Suasana hati Ali agak
baik, ketika sore datang tamu mengembalikan beberapa buku. Koleksi buku yang
tersisa jadi tambah lagi. Semangatnya kembali surut ketika ingat kalau ada
sesuatu yang harus dikerjakan dengan Opung setelah ini. Apalagi ketika ingat
kalau urusan tersebut menyangkut… Zia. Argh, ini tidak ada hubungannya
dengan cewek itu! Sesekali memang perlu menyeruak ranah baru dalam rimba
kepenulisan. Mengasah kepiawaian dalam menggali sisi human interest, nah, itu! Jangan cuman terampil menggarap straight news, kalau bisa softnews pun jago!
Ali menyeret kursi
beberapa jarak dari kursi yang sedang diduduki Opung. Notes dan pulpen sudah
siap di tangan.
“Cerita, Pak Tua,” ucap
Ali.
Opung bahkan tidak
melirik. Ia beranjak begitu saja meninggalkan Ali. Tirai tersingkap,
memasukkan tubuh ringkihnya, lalu menutup kembali. Ali sigap menyusul. Kejar
narasumber sampai dapat!
“Malah tidur,” keluh
Ali. Opung baru hendak menyelonjorkan kaki.
Ukuran kamar-kamaran
itu hanya sekitar 2,5 x 2,5 meter. Cuman ranjang setinggi hampir satu meter dengan
kasur kapuk mengisi di sudut, lalu rak kecil di tepinya. Selalu tersedia
gelas besar dan tutupnya di atas rak itu. Tongkat Opung juga bersandar di sana.
“Hah… Badanku lelah
sekali, Buyung. Tadi si Astri itu entah ke mana dia aku tak tahu. Anaknya yang
kecil itu di sini lama sekali bah. Dipikirnya aku kuda! Dipukul-pukulnya
bokongku!”
“Haha… Itu tandanya dia
sayang sama Opung…” Ali duduk di tepi ranjang Opung. Opung masih mengomel
hingga beberapa lama sebelum diam sama sekali. Bantal-bantal menyangga
punggungnya di kepala ranjang. Duduknya terlihat nyaman sekali dengan sepasang
lengan bersedekap di perut.
Ah renta sekali kau
Opung. Jangan-jangan ajal sudah di muka pintu. Jangan dulu dong, Il,
kontribusi si tua ini bagi dunia belum cukup.
“Ayo cerita, Opung,”
sebelum ada yang menjemput. Kalau tidak Ali akan menyesal berkepanjangan.
“Sudah cerita aku
tadi—“
“Jangan cerita pas
Opung jadi kuda…” tukas Ali, “cerita soal… ah… waktu Opung ketemu sama TRI kapan
itu, Opung.”
“Ah si Heri itu, aku
sudah lama sekali tak jumpa dia sejak Malari…”
“Bukan si Heri,
TE-ER-I!”
Ali mengangkat notes.
Siap menadah remah-remah memori Opung yang berserakan.
“Si Heri itu…”
“Terserah kaulah,”
dumel Ali. Saking pelan sampai tertelan sama sekali oleh suara Opung yang
serak-serak keras. Ia mencatat sesuatu di notes, mencoretnya lagi, menatap
Opung dengan kernyitan, menggaruk kepala, mencatat lagi… mengendus. Endus,
endus… Betul kata Fathim, aroma kamar Opung ini khas. Tapi Fathim tidak memerinci
kekhasan itu. Kalau saja anak itu mau lebih banyak membaca! Tentu ia tidak
bakal melewatkan begitu saja sumber aroma ini… begitu menggetarkan, menggairahkan…
Ali berjongkok di tepi kolong ranjang Opung. Ia sibak kain sprei yang
menghalangi aroma itu, pemandangan itu… Nyaris saja aliran napasnya tersumbat.
Buku. Buku-buku!
Cokelatnya pas. Merata. Begitu menggoda untuk dijamah selembar demi selembar,
hingga sejilid demi sejilid, hingga habis satu tumpukan. Lalu tangannya akan
merambah ke tumpukan lain, tumpukan-tumpukan… Siapa sangka koloni ini
menghuni hingga ⅔ kolong ranjang Opung? Sejak kapan…? Kenapa selama ini
Abang sampai tidak hirau akan keberadaan kalian? Come to Abang… Come to
Abang…
“Heh! Buyung! Kau permainkan aku, ha? Kau suruh
aku cerita tapi kau malah sembunyi di kolong! Apa pula kau ini?”
Kepala Ali membentur
langit-langit ranjang. Mending kalau di bagian tripleks, ini besi. Tapi kepayang
lekas hilang. Sebelumnya Ali sempat membukai beberapa buku. Menyibak
halaman-halaman awal yang melapuk. Usia mereka lebih dari separuh abad lalu,
barangkali ada yang lebih baru, ah ingin hamba berkenalan dengan lebih
banyak daripada dikau, para tua-tua dari jagat perbukuan ini. Harta Opung yang
alhamdulillah belum lekang dimakan waktu. Kondisi beberapa yang sudah Ali
buka-buka tadi masih utuh.
Keluar dari kolong
ranjang Ali menggosok-gosok bagian bawah hidungnya. Mengusap-usap rambutnya,
barangkali ada seutas sarang laba-laba jatuh dari sana. Ia masih bersimpuh di
tepi kolong ketika Opung bicara padanya dengan suara pelan, sudah terdengar
suara-suara ruangan samping alias dapur, “Ck. Tutup lagi cepat. Kalau sampai
tahu ibumu, dijual juga milikku itu…”
Lekas Ali sampirkan
lagi selubung itu.
“Opung masih baca
buku-buku ini?” Ali masih jongkok di tepi kolong.
“He, kau pikir mataku
masih sama seperti dua puluh tahun lalu?”
“Ya enggak, Pung…”
“Kau ambil satu buku
itu.”
“Yang mana?”
“Terserah kaulah.”
Setengah badan Ali
menyusup lagi ke dalam kolong. Sebuah buku ia ambil, tapi begitu dibuka di
bawah penerangan lampu ternyata berbahasa Belanda. Agak lama lagi ia di bawah
sana. Hampir habis satu tumpukan, sepertinya ia harus beralih ke tumpukan
lain.
“Lama kali kau,
Buyung!”
“Londo kabyeh iki, Mbaah!” Biar ah Opung tidak paham juga.
“Kau pikir buat apa aku
punya buku kalau tidak paham bahasanya, he?” Loh loh loh… kok…
“Aku yang enggak lancar
bacanya!” sergah Ali. Akhirnya ia temukan juga sebuah buku berbahasa Indonesia,
setelah beberapa buku berbahasa Sunda.
Ali duduk kembali di
tepi ranjang seraya membuka halaman demi halaman buku tersebut.
“Bacakan untukku, Cok.”
Dahi Ali berkerut. Ia
menoleh pada Opung. “Nanti saja Pak Tua.” Ia letakkan buku itu di samping kanannya,
supaya tidak terlalu dekat dengan Opung, lalu mengambil notes dan pulpennya
lagi. “Sekarang lanjutin dulu cerita Opung.”
“Bah,” Kepala Opung
teralih ke samping bawah sejenak. “Tadi sudah panjang-panjang aku cerita, kau
malah lari ke kolong.”
“Janji, Pung…!” Sumpah
telinga. “Kita selesaikan cerita Opung dulu, satu… saja, nanti malam aku bacakan Opung dongeng
pengantar tidur.”
“Ha, apa anak muda
sekarang masih bisa dipegang janjinya? Pas muda saja aktif demo, sudah tua
aktif korupsi. Sewaktu aku muda dulu…”
Maka Ali pun
mengguratkan kata demi kata di notesnya. Coret-coret-coret. Ganti halaman.
Tulis lagi…
“Opung! Jadi yang benar
ini tahun berapa Opung ketemu Pak Satori di Lubuklinggau? Enam dua apa enam
empat?”
“Mana ada itu aku kenal
si kolonel tahun-tahun segitu? Enam tujuh aku bilang. E-NAM-TU-JUH! Kau dengar
aku tidak, he?”
“Dengar. Makanya aku
mau kroscek ini!”
“Jadi pada tahun enam
delapan itu…”
“Ck!”
Mata Opung
berkilat-kilat sedang tangan kanannya yang cacat sesekali terangkat. Sejak
apapun yang terjadi pada tangan kanannya itu, Opung menjadi manusia yang
terampil menulis sekaligus mengetik dengan tangan kiri. Makan sekaligus cebok.
Ia tetap bisa bekerja cepat. Ia tidak pernah habis semangat. Sampai penglihatannya
mengabur. Sampai rambutnya habis dilabur uban. Sampai langkah-langkahnya
goyah. Opung yang sebatang kara, tiada famili tersisa, tinggal yang lain
marga, pun yang jauh hubungan kekerabatannya. Lelaki yang terdampar di Jawa
hingga puluhan tahun lamanya.
Jangan tanya apa yang
aku tidak miliki, tapi apa yang aku masih miliki. Apa lagi yang bisa kubagi, Buyung?
Itulah dia! Satu per satu milikmu boleh habis, tapi satu harus kau pertahankan
betul! Semangat.
Demikian Ali berjuang
menjadikan kisah Opung agar bisa dibaca. Lelaki tua itu adalah sebuah buku yang
belum tertulis. Malam itu Ali bertekad menerjemahkan kepingan-kepingan
ingatannya jadi aksara.
.
Ukuran boleh standar
olimpiade. Tapi jumlah yang hilir mudik tak keruan bikin Ali malas menyeberang.
Melintang dan membujur tanpa aturan. Sejak kapan di kolam renang ada lampu
tiga warna? Ali hanya mampu mengandalkan penglihatannya yang bolor supaya
tidak menabrak seseorang saat meluncur. Paus-paus itu menganggu saja, gerundel
Ali. Ia tak bisa berhenti berdecak. Dua belas ribu pula, akumulasi uang saku
Ali selama berhari-hari. Ali akan optimalkan itu dengan menghabiskan sisa
hari di sini, barangkali sampai ada petugas yang kasih peringatan, hahaha.
Kecipak di sampingnya.
Mulut temannya megap-megap. Satu personil BOLEKER, teman seperjalanan Ali saat
liburan ke Bali kapan itu. Bekti terkagum-kagum kala Ali menerjang ombak di
pantai-pantai Bali dengan beribu gaya. Sudah sejak lama Bekti minta diajari
renang oleh Ali, tapi baru sekarang Ali merelakan uang sakunya untuk menebus
tiket masuk kolam renang. Sayang Bekti terlalu cerewet untuk ukuran Ali.
“Jadi pas di air kita
bernapas enggak? Pakai napas apa? Terus kita napasnya di mana? Itu pas kepala
kita naik atau gimana? Diafragma kita gimana? Tangannya gerak dulu apa napas
dulu?”
Tangan Ali mendarat di
puncak kepala itu, lalu mendorongnya sampai ke bawah permukaan air. Ali tidak
melepaskan tangannya hingga beberapa lama.
“Lu mau bunuh gue?!”
seru Bekti setelah bebas dari cengkeraman tangan Ali, di tengah batuk-batuk
yang susah berhenti. Wajahnya merah bak habis ditampar bolak-balik. Lengannya
menggapai tepian kolam erat-erat.
“Tinggal belajar tahan
napas aja apa susahnya sih?” tanggap Ali dengan jemawa. Sejak kecil ia lihai berenang
tanpa betul-betul dilatih. Hanya butuh sedikit dorongan saja, sungguh.
Kamu belajar renangnya gimana sih, Li?
Didorong sama Ibu ke
kolam. Lama-lama bisa, dengan kedalaman kolam yang makin lama makin… ya dalam.
Maka sudah jadi bawaan bagi Ali. Acap kali lihat air sedemikian banyak, seakan
ada dorongan ke punggungnya untuk lekas menceburkan diri.
Paus-paus belum habis.
Kepala Ali tengadah ke langit cerah yang terbentang luas. Begitu keluar dari
kolam ini, Ali bakal mendapati tubuhnya belang lagi dari pusar ke lutut.
Biarlah itu jadi urusan nanti. Tepian kolam jadi bantal Ali, sementara
tubuhnya melayang-layang dalam agar-agar jernih nan sejuk. Langit begitu biru,
begitu sedikit serpihan awan. Tapi yang Ali lihat adalah ia dan cewek itu.
Mereka jalan berdua.
Mata saling melirik, tiap lirikan melebarkan senyum. Mereka begitu senang, senang
dengan buku di tangan masing-masing. Mereka di Gramedia. Menjelma pencinta
buku tak bermodal.
Setelah itu mereka
duduk berhadapan, D’Cost atau pujasera. Menu yang mereka pesan sudah datang. Makan
berdua, betapa senangnya. Ali menyesap kuah soto, Zia menggigit daging. Dengan
satu tangan sudah cukup. Sebab tangan yang lain memegang buku agar terbuka
dan terbaca.
Barangkali mereka telah
lebih tua. Ali sudah bercukur, sedang Zia menggulung rambut sebelum tidur. Ke
kasur yang sama mereka menuju saat malam. Bersanding, Ali tiduran, Zia
bersandar ke kepala tempat tidur. Menghabiskan waktu bersama, tidakkah menyenangkan?,
dengan membaca. Ali meneruskan Sejarah
Dunia Kuno di halaman 241, sedang Zia membuka halaman 5 Pride and Prejudice.
Sekarang aja yuk?
Hayuk. Matiin lampunya.
Udah.
Tutup pintunya sekalian.
Oke.
Ali surut ke balik
selimut. Zia menyusul.
Udah siap…?
Ayo, sekarang aja… Udah enggak sabar nih.
Dalam kegelapan mereka
saling menemukan mata masing-masing. Mata yang tak mengantuk, sarat maksud.
Dibuka ya…
Ya iya dong, dibuka…
Nih dikeluarin nih.
Hehehe…
Napas yang memburu.
Sebuah senter besar.
Murah nih, lagi obral tadi. Tuh, terang juga kan. Bagus nih, Pah.
Iya ya, Mah…
Ali membuka bukunya
lagi di dekat sorot lampu tersebut.
Wah. Cenghar pisan euy.
Dengan bertelekan
sebelah lengan, Zia juga membuka bukunya lagi.
Sungguh malam yang
bergairah dengan mencoba senter baru. Cinta dengan buku harus tetap dapat
terjalin meski dalam kegelapan.
Lamunan Ali dibuyarkan
tangan yang menggapai-gapai di kejauhan. Sudah dibilang latihan menyelam dulu,
sudah nekat berenang sampai tengah saja. Dada apa katak ya? Punggung saja ah…
Ali terlentang mengambang. Sepasang kakinya mengayun pelan. Melanjutkan
khayal sepanjang perjalanan. Moga Bekti tidak keburu habis napas.
.
Tidak ada kok. Tidak
ada bola pingpong. Tidak ada Zia. Ini hari Selasa. Hari pengkajian.
Pada hari ini tiap kali
Ali menyadari sedang bersama siapa dirinya, di mana, kasak kusuk soal apa,
yang mana sudah dialaminya hingga berbulan-bulan, ada satu hal dalam kehidupan
yang akhirnya Ali pahami. Rumpi itu candu. Kenapa begitu menarik mengetahui apa
pendapat kawan-kawannya akan si anu, si ini, dan si itu? Apa pentingnya
mengetahui proporsi ideal tubuh cewek itu seperti apa? Bagaimana bisa seorang
kembang begitu awet dengan bocah yang melambungkan bola saja tidak lihai?
Kalau sudah candu kamu tak akan acuh. Yang dilihat sisi baiknya, menambah
wawasan dan hiburan toh?
4KANGSON telah
terpecah, kelompok kecil Ali sebagai kelompok paling senior yang menguasai
forum diskusi. Ali bersandar di kursi lipat. Sesekali mengangkat kepala
untuk tertawa. Tidak ada buku di pangkuan. Dulu banyak pilihan, tapi kini
begitu minim varian. Ternyata bisa fokus menyimak dan menertawakan orang itu
menyenangkan. Pertemuan kali ini edisi On
the Spot, dengan tema: Cewek-cewek Berkelakuan Paling Aneh di SMANSON.
Setelah cewek yang
tidak pergi ke kantin saat datang bulan, cewek yang gemar menggelung rambutnya
dengan sumpit betulan, cewek yang suka bikin kue di kelas, sampai cewek yang
hobi tempel plester baik di perabotnya sendiri maupun perabot kelas, si
pencetus tema tertawa-tawa sukar ditahan.
“Kunaon maneh teh, Ded?”
“Urang keingetan siah, kamari…”
Yang dimaksud Deddy
dengan kemarin adalah lebih dari dua setengah tahun lalu. Saat itu MOS. Para
panitia belum puas mengerjai, tapi para siswa baru yang manja itu sudah
merengek-rengek minta istirahat. Para siswa baru itu pun dipersilahkan kembali
ke kelas. Deddy adalah satu di antara mereka yang langsung terhuyung-huyung
ke muka kelas. Ransel mereka ditumpuk begitu saja di sana. Deddy dalam kepayahan
mencari yang mana ranselnya. Akhirnya ia menyeret sebuah ransel yang ia pikir
miliknya. Setelah meminum air dari botol yang ia temukan dalam ransel itu,
Deddy menyadari bahwa barang-barang lainnya dalam ransel itu tampak asing
baginya. Tangannya masuk. Menyibak satu per satu barang hingga semakin besar
keyakinannya bahwa ia telah salah ambil. Apalagi setelah ia menemukan satu set
pakaian dalam cewek di dasar ransel.
“Warna apa, Ded?” sela
Riza.
“Dorameon, Ja.”
Tawa anak-anak itu
meledak. Mulut Ali hampir terbuka, tapi tawanya keburu luruh sebelum berkembang.
Ia sulit membayangkan Doraemon…
Deddy kelabakan.
Beberapa teman barunya mulai mengerubungi. Bertanya-tanya milik siapa itu.
Cari dompetnya, cari dompetnya. Sebelum Deddy berpikir bahwa si teman baru
yang berkata begitu adalah calon pencopet, ternyata ditemukan sebuah kartu
pelajar SMPN Supratman di dalam dompet. Yang mana Fauzia Cita? Mereka mencari-cari
cewek dengan rupa yang mirip sebagaimana foto pada kartu tersebut. Itu kali…
Punggung Deddy didorong-dorong, tapi apa daya. Pada saat itu Deddy hanyalah
seorang siswa baru nan pemalu. Akhirnya ia menyodorkan ransel itu pada Teguh,
salah satu teman barunya, seorang cowok bongsor yang pada tahun berikutnya dianugerahi
gelar cowok SMANSON terganteng versi LEMPERs. Cowok yang kegantengannya
menyurutkan segala keminderannya itulah yang kemudian mendekati seorang cewek
yang tengah kebingungan. Sebelum menyerahkan ransel itu, Teguh menyempatkan
diri mengintip untuk terakhir kali, benda bulat yang berwarna biru muda,
merah, dan putih yang menyembul. Deddy bukannya mengembalikan barang itu ke
posisinya semula.
Ali masih cukup stabil
untuk merespons lain, sementara anak-anak lain terbahak sembari mengentak-entakkan
kaki dan tangan ke permukaan apapun, “Naha
ransel maneh bisa samaan kitu, Ded?”
“Ranselnya mah enggak
sama…”
“Terus kenapa bisa
ketuker?”
“…kan sama-sama
item… Kocak banget tampangnya… aha…
aha…” Deddy tertawa sampai meringis.
“….Doraemon… Doraemon…
hahahaha…”
Apa-apaan omongan ini,
menghilangkan hasrat menonton Doraemon saja, bahkan membaca komiknya. Ali
sudah memalingkan kepala. Minggu pagi ia akan memantau TV. Jangan sampai Aziz
menonton kucing berkepala bundar yang tak punya kuping itu.
“Inget enggak fotonya
yang pas di Anyer tea…”
“…ah, iya! Aha… ahaha…”
“...ari pas di komen mah riweuh tea teu kobe, epek loba anu ngomen, besokna jadi foto profil, hahahha…”
“Dia tuh sisiran enggak
sih?”
“Coba aja dandan dikit,
ck, ah…”
Apa sih, apa yang begitu
lucu dari Zia? Sampai mereka tertawa seperti itu? Kenapa mereka tahu begitu banyak
tentang Zia? Kenapa Ali tidak memerhatikannya? Kenapa yang ia ingat dari
cewek itu hanya sorot matanya yang ekspresif, hidungnya yang sesekali mengerut,
sementara mulutnya mengerucut, gerak-geriknya yang tak tertebak, aroma tubuhnya
yang sesegar acar? Memang sesekali Ali mendapati sejumput rambut cewek itu
keluar jalur, tapi, selebihnya pada cewek itu bukannya baik-baik saja? Apa
yang mereka lihat dari cewek itu? Tidakkah ada yang lebih menarik dari cewek
itu ketimbang apa yang cuman tampak di mata? Perpustakaan di dalam kepalanya?
Anak-anak itu terus
meracau sementara Ali berkutat dengan ketidakpahaman yang berkecamuk.
“…dia juga… gila banget
sama buku.” Ali coba memberi kontribusi.
“Cewek doyan baca buku
mah biasa, Li…”
Oh begitu ya… Yang
seperti Zia ada lagi enggak? Banyak enggak?
Kenapa mereka melihat
Zia dari sudut pandang yang berbeda dengan Ali? Atau hanya Ali yang berbeda?
Apa ini bah? Padahal Ali tidak merasa sedekat itu juga dengan Zia, tidak
melihat Zia dengan sedetail itu, sehingga Ali menjadi tahu apa yang luput
dari perhatiannya selama ini. Tapi kenapa mereka harus mempermasalahkan
itu? Kenapa segalanya tampak baik-baik saja bagi Ali? Kenapa pada cewek-cewek
sebelumnya Ali bisa tertawa tapi kalau menyangkut Zia Ali tidak bisa?
“…si Zia kan katanya
pernah ditembak gitu, sama si… saha eta
teh… Kamal, IPA 1…”
“Hah? Iya? Berapa lama
jadiannya?”
“Boro-boro jadian, ehe,
si Zianya malah ngejauh gitu…”
“Meuni watir si Kamal.”
Mereka memutuskan untuk
bubar padahal belum jam sepuluh tepat. Tapi mereka tidak berberaian begitu saja.
Mereka masih beriringan hingga melewati kelas demi kelas. Kelas XII IPA 8.
Cewek itu beberapa meter jauhnya di depan rombongan mereka. Sepertinya ia
juga baru kembali dari suatu tempat. Di dekat pintu kelas ia masih bicara
pada seseorang.
“Ya, lu, Ya…” Anak-anak
mendorong Priya.
“Apaan sih?” toleh
Priya, cowok paling tinggi dalam rombongan itu.
“Maneh ngomong ai lop yu geura,
ka si Zia…”
“Eeeh… Rek naon kitu?” heran Priya.
“Nya hoyong we ningal kumaha ekspresina. Buru, Ya, buru!”
“Naha urang?”
“Pan maneh temen sekelas!”
Anak-anak kontan
menghentikan langkah sementara Priya maju sendiri ke arah cewek itu. Zia melambaikan
tangan pada cewek yang baru saja mengobrol dengannya. Bukannya berhenti di
dekat Zia, Priya malah terus berjalan. Zia berbincang lagi dengan satu
temannya yang masih tinggal.
“…eeh… naha si Priya…?”
Priya berhasil menyusul
cewek yang baru saja meninggalkan Zia. Ia mengobrol sebentar dengan cewek tersebut.
Tertawa-tawa kecil. Mereka saling melambaikan tangan. Priya kembali ke arah
anak-anak.
“Kenapa enggak jadi,
Ya?”
“Mm… Teuing, asa lebih pingin ngedeketin si
Reta aja…”
“Wuhahahaha…”
Hah yang begitu saja
dijadikan gurauan. Sedari tadi Ali telah menyisih dari rombongan tersebut. Ia
melipir ke tepi lorong di mana terdapat bangku keramik. Di sana ia duduk
sembari mengamati. Bocah-bocah kurang kerjaan, pikirnya. Kenapa sih harus Zia?
Tapi jangan cewek lain juga sih.
Anak-anak kembali
melaju dengan meninggalkan Priya di muka XII IPA 8. Mereka sudah tidak mengindahkan
Zia lagi. Ali mengekor. Lagi-lagi ada gemuruh dalam dirinya. Sudah sejak kapan
sebetulnya ada pikiran untuk tidak lagi nimbung dengan anak-anak ini. Omongan
mereka memang seru, berwarna-warni, meski ketika warnanya biru Ali berupaya
keras mengalihkan perhatian dari mereka. Bagaimanapun rumpi itu candu. Juga cewek
itu.
“Eh Ali, aku udah main
ke blog kamu lagi… Rame yah cerita
tentang opung kamu.”
“Oh, makasih.”
“Yang rame cerita opung
kamunya. Gaya kamu nyeritainnya mah biasa aja.”
“Alah. Yang Opung
ceritain itu juga, kalau kamu minta dia ceritain lagi malam ini, versinya udah
beda.”
“Opung kamu
imajinasinya tinggi banget ya…”
“Begitulah…”
Jangan-jangan kebuntungan tangannya itu juga cuman sekadar kecelakaan? Dahi
Ali berkerut. Hah apalah, yang penting aku dapat semangatnya.
Cewek itu
mengangguk-angguk pelan, sebelum menunjuk ke arah yang semula hendak dituju
Ali. “Ya udah. Tuh temen-temen kamu udah nungguin…”
Deddy, Anwar, Joko,
Riza, kenapa mereka menyeringai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar