Selasa, 14 Agustus 2012

02

Kelas XII IPS 1. Bangku Ali terletak di tengah, ping­gir jendela. Amat strategis untuk mengintip lalu la­lang orang-orang, plus aktivitas pacaran adik kelas yang di­am-diam ia idam-idamkan. Ali mengambil lap kuning da­ri wadah kacamata. Sejoli itu memburam selama Ali meng­gosok-gosokkan lap pada permukaan lensa, tapi ke­pa­lanya terus menoleh dengan pelan, seiring sepasang ma­ta sayunya belum henti mengejar. Sudah lebih jelas pan­dangannya melalui kacamata, sudah ditelan tembok pu­la sejoli itu. Ali tidak begitu kecewa. Besok lagi pe­man­dangannya masih sama, kecuali pihak cewek ak­hir­nya menyadari kalau dirinya tidak cocok dengan pihak co­wok.

Kembali Ali menurunkan kacamatanya. Ketika ter­kena cahaya matahari tadi, kabut di lensa ternyata ma­sih tampak. Ia mengusap lensa itu dengan lembut, tapi de­bu yang melekat malah kian berpencar. Ia tidak hanya bu­tuh cairan pembersih untuk lensa, tapi juga bubuk de­ter­gen untuk lap. Pemutih untuk kemeja seragamnya. Tin­ta untuk pulpennya. Apa harus selalu ada yang me­nu­gas­kan, dengan kerangka yang sudah ditentukan, dan kas­ih tenggat, baru kamu bisa menulis, Ali?

Mendadak terik matahari melandanya. Barisan bang­ku ini memang bukan tempat yang menyenangkan pa­da jam istirahat. Hanya Ali yang bertahan di sana an­ta­ra pukul 9.30 – 10.00 WIB, jikalau ia tidak menemukan se­lembar gambar pahlawan pun baik di saku kemeja mau­pun saku celana. Setidaknya ia jadi kelihatan lebih ber­sinar,

Lewat pukul sepuluh barulah si teman sebangku kem­bali mendempetnya. “Li, minus maneh berapa sih?”

Ali tidak ingat persis, yang jelas kalau dibulatkan ja­di, “lima.” Dan itu baru satu mata.

Maneh tong make kacamata geura.”

Minus nyaris lima tidak pakai kacamata? Minta di­tabrak angkot itu namanya. Ali lebih sudi mati di­tem­bak polisi kalap.

Dengan antusias Anwar memberi laporan pan­dang­an mata dari bangku seberang beberapa lama lalu, sa­at ia tak sengaja nyangkut di koloni cewek penggemar rum­pi. Ah tak hanya rumpi, mereka juga menggemari so­sok Rano Karno waktu belia meski minus tahi lalat. Ke­napa selera para cewek gaul itu harus begitu zadul? Ali termesem-mesem. “Kata mereka mata maneh ben­de­rang gitu.” Ali merasa geli, geli yang bikin ia lebih me­ra­pat ke jendela untuk memperlebar jaraknya dengan An­war.

Pada jam pelajaran itu juga salah satu lensa ka­ca­ma­ta Ali terpelanting. Sekrup bingkai mencelat dan meng­gelinding. Tak terpindai oleh mata minus lima me­mang, tapi mata normal masih sanggup menangkapnya di celah ubin. Tak menemukan obeng di wadah ka­ca­ma­ta, Ali ingat kalau semalam ia baru mengencangkan sekrup yang satu lagi. Obeng itu mestinya masih berada di kosen jendela kamarnya kini.

Harapan Anwar memang terpenuhi, tapi dari ekor ma­­ta Ali tidak menangkap sedikitpun cewek-cewek di bang­ku seberang sana masih lirik-lirik kepadanya. Posisi ma­­ta­ha­ri sudah tak memungkinkan lagi untuk me­men­dar­kan pe­sona Ali.

Sebagaimanapun Ali memicingkan mata, tetap to­­rehan spidol pada papan tulis tak terbaca. Bahkan tu­lis­an Anwar yang tepat berada di samping tangannya pun. Ali harus mengoptimalkan indra pendengarannya.

“Jujur saya mah miris aja sama kamu,” kata An­war begitu dua jam pelajaran ketiga berakhir.

“Kenapa gitu?” Ali menyeka rambut panjang yang menutupi dahinya, sekalian untuk menopang ke­pa­la­nya agar dalam posisi nyaman memandang Anwar. Tak sengaja ia menangkap mata demi mata para cewek di bangku seberang sana tertuju ke arahnya. Sambil ter­ta­wa-tawa mulut mereka. Ia menurunkan tangan, ber­san­dar ke bangku dengan kepala menghadap pintu kelas. “Emang siapa tadi yang mirip Rano Karno?”

“Muka kamu kayak yang mau ngajak ikutan bim­bel kali. Eh ya. Pas libur kenaikan kelas kemarin kamu ke Bali?”

“Kok tahu?” Indra penglihatan Ali hanya bisa me­nangkap kumis dan rambut cepak Anwar dengan je­las, lainnya kabur.

“Kan di-upload di Facebook, sama si Setya.”

Ali mengangguk. Ia tidak ingat kapan terakhir ka­li ia membuka Facebook, dan apakah ia menggunakan na­ma lengkapnya sebagai akun. Mestinya sih tidak. Se­ke­tika ia khawatir, ia harus mengecek Facebook se­pu­lang sekolah.

“Miris urang mah euy maneh gabung sama BO­LE­KER.”

“BOLEKER?” Kening Ali berkerut.

“Bocah Lelaki Kering Asmara.”

“Jelek kali nama itu.” Sesaat Ali sadar kalau ia tel­ah latah mengikuti logat Opung. Kalau “le”-nya hilang ja­­di boker. Kedua tangan Ali mengacak-acak ram­but­nya sen­diri dari dua sisi. Nanti Ali tak perlu sisir untuk me­­rapikannya. Helai demi helai rambutnya selalu bisa kem­bali ke tatanan semula, kecuali kalau ia sudah terlalu la­ma tak keramas. “Siapa yang kasih nama?”

“Enggak penting!” Tangan Anwar bak mengusap angin.

“Siapa aja yang anak BOLEKER? Enggak nge­ra­sa tuh…” Punggung Ali merosot dari sandaran. Per­ju­ang­­an para cewek itu untuk menangkapnya dengan mata ma­­kin alot.

“Makanya, cari ceweklah!”

“Ah,” sanggah Ali. “Emang apa kisah hidup sa­ya? Novel remaja?”

“Eeeh…”

“…terus nanti kasih bumbu komedi, sama esek-esek­nya dikit. Bacaan saya enggak seperti itu, Bung.” Ta­pi sekarang mata Ali terlalu lemah untuk membaca apa­pun.

Anwar berdecak. “Argh… Mangkana bobogohan tong jeung buku wae. Hidup tuh kudu dibikin lebih ber­gai­rah…”

Ganti Ali yang berdecak. Baru saja ia membuka ha­laman 13 sebuah buku tipis berjudul Istri-istri Soe­kar­no. Matanya ia tanam saja dalam-dalam ke situ, meski ha­rus dalam jarak setidaknya sepuluh senti jika tak ingin me­nyipit.

“Baca buku tentang istri orang, istri-istri lagi! Sen­dirinya terancam enggak punya istri,” celetuk Anwar la­gi sembari mengangkat sebelah sampul buku di tangan Ali. Ali menepis tangan itu disertai decak. Ali merasa ka­rakter seperti Anwar membuat kualitas hidupnya jadi agak rendahan. Kalau mau munculkan cewek, nanti saja di tengah cerita. Jangan di awal! Momen penting dalam hi­dup Ali bukan perkara asmara, setidaknya selama ini se­perti itu.

Lagipula Soekarno itu bukan orang biasa, apalagi is­tri-istrinya! Apa sih bacaannya si Anwar itu? Komik per­cintaan? Huh. Novel kacangan, mungkin. Masih men­ding kalau benar sangkaan Ali ini. Masak iya potongan bo­cah macam itu doyan baca? Barangkali santapannya ma­cam rubrik “Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat. Ah pi­kiran Ali meracau ke mana-mana, jadi tidak kon­sen­tra­si ia. Bagus benar guru mata pelajaran berikut lekas da­tang. Ali mengganti buku tentang istri-istri Soekarno men­jadi buku tentang warga negara teladan.

.

Selama hampir dua tahun hampir tiap hari Ali me­lalui lorong itu. Di salah satu tepinya menganga am­bang pintu ekskul yang telah menumbuhkannya hingga men­jadi seperti ini. Seperti apa? Seperti seorang pria tua yang mengidap post power syndromme. Sheila selaku peng­gantinya—pimpinan redaksi mading yang kini—te­lah mafhum. Ia sambut sang mantan bos dengan protokol khu­sus.

Ali buru-buru menarik lengan ketika ujung te­lun­juk Sheila mengarah ke situ. Ali tidak mengerti kenapa pa­ra anak buahnya—ups, kini mantan anak buah—men­da­dak jadi binal kalau dekat-dekat dirinya. Memang me­re­ka centil-centil sih, tapi mereka tidak begitu pada se­ti­ap orang. Dari tujuh orang yang disodorkan pimpinan umum padanya waktu itu, hanya satu di antaranya yang pa­kai celana abu-abu. Letoi pula. Ali lebih sering disebut ma­najer girlband+ alih-alih pimred mading yang ber­wi­ba­wa.

“Apa kabar, Om Bos?” tanya Sheila lembut. Per­ta­nyaan yang sama ia ajukan kemarin, dan kemarin-ke­ma­rinnya lagi.

“Cuman lewat kok,” begitu pula yang Ali ka­ta­kan kemarin. Ia mengenali Sheila lebih karena suara ce­wek itu, karena baginya wajah setiap mantan anak bu­ah­nya itu relatif sama—kecuali yang cowok. Kadang Ali bi­sa mengidentifikasi perbedaan di antara mereka, tapi tan­pa kacamata Ali kurang berdaya.

Seperti yang ia saksikan kemarin pula, ruangan 3 x 4 meter itu dijejali setidaknya setengah lusin anak buah She­ila. Pojok keramat di mana Ali biasa membaringkan di­ri, lalu tidur dengan buku terbuka menutup wajahnya, ki­ni diduduki dan ditapaki oleh mulut-mulut ceriwis. Ti­dak ada lagi ketenangan di ruang ini. Tidak ada lagi sa­rang laba-laba. Aura Ali sudah benar-benar lenyap di­ma­kan keceriaan para anak buah yang dipilih benar ber­da­sar­kan selera si bos. Benar Sheila, tunjukkan bahwa ma­ding pun punya kuasa!

“Entar sore kita mau pada karaokean loh, Kang. Ikut yuk…” Sheila menarik-narik bagian bawah kemeja Ali. Ali menepis tangan itu dengan risi.

“Enggak ah,” sambut Ali. Ia punya acara yang ja­uh lebih seru untuk dihabiskan di pojok kamar—buku yang jauh lebih seru maksudnya. Ali ingin cepat tiba di ru­mah.

“Ah Akang mah suka nolak-nolak aja ih,” keluh She­ila. “Sekali-sekali bersosialisasi dong Kang… biar ke­liatannya banyak temen, gitu.”

“Ah biar aja enggak banyak. Saya juga yang nga­sih banyak link narsum ke kamu,” jawab Ali pede. Sheila ke­cele.

Ali melanjutkan langkah. Tanpa direncana ta­tap­an­nya menoleh ke kiri, arah menuju kantin. Sejoli itu la­gi. Ali mengenali mereka dari bentuk sosok masing-ma­sing yang ia sudah hapal. Kok akrab benar si cewek de­ngan cowok itu? Memang si cewek sudah putus sama co­woknya yang pentolan SAMSON itu… Siswa Ke­aman­an SMANSON… SMAN Selonongan…? Ali baru me­nyadari kalau selama ini ia telah menganggap ke­dua­nya berpacaran, padahal… Ali, jangan-jangan memang kau mewarisi darah wartawan—wartawan gosip? Tapi tak ada itu dalam sejarah seorang Harahap menjadi war­ta­wan gosip. Dan jangan coba-coba berkilah kalau gosip ia­lah investigasi urusan personal orang lain. Investigasi, ji­ka memungkinkan hanya satu kata itu yang di­ga­ris­ba­wahi. Sudah.

Ali berhenti memicingkan mata. Sejoli itu tinggal ti­tik samar-samar. Sepertinya ia butuh seseorang untuk me­nuntunnya, setidaknya sampai ia bisa mendapatkan ang­kot dengan jurusan yang tepat.

.

Di ruang tengah Aziz bersujud di depan pang­ku­an Ibu. Dengan Ibu saja bocah kelas enam SD itu me­ne­kuk lutut, dengan abangnya sendiri berlagak preman ia. Ru­mah yang sekaligus mencakup warung dan balai ba­ca­an itu tampak sepi, lagi tak ada pelanggan, jadi tak sung­kan bagi Aziz untuk tersedu-sedu. Melihat sebelah te­linga Aziz yang merah, Ali langsung memperkirakan apa yang sudah terjadi. Seragam sekolah yang adiknya itu kenakan bernoda garis-garis cokelat di bagian pung­gung.

“Sekali-kali contoh abangmu itu. Menurut pada Ibu,” ucap Ibu sembari melirik Ali yang tengah berhenti di ambang pintu kamar. Mengawasi kejadian.

Rambut Ibu yang mengembang dipotong sebatas te­linga. Kadang Ibu menyeka rambut-rambut pendek di atas kepala dengan bando tipis supaya tak jatuh ke da­hi­nya. Ibu biasa berdaster saja di rumah.

Hanya Aziz yang mewarisi kegalingan rambut dan kelangsatan kulit Ibu. Potongan rambut Aziz selalu ce­pak, jarang dibiarkan sampai mencuat seutas pun ikal.

Abang kau ini juga hidup lurus. Salat wajib tidak bo­long. Tidak merokok. Tidak miras. Tidak bokep. Ti­dak laku pacaran. Dalam hati Ali menambahkan dengan men­jaga nada agar tak terkesan jemawa.

Ali menutup pintu. Terbenamlah ia dalam te­ma­ram kamar. Hari Minggu yang lalu ia coba menjadikan ka­mar itu laboratorium untuk mencuci-cetak foto. Ia me­la­pisi setiap sumber cahaya dengan karton hitam. Gam­bar belum lagi muncul, baru digantung, tahu-tahu pintu ter­buka. Aziz membawa rombongannya masuk kamar. Ali mengamuk, juga karena Aziz dan rombongannya itu se­lalu mengacaukan barang-barang di kamar. Salah Ali ju­ga karena tidak kunci pintu kamar. Tapi amarahnya ka­dung meluap. Sebagai anak tertua ia punya otoritas. Ali ber­hasil mengusir Aziz dan rombongannya itu keluar ka­mar, tapi kemudian Aziz yang tidak terima. Ia meng­a­muk minta dibiarkan masuk.

Sekarang Ali tidak begitu ingin belajar mencuci-ce­tak foto lagi. Lagipula ini kan sudah era digital. Hanya sa­ja Ibu belum ada rezeki untuk mengganti kamera SLR wa­risan Bapak.

Ali menyibak gorden. Sinar matahari dibiarkan me­nyeruak kegelapan. Benar di kosen jendela ia te­mu­kan obeng untuk kacamatanya. Di tepi jendela ia duduk un­tuk membenahi lensa dan sekrup agar kembali tepat di tem­patnya. Selanjutnya Ali tak lagi melihat dunia bak di­ka­sih efek Adobe Photoshop.

Untuk beberapa lama Ali mengira keberuntungan te­ngah berpihak padanya. Ia meresapi sunyi yang me­nye­bar di seantero rumah sembari membentang buku 20 sen­ti di atas muka. Hanya sesekali sengguk Aziz. “Su­dah, sekarang segera kamu ke rumah Mamet. Minta ma­af!” perintah Ibu.

Seringai Ali melebar. Rasakan!

Langkah Aziz baru terdengar setelah bocah itu sam­pai di teras. Tap, srek, tap tap, telapak sandal jepit ber­adu dengan kerikil campul aspal di jalanan depan ru­mah. Langkah kaki yang lain sampai di dekat muka pintu ka­mar Ali. Bunyi seretan yang khas, cuman Opung pu­nya, disertai getokan ujung tongkatnya pada ubin hitam.

“Anak kau itu…” cuman itu yang Ali dengar. Se­lan­jutnya ia telah tenggelam dalam lautan kata. Lepas ku­mandang azan asar suara-suara bermunculan dari de­pan, lalu ke tengah. Menyeret Ali kembali ke daratan ka­puk. Posisi tidurannya mulai berubah-ubah.

Begitu Ibu membuka pintu kamarnya lebar-lebar, Ali kontan bangkit. Tak ada guna menghindar. Ibu mung­kin tak bakal menjentik telinganya, karena Ali le­bih mempan disakiti dengan kata-kata. Sekeras apapun upa­ya Ali untuk tak mendengarkan, tetap saja terdengar. “…se­banyak apapun buku yang kau baca, tak akan per­nah ada gunanya,” begitu sering ucap Ibu pada Ali, “cu­man mengendap di otakmu sendiri. Jadi bangkai... Bagi-ba­gilah sama orang lain.”

Ali bisa saja menutup pintu kembali, lalu lanjut me­rebahkan diri dan mengangkat buku terbuka 20 senti di atas muka… ya ia memilih untuk menutup pintu kem­ba­li, dari luar. Gelegar suara Opung menyambutnya. Ke­dua lengannya menandak-nandak, termasuk yang tidak utuh, anak-anak sesekali curi memandangnya dengan tak­jub. Semua kecuali Opung sudah mengganti seragam SD dengan sepasang kaos-celana, lusuhnya tetap kentara bi­ar berwarni-warna. “…lalu tangan Opung dipegangi… Da­ri arah selatan tank sebesar ruangan ini merayap pe­lan-pelan… Grejeg… grejeg…” Hampir tiap minggu Opung menceritakan itu pada anak-anak SD, yang acap ber­ganti-ganti. Baik pencerita maupun pendengarnya se­o­lah tak paham kalau cerita sadis tak patut untuk anak di ba­wah usia 13 tahun. Ali yang tak ingat sejak kapan ting­gal serumah dengan Opung saja masih nyeri te­li­nga­nya saat dengar cerita itu.

Opung sudah belasan tahun ini pensiun sebagai pe­lacak berita. Kini profesinya adalah penyebar se­ma­ngat, seperti nama majalah di daerah Jawa—beberapa edi­si lamanya bisa ditemukan di rak ruang depan.

Ali harap Fathim cepat pulang, supaya bisa me­la­deni anak-anak itu kalau Opung sudah payah bercerita. Ka­lau tidak, Ali kirim saja anak-anak itu ke TPQ di mas­jid RT sebelah. Hei benar juga. Jadi rumah ini bisa men­da­patkan kesenyapan. Opung sudah tua, harus banyak is­ti­rahat pula. Anak-anak itu mengganggu saja, lebih baik me­reka mengaji Quran alih-alih memvisualisasikan pem­ban­taian berdarah 30-an tahun silam dalam benak me­re­ka. Tapi kalau ke masjid, Ali bakal bertemu Sardi, te­tang­ga sekaligus teman satu sekolah sejak SMP plus satu grup mentoring. Ali tidak tahu harus setor kilah apa lagi ka­lau Sardi masih gigih membujuknya untuk jadi men­tor. Pembawaan saja alim, padahal Ali belum kuat me­na­mat­kan satupun buku agama. Baca Quran pun hanya ter­je­mahannya, tak sampai satu halaman sehari. Ibadah su­nah masih ogah-ogahan, kecuali puasa Senin-Kamis su­pa­ya ada alasan untuk tidak ke kantin saat jam istirahat.

Ali menyepi ke ruang depan. Di sini ia akan me­ne­ruskan lagi pembacaannya, yang penting ia tidak me­ngu­rung diri di kamar kan? Ia lemparkan pandangannya ke luar dinding jendela. Dua mobil hendak berpapasan di mu­ka rumahnya. Lebar jalan sebetulnya cukup untuk di­le­wati keduanya, tapi salah satu harus jalan miring.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain