ku­rang tampak lebih memuaskan si empunya. Usai Ibu me­nying­kirkan handuk yang sebelumnya melingkari leher, ia mendapati bayangan Ibu digantikan bayangan Opung. Pria tua itu duduk di meja dapur dengan sebelah kaki me­lintang di atas lutut kaki satunya. Dari mulutnya me­nyem­bur asap kretek. Opung adalah spray pewangi ru­ang­an yang dapat berjalan. Ia juga bukti hidup kalau ro­kok bikin usia lebih panjang—monumen bagi industri ro­kok.

“Tahu kenapa potongan rambut Abang enggak per­nah berubah?” celoteh Fathim terdengar. Ali belum la­gi beranjak dari kursi yang ia duduki.

Saking potongan rambut Ali tak pernah berubah, Ibu tak pernah tanya juga Ali menghendaki potongan ram­but yang seperti apa sebelum guntingnya bekerja. Ibu se­lalu tahu apa yang kumau, begitu pikir Ali, tanpa se­di­kit­pun membayangkan lain asumsi. Potongan rambut Fathim juga selalu sama dari tahun ke tahun, ya po­tong­an rambut ala Ali itu. Seharusnya Fathim tidak patut me­le­deki Ali. Toh memang hanya potongan rambut itu yang Ibu kuasai, atau jangan-jangan memang diam-diam Fathim mengidolakan Ali? Setidaknya Fathim berani apa­bila poninya dipotong hingga pendek.

“Jerawat itu dihilangin, bukan ditutup-tutupin,” tim­pal Aziz yang diiringi cekikikan Fathim.

Tidak ada guna meledeki anak-anak kecil. Ali men­dorong  kursi hingga masuk ke bawah meja besar di te­ngah dapur itu. Bahkan tak perlu bagi Ali untuk me­li­rik Aziz sedikitpun. Potongan rambut Aziz yang selalu ce­pak, dengan jidat berwarna terang yang permukaannya bak lapangan tenis, sama sekali tidak membuatnya iri. Tung­gu sampai kau sedikit lebih besar, Anak Muda!

“He Butet, jadi tidak kau belajar bahasa ibuku?” se­ru Opung.

“Iya Opung!” Dari kemarin Fathim belum juga ha­pal apa bahasa Batak untuk “apa kabar”, biarpun Opung sudah berkali-kali memberitahunya. Fathim lebih ce­pat belajar dalam hal-hal yang berbau mekanik. Tapi ka­lau gurunya mengajarkan dalam bahasa Batak, tentu Fathim tak akan menjadi sepiawai itu juga mengutak-atik motor mereka. Malah Aziz yang fasih menyanyikan la­gu “Situmorang”, padahal ia tidak pernah minta di­a­jar­kan oleh Opung. Cuman dengar ceracau Opung yang ka­dang-kadang saja.

“Ayo sudah malam…” Ibu masuk lagi ke da­pur—Ali bahkan tidak menyadari kapan Ibu keluar ru­ang­an ini. Semua beringsut dari posisi masing-masing. Opung tertatih-tatih menuju pojok dapur yang diberi se­kat berupa triplek dan tirai. “Ayo Butet, ikut sini kau!” Fathim urung. Aroma “kamar” Opung selalu mengusik ji­wa mudanya.

Aziz terus melantunkan “situmorang alaihe alai­ho” selagi mengekor Ibu kembali ke ruang tengah. Ha­nya ada dua kamar sungguhan di rumah itu. Pintu ke­dua­nya berada di sisi ruang tengah, terapit dan mengapit rak-rak balai bacaan.

“Aziz, tidur sama Abang.” Ibu menunjuk pintu yang paling dekat dengan ruang depan.

Aziz merajuk, tapi ia masuk juga ke kamar de­pan. Bagi Aziz kamar yang biasa ditongkrongi Ali itu meng­usik jiwa mudanya. Dengan tahu diri Aziz me­re­bah­kan kasur busa di samping tempat tidur Ali.

“Kerjakan dulu PR-mu…”

“…ya!”

Ali dengar suara-suara itu semasuknya ia ke da­lam kamar mandi di samping dapur. Semua orang dalam ru­mah ini tidur cepat. Opung karena lanjut usia. Fathim dan Aziz karena sukar dibangunkan waktu pagi. Fathim ma­sih mending. Ibu pernah menyeret Aziz dari kasur hing­ga kamar mandi, lalu mengguyurnya dengan air ber­ha­wa subuh. Ibu seakan tidur supaya tak diprotes Fathim dan Aziz, meski siapapun tahu Ibu akan menyalakan TV be­berapa jam lagi. Ali sih boleh tidur kapan saja, ma­ka­nya jadilah anak penurut, terutama di pagi hari.

Tapi malam itu Ali ikut tidur cepat. Sebetulnya ia sem­pat terpikir untuk melanjutkan salah draf tulisan du­lu, tulisan yang manapunlah, asal ada yang selesai. Tapi men­dadak ia merasa lebih mengantuk alih-alih ingin me­nu­lis. Ali sadar sisi dirinya yang doyan menghambat ke­ma­juan lebih dominan. Tapi Ali memang mengantuk sih, ia baru menamatkan satu buku hari ini, itu melelahkan. Ah sudahlah tidak usah dibahas, pokoknya Ali lebih me­mi­lih untuk tidur mengantuk.

Beberapa jam kemudian ketika TV telah menyala Ali terbangun. Lebih karena dorongan untuk kencing se­be­tulnya, dan suara-suara lain. Ali ingin menyimak se­je­nak, tapi dorongan kian tak tertahankan. Ia melangkahi Aziz yang terlentang di bawah. Di ruang tengah Ibu du­duk berhadapan dengan seorang pria. Bercakap dalam syah­du. Mereka sama sekali tak terusik saat Ali mem­bu­ka pintu kamar. Ali merasa sosok pria di hadapan Ibu itu fa­milier, tapi saat ini lebih penting baginya untuk lekas sam­pai kamar mandi.

Sekembalinya dari kamar mandi dengan mata le­bih terbuka, saat itu pulalah Ali merasa dingin luar biasa. Ru­angan di depan kamar mandi tidak beratap, sementara ma­lam itu angin tengah bergelora. Di ruang tengah sa­pu­an angin lebih jinak, tapi Ali tahu pintu ruang depan pun di­biarkan terbentang. Sepanjang jalan menuju kamar Ali ber­sedekap.

Ibu dan pria itu begitu serius bicara, sampai-sam­pai tak satupun menoleh ketika langkah Ali melewati am­bang pintu kamarnya lagi. Tanpa memerhatikan de­ngan saksama, maklum tidak pakai kacamata, sekilas ta­di Ali telah mengenai pria itu adalah Om Arman. Sudah di­bilang bukan, kalau teman-teman orangtuanya tidak ke­nal jam besuk?

Ali melabuhkan lagi tubuhnya di atas tempat ti­dur.

“…ini bukan apa-apa,” terdengar suara Om Ar­man.

“Enggak. Enggak bisa,” begitu balas Ibu.

“Tahun depan dua anakmu harus melanjutkan se­ko­lah.”

“Anakmu juga.”

“Anakku cuman satu.”

Ibu tidak bersuara. Kesadaran Ali sudah hampir le­nyap, tapi suara Om Arman menimbulkannya lagi.

“Masih nunggu Ahmad?”

Hening.

Suara Om Arman lagi, “Kapan kita tahu, dia ma­sih jalan di atas tanah, atau sedang tidur di bawahnya?”

Ali mengubah posisi tidurnya. Bicaralah dengan su­ara yang lebih keras, hei, kalian…!

“Kalau kamu tetap memaksa, kamu me­nying­gung harga diriku,” suara Ibu.

Mata Ali sudah terkatup. Ia mengubah posisi ti­dur­nya lagi. Matanya kembali terbuka. Hanya ada satu ka­limat di pikirannya, sebelum kantuk benar-benar me­reng­gutnya.

Menulis itu tidak gampang.

.

Populasi kelas XII IPS 1 berkurang drastis saat jam istirahat, sehingga kedatangan satu penghuni baru ti­dak tampak signifikan. Tapi Ali mengetahuinya. Peng­hu­ni baru itu selalu duduk di bangku sebelah, karena Regi ber­diam tepat di depan bangku itu. Yang lebih menarik per­hatian Ali sebetulnya apa yang dibawa penghuni baru itu. Berbeda dari hari ke hari, meski ia tidak datang tiap ha­ri. Suatu kali ia membawa sebuah novel remaja. Esok no­vel remaja lagi. Lain hari novel dewasa. Beberapa hari ke­mudian novel anak-anak. Itu cuman yang lagi dibaca. Yang ditransaksikan dengan Regi lebih variatif lagi, bah­kan hingga bertumpuk-tumpuk.Catatan Harian Seorang De­monstran. Pergolakan Pemikiran Islam. Sang Pe­mu­la. Saijah dan Adinda. Semua yang bikin Ali me­man­dang Regi dengan sedikit kagum, ternyata milik Zia.

“Makasih yah.” Regi mendorong setumpuk buku ke arah Zia.

Zia balas mendorong tumpukan buku yang lain. “Nih. Selamat datang di dunia Karl May. Seminggu ya? Buk­tiin…”

“Beres…!” seru Regi enteng.

Tanpa pikir tubuh Ali miring ke kiri. Apapun me­nge­nai buku, meski bukan genre favoritnya, selalu bikin ia tergelitik. Kacamata ini sudah harus diganti, tapi de­ngan mata terpicing Ali masih bisa memindai. Winnetou I. Winnetou II. Kara Ben Nemsi I. Dan Damai di Bumi. Se­pertinya ada beberapa komik dengan cerita Karl May di balai bacaan. Kondisi semua sudah mengenaskan, tapi ti­dak mengurangi keasyikan membaca. Tapi tidak ada sa­tupun cerita yang Ali ingat. Kalau tidak salah ada ka­rang­an Karl May yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Sun­da juga, Ali pernah bikin resensinya untuk PR Basa Sun­da saat SMP. Sudah lupa juga apa ceritanya.

“Ini novel semua nih?” Regi mengambil buku ter­atas. Winnetou I.

“Ada yang nonfiksi.” Zia mengangkat Dan Da­mai di Bumi. “Karl May ternyata pernah ke Indonesia loh.”          

“Oh ya?” Regi mengganti buku di tangannya de­ngan buku dari tangan Zia.

“Kalau enggak salah cuman ke daerah Sumatra do­ang sih… Tapi aku enggak ingat apa ada ceritanya Karl May yang latarnya di Indonesia. Eh tapi yang hebat ya, Karl May itu katanya sama sekali belum pernah ke Ame­rika, tapi dia bisa ngegambarin kondisi alam di sana riil banget—di Winnetou. Katanya sih dia cuman ngan­dal­in buku-buku di perpustakaan aja.”

“Wow. Imajinasinya keren banget tuh. Eh yang di Dan Damai di Bumi ini ceritanya gimana?”

“Itu pengalamannya Karl May aja, naik kapal, ja­lan-jalan gitu ke mana-mana. Kayak semacam catatan per­jalanan gitu lah.”

“Eh liat dong,” celetuk Ali. Ia menyodorkan ta­ngan. Regi memberinya buku yang seolah berbingkai ku­ning itu. Ali membuka halaman demi halaman, agak la­ma pada halaman yang memuat foto-foto hitam putih.

“Sebetulnya Dan Damai di Bumi agak ngingetin aku sama Life of Pi, cuman Life of Pi mah ajaib gitu. Ta­pi dasarnya kayak sama-sama catatan perjalanan dan per­ja­lanan spiritual,” sahut Zia lagi.

“Kamu ada lagi buku-buku semacam itu?”

“Hm…”

Ali meletakkan Dan Damai di Bumi di antara Zia dan Regi. Ia ingin melanjutkan bacaannya sendiri, tapi pen­dengarannya tak kunjung lepas dari diskusi di antara dua cewek itu. Baru kali ini Ali menyadari bahwa per­bin­cangan itu begitu menarik, padahal beberapa kali da­lam beberapa minggu ini momen itu telah berlangsung. Yang satu menjadi lawan yang setara bagi lainnya, mes­ki Regi yang paling banyak mengeluarkan “oh” dan “hm”, sementara Zia yang menyebutkan paling banyak ju­dul buku dan nama pengarang.

“…makanya aku penasaran banget apa di Mimi Elektrik Zara Zettira sekocak pas dia duet sama Hilman di Rasta dan Bella apa enggak,” terdengar lagi kicauan cem­preng Zia.

Ali mengernyitkan dahi. Apa-apa yang Zia se­but­kan terdengar tak asing di telinganya, mungkin Ali per­nah membaca sekilas tentang itu di suatu majalah remaja za­dul—lagi-lagi koleksi balai bacaan.

“Zia, kamu suka baca buku sejarah?” Ali me­mu­tus­kan aliran itu.

“Aku suka!” malah Regi yang menyambut.

“Enggak. Aku enggak ngerti sejarah.” Zia meng­ge­leng.

“Tapi bukannya kamu punya banyak novel se­ja­rah, Zia? Yang waktu itu… Gadjah Mada? Buku-bu­ku­nya Pram?” timpal Regi.

“Enggak tau yaa. Aku lebih nangkep itu sebagai fik­si sih. Bagian yang sejarahnya aku enggak terlalu ingat.”

“Ah iya. Da kamu mah beli buku bukan buat di­ba­ca.”

“Ehehehe…”

Saat ini Ali belum begitu tertarik untuk nimbrung obrol­an dua cewek itu yang malah melebar ke novel-no­vel pop. Ia memerhatikan Zia beberapa lama, sisi wa­jah­nya yang tidak begitu menggugah, lebih memukau ba­ca­an di pangkuan agaknya. Pada suatu masa ia pernah be­gi­tu terkesan dengan cewek itu. Tapi dengan Regi juga ia ter­kesan, mantan bendahara OSIS itu tak segan menolak bu­jukan agar sisa anggaran dari sekolah masuk ke ekskul ter­tentu. Ah tapi kan tak sama pada keduanya, apa yang bi­kin Ali terkesan.

Di rumah Ali membuka arsip-arsip tulisan untuk me­dia LEMPERs, baik mading maupun majalah se­mes­ter­an. Salah satu arsip tersebut berasal dari Zia, dihiasi oleh merah di mana-mana berkat hasil koreksi Ali de­ngan Track Changes. Melalui tulisan itu Zia hendak meng­angkat kongkalikong UN tahun lalu, yang di­bum­bui lagi dengan kebijakan-kebijakan lain dari sekolah yang tidak beres. Ali sudah dengar banyak kritik tentang se­kolah, tapi yang menuliskannya dengan gaya macam mi­lik Zia ini ya… hanya Zia! Saat itu Ali sangat men­du­kung agar tulisan Zia bisa masuk majalah semesteran. La­gipula sebagai anggota Dewan Penasihat Ali memiliki pe­ngaruh yang strategis bagi guru pembina. Tapi justru ber­kat itu pulalah ia tak berkutik. Kritik mengenai ke­bi­jak­an sekolah harus dibungkam oleh kebijakan sekolah itu sendiri… Ali tidak enak, Zia pasti sangat kecewa. Ta­pi sepertinya cewek itu begitu cepat lupa. Cewek itu juga du­lu anggota LEMPERs, tapi Ali melihat Zia seperti yang angin-anginan. Padahal jika ia bertahan, guru pem­bi­na mungkin bakal lebih sibuk dari biasa untuk me­nyen­sor gagasan-gagasan nyeleneh cewek itu

Dahi Ali berkerut. Ah cuman pikiran saja. Ia mem­baca dengan saksama tulisan Zia plus komentar-ko­men­tar perbaikan dari dirinya sendiri. Gagasan sih boleh oke, tapi sistematika berpikirnya kacau. Sistematika ber­pi­kir Ali juga bukannya sudah runut waktu itu, tapi se­ti­dak­nya ia sudah bisa mengidentifikasi sebagian besar da­ri kekurangan Zia. Ali menyadari bahwa ia telah meng­a­lami kemajuan dalam berpikir beberapa bulan ini. Men­da­dak ia bersemangat untuk coba menulis ulang ga­gas­an-gagasan Zia dengan kata-katanya.

Tangan Fathim yang tahu-tahu melintang di de­pan layar membuyarkan konsentrasi. Anak itu me­nying­kir­kan tangan Ali dari mouse. Ali tidak protes, hanya meng­amati adiknya yang membuka Winamp lalu me­mi­lih-milih lagu. “Biar rame, Abang…” kata Fathim seraya me­nyalakan speaker lalu membesarkan volume. Sebuah la­gu bernada Melayu memeriahkan petang itu.

Sementara itu Ali mengedarkan pandang ke se­ke­li­ling ruangan, pada rak-rak yang menutup separuh hing­ga ⅔ dinding—empat sisi dinding. Bakal seramai apa ki­cau­an Zia terhadap buku-buku yang ada di sini?

Fathim berlalu, Ali meraih kembali mouse. Ia mu­lai mengetik. Ali tidak mengerti musik, jadi ia tidak ter­usik. Alam bawah sadarnya menerima begitu saja apa yang diendapkan irama. Jemari menghentak-hentak, mu­lut bergerak-gerak. “Hati ini takkan bisa… lebih lama... huhuhuhu… Empat mata kuingin bertemu, dadam dadam dudum dudum dudum…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain