Kamis, 23 Agustus 2012

11

Semester ini sebaiknya tidak diisi lagi dengan ter­paku di bangku, hanya memandang buku, meski se­se­ka­li menangkap sejoli-sejoli yang pamer kemesraan le­wat kaca jendela. Semester ini Ali sudah lebih dikenal oleh teman-teman sekelasnya, yang sebagian besar ada­lah teman-temannya saat kelas XI juga sebetulnya. Se­la­ma itu mereka, terutama kaum cewek sebagai pengamat han­dal dalam urusan peri(laku)kemanusiaan.—sebagian me­mang bercita-cita jadi psikolog—menyimpulkan bahwa teman sekelas mereka, Binsar Ali Harahap, “kalau enggak baca buku, ya ngintipin orang pacaran.” Pa­ra penyebar rumor tak berguna, demikian Ali hanya bi­sa merutuk meski dalam sanubari saja. Ada lagi sim­pul­an yang seakan lebih baik, namun ternyata paradoks, “gan­teng, tapi enggak enak dilihat.” Nah, apa pula itu?

Tapi kalaupun uang saku Ali dapat bertambah, ia le­bih suka menghabiskannya nanti saja—untuk bayar SPP kuliah. Cowok-cowok yang dulu bernaung di bawah  4KANG­SON kian ke mari jadi lebih suka memecah jadi ke­lompok-kelompok kecil, dengan fokus studi yang le­bih spesifik. Ali masih jumpa mereka tiap Selasa, tapi se­lain Selasa ia mau apa? Menanti Zia. Cewek itu tidak mung­kin datang sesering itu, tiap Senin sampai Jumat mi­nus Selasa. Mending kalau begitu, yah, tidak juga, Ali te­tap butuh jeda agar cewek itu tampak segar selalu da­lam pandangannya tiap kali mereka bertemu. Tapi se­ming­gu pertama di semester baru ini sudah akan lalu, be­lum ada lagi gerak-gerik cewek itu di XII IPS 1.

Demikianlah, tidak ada inovasi yang tercetus da­ri­nya sejauh ini. Ali tetap tergugu di bangku dengan bu­ku sembari menunggu cewek satu itu. Apa Zia sudah bo­san ke mari? Apa Zia marahan dengan Regi saat liburan ke­marin? Padahal Zia sudah beli banyak buku kan, ka­pan itu terakhir kali mereka bertemu di Palasari, apa Re­gi belum tahu? Regi, pinjam buku lagi sana pada Zia. Te­manmu itu sudah memperbarui koleksinya. Masak yang baru di semester ini adalah ketidakhadiran Zia?

Apa di semester ini yang baru adalah Ali yang ga­nti menongkrongi kelas Zia tiap jam istirahat? Bu­kan­kah masih ada tulisan Zia yang belum diumpan-balik oleh Ali? Itu bisa jadi alasan untuk memulai alasan-ala­san lain bagi pertemuan mereka.

Buat apa sih?

Ali bergeming.

Apakah Zia sepenting itu? Tidak, ia tidak se­pen­ting itu. Tidak usah ditunggu. Setiap interaksi yang lalu ter­jadi karena kebetulan. Situasi yang memungkinkan. Ber­kembang. Alamiah. Ali tak perlu melakukan apa-apa la­gi. Kalau cuman sekadar omong-omong soal buku, ka­wan yang duduk di bangku belakang Ali pun termasuk peng­gemar. Juga yang duduk di pojok kanan kelas. Juga wa­kil ketua kelas yang duduk di tengah sana. Kalau Ali per­lu Ali tinggal mendekati mereka. Ali tidak pernah. Ali terus meracau dalam pikirannya. Bukan aksara yang ter­tera pada kertas yang terbaca, hanya kata-kata dalam ke­pala. Apapun yang dapat melarikannya dari kenangan, akan momen yang begitu sering menghampiri di se­mes­ter lalu.

Semester ini adalah semester baru.

Minggu kedua di semester baru, akhirnya se­mes­ter ini tidak terasa sebagai semester baru lagi. Ada yang ba­ru memang. Biasanya Zia mendatangi Regi sendirian, na­mun kali ini ia membawa teman-teman mereka yang la­in. Semua anak IPA. Ah kata Zia Ali ini kan “ju­ru­sanis”, melihat orang dari jurusannya. Tapi cewek itu ti­dak melihatnya. Mungkin karena mulai minggu ini bang­ku Ali tidak bersebelahan dengan bangku Regi. Tidak la­gi di dekat jendela, Ali tidak lagi bisa mengintip orang pa­caran—teman-teman berlagak miris akan nasib Ali yang Ali abaikan saja. Zia tidak bisa langsung melihat ke­hadiran Ali begitu cewek itu melewati ambang pintu XII IPS 1. Padahal sebelumnya sudah ada sesuatu yang me­ledak di dalam diri Ali. Menanti ledakan berikutnya.

Kapan kau akan lihat ke mari, Zia?

Tanyakan tulisanmu. Tanyakan bukumu—sa­yang­nya belum ada lagi buku Zia yang dipinjamkan pada Ali. Tanyakan apa itu interniran. Tanyakan di mana MU­LO pertama didirikan di Bandung. Tanyakan bagaimana Su­ngai Cikapundung dimanfaatkan masyarakat seabad la­lu. Tanyakan apa saja.

Tapi Ali tidak membiarkan apa yang menggebu-ge­bu dalam dirinya itu tampak. Saking sempurna pe­nge­la­buannya, di mata Zia yang sesekali lari ke arah Ali, yang tampak dari cowok itu adalah ketekunan me­nger­ja­kan LKS. Tapi ini adalah cerita tentang Ali. Di ruang yang kosong pada kertas buram LKS-nya, ia meng­gam­bar denah balai bacaan di rumahnya. Ini ruang depan. Ini ru­ang tengah. Di ruang depan ada rak panjang, di se­be­lah sini sama di sebelah sini. Yang ada di sini ke­ba­nyak­an buku-buku sejarah sama politik gitu, Zia. Mahasiswa-ma­hasiswa temannya ibu saya suka biasanya pada kum­pul di sekitar sini… Ali pikir tidak perlu menceritakan de­nah balai bacaannya dengan begitu lengkap, sampai di ma­na letak dan berapa jumlah meja-kursi yang ada di ru­ang depan. Langsung ke ruang tengah aja yuk, Zia. Di si­ni nih fiksi sama majalah anak-anak. Khusus yang di rak ini buku-buku ibu saya. Kamu doyan novel berbahasa Ing­gris juga enggak? Kalau sore di sini ramai anak-anak te­tangga. Mereka senang dengar cerita kakek saya, kalau eng­gak, adik saya biasanya yang senang sama anak-anak. Kamu senang sama anak-anak, Zia?

Bel tanda jam istirahat berakhir menyentakkan Ali. Yang Ali tangkap dari cewek itu tinggal ekor ku­da­nya, yang dengan segera lenyap dari kosen pintu kelas.

Biarlah. Biarkan saja.

Gambar-gambar apa ini tadi? Ali menyadari co­ret-coretan pensil pada halaman LKS-nya yang ter­ben­tang. Dasar kurang kerjaan.

.

Semester ini adalah semester baru. Yang menjadi pe­nanda bukan hanya tanggal, tapi juga aktivitas. Ali sim­pan buku dalam ransel. Obrolan dengan kawan di bang­ku depan membawanya ke stadion sekolah pada jam is­tirahat. Coba dari zaman kapan ia begini. Mengayun ra­ket, menampar kok, menyingsingkan lengan seragam, pa­sang kuda-kuda, mencetak smash, bikin lawan di se­be­rang lari-lari melewati garis tepi. Semester pertama di SMAN­SON Ali mendaftar sebagai anggota ekskul bad­min­ton, namun aktivitas di LEMPERs membuatnya me­lu­pakan itu. Jam istirahat ia lebih suka membaca sambil ti­duran di sekre LEMPERs, mengunduh pengalaman ka­kak kelas via bincang-bincang, berdebat dengan sesama peng­urus sampai panas, hingga mengumpulkan para anak buahnya demi mading minggu itu yang tidak kun­jung beres.

Sembari menyentak kok ke sana ke mari sesekali Ali ingat Zia. Cewek itu mungkin saja sedang di kelas sa­at ini, mencari Ali, hendak menyerahkan tulisannya yang baru, atau apalah, tapi biarlah. Berolahraga lebih meng­gairahkan, sampai-sampai Ali bekal deodoran dari ru­mah. Di penghujung jam istirahat ia sudah menjalin ke­akraban dengan beberapa anak kelas X. Dengan me­re­ka ia akan membasahi lagi seragamnya dengan peluh be­sok, besok, dan seterusnya. Sekarang baru terasa, se­per­ti­nya bakal enak kalau ia pangkas rambut hingga pendek be­tul. Rambut panjang nan tanggung begini bikin gerah men­jadi-jadi.

Demikianlah Ali menepati janji pada para adik ke­las yang antusias berlatih-tanding dengannya, dari hari ke hari. Minggu ke minggu. Sebulan berlalu. Nama Ali su­dah terkenal di kalangan anak-anak kelas X yang bu­kan hanya penggemar badminton, tapi juga pingpong. Anak-anak kelas X penggemar pingpong di SMANSON ter­gabung dalam sebuah ekskul yang bernama PINK­SON, alias PINKPONK SMANSON. Anak-anak PINK­SON berencana bikin kaos ekskul dengan warna pink. Ali ditawari untuk bikin juga, tapi ia menolak. Selain ke­re, ia kan termasuk front anti ekskul-berakhiran-SON.

Proses pembuatan kaos untuk dua puluhan anak ti­dak lama. Anak-anak PINKSON segera bisa berfoto de­ngan kaos ekskul mereka yang berwarna pink. Biarpun Ali tidak punya, ia tetap diajak berfoto di stadion. Ali me­nurut saja. Berkat hubungan baik ketua PINKSON de­ngan pimred mading, foto-foto PINKSON bisa dimuat di mading. Sekalian saja pimred mading membuat ma­ding edisi ORSON. Ali agak tidak puas melihat dirinya yang berseragam putih kelabu di tengah cowok-cowok ber­kaos pink. Tapi bagaimanapun akhirnya Sheila me­nya­dari peran Ali sebagai bagian dari Dewan Penasihat LEM­PERs. Cewek itu meminta pendapat Ali mengenai ma­ding edisi khusus tersebut.

“Eh Indah titip pesan tuh Bang.” Sheila menepuk pun­dak Ali selagi mantan bosnya itu meninjau mading yang baru kemarin dipampang itu. “Katanya, kapan main ke LITERASON lagi?”

“Hm?”

Masih di hari yang sama. Saat hendak kembali ke XII IPS 1 Ali berpapasan dengan Indah. Indah bilang anak-anak LITERASON sedang mencoba untuk meng­ha­silkan karya. Indah sudah merancang rencana dengan Shei­la untuk menggarap mading edisi LITERASON. Ba­rang­kali dalam pertemuan LITERASON berikut Ali bisa men­jelaskan sedikit kriteria karya-layak-mading itu se­per­ti apa. Ali menyadari bahwa kini mading mulai kem­ba­li jadi media bergengsi di SMANSON. Publik SMAN­SON tidak sabaran menunggu kemunculan majalah se­mes­teran yang hanya satu semester sekali itu, sementara tam­pilan mading makin memikat mata saja.

“Kenapa enggak pimred mading yang sekarang aja?” tanya Ali.

“Aah… Biar kesannya lebih gimana gitu Kang. Akang kan paling tua sesekolahan…”

“Biar ‘lebih gimana gitu’ gimana?”

“Ya gitu deh Kang! Mau ya Kang? Mau ya?”

Ali sukar menolak kalau disuruh berkontribusi. Un­tuk diklat LEMPERs tahun ajaran berikut mesti ia la­gi yang diminta membawakan materi “Manajemen Ma­ding”. Ia masih ingin mempersoalkan kenapa mading ja­di beraroma nepotisme begini. Tidak baik ini. Tapi tukar ar­gumen dengan Indah terputus bel. Jam istirahat ber­ak­hir. Indah meneriakkan pernyataan terakhirnya dengan lan­tang seraya menjauh dari Ali. “Yang penting kan anak-anak SMANSON jadi makin terpacu buat nulis Kang!”

Rada sebal Ali karena kini ia yang tidak berkutik di hadapan para mantan anak buahnya itu. Tapi ia per­tim­bangkan terus argumen-argumen yang diutarakan In­dah tadi.

Ali hadir pada pertemuan LITERASON terdekat, ka­li ini di ruangan kelas. Sekadar mengulang materi “Ma­najemen Mading” yang pernah ia sampaikan dalam dik­lat LEMPERs kapan itu, Ali menekankan pada ter­ba­tas­nya lahan mading, maksimal jumlah karya yang bisa di­pampang di mading, komposisi jenis karya pada ma­ding, dan bagaimana menyesuaikan panjang tulisan de­ngan lahan yang tersedia. Ini seperti menjelaskan pada Zia pentingnya membuat kalimat pendek tapi padat, alih-alih kalimat panjang meski berjubelan gagasan. Ada Zia pu­la di forum itu. Cewek itu tidak banyak suara dan la­gak kali itu. Ia menatap Ali dengan lekat saat Ali bicara. Be­gitupun Ali pada Zia—contoh nyata penulis kacau. Ini se­perti menekankan pada Zia…

“Besok kita bikin majalah mingguan aja yah,” ucap Ali begitu pertemuan klub literasi SMANSON itu bu­bar. Ia terkesan sekaligus kewalahan. Banyak per­ta­nya­an yang terlontar dari para peserta forum begitu Ali se­lesai memaparkan. Tapi kok Zia bungkam saja selama  itu, padahal kalau dengan Ali saja ia begitu cerewet. Ini ber­arti yang namanya luar biasa. “Biar bisa nampung ba­nyak sekalian. Tiap minggu kudu nyunting. Nge-layout. Nya­ri sponsor. Ke percetakan. Tiap minggu loh. Haha, ta­hu rasa kalian.”

“Ih… Si Bos sinis banget sih,” protes Fika. Ia te­ngah menghapus coret-coretan Ali di papan tulis, se­men­ta­ra Ali dan Indah duduk saja di bangku.

Namun Indah menangkap dari perspektif lain. “Ki­ta? Woi, inget Bos. Tahun depan Bos udah enggak di si­ni. Yee… Kasian tuh si Bos. Enggak bisa ikut garap. Ki­ta mah mending, masih bisa mantau. Hahaha...”

Isu Ali mengidap post power syndromme masih ber­edar di antara bocah-bocah ini rupanya, Ali mesem. “Atau enggak LITERASON bikin buletin sendiri. Cari da­na tuh kayak anak-anak K3[1], CEO[2], apa AFS[3],” Ali me­nyebut nama beberapa ekskul di SMANSON yang ke­giatannya mencari dana. “Uang jajan lebih dikit eng­gak usah dipake ngafe, sisihin buat biaya cetak. Gam­pang toh.”

“Ah enggak. Pokoknya Sheila udah oke kita bisa da­pet satu kolom di mading tiap minggu. Tapi se­be­lum­nya mading edisi LITERASON dulu dong… Eh iya, apa ta­di, kita? Kami yaa…” cerocos Indah.

Biar gencar digempur oleh para mantan anak bu­ah­nya yang kini sok berkuasa, Ali kalem saja. Kangen ju­ga adu mulut begini sama cewek-cewek centil nan re­wel ini. Asal tidak pakai bergelayutan di lengan Ali saja, hih, yang sesekali mereka lakukan kalau Ali tidak me­res­pons.

“Lucu kalian ini. Dari dulu dong ada klub kayak LI­TERASON gini. Jadi dulu kerja kalian bisa lebih ri­ngan! Enggak perlu tiap minggu repot-repot nyari tu­lis­an!” cecar Ali.

“Ya baru kepikiran sekarang lah Bos… Lagian ke­napa juga si Bos enggak kepikiran bikin yang ginian du­lu?” balas Indah.

“Emang inisiatif siapa sih LITERASON ini?”

“Yang mulai anak-anak kelas XII sih Kang…” ja­wab Fika. Satu sapuan lagi, sret, ia turun dari pang­gung rendah di bawah papan tulis. “Tapi yang disuruh ngu­rusin kita, yang masih pada muda-muda…” Intonasi Fi­ka meninggi pada dua kata terakhir.

“Siapa anak-anak kelas XII teh? LEMPERs ju­ga?” Ali menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Capek ju­ga hampir satu jam tadi berdiri terus, dan hampir selalu ia yang bicara. Sebelum itu jam istirahat ia optimalkan de­ngan anak-anak PINKSON. Azan magrib masih ku­rang dari tiga jam lagi. Olahraga dan aktivitas lain tak akan menghambat ritual Ali berpuasa Senin-Kamis.           

“Iyalah… Teh Cibluk, Teh Oki…” …wah, si­al­an, anak-anak Dewan Penasihat juga itu. Terbukti ko­or­di­nasi di antara mereka bertiga kurang baik, atau cuman Ali yang tidak dikasih tahu?! Lebih sialan lagi mereka. “…Teh Shana, Teh Zia…”

“…Zia?” ulang Ali seolah nama itu tidak tepat di­masukkan dalam jajaran anak-anak LEMPERs. Asing. Sok asing.

“Iya, enggak cuman LEMPERs doang sih Kang. Ba­nyak sebetulnya anak-anak kelas XII teh, awalnya, cu­man enggak tahu sekarang pada enggak keliatan.”

Zia masih kelihatan tuh.

Cewek itu tadi pergi begitu saja setelah per­te­mu­an ditutup.

Zia. Zia Zia Zia oh Zia.

Ah lebih mengasyikkan adu pingpong dan kok.



[1] Komite Kesejahteraan Koperasi

[2] Creativentrepreneur of SMANSON

[3] Asosiasi Filantropis SMANSON

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain