Kelas
XII IPS 1. Bangku Ali terletak di tengah, pinggir jendela. Amat strategis untuk
mengintip lalu lalang
orang-orang, plus aktivitas pacaran adik kelas yang diam-diam ia idam-idamkan. Ali mengambil
lap kuning dari wadah kacamata. Sejoli itu memburam selama Ali menggosok-gosokkan
lap pada permukaan lensa, tapi kepalanya terus menoleh dengan pelan, seiring
sepasang mata sayunya belum henti mengejar. Sudah lebih jelas pandangannya melalui kacamata, sudah
ditelan tembok pula sejoli itu.
Ali tidak begitu kecewa. Besok lagi pemandangannya masih sama, kecuali pihak
cewek akhirnya menyadari kalau dirinya tidak cocok dengan pihak cowok.
Kembali
Ali menurunkan kacamatanya. Ketika terkena cahaya matahari tadi, kabut di
lensa ternyata masih tampak. Ia mengusap lensa itu dengan lembut, tapi debu yang melekat malah kian berpencar. Ia
tidak hanya butuh cairan
pembersih untuk lensa, tapi juga bubuk detergen untuk lap.
Pemutih untuk kemeja seragamnya. Tinta untuk pulpennya. Apa harus selalu ada
yang menugaskan, dengan kerangka yang sudah ditentukan, dan kasih tenggat,
baru kamu bisa menulis, Ali?
Mendadak
terik matahari melandanya. Barisan bangku ini memang bukan tempat yang menyenangkan pada jam istirahat. Hanya Ali yang
bertahan di sana antara pukul 9.30 – 10.00 WIB, jikalau ia
tidak menemukan selembar gambar
pahlawan pun baik di saku kemeja maupun saku celana. Setidaknya ia jadi kelihatan lebih bersinar,
Lewat
pukul sepuluh barulah si teman sebangku kembali mendempetnya. “Li, minus maneh berapa sih?”
Ali
tidak ingat persis, yang jelas kalau dibulatkan jadi, “lima.” Dan itu baru satu mata.
“Maneh tong make kacamata geura.”
Minus
nyaris lima tidak pakai kacamata? Minta ditabrak angkot itu namanya. Ali lebih sudi mati ditembak polisi kalap.
Dengan
antusias Anwar memberi laporan pandangan mata dari
bangku seberang beberapa lama lalu, saat ia tak sengaja nyangkut di koloni cewek penggemar rumpi. Ah tak hanya rumpi, mereka juga
menggemari sosok Rano Karno
waktu belia meski minus tahi lalat. Kenapa selera para cewek gaul itu harus begitu zadul? Ali
termesem-mesem. “Kata mereka mata maneh
benderang gitu.” Ali merasa geli, geli yang
bikin ia lebih merapat ke jendela untuk memperlebar
jaraknya dengan Anwar.
Pada
jam pelajaran itu juga salah satu lensa kacamata Ali terpelanting. Sekrup bingkai
mencelat dan menggelinding. Tak
terpindai oleh mata minus lima memang, tapi mata normal masih sanggup menangkapnya di celah
ubin. Tak menemukan obeng di wadah kacamata, Ali ingat kalau semalam ia baru
mengencangkan sekrup yang satu lagi. Obeng itu mestinya masih berada di kosen
jendela kamarnya kini.
Harapan
Anwar memang terpenuhi, tapi dari ekor mata Ali tidak menangkap sedikitpun
cewek-cewek di bangku seberang sana masih lirik-lirik kepadanya. Posisi matahari sudah tak
memungkinkan lagi untuk memendarkan pesona Ali.
Sebagaimanapun
Ali memicingkan mata, tetap torehan spidol pada papan tulis tak terbaca. Bahkan tulisan Anwar yang
tepat berada di samping tangannya pun. Ali harus mengoptimalkan indra
pendengarannya.
“Jujur
saya mah miris aja sama kamu,” kata Anwar begitu dua jam pelajaran ketiga berakhir.
“Kenapa
gitu?” Ali menyeka rambut panjang yang menutupi dahinya, sekalian untuk
menopang kepalanya agar dalam posisi nyaman memandang Anwar. Tak sengaja
ia menangkap mata demi mata para cewek di bangku seberang sana tertuju ke
arahnya. Sambil tertawa-tawa mulut mereka. Ia menurunkan
tangan, bersandar ke bangku dengan kepala menghadap
pintu kelas. “Emang siapa tadi yang mirip Rano Karno?”
“Muka
kamu kayak yang mau ngajak ikutan bimbel kali. Eh ya. Pas libur kenaikan kelas kemarin kamu ke
Bali?”
“Kok
tahu?” Indra penglihatan Ali hanya bisa menangkap kumis dan rambut cepak Anwar dengan jelas, lainnya kabur.
“Kan
di-upload di Facebook, sama si
Setya.”
Ali
mengangguk. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia membuka Facebook, dan apakah
ia menggunakan nama lengkapnya sebagai akun. Mestinya sih tidak. Seketika ia khawatir, ia harus mengecek Facebook sepulang sekolah.
“Miris
urang mah euy maneh gabung sama BOLEKER.”
“BOLEKER?”
Kening Ali berkerut.
“Bocah Lelaki Kering Asmara.”
“Jelek
kali nama itu.” Sesaat Ali sadar kalau ia telah latah mengikuti logat Opung. Kalau
“le”-nya hilang jadi “boker”. Kedua tangan Ali mengacak-acak rambutnya sendiri dari dua sisi. Nanti Ali tak perlu sisir untuk merapikannya. Helai demi helai rambutnya
selalu bisa kembali ke
tatanan semula, kecuali kalau ia sudah terlalu lama tak keramas. “Siapa yang kasih nama?”
“Enggak
penting!” Tangan Anwar bak mengusap angin.
“Siapa
aja yang anak BOLEKER? Enggak ngerasa tuh…”
Punggung Ali merosot dari sandaran. Perjuangan para cewek itu untuk menangkapnya
dengan mata makin alot.
“Makanya,
cari ceweklah!”
“Ah,”
sanggah Ali. “Emang apa kisah hidup saya? Novel remaja?”
“Eeeh…”
“…terus
nanti kasih bumbu komedi, sama esek-eseknya dikit. Bacaan saya enggak seperti itu, Bung.” Tapi sekarang mata Ali terlalu lemah untuk
membaca apapun.
Anwar
berdecak. “Argh… Mangkana bobogohan tong
jeung buku wae. Hidup tuh kudu dibikin lebih bergairah…”
Ganti
Ali yang berdecak. Baru saja ia membuka halaman 13 sebuah buku tipis berjudul Istri-istri Soekarno.
Matanya ia tanam saja dalam-dalam ke situ, meski harus dalam jarak setidaknya sepuluh senti
jika tak ingin menyipit.
“Baca
buku tentang istri orang, istri-istri lagi! Sendirinya terancam enggak punya istri,”
celetuk Anwar lagi sembari
mengangkat sebelah sampul buku di tangan Ali. Ali menepis tangan itu disertai
decak. Ali merasa karakter seperti
Anwar membuat kualitas hidupnya jadi agak rendahan. Kalau mau munculkan cewek,
nanti saja di tengah cerita. Jangan di awal! Momen penting dalam hidup Ali bukan perkara asmara, setidaknya
selama ini seperti itu.
Lagipula
Soekarno itu bukan orang biasa, apalagi istri-istrinya! Apa sih bacaannya si Anwar itu? Komik percintaan? Huh. Novel kacangan, mungkin.
Masih mending kalau benar
sangkaan Ali ini. Masak iya potongan bocah macam itu doyan baca? Barangkali santapannya macam rubrik “Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat. Ah pikiran Ali meracau ke mana-mana, jadi
tidak konsentrasi ia. Bagus benar guru mata pelajaran berikut lekas datang. Ali mengganti buku tentang
istri-istri Soekarno menjadi buku
tentang warga negara teladan.
.
Selama
hampir dua tahun hampir tiap hari Ali melalui lorong itu. Di salah satu tepinya menganga ambang pintu ekskul yang telah
menumbuhkannya hingga menjadi seperti
ini. Seperti apa? Seperti seorang pria tua yang mengidap post power syndromme. Sheila selaku penggantinya—pimpinan redaksi mading yang
kini—telah mafhum. Ia
sambut sang mantan bos dengan protokol khusus.
Ali
buru-buru menarik lengan ketika ujung telunjuk Sheila
mengarah ke situ. Ali tidak mengerti kenapa para anak buahnya—ups, kini mantan anak
buah—mendadak jadi binal kalau dekat-dekat
dirinya. Memang mereka centil-centil sih, tapi mereka tidak
begitu pada setiap orang. Dari tujuh orang yang
disodorkan pimpinan umum padanya waktu itu, hanya satu di antaranya yang pakai celana abu-abu. Letoi pula. Ali
lebih sering disebut manajer girlband+ alih-alih pimred mading yang berwibawa.
“Apa
kabar, Om Bos?” tanya Sheila lembut. Pertanyaan yang
sama ia ajukan kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi.
“Cuman
lewat kok,” begitu pula yang Ali katakan kemarin.
Ia mengenali Sheila lebih karena suara cewek itu, karena baginya wajah setiap mantan anak buahnya itu relatif sama—kecuali yang cowok. Kadang Ali bisa mengidentifikasi perbedaan di antara
mereka, tapi tanpa kacamata
Ali kurang berdaya.
Seperti
yang ia saksikan kemarin pula, ruangan 3 x 4 meter itu dijejali setidaknya
setengah lusin anak buah Sheila. Pojok keramat di mana Ali biasa membaringkan diri,
lalu tidur dengan buku terbuka menutup wajahnya, kini diduduki dan ditapaki
oleh mulut-mulut ceriwis. Tidak ada lagi ketenangan di ruang ini. Tidak ada lagi sarang laba-laba. Aura Ali sudah
benar-benar lenyap dimakan keceriaan para anak buah yang
dipilih benar berdasarkan selera si bos. Benar Sheila, tunjukkan bahwa mading pun punya kuasa!
“Entar
sore kita mau pada
karaokean loh, Kang. Ikut yuk…” Sheila menarik-narik bagian bawah kemeja Ali.
Ali menepis tangan itu dengan risi.
“Enggak
ah,” sambut Ali. Ia punya acara yang jauh lebih seru untuk dihabiskan di pojok
kamar—buku yang jauh lebih seru maksudnya. Ali ingin cepat tiba di rumah.
“Ah
Akang mah suka nolak-nolak aja ih,”
keluh Sheila.
“Sekali-sekali bersosialisasi dong Kang… biar keliatannya banyak temen, gitu.”
“Ah
biar aja enggak banyak. Saya juga yang ngasih banyak link
narsum ke kamu,” jawab Ali pede. Sheila kecele.
Ali
melanjutkan langkah. Tanpa direncana tatapannya menoleh ke kiri, arah menuju kantin.
Sejoli itu lagi. Ali
mengenali mereka dari bentuk sosok masing-masing yang ia sudah hapal. Kok akrab benar si cewek dengan cowok itu? Memang si cewek sudah
putus sama cowoknya yang
pentolan SAMSON itu… Siswa Keamanan SMANSON…
SMAN Selonongan…? Ali baru menyadari kalau selama ini ia telah menganggap keduanya berpacaran, padahal… Ali, jangan-jangan memang kau
mewarisi darah wartawan—wartawan gosip? Tapi tak ada itu dalam sejarah seorang
Harahap menjadi wartawan gosip. Dan jangan coba-coba berkilah
kalau gosip ialah investigasi
urusan personal orang lain. Investigasi, jika memungkinkan hanya satu kata itu yang digarisbawahi. Sudah.
Ali
berhenti memicingkan mata. Sejoli itu tinggal titik samar-samar. Sepertinya ia butuh
seseorang untuk menuntunnya,
setidaknya sampai ia bisa mendapatkan angkot dengan jurusan yang tepat.
.
Di
ruang tengah Aziz bersujud di depan pangkuan Ibu. Dengan
Ibu saja bocah kelas enam SD
itu menekuk lutut, dengan abangnya sendiri
berlagak preman ia. Rumah yang
sekaligus mencakup warung dan balai bacaan itu tampak
sepi, lagi tak ada pelanggan, jadi tak sungkan bagi Aziz untuk tersedu-sedu. Melihat sebelah telinga Aziz yang merah, Ali langsung
memperkirakan apa yang sudah terjadi. Seragam sekolah yang adiknya itu kenakan bernoda
garis-garis cokelat di bagian punggung.
“Sekali-kali
contoh abangmu itu. Menurut pada Ibu,” ucap Ibu sembari melirik Ali yang tengah
berhenti di ambang pintu kamar. Mengawasi kejadian.
Rambut
Ibu yang mengembang dipotong sebatas telinga. Kadang Ibu menyeka rambut-rambut pendek di atas
kepala dengan bando tipis supaya tak jatuh ke dahinya. Ibu biasa berdaster saja di rumah.
Hanya
Aziz yang mewarisi kegalingan rambut dan kelangsatan kulit Ibu. Potongan rambut
Aziz selalu cepak, jarang
dibiarkan sampai mencuat seutas pun ikal.
Abang
kau ini juga hidup lurus. Salat wajib tidak bolong. Tidak merokok. Tidak miras. Tidak
bokep. Tidak laku
pacaran. Dalam hati Ali menambahkan dengan menjaga nada agar tak terkesan jemawa.
Ali
menutup pintu. Terbenamlah ia dalam temaram kamar.
Hari Minggu yang lalu ia coba menjadikan kamar itu laboratorium untuk mencuci-cetak foto. Ia melapisi setiap sumber cahaya dengan karton hitam. Gambar belum lagi muncul, baru digantung,
tahu-tahu pintu terbuka. Aziz
membawa rombongannya masuk kamar. Ali mengamuk, juga karena Aziz dan
rombongannya itu selalu
mengacaukan barang-barang di kamar. Salah Ali juga karena tidak kunci pintu kamar. Tapi
amarahnya kadung meluap.
Sebagai anak tertua ia punya otoritas. Ali berhasil mengusir Aziz dan rombongannya itu
keluar kamar, tapi
kemudian Aziz yang tidak terima. Ia mengamuk minta
dibiarkan masuk.
Sekarang
Ali tidak begitu ingin belajar mencuci-cetak foto lagi. Lagipula ini kan sudah era digital. Hanya
saja Ibu belum
ada rezeki untuk mengganti kamera SLR warisan Bapak.
Ali
menyibak gorden. Sinar matahari dibiarkan menyeruak kegelapan. Benar di kosen jendela ia temukan
obeng untuk kacamatanya. Di tepi jendela ia duduk untuk membenahi lensa dan
sekrup agar kembali tepat di tempatnya. Selanjutnya Ali tak lagi melihat dunia
bak dikasih efek Adobe Photoshop.
Untuk
beberapa lama Ali mengira keberuntungan tengah berpihak padanya. Ia meresapi sunyi yang menyebar di seantero rumah sembari membentang buku 20 senti di atas muka. Hanya sesekali sengguk
Aziz. “Sudah, sekarang
segera kamu ke rumah Mamet. Minta maaf!” perintah Ibu.
Seringai
Ali melebar. Rasakan!
Langkah
Aziz baru terdengar setelah bocah itu sampai di teras. Tap, srek, tap tap, telapak sandal jepit beradu dengan kerikil campul aspal di
jalanan depan rumah. Langkah
kaki yang lain sampai di dekat muka pintu kamar Ali. Bunyi seretan yang khas, cuman Opung punya, disertai getokan
ujung tongkatnya pada ubin hitam.
“Anak
kau itu…” cuman itu yang Ali dengar. Selanjutnya ia
telah tenggelam dalam lautan kata. Lepas kumandang azan asar suara-suara bermunculan dari depan, lalu ke tengah. Menyeret Ali
kembali ke daratan kapuk. Posisi
tidurannya mulai berubah-ubah.
Begitu
Ibu membuka pintu kamarnya lebar-lebar, Ali kontan bangkit. Tak ada guna
menghindar. Ibu mungkin tak bakal
menjentik telinganya, karena Ali lebih mempan disakiti dengan kata-kata. Sekeras apapun upaya Ali untuk tak mendengarkan, tetap
saja terdengar. “…sebanyak apapun
buku yang kau baca, tak akan pernah ada gunanya,” begitu sering ucap Ibu pada Ali, “cuman mengendap di otakmu sendiri. Jadi
bangkai... Bagi-bagilah sama orang lain.”
Ali
bisa saja menutup pintu kembali, lalu lanjut merebahkan diri dan mengangkat
buku terbuka 20 senti di atas muka… ya ia memilih untuk menutup pintu kembali,
dari luar. Gelegar suara Opung menyambutnya. Kedua lengannya menandak-nandak, termasuk
yang tidak utuh, anak-anak sesekali curi memandangnya dengan takjub. Semua kecuali Opung sudah mengganti
seragam SD dengan sepasang kaos-celana, lusuhnya tetap kentara biar berwarni-warna. “…lalu tangan Opung
dipegangi… Dari arah selatan
tank sebesar ruangan ini merayap pelan-pelan… Grejeg… grejeg…” Hampir tiap minggu Opung
menceritakan itu pada anak-anak SD, yang acap berganti-ganti. Baik pencerita maupun
pendengarnya seolah tak paham kalau cerita sadis tak
patut untuk anak di bawah usia 13
tahun. Ali yang tak ingat sejak kapan tinggal serumah dengan Opung saja masih nyeri telinganya saat
dengar cerita itu.
Opung
sudah belasan tahun ini pensiun sebagai pelacak berita. Kini profesinya adalah penyebar semangat, seperti nama majalah di daerah Jawa—beberapa edisi lamanya bisa ditemukan di rak ruang
depan.
Ali
harap Fathim cepat pulang, supaya bisa meladeni anak-anak
itu kalau Opung sudah payah bercerita. Kalau tidak, Ali kirim saja anak-anak itu ke TPQ di masjid RT sebelah. Hei benar juga. Jadi
rumah ini bisa mendapatkan kesenyapan. Opung sudah tua,
harus banyak istirahat pula. Anak-anak itu mengganggu
saja, lebih baik mereka mengaji
Quran alih-alih memvisualisasikan pembantaian berdarah
30-an tahun silam dalam benak mereka. Tapi kalau
ke masjid, Ali bakal bertemu Sardi, tetangga sekaligus
teman satu sekolah sejak SMP plus satu grup mentoring. Ali tidak tahu harus
setor kilah apa lagi kalau Sardi
masih gigih membujuknya untuk jadi mentor. Pembawaan saja alim, padahal Ali belum kuat menamatkan satupun
buku agama. Baca Quran pun hanya terjemahannya, tak
sampai satu halaman sehari. Ibadah sunah masih ogah-ogahan, kecuali puasa
Senin-Kamis supaya ada alasan untuk tidak ke kantin saat jam istirahat.
Ali
menyepi ke ruang depan. Di sini ia akan meneruskan lagi
pembacaannya, yang penting ia tidak mengurung diri di
kamar kan? Ia lemparkan pandangannya ke luar dinding jendela. Dua mobil hendak
berpapasan di muka rumahnya.
Lebar jalan sebetulnya cukup untuk dilewati keduanya,
tapi salah satu harus jalan miring.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar