Semalam
Mang Alwi, Bik Astri, dan tiga anak mereka main ke rumah. Saat itu Ali sempat ingat untuk meminta Ibu memotong rambutnya, guru di
sekolah sudah kasih
peringatan. Ali memang tidak pernah ke tukang cukur. Bagi Ali hasil potongan ibunya sudah yang terbaik. Tapi kemudian Ali tidak ingat lagi
untuk minta tolong Ibu.
Alhasil keesokan paginya ia terjaring razia rambut panjang. Seandainya saja para guru
piket itu mau belajar, mereka
bisa menghasilkan potongan rambut yang lebih rapi. Tapi apakah karena mereka
sudah jadi guru sehingga
tidak merasa perlu lagi belajar?
Jam
istirahat Ali mencari gunting dan beberapa jepit kecil pada beberapa teman sekelasnya.
Potongan rambut yang tak
rata bikin batin Ali gelisah sepanjang empat jam pelajaran, biarpun tak ada yang memerhatikan. Ali akan coba merapikan sendiri
potongan rambutnya. Selagi rambutnya dipotong oleh Ibu,
Ali suka memerhatikan teknik-teknik yang Ibu gunakan.
Barangkali ia bisa menerapkannya sendiri. Bagaimanapun hasilnya, sepulang sekolah ia akan minta Ibu
merapikannya lagi.
Di
pertengahan jam istirahat toilet cowok sudah rada sepi. Di depan cermin Ali coba menata
rambutnya dengan jepit. Ia
merasa begitu konyol. Tapi ia tidak akan pernah tenang sampai ia mencoba.
Ternyata
susah menyinkronkan apa yang tampak di dalam cermin dengan gerakan yang akan
dilakukan di luar cermin.
Hampir saja Ali menggunting jarinya sendiri. Sempat
ujung guntingnya malah menyentuh permukaan jepit yang keras, bukannya
helai-helai rambut yang hendak dipotong. Ali sudah hendak mencabut satu jepit, pertanda keputusasaan, ketika sebuah
bayangan tampak di belakang punggungnya. Tinggi mereka mungkin terpaut sekitar 10 senti, Ali lebih rendah.
Sosok
itu tersenyum padanya. Kagum. “Bisa motong rambut sendiri Kang? Ih maulah Kang, dirapiin.”
Sontak
Ali melepaskan satu per satu jepit yang melekat di rambutnya, begitu ia dan si Dendeng berhadapan. Rupanya
anak itu jadi korban razia juga. Kok tadi Ali tidak lihat ya?
Ali
tidak tahu apa yang harus dikatakan. Setelah memasukkan jepit-jepit dan gunting ke saku
celana, ia berbalik ke arah
cermin. Ia tata sejumput-dua jemput rambutnya yang berkarakter lemas. “Ah diatur-atur aja biar enggak terlalu keliatan…”
Ia
lalu bergeser sedikit untuk memberi anak itu tempat. Dua cowok berjajar di depan cermin
untuk menata rambut masing-masing. Jika ia
bukannya orang di samping anak ini,
melainkan orang lain yang kebetulan melewati mereka, ia akan merasa bahwa pemandangan ini
sungguh ganjil.
Mengamati
gerakan jemari si Dendeng, Ali mendapati asumsinya
kalau cowok ini tipe pesolek memang benar.
Ali
tidak begitu puas dengan hasil tataan tangannya sendiri.
Tapi ia tidak tahan berada lebih lama di samping si Dendeng. “Duluan ya,” sahut Ali. Anak itu menoleh pada Ali seraya tersenyum. Ali
curiga anak itu akan menghabiskan sisa jam istirahat hanya untuk berdiri di depan cermin.
Tidak
ada tujuan selain kelas XII IPS 1 lagi. Ali memang dikenal sebagai
penunggu-kelas-saat-jam-istirahat oleh teman-teman sekelasnya, kecuali
pada hari Selasa tentu saja. Ke manapun Ali pergi pada
hari itu, yang jelas Ali jarang
terlihat beredar di kantin.
Teman-teman
yang meminjamkan jepit dan gunting pada Ali belum kembali. Baiklah Ali akan membaca buku
saja seperti biasa. Baru saja Ali duduk di bangkunya, ia ngeh dengan cewek
yang duduk di bangku sebelah. Cewek itu bukan penghuni kelas ini, tapi tengah
asyik berbincang dengan Regi, yang memang penghuni.
Ali
memerhatikan cewek itu beberapa lama. Sepertinya ada yang
berbeda dengan saat mereka bertemu terakhir kali di Palasari, di kios buku Mang Alwi. Apa ya?
Baju yang dikenakan? Tentu saja, saat ini ia pakai seragam sedang saat itu ia pakai baju
bebas. Tapi bukan itu! Ali segan memanggil cewek itu. Tapi itu tidak perlu. Karena akhirnya cewek itu menoleh padanya,
tak sengaja, tapi seketika senyum tergurat di
bibirnya.
“Eh
tetangga kamu ini ternyata punya kios buku di Palasari loh…” Dagu Zia menuding
ke arah Ali.
“Oh
ya?” Regi pun menoleh.
Ali
tersenyum. Siap-siap menerima permohonan diskon, seperti biasa. Sebelum itu terjadi ia sudah tahu apa
yang harus ia katakan untuk mengalihkan potensi topik pembicaraan. “Eh Zia, tadi kamu kena
razia rambut juga?”
Zia
menoleh. Ali terperangah. Tuh benar. Tatapan Ali tak
lepas dari dahi Zia.
“Loh,
emang cewek bisa kena razia rambut juga ya?” heran Regi.
“Emang
kenapa gitu?” Kening Zia yang berkerut tampak dengan jelas sekali.
Tadinya
Ali hendak memiringkan telunjuk di depan dahi, tapi ia takut Zia mempersepsikan lain. Lagipula Ali tidak
senang bercanda, apalagi dianggap bercanda.
“…rambut
kamu…”
“Oh…
Ini…” Zia menyentuh poninya. Regi menahan tawa.
“Tadi pagi aku coba motong sendiri. Bagus kan? Jarang-jarang loh ada yang punya
poni asimetris kayak aku.”
Ali
mengangguk-angguk. Upaya keras untuk menahan
keterperangahan agar tak kentara. Perlahan ia merasa agak nyaman dengan potongan rambut hasil razia tadi.
.
Salah
satu sisi dapur disulap jadi tempat cukur pria bergengsi. Perkakas yang Ibu
butuhkan hanya selembar cermin, gunting tipis, beberapa
jepit, serta handuk besar.
Potongan rambut Ali dalam setengah jam kurang tampak lebih memuaskan si empunya. Usai Ibu menyingkirkan handuk yang sebelumnya melingkari leher, ia
mendapati bayangan Ibu digantikan bayangan Opung. Pria tua itu duduk di meja
dapur dengan sebelah kaki melintang di atas lutut kaki satunya. Dari mulutnya menyembur asap kretek. Opung adalah spray pewangi ruangan yang dapat
berjalan. Ia juga bukti hidup kalau rokok bikin usia lebih panjang—monumen bagi industri rokok.
“Tahu
kenapa potongan rambut Abang enggak pernah berubah?” celoteh Fathim terdengar. Ali belum lagi
beranjak dari kursi yang ia duduki.
Saking
potongan rambut Ali tak pernah berubah, Ibu tak pernah tanya juga Ali
menghendaki potongan rambut yang seperti apa sebelum guntingnya bekerja. Ibu
selalu tahu apa
yang kumau, begitu pikir Ali, tanpa sedikitpun membayangkan lain asumsi. Potongan
rambut Fathim juga selalu sama dari tahun ke tahun, ya potongan rambut ala Ali itu. Seharusnya Fathim tidak patut meledeki Ali. Toh memang hanya potongan rambut itu yang Ibu
kuasai, atau jangan-jangan memang diam-diam Fathim mengidolakan Ali? Setidaknya
Fathim berani apabila poninya
dipotong hingga pendek.
“Jerawat
itu dihilangin, bukan
ditutup-tutupin,” timpal Aziz yang diiringi cekikikan Fathim.
Tidak
ada guna meledeki anak-anak kecil. Ali mendorong kursi hingga
masuk ke bawah meja besar di tengah dapur itu. Bahkan tak perlu bagi Ali untuk melirik
Aziz sedikitpun. Potongan rambut Aziz yang selalu cepak, dengan jidat berwarna
terang yang permukaannya bak lapangan tenis, sama sekali tidak membuatnya iri.
Tunggu sampai kau
sedikit lebih besar, Anak Muda!
“He
Butet, jadi tidak kau belajar bahasa ibuku?” seru Opung.
“Iya
Opung!” Dari kemarin Fathim belum juga hapal apa bahasa Batak untuk “apa kabar”, biarpun Opung
sudah berkali-kali memberitahunya. Fathim lebih cepat belajar dalam hal-hal yang berbau
mekanik. Tapi kalau gurunya
mengajarkan dalam bahasa Batak, tentu Fathim tak akan menjadi sepiawai itu juga
mengutak-atik motor mereka. Malah Aziz yang fasih menyanyikan lagu “Situmorang”, padahal ia tidak pernah
minta diajarkan oleh Opung. Cuman dengar ceracau Opung yang kadang-kadang saja.
“Ayo
sudah malam…” Ibu masuk lagi ke dapur—Ali bahkan tidak menyadari kapan Ibu keluar ruangan ini. Semua beringsut dari posisi masing-masing. Opung
tertatih-tatih menuju pojok dapur yang diberi sekat berupa triplek dan
tirai. “Ayo Butet, ikut sini kau!” Fathim
urung. Aroma “kamar” Opung selalu mengusik jiwa mudanya.
Aziz
terus melantunkan “situmorang alaihe alaiho” selagi mengekor Ibu kembali ke ruang tengah. Hanya ada dua kamar sungguhan di rumah
itu. Pintu keduanya berada di sisi ruang tengah, terapit
dan mengapit rak-rak balai bacaan.
“Aziz,
tidur sama Abang.” Ibu menunjuk pintu yang paling dekat dengan ruang depan.
Aziz
merajuk, tapi ia masuk juga ke kamar depan. Bagi Aziz kamar yang biasa ditongkrongi Ali itu mengusik
jiwa mudanya. Dengan tahu diri Aziz merebahkan kasur busa di samping tempat tidur
Ali.
“Kerjakan
dulu PR-mu…”
“…ya!”
Ali
dengar suara-suara itu semasuknya ia ke dalam kamar mandi di samping dapur. Semua orang dalam rumah ini tidur cepat. Opung karena lanjut
usia. Fathim dan Aziz karena sukar dibangunkan waktu pagi. Fathim masih mending. Ibu pernah menyeret Aziz
dari kasur hingga kamar
mandi, lalu mengguyurnya dengan air berhawa subuh. Ibu
seakan tidur supaya tak diprotes Fathim dan Aziz, meski siapapun tahu Ibu akan
menyalakan TV beberapa jam
lagi. Ali sih boleh tidur kapan saja, makanya jadilah
anak penurut, terutama di pagi hari.
Tapi
malam itu Ali ikut tidur cepat. Sebetulnya ia sempat terpikir untuk melanjutkan salah
draf tulisan dulu, tulisan
yang manapunlah, asal ada yang selesai. Tapi mendadak ia merasa lebih mengantuk
alih-alih ingin menulis. Ali sadar sisi dirinya yang doyan
menghambat kemajuan lebih dominan. Tapi Ali memang
mengantuk sih, ia baru menamatkan satu buku hari ini, itu melelahkan. Ah
sudahlah tidak usah dibahas, pokoknya Ali lebih memilih untuk tidur mengantuk.
Beberapa
jam kemudian ketika TV telah menyala Ali terbangun. Lebih karena dorongan untuk
kencing sebetulnya, dan suara-suara lain. Ali ingin
menyimak sejenak, tapi dorongan kian tak tertahankan.
Ia melangkahi Aziz yang terlentang di bawah. Di ruang tengah Ibu duduk berhadapan dengan seorang pria.
Bercakap dalam syahdu. Mereka
sama sekali tak terusik saat Ali membuka pintu
kamar. Ali merasa sosok pria di hadapan Ibu itu familier, tapi saat ini lebih penting
baginya untuk lekas sampai kamar
mandi.
Sekembalinya
dari kamar mandi dengan mata lebih terbuka, saat itu pulalah Ali merasa dingin luar
biasa. Ruangan di depan
kamar mandi tidak beratap, sementara malam itu angin tengah bergelora. Di ruang tengah sapuan angin lebih jinak, tapi Ali tahu pintu ruang depan pun
dibiarkan
terbentang. Sepanjang jalan menuju kamar Ali bersedekap.
Ibu
dan pria itu begitu serius bicara, sampai-sampai tak satupun menoleh ketika langkah
Ali melewati ambang pintu
kamarnya lagi. Tanpa memerhatikan dengan saksama, maklum tidak pakai kacamata, sekilas tadi Ali telah mengenai pria itu adalah Om
Arman. Sudah dibilang bukan,
kalau teman-teman orangtuanya tidak kenal jam besuk?
Ali
melabuhkan lagi tubuhnya di atas tempat tidur.
“…ini
bukan apa-apa,” terdengar suara Om Arman.
“Enggak.
Enggak bisa,” begitu balas Ibu.
“Tahun
depan dua anakmu harus melanjutkan sekolah.”
“Anakmu
juga.”
“Anakku
cuman satu.”
Ibu
tidak bersuara. Kesadaran Ali sudah hampir lenyap, tapi suara Om Arman menimbulkannya
lagi.
“Masih
nunggu Ahmad?”
Hening.
Suara
Om Arman lagi, “Kapan kita tahu, dia masih jalan di atas tanah, atau sedang tidur di bawahnya?”
Ali
mengubah posisi tidurnya. Bicaralah dengan suara yang lebih keras, hei, kalian…!
“Kalau
kamu tetap memaksa, kamu menyinggung harga diriku,” suara Ibu.
Mata
Ali sudah terkatup. Ia mengubah posisi tidurnya lagi.
Matanya kembali terbuka. Hanya ada satu kalimat di pikirannya, sebelum kantuk benar-benar merenggutnya.
Menulis
itu tidak gampang.
.
Populasi kelas XII IPS
1 berkurang drastis saat jam istirahat, sehingga kedatangan satu penghuni baru
tidak tampak signifikan. Tapi Ali mengetahuinya. Penghuni baru itu selalu
duduk di bangku sebelah, karena Regi berdiam tepat di depan bangku itu. Yang
lebih menarik perhatian Ali sebetulnya apa yang dibawa penghuni baru itu.
Berbeda dari hari ke hari, meski ia tidak datang tiap hari. Suatu kali ia
membawa sebuah novel remaja. Esok novel remaja lagi. Lain hari novel dewasa.
Beberapa hari kemudian novel anak-anak. Itu cuman yang lagi dibaca. Yang
ditransaksikan dengan Regi lebih variatif lagi, bahkan hingga
bertumpuk-tumpuk.Catatan Harian Seorang
Demonstran. Pergolakan Pemikiran Islam. Sang Pemula. Saijah dan Adinda.
Semua yang bikin Ali memandang Regi dengan sedikit kagum, ternyata milik Zia.
“Makasih yah.” Regi
mendorong setumpuk buku ke arah Zia.
Zia balas mendorong
tumpukan buku yang lain. “Nih. Selamat datang di dunia Karl May. Seminggu ya?
Buktiin…”
“Beres…!” seru Regi
enteng.
Tanpa pikir tubuh Ali
miring ke kiri. Apapun mengenai buku, meski bukan genre favoritnya, selalu
bikin ia tergelitik. Kacamata ini sudah harus diganti, tapi dengan mata terpicing
Ali masih bisa memindai. Winnetou I.
Winnetou II. Kara Ben Nemsi I. Dan Damai di Bumi. Sepertinya ada beberapa
komik dengan cerita Karl May di balai bacaan. Kondisi semua sudah mengenaskan,
tapi tidak mengurangi keasyikan membaca. Tapi tidak ada satupun cerita yang
Ali ingat. Kalau tidak salah ada karangan Karl May yang dialihbahasakan ke
dalam bahasa Sunda juga, Ali pernah bikin resensinya untuk PR Basa Sunda saat
SMP. Sudah lupa juga apa ceritanya.
“Ini novel semua nih?”
Regi mengambil buku teratas. Winnetou I.
“Ada yang nonfiksi.”
Zia mengangkat Dan Damai di Bumi.
“Karl May ternyata pernah ke Indonesia loh.”
“Oh ya?” Regi mengganti
buku di tangannya dengan buku dari tangan Zia.
“Kalau enggak salah
cuman ke daerah Sumatra doang sih… Tapi aku enggak ingat apa ada ceritanya
Karl May yang latarnya di Indonesia. Eh tapi yang hebat ya, Karl May itu
katanya sama sekali belum pernah ke Amerika, tapi dia bisa ngegambarin kondisi
alam di sana riil banget—di Winnetou. Katanya sih dia cuman ngandalin
buku-buku di perpustakaan aja.”
“Wow. Imajinasinya
keren banget tuh. Eh yang di Dan Damai di
Bumi ini ceritanya gimana?”
“Itu pengalamannya Karl
May aja, naik kapal, jalan-jalan gitu ke mana-mana. Kayak semacam catatan perjalanan
gitu lah.”
“Eh liat dong,” celetuk
Ali. Ia menyodorkan tangan. Regi memberinya buku yang seolah berbingkai kuning
itu. Ali membuka halaman demi halaman, agak lama pada halaman yang memuat
foto-foto hitam putih.
“Sebetulnya Dan Damai di Bumi agak ngingetin aku
sama Life of Pi, cuman Life of Pi mah ajaib gitu. Tapi
dasarnya kayak sama-sama catatan perjalanan dan perjalanan spiritual,” sahut
Zia lagi.
“Kamu ada lagi
buku-buku semacam itu?”
“Hm…”
Ali meletakkan Dan Damai di Bumi di antara Zia dan
Regi. Ia ingin melanjutkan bacaannya sendiri, tapi pendengarannya tak kunjung
lepas dari diskusi di antara dua cewek itu. Baru kali ini Ali menyadari bahwa
perbincangan itu begitu menarik, padahal beberapa kali dalam beberapa minggu
ini momen itu telah berlangsung. Yang satu menjadi lawan yang setara bagi
lainnya, meski Regi yang paling banyak mengeluarkan “oh” dan “hm”, sementara
Zia yang menyebutkan paling banyak judul buku dan nama pengarang.
“…makanya aku penasaran
banget apa di Mimi Elektrik Zara
Zettira sekocak pas dia duet sama Hilman di Rasta
dan Bella apa enggak,” terdengar lagi kicauan cempreng Zia.
Ali mengernyitkan dahi.
Apa-apa yang Zia sebutkan terdengar tak asing di telinganya, mungkin Ali pernah
membaca sekilas tentang itu di suatu majalah remaja zadul—lagi-lagi koleksi
balai bacaan.
“Zia, kamu suka baca
buku sejarah?” Ali memutuskan aliran itu.
“Aku suka!” malah Regi
yang menyambut.
“Enggak. Aku enggak
ngerti sejarah.” Zia menggeleng.
“Tapi bukannya kamu
punya banyak novel sejarah, Zia? Yang waktu itu… Gadjah Mada? Buku-bukunya
Pram?” timpal Regi.
“Enggak tau yaa. Aku
lebih nangkep itu sebagai fiksi sih. Bagian yang sejarahnya aku enggak terlalu
ingat.”
“Ah iya. Da kamu mah beli buku bukan buat dibaca.”
“Ehehehe…”
Saat ini Ali belum
begitu tertarik untuk nimbrung obrolan dua cewek itu yang malah melebar ke
novel-novel pop. Ia memerhatikan Zia beberapa lama, sisi wajahnya yang tidak
begitu menggugah, lebih memukau bacaan di pangkuan agaknya. Pada suatu masa
ia pernah begitu terkesan dengan cewek itu. Tapi dengan Regi juga ia terkesan,
mantan bendahara OSIS itu tak segan menolak bujukan agar sisa anggaran dari
sekolah masuk ke ekskul tertentu. Ah tapi kan tak sama pada keduanya, apa yang
bikin Ali terkesan.
Di rumah Ali membuka
arsip-arsip tulisan untuk media LEMPERs, baik mading maupun majalah semesteran.
Salah satu arsip tersebut berasal dari Zia, dihiasi oleh merah di mana-mana
berkat hasil koreksi Ali dengan Track Changes. Melalui tulisan itu Zia hendak
mengangkat kongkalikong UN tahun lalu, yang dibumbui lagi dengan
kebijakan-kebijakan lain dari sekolah yang tidak beres. Ali sudah dengar banyak
kritik tentang sekolah, tapi yang menuliskannya dengan gaya macam milik Zia
ini ya… hanya Zia! Saat itu Ali sangat mendukung agar tulisan Zia bisa masuk
majalah semesteran. Lagipula sebagai anggota Dewan Penasihat Ali memiliki pengaruh
yang strategis bagi guru pembina. Tapi justru berkat itu pulalah ia tak
berkutik. Kritik mengenai kebijakan sekolah harus dibungkam oleh kebijakan
sekolah itu sendiri… Ali tidak enak, Zia pasti sangat kecewa. Tapi sepertinya
cewek itu begitu cepat lupa. Cewek itu juga dulu anggota LEMPERs, tapi Ali
melihat Zia seperti yang angin-anginan. Padahal jika ia bertahan, guru pembina
mungkin bakal lebih sibuk dari biasa untuk menyensor gagasan-gagasan nyeleneh
cewek itu
Dahi Ali berkerut. Ah
cuman pikiran saja. Ia membaca dengan saksama tulisan Zia plus komentar-komentar
perbaikan dari dirinya sendiri. Gagasan sih boleh oke, tapi sistematika berpikirnya
kacau. Sistematika berpikir Ali juga bukannya sudah runut waktu itu, tapi setidaknya
ia sudah bisa mengidentifikasi sebagian besar dari kekurangan Zia. Ali
menyadari bahwa ia telah mengalami kemajuan dalam berpikir beberapa bulan
ini. Mendadak ia bersemangat untuk coba menulis ulang gagasan-gagasan Zia
dengan kata-katanya.
Tangan Fathim yang
tahu-tahu melintang di depan layar membuyarkan konsentrasi. Anak itu menyingkirkan
tangan Ali dari mouse. Ali tidak
protes, hanya mengamati adiknya yang membuka Winamp lalu memilih-milih lagu.
“Biar rame, Abang…” kata Fathim seraya menyalakan speaker lalu membesarkan volume. Sebuah lagu bernada Melayu
memeriahkan petang itu.
Sementara itu Ali
mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, pada rak-rak yang menutup separuh
hingga ⅔ dinding—empat sisi dinding. Bakal seramai apa kicauan Zia terhadap
buku-buku yang ada di sini?
Fathim berlalu, Ali
meraih kembali mouse. Ia mulai
mengetik. Ali tidak mengerti musik, jadi ia tidak terusik. Alam bawah sadarnya
menerima begitu saja apa yang diendapkan irama. Jemari menghentak-hentak, mulut
bergerak-gerak. “Hati ini takkan bisa… lebih lama... huhuhuhu… Empat mata
kuingin bertemu, dadam dadam dudum dudum dudum…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar