Selasa, 28 Agustus 2012

16

Suasana hati Ali agak baik, ketika sore datang ta­mu mengembalikan beberapa buku. Koleksi buku yang ter­sisa jadi tambah lagi. Semangatnya kembali surut ke­ti­ka ingat kalau ada sesuatu yang harus dikerjakan dengan Opung setelah ini. Apalagi ketika ingat kalau urusan ter­se­but menyangkut… Zia. Argh, ini tidak ada hu­bung­an­nya dengan cewek itu! Sesekali memang perlu me­nye­ru­ak ranah baru dalam rimba kepenulisan. Mengasah ke­pi­a­waian dalam menggali sisi human interest, nah, itu! Ja­ngan cuman terampil menggarap straight news, kalau bi­sa softnews pun jago!

Ali menyeret kursi beberapa jarak dari kursi yang se­­dang diduduki Opung. Notes dan pulpen sudah siap di ta­ngan.

“Cerita, Pak Tua,” ucap Ali.

Opung bahkan tidak melirik. Ia beranjak begitu sa­ja meninggalkan Ali. Tirai tersingkap, memasukkan tu­buh ringkihnya, lalu menutup kembali. Ali sigap me­nyu­sul. Kejar narasumber sampai dapat!

“Malah tidur,” keluh Ali. Opung baru hendak me­nyelonjorkan kaki.

Ukuran kamar-kamaran itu hanya sekitar 2,5 x 2,5 meter. Cuman ranjang setinggi hampir satu meter de­ngan kasur kapuk mengisi di sudut, lalu rak kecil di te­pi­nya. Selalu tersedia gelas besar dan tutupnya di atas rak itu. Tongkat Opung juga bersandar di sana.

“Hah… Badanku lelah sekali, Buyung. Tadi si As­tri itu entah ke mana dia aku tak tahu. Anaknya yang ke­cil itu di sini lama sekali bah. Dipikirnya aku kuda! Di­pukul-pukulnya bokongku!”

“Haha… Itu tandanya dia sayang sama Opung…” Ali duduk di tepi ranjang Opung. Opung ma­sih mengomel hingga beberapa lama sebelum diam sama se­kali. Bantal-bantal menyangga punggungnya di kepala ran­jang. Duduknya terlihat nyaman sekali dengan se­pa­sang lengan bersedekap di perut.

Ah renta sekali kau Opung. Jangan-jangan ajal su­dah di muka pintu. Jangan dulu dong, Il, kontribusi si tua ini bagi dunia belum cukup.

“Ayo cerita, Opung,” sebelum ada yang men­jem­put. Kalau tidak Ali akan menyesal berkepanjangan.

“Sudah cerita aku tadi—“

“Jangan cerita pas Opung jadi kuda…” tukas Ali, “ce­rita soal… ah… waktu Opung ketemu sama TRI ka­pan itu, Opung.”

“Ah si Heri itu, aku sudah lama sekali tak jumpa dia sejak Malari…”

“Bukan si Heri, TE-ER-I!”

Ali mengangkat notes. Siap menadah remah-re­mah memori Opung yang berserakan.

“Si Heri itu…”

“Terserah kaulah,” dumel Ali. Saking pelan sam­pai tertelan sama sekali oleh suara Opung yang serak-se­rak keras. Ia mencatat sesuatu di notes, mencoretnya la­gi, menatap Opung dengan kernyitan, menggaruk kepala, men­catat lagi… mengendus. Endus, endus… Betul kata Fathim, aroma kamar Opung ini khas. Tapi Fathim tidak me­merinci kekhasan itu. Kalau saja anak itu mau lebih ba­nyak membaca! Tentu ia tidak bakal melewatkan be­gi­tu saja sumber aroma ini… begitu menggetarkan, meng­ga­irahkan… Ali berjongkok di tepi kolong ranjang Opung. Ia sibak kain sprei yang menghalangi aroma itu, pe­mandangan itu… Nyaris saja aliran napasnya ter­sum­bat.

Buku. Buku-buku! Cokelatnya pas. Merata. Be­gi­tu menggoda untuk dijamah selembar demi selembar, hing­ga sejilid demi sejilid, hingga habis satu tumpukan. La­lu tangannya akan merambah ke tumpukan lain, tum­puk­an-tumpukan… Siapa sangka koloni ini menghuni hing­ga ⅔ kolong ranjang Opung? Sejak kapan…? Ke­na­pa selama ini Abang sampai tidak hirau akan keberadaan ka­lian? Come to Abang… Come to Abang…

 “Heh! Buyung! Kau permainkan aku, ha? Kau su­ruh aku cerita tapi kau malah sembunyi di kolong! Apa pula kau ini?”

Kepala Ali membentur langit-langit ranjang. Men­ding kalau di bagian tripleks, ini besi. Tapi ke­pa­yang lekas hilang. Sebelumnya Ali sempat membukai be­berapa buku. Menyibak halaman-halaman awal yang me­lapuk. Usia mereka lebih dari separuh abad lalu, ba­rang­kali ada yang lebih baru, ah ingin hamba berkenalan de­ngan lebih banyak daripada dikau, para tua-tua dari ja­gat perbukuan ini. Harta Opung yang alhamdulillah be­lum lekang dimakan waktu. Kondisi beberapa yang su­dah Ali buka-buka tadi masih utuh.

Keluar dari kolong ranjang Ali menggosok-gosok ba­gian bawah hidungnya. Mengusap-usap rambutnya, ba­rangkali ada seutas sarang laba-laba jatuh dari sana. Ia ma­sih bersimpuh di tepi kolong ketika Opung bicara pa­da­nya dengan suara pelan, sudah terdengar suara-suara ru­angan samping alias dapur, “Ck. Tutup lagi cepat. Ka­lau sampai tahu ibumu, dijual juga milikku itu…”

Lekas Ali sampirkan lagi selubung itu.

“Opung masih baca buku-buku ini?” Ali masih jong­kok di tepi kolong.

“He, kau pikir mataku masih sama seperti dua pu­luh tahun lalu?”

“Ya enggak, Pung…”

“Kau ambil satu buku itu.”

“Yang mana?”

“Terserah kaulah.”

Setengah badan Ali menyusup lagi ke dalam ko­long. Sebuah buku ia ambil, tapi begitu dibuka di bawah pe­nerangan lampu ternyata berbahasa Belanda. Agak la­ma lagi ia di bawah sana. Hampir habis satu tumpukan, se­pertinya ia harus beralih ke tumpukan lain.

“Lama kali kau, Buyung!”

Londo kabyeh iki, Mbaah!” Biar ah Opung tidak pa­ham juga.

“Kau pikir buat apa aku punya buku kalau tidak pa­ham bahasanya, he?” Loh loh loh… kok…

“Aku yang enggak lancar bacanya!” sergah Ali. Ak­hirnya ia temukan juga sebuah buku berbahasa In­do­ne­sia, setelah beberapa buku berbahasa Sunda.

Ali duduk kembali di tepi ranjang seraya mem­bu­ka halaman demi halaman buku tersebut.

“Bacakan untukku, Cok.”

Dahi Ali berkerut. Ia menoleh pada Opung. “Nan­ti saja Pak Tua.” Ia letakkan buku itu di samping ka­nannya, supaya tidak terlalu dekat dengan Opung, lalu meng­ambil notes dan pulpennya lagi. “Sekarang lanjutin du­lu cerita Opung.”

“Bah,” Kepala Opung teralih ke samping bawah se­jenak. “Tadi sudah panjang-panjang aku cerita, kau ma­lah lari ke kolong.”

“Janji, Pung…!” Sumpah telinga. “Kita se­le­sai­kan cerita Opung dulu, satu… saja,  nanti malam aku ba­ca­kan Opung dongeng pengantar tidur.”

“Ha, apa anak muda sekarang masih bisa di­pe­gang janjinya? Pas muda saja aktif demo, sudah tua aktif ko­rupsi. Sewaktu aku muda dulu…”

Maka Ali pun mengguratkan kata demi kata di no­tesnya. Coret-coret-coret. Ganti halaman. Tulis lagi…

“Opung! Jadi yang benar ini tahun berapa Opung ke­temu Pak Satori di Lubuklinggau? Enam dua apa enam empat?”

“Mana ada itu aku kenal si kolonel tahun-tahun se­gitu? Enam tujuh aku bilang. E-NAM-TU-JUH! Kau de­ngar aku tidak, he?”

“Dengar. Makanya aku mau kroscek ini!”

“Jadi pada tahun enam delapan itu…”

“Ck!”

Mata Opung berkilat-kilat sedang tangan ka­nan­nya yang cacat sesekali terangkat. Sejak apapun yang ter­jadi pada tangan kanannya itu, Opung menjadi ma­nu­sia yang terampil menulis sekaligus mengetik dengan ta­ngan kiri. Makan sekaligus cebok. Ia tetap bisa bekerja ce­pat. Ia tidak pernah habis semangat. Sampai peng­li­hat­an­nya mengabur. Sampai rambutnya habis dilabur uban. Sam­pai langkah-langkahnya goyah. Opung yang se­ba­tang kara, tiada famili tersisa, tinggal yang lain marga, pun yang jauh hubungan kekerabatannya. Lelaki yang ter­dampar di Jawa hingga puluhan tahun lamanya.

Jangan tanya apa yang aku tidak miliki, tapi apa yang aku masih miliki. Apa lagi yang bisa kubagi, Bu­yung? Itulah dia! Satu per satu milikmu boleh habis, tapi sa­tu harus kau pertahankan betul! Semangat.

Demikian Ali berjuang menjadikan kisah Opung agar bisa dibaca. Lelaki tua itu adalah sebuah buku yang be­lum tertulis. Malam itu Ali bertekad menerjemahkan ke­pingan-kepingan ingatannya jadi aksara.

.

Ukuran boleh standar olimpiade. Tapi jumlah yang hilir mudik tak keruan bikin Ali malas me­nye­be­rang. Melintang dan membujur tanpa aturan. Sejak ka­pan di kolam renang ada lampu tiga warna? Ali hanya mam­pu mengandalkan penglihatannya yang bolor su­pa­ya tidak menabrak seseorang saat meluncur. Paus-paus itu menganggu saja, gerundel Ali. Ia tak bisa berhenti ber­decak. Dua belas ribu pula, akumulasi uang saku Ali se­lama berhari-hari. Ali akan optimalkan itu dengan meng­habiskan sisa hari di sini, barangkali sampai ada pe­tugas yang kasih peringatan, hahaha.

Kecipak di sampingnya. Mulut temannya megap-me­gap. Satu personil BOLEKER, teman seperjalanan Ali saat liburan ke Bali kapan itu. Bekti terkagum-ka­gum kala Ali menerjang ombak di pantai-pantai Bali de­ngan beribu gaya. Sudah sejak lama Bekti minta diajari renang oleh Ali, tapi baru sekarang Ali merelakan uang sa­­kunya untuk menebus tiket masuk kolam renang. Sa­yang Bekti terlalu cerewet untuk ukuran Ali.

“Jadi pas di air kita bernapas enggak? Pakai na­pas apa? Terus kita napasnya di mana? Itu pas kepala ki­ta naik atau gimana? Diafragma kita gimana? Tangannya ge­rak dulu apa napas dulu?”

Tangan Ali mendarat di puncak kepala itu, lalu men­dorongnya sampai ke bawah permukaan air. Ali ti­dak melepaskan tangannya hingga beberapa lama.

“Lu mau bunuh gue?!” seru Bekti setelah bebas da­ri cengkeraman tangan Ali, di tengah batuk-batuk yang susah berhenti. Wajahnya merah bak habis di­tam­par bolak-balik. Lengannya menggapai tepian kolam erat-erat.

“Tinggal belajar tahan napas aja apa susahnya sih?” tanggap Ali dengan jemawa. Sejak kecil ia lihai be­re­nang tanpa betul-betul dilatih. Hanya butuh sedikit do­rongan saja, sungguh.

Kamu belajar renangnya gimana sih, Li?     

Didorong sama Ibu ke kolam. Lama-lama bisa, de­ngan kedalaman kolam yang makin lama makin… ya da­lam. Maka sudah jadi bawaan bagi Ali. Acap kali lihat air sedemikian banyak, seakan ada dorongan ke pung­gung­nya untuk lekas menceburkan diri.

Paus-paus belum habis. Kepala Ali tengadah ke la­ngit cerah yang terbentang luas. Begitu keluar dari ko­lam ini, Ali bakal mendapati tubuhnya belang lagi dari pu­sar ke lutut. Biarlah itu jadi urusan nanti. Tepian ko­lam jadi bantal Ali, sementara tubuhnya melayang-la­yang dalam agar-agar jernih nan sejuk. Langit begitu bi­ru, begitu sedikit serpihan awan. Tapi yang Ali lihat ada­lah ia dan cewek itu.

Mereka jalan berdua. Mata saling melirik, tiap lirik­an melebarkan senyum. Mereka begitu senang, se­nang dengan buku di tangan masing-masing. Mereka di Gra­media. Menjelma pencinta buku tak bermodal.

Setelah itu mereka duduk berhadapan, D’Cost atau pujasera. Menu yang mereka pesan sudah datang. Ma­kan berdua, betapa senangnya. Ali menyesap kuah so­to, Zia menggigit daging. Dengan satu tangan sudah cu­kup. Sebab tangan yang lain memegang buku agar ter­bu­ka dan terbaca.

Barangkali mereka telah lebih tua. Ali sudah ber­cu­kur, sedang Zia menggulung rambut sebelum tidur. Ke ka­sur yang sama mereka menuju saat malam. Ber­san­ding, Ali tiduran, Zia bersandar ke kepala tempat tidur. Meng­habiskan waktu bersama, tidakkah me­nye­nang­kan?, dengan membaca. Ali meneruskan Sejarah Dunia Ku­no di halaman 241, sedang Zia membuka halaman 5 Pride and Prejudice.

Sekarang aja yuk?

Hayuk. Matiin lampunya.

Udah.

Tutup pintunya sekalian.

Oke.

Ali surut ke balik selimut. Zia menyusul.

Udah siap…?

Ayo, sekarang aja… Udah enggak sabar nih.

Dalam kegelapan mereka saling menemukan ma­ta masing-masing. Mata yang tak mengantuk, sarat mak­sud.

Dibuka ya…

Ya iya dong, dibuka…

Nih dikeluarin nih.

Hehehe…

Napas yang memburu.

Sebuah senter besar.

Murah nih, lagi obral tadi. Tuh, terang juga kan. Bagus nih, Pah.

Iya ya, Mah…

Ali membuka bukunya lagi di dekat sorot lampu ter­sebut.

Wah. Cenghar pisan euy.

Dengan bertelekan sebelah lengan, Zia juga mem­buka bukunya lagi.

Sungguh malam yang bergairah dengan mencoba sen­ter baru. Cinta dengan buku harus tetap dapat terjalin mes­ki dalam kegelapan.

Lamunan Ali dibuyarkan tangan yang meng­ga­pai-gapai di kejauhan. Sudah dibilang latihan menyelam du­lu, sudah nekat berenang sampai tengah saja. Dada apa katak ya? Punggung saja ah… Ali terlentang meng­am­bang. Sepasang kakinya mengayun pelan. Me­lan­jut­kan khayal sepanjang perjalanan. Moga Bekti tidak ke­bu­ru habis napas.

.

Tidak ada kok. Tidak ada bola pingpong. Tidak ada Zia. Ini hari Selasa. Hari pengkajian.

Pada hari ini tiap kali Ali menyadari sedang ber­sa­ma siapa dirinya, di mana, kasak kusuk soal apa, yang ma­na sudah dialaminya hingga berbulan-bulan, ada satu hal dalam kehidupan yang akhirnya Ali pahami. Rumpi itu candu. Kenapa begitu menarik mengetahui apa pen­da­pat kawan-kawannya akan si anu, si ini, dan si itu? Apa pentingnya mengetahui proporsi ideal tubuh cewek itu seperti apa? Bagaimana bisa seorang kembang begitu awet dengan bocah yang melambungkan bola saja tidak li­hai? Kalau sudah candu kamu tak akan acuh. Yang di­li­hat sisi baiknya, menambah wawasan dan hiburan toh?

4KANGSON telah terpecah, kelompok kecil Ali se­bagai kelompok paling senior yang menguasai forum dis­kusi. Ali bersandar di kursi lipat. Sesekali meng­ang­kat kepala untuk tertawa. Tidak ada buku di pangkuan. Du­lu banyak pilihan, tapi kini begitu minim varian. Ter­nya­ta bisa fokus menyimak dan menertawakan orang itu me­nyenangkan. Pertemuan kali ini edisi On the Spot, de­ngan tema: Cewek-cewek Berkelakuan Paling Aneh di SMAN­SON.

Setelah cewek yang tidak pergi ke kantin saat da­tang bulan, cewek yang gemar menggelung rambutnya de­ngan sumpit betulan, cewek yang suka bikin kue di ke­las, sam­pai cewek yang hobi tempel plester baik di pe­ra­bot­nya sendiri maupun perabot kelas, si pencetus tema ter­tawa-tawa sukar ditahan.

Kunaon maneh teh, Ded?”

Urang keingetan siah, kamari…”

Yang dimaksud Deddy dengan kemarin adalah le­bih dari dua setengah tahun lalu. Saat itu MOS. Para pa­nitia belum puas mengerjai, tapi para siswa baru yang man­ja itu sudah merengek-rengek minta istirahat. Para sis­wa baru itu pun dipersilahkan kembali ke kelas. Deddy adalah satu di antara mereka yang langsung ter­hu­yung-huyung ke muka kelas. Ransel mereka ditumpuk be­gitu saja di sana. Deddy dalam kepayahan mencari yang mana ranselnya. Akhirnya ia menyeret sebuah ran­sel yang ia pikir miliknya. Setelah meminum air dari bo­tol yang ia temukan dalam ransel itu, Deddy menyadari bah­wa barang-barang lainnya dalam ransel itu tampak asing baginya. Tangannya masuk. Menyibak satu per sa­tu barang hingga semakin besar keyakinannya bahwa ia te­lah salah ambil. Apalagi setelah ia menemukan satu set pa­kaian dalam cewek di dasar ransel.

“Warna apa, Ded?” sela Riza.

“Dorameon, Ja.”

Tawa anak-anak itu meledak. Mulut Ali hampir ter­buka, tapi tawanya keburu luruh sebelum ber­kem­bang. Ia sulit membayangkan Doraemon…

Deddy kelabakan. Beberapa teman barunya mulai me­ngerubungi. Bertanya-tanya milik siapa itu. Cari dom­pet­nya, cari dompetnya. Sebelum Deddy berpikir bahwa si teman baru yang berkata begitu adalah calon pencopet, ter­nyata ditemukan sebuah kartu pelajar SMPN Su­prat­man di dalam dompet. Yang mana Fauzia Cita? Mereka men­cari-cari cewek dengan rupa yang mirip se­ba­gai­ma­na foto pada kartu tersebut. Itu kali… Punggung Deddy di­dorong-dorong, tapi apa daya. Pada saat itu Deddy ha­nya­lah seorang siswa baru nan pemalu. Akhirnya ia me­nyo­dorkan ransel itu pada Teguh, salah satu teman ba­ru­nya, seorang cowok bongsor yang pada tahun berikutnya di­anugerahi gelar cowok SMANSON terganteng versi LEM­PERs. Cowok yang kegantengannya menyurutkan se­gala keminderannya itulah yang kemudian mendekati se­orang cewek yang tengah kebingungan. Sebelum me­nye­rahkan ransel itu, Teguh menyempatkan diri meng­in­tip untuk terakhir kali, benda bulat yang berwarna biru mu­da, merah, dan putih yang menyembul. Deddy bu­kan­nya mengembalikan barang itu ke posisinya semula.

Ali masih cukup stabil untuk merespons lain, se­men­tara anak-anak lain terbahak sembari mengentak-en­tak­kan kaki dan tangan ke permukaan apapun, “Naha ran­sel maneh bisa samaan kitu, Ded?”

“Ranselnya mah enggak sama…”

“Terus kenapa bisa ketuker?”

“…kan sama-sama item…  Kocak banget tam­pang­nya… aha… aha…” Deddy tertawa sampai me­ri­ngis.

“….Doraemon… Doraemon… hahahaha…”

Apa-apaan omongan ini, menghilangkan hasrat me­nonton Doraemon saja, bahkan membaca komiknya. Ali sudah memalingkan kepala. Minggu pagi ia akan me­mantau TV. Jangan sampai Aziz menonton kucing ber­kepala bundar yang tak punya kuping itu.

“Inget enggak fotonya yang pas di Anyer tea…”

“…ah, iya! Aha… ahaha…”

“...ari pas di komen mah riweuh tea teu kobe, epek loba anu ngomen, besokna jadi foto profil, hahahha…”

“Dia tuh sisiran enggak sih?”

“Coba aja dandan dikit, ck, ah…”

Apa sih, apa yang begitu lucu dari Zia? Sampai me­reka tertawa seperti itu? Kenapa mereka tahu begitu ba­nyak tentang Zia? Kenapa Ali tidak me­mer­ha­ti­kan­nya? Kenapa yang ia ingat dari cewek itu hanya sorot ma­tanya yang ekspresif, hidungnya yang sesekali me­nge­rut, sementara mulutnya mengerucut, gerak-geriknya yang tak tertebak, aroma tubuhnya yang sesegar acar? Me­mang sesekali Ali mendapati sejumput rambut cewek itu keluar jalur, tapi, selebihnya pada cewek itu bu­kan­nya baik-baik saja? Apa yang mereka lihat dari cewek itu? Tidakkah ada yang lebih menarik dari cewek itu ke­tim­bang apa yang cuman tampak di mata? Perpustakaan di dalam kepalanya?

Anak-anak itu terus meracau sementara Ali ber­ku­tat dengan ketidakpahaman yang berkecamuk.

“…dia juga… gila banget sama buku.” Ali coba mem­beri kontribusi.

“Cewek doyan baca buku mah biasa, Li…”

Oh begitu ya… Yang seperti Zia ada lagi eng­gak? Banyak enggak?

Kenapa mereka melihat Zia dari sudut pandang yang berbeda dengan Ali? Atau hanya Ali yang berbeda? Apa ini bah? Padahal Ali tidak merasa sedekat itu juga de­ngan Zia, tidak melihat Zia dengan sedetail itu, se­hing­ga Ali menjadi tahu apa yang luput dari per­ha­ti­an­nya selama ini. Tapi kenapa mereka harus mem­per­ma­sa­lahkan itu? Kenapa segalanya tampak baik-baik saja bagi Ali? Kenapa pada cewek-cewek sebelumnya Ali bisa ter­ta­wa tapi kalau menyangkut Zia Ali tidak bisa?

“…si Zia kan katanya pernah ditembak gitu, sa­ma si… saha eta teh… Kamal, IPA 1…”

“Hah? Iya? Berapa lama jadiannya?”

“Boro-boro jadian, ehe, si Zianya malah ngejauh gi­tu…”

Meuni watir si Kamal.”

Mereka memutuskan untuk bubar padahal belum jam sepuluh tepat. Tapi mereka tidak berberaian begitu sa­ja. Mereka masih beriringan hingga melewati kelas de­mi kelas. Kelas XII IPA 8. Cewek itu beberapa meter ja­uh­nya di depan rombongan mereka. Sepertinya ia juga ba­ru kembali dari suatu tempat. Di dekat pintu kelas ia ma­sih bicara pada seseorang.

“Ya, lu, Ya…” Anak-anak mendorong Priya.

“Apaan sih?” toleh Priya, cowok paling tinggi da­lam rombongan itu.

Maneh ngomong ai lop yu geura, ka si Zia…”

“Eeeh… Rek naon kitu?” heran Priya.

Nya hoyong we ningal kumaha ekspresina. Bu­ru, Ya, buru!”

Naha urang?”

Pan maneh temen sekelas!”

Anak-anak kontan menghentikan langkah se­men­ta­ra Priya maju sendiri ke arah cewek itu. Zia me­lam­bai­kan tangan pada cewek yang baru saja mengobrol de­ngan­nya. Bukannya berhenti di dekat Zia, Priya malah te­rus berjalan. Zia berbincang lagi dengan satu temannya yang masih tinggal.

“…eeh… naha si Priya…?”

Priya berhasil menyusul cewek yang baru saja me­ninggalkan Zia. Ia mengobrol sebentar dengan cewek ter­sebut. Tertawa-tawa kecil. Mereka saling me­lam­bai­kan tangan. Priya kembali ke arah anak-anak.

“Kenapa enggak jadi, Ya?”

“Mm… Teuing, asa lebih pingin ngedeketin si Re­ta aja…”

“Wuhahahaha…”

Hah yang begitu saja dijadikan gurauan. Sedari ta­di Ali telah menyisih dari rombongan tersebut. Ia me­li­pir ke tepi lorong di mana terdapat bangku keramik. Di sa­na ia duduk sembari mengamati. Bocah-bocah kurang ker­jaan, pikirnya. Kenapa sih harus Zia? Tapi jangan ce­wek lain juga sih.

Anak-anak kembali melaju dengan meninggalkan Pri­ya di muka XII IPA 8. Mereka sudah tidak meng­in­dah­kan Zia lagi. Ali mengekor. Lagi-lagi ada gemuruh da­lam dirinya. Sudah sejak kapan sebetulnya ada pikiran un­tuk tidak lagi nimbung dengan anak-anak ini. Omong­an mereka memang seru, berwarna-warni, meski ketika war­nanya biru Ali berupaya keras mengalihkan perhatian da­ri mereka. Bagaimanapun rumpi itu candu. Juga ce­wek itu.

“Eh Ali, aku udah main ke blog kamu lagi… Ra­me yah cerita tentang opung kamu.”

“Oh, makasih.”

“Yang rame cerita opung kamunya. Gaya kamu nye­ritainnya mah biasa aja.”

“Alah. Yang Opung ceritain itu juga, kalau kamu min­ta dia ceritain lagi malam ini, versinya udah beda.”

“Opung kamu imajinasinya tinggi banget ya…”

“Begitulah…” Jangan-jangan kebuntungan ta­ngan­nya itu juga cuman sekadar kecelakaan? Dahi Ali ber­kerut. Hah apalah, yang penting aku dapat se­ma­ngat­nya.

Cewek itu mengangguk-angguk pelan, sebelum me­nunjuk ke arah yang semula hendak dituju Ali. “Ya udah. Tuh temen-temen kamu udah nungguin…”

Deddy, Anwar, Joko, Riza, kenapa mereka me­nye­ringai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain