Semester ini sebaiknya
tidak diisi lagi dengan terpaku di bangku, hanya memandang buku, meski sesekali
menangkap sejoli-sejoli yang pamer kemesraan lewat kaca jendela. Semester ini
Ali sudah lebih dikenal oleh teman-teman sekelasnya, yang sebagian besar adalah
teman-temannya saat kelas XI juga sebetulnya. Selama itu mereka, terutama
kaum cewek sebagai pengamat handal dalam urusan peri(laku)kemanusiaan.—sebagian
memang bercita-cita jadi psikolog—menyimpulkan bahwa teman sekelas mereka,
Binsar Ali Harahap, “kalau enggak baca buku, ya ngintipin orang pacaran.” Para
penyebar rumor tak berguna, demikian Ali hanya bisa merutuk meski dalam
sanubari saja. Ada lagi simpulan yang seakan lebih baik, namun ternyata
paradoks, “ganteng, tapi enggak enak dilihat.” Nah, apa pula itu?
Tapi kalaupun uang saku
Ali dapat bertambah, ia lebih suka menghabiskannya nanti saja—untuk bayar SPP
kuliah. Cowok-cowok yang dulu bernaung di bawah
4KANGSON kian ke mari jadi lebih suka memecah jadi kelompok-kelompok
kecil, dengan fokus studi yang lebih spesifik. Ali masih jumpa mereka tiap
Selasa, tapi selain Selasa ia mau apa? Menanti Zia. Cewek itu tidak mungkin
datang sesering itu, tiap Senin sampai Jumat minus Selasa. Mending kalau
begitu, yah, tidak juga, Ali tetap butuh jeda agar cewek itu tampak segar
selalu dalam pandangannya tiap kali mereka bertemu. Tapi seminggu pertama di
semester baru ini sudah akan lalu, belum ada lagi gerak-gerik cewek itu di XII
IPS 1.
Demikianlah, tidak ada
inovasi yang tercetus darinya sejauh ini. Ali tetap tergugu di bangku dengan
buku sembari menunggu cewek satu itu. Apa Zia sudah bosan ke mari? Apa Zia marahan
dengan Regi saat liburan kemarin? Padahal Zia sudah beli banyak buku kan, kapan
itu terakhir kali mereka bertemu di Palasari, apa Regi belum tahu? Regi,
pinjam buku lagi sana pada Zia. Temanmu itu sudah memperbarui koleksinya.
Masak yang baru di semester ini adalah ketidakhadiran Zia?
Apa di semester ini
yang baru adalah Ali yang ganti menongkrongi kelas Zia tiap jam istirahat? Bukankah
masih ada tulisan Zia yang belum diumpan-balik oleh Ali? Itu bisa jadi alasan
untuk memulai alasan-alasan lain bagi pertemuan mereka.
Buat apa sih?
Ali bergeming.
Apakah Zia sepenting
itu? Tidak, ia tidak sepenting itu. Tidak usah ditunggu. Setiap interaksi
yang lalu terjadi karena kebetulan. Situasi yang memungkinkan. Berkembang.
Alamiah. Ali tak perlu melakukan apa-apa lagi. Kalau cuman sekadar omong-omong
soal buku, kawan yang duduk di bangku belakang Ali pun termasuk penggemar.
Juga yang duduk di pojok kanan kelas. Juga wakil ketua kelas yang duduk di
tengah sana. Kalau Ali perlu Ali tinggal mendekati mereka. Ali tidak pernah.
Ali terus meracau dalam pikirannya. Bukan aksara yang tertera pada kertas yang
terbaca, hanya kata-kata dalam kepala. Apapun yang dapat melarikannya dari
kenangan, akan momen yang begitu sering menghampiri di semester lalu.
Semester ini adalah
semester baru.
Minggu kedua di
semester baru, akhirnya semester ini tidak terasa sebagai semester baru lagi.
Ada yang baru memang. Biasanya Zia mendatangi Regi sendirian, namun kali ini
ia membawa teman-teman mereka yang lain. Semua anak IPA. Ah kata Zia Ali ini
kan “jurusanis”, melihat orang dari jurusannya. Tapi cewek itu tidak
melihatnya. Mungkin karena mulai minggu ini bangku Ali tidak bersebelahan
dengan bangku Regi. Tidak lagi di dekat jendela, Ali tidak lagi bisa mengintip
orang pacaran—teman-teman berlagak miris akan nasib Ali yang Ali abaikan saja.
Zia tidak bisa langsung melihat kehadiran Ali begitu cewek itu melewati ambang
pintu XII IPS 1. Padahal sebelumnya sudah ada sesuatu yang meledak di dalam
diri Ali. Menanti ledakan berikutnya.
Kapan kau akan lihat ke
mari, Zia?
Tanyakan tulisanmu.
Tanyakan bukumu—sayangnya belum ada lagi buku Zia yang dipinjamkan pada Ali.
Tanyakan apa itu interniran. Tanyakan di mana MULO pertama didirikan di
Bandung. Tanyakan bagaimana Sungai Cikapundung dimanfaatkan masyarakat seabad
lalu. Tanyakan apa saja.
Tapi Ali tidak
membiarkan apa yang menggebu-gebu dalam dirinya itu tampak. Saking sempurna pengelabuannya,
di mata Zia yang sesekali lari ke arah Ali, yang tampak dari cowok itu adalah
ketekunan mengerjakan LKS. Tapi ini adalah cerita tentang Ali. Di ruang yang
kosong pada kertas buram LKS-nya, ia menggambar denah balai bacaan di
rumahnya. Ini ruang depan. Ini ruang tengah. Di ruang depan ada rak panjang,
di sebelah sini sama di sebelah sini. Yang ada di sini kebanyakan
buku-buku sejarah sama politik gitu, Zia. Mahasiswa-mahasiswa temannya ibu
saya suka biasanya pada kumpul di sekitar sini… Ali pikir tidak perlu
menceritakan denah balai bacaannya dengan begitu lengkap, sampai di mana
letak dan berapa jumlah meja-kursi yang ada di ruang depan. Langsung ke ruang
tengah aja yuk, Zia. Di sini nih fiksi sama majalah anak-anak. Khusus yang di
rak ini buku-buku ibu saya. Kamu doyan novel berbahasa Inggris juga enggak?
Kalau sore di sini ramai anak-anak tetangga. Mereka senang dengar cerita kakek
saya, kalau enggak, adik saya biasanya yang senang sama anak-anak. Kamu senang
sama anak-anak, Zia?
Bel tanda jam istirahat
berakhir menyentakkan Ali. Yang Ali tangkap dari cewek itu tinggal ekor kudanya,
yang dengan segera lenyap dari kosen pintu kelas.
Biarlah. Biarkan saja.
Gambar-gambar apa ini
tadi? Ali menyadari coret-coretan pensil pada halaman LKS-nya yang terbentang.
Dasar kurang kerjaan.
.
Semester ini adalah
semester baru. Yang menjadi penanda bukan hanya tanggal, tapi juga aktivitas.
Ali simpan buku dalam ransel. Obrolan dengan kawan di bangku depan membawanya
ke stadion sekolah pada jam istirahat. Coba dari zaman kapan ia begini.
Mengayun raket, menampar kok, menyingsingkan lengan seragam, pasang
kuda-kuda, mencetak smash, bikin
lawan di seberang lari-lari melewati garis tepi. Semester pertama di SMANSON
Ali mendaftar sebagai anggota ekskul badminton, namun aktivitas di LEMPERs
membuatnya melupakan itu. Jam istirahat ia lebih suka membaca sambil tiduran
di sekre LEMPERs, mengunduh pengalaman kakak kelas via bincang-bincang,
berdebat dengan sesama pengurus sampai panas, hingga mengumpulkan para anak
buahnya demi mading minggu itu yang tidak kunjung beres.
Sembari menyentak kok
ke sana ke mari sesekali Ali ingat Zia. Cewek itu mungkin saja sedang di kelas
saat ini, mencari Ali, hendak menyerahkan tulisannya yang baru, atau apalah,
tapi biarlah. Berolahraga lebih menggairahkan, sampai-sampai Ali bekal
deodoran dari rumah. Di penghujung jam istirahat ia sudah menjalin keakraban
dengan beberapa anak kelas X. Dengan mereka ia akan membasahi lagi seragamnya
dengan peluh besok, besok, dan seterusnya. Sekarang baru terasa, sepertinya
bakal enak kalau ia pangkas rambut hingga pendek betul. Rambut panjang nan
tanggung begini bikin gerah menjadi-jadi.
Demikianlah Ali
menepati janji pada para adik kelas yang antusias berlatih-tanding dengannya,
dari hari ke hari. Minggu ke minggu. Sebulan berlalu. Nama Ali sudah terkenal
di kalangan anak-anak kelas X yang bukan hanya penggemar badminton, tapi juga
pingpong. Anak-anak kelas X penggemar pingpong di SMANSON tergabung dalam
sebuah ekskul yang bernama PINKSON, alias PINKPONK SMANSON. Anak-anak PINKSON
berencana bikin kaos ekskul dengan warna pink. Ali ditawari untuk bikin juga,
tapi ia menolak. Selain kere, ia kan termasuk front anti
ekskul-berakhiran-SON.
Proses pembuatan kaos
untuk dua puluhan anak tidak lama. Anak-anak PINKSON segera bisa berfoto dengan
kaos ekskul mereka yang berwarna pink. Biarpun Ali tidak punya, ia tetap diajak
berfoto di stadion. Ali menurut saja. Berkat hubungan baik ketua PINKSON dengan
pimred mading, foto-foto PINKSON bisa dimuat di mading. Sekalian saja pimred mading
membuat mading edisi ORSON. Ali agak tidak puas melihat dirinya yang
berseragam putih kelabu di tengah cowok-cowok berkaos pink. Tapi bagaimanapun
akhirnya Sheila menyadari peran Ali sebagai bagian dari Dewan Penasihat LEMPERs.
Cewek itu meminta pendapat Ali mengenai mading edisi khusus tersebut.
“Eh Indah titip pesan
tuh Bang.” Sheila menepuk pundak Ali selagi mantan bosnya itu meninjau mading
yang baru kemarin dipampang itu. “Katanya, kapan main ke LITERASON lagi?”
“Hm?”
Masih di hari yang sama.
Saat hendak kembali ke XII IPS 1 Ali berpapasan dengan Indah. Indah bilang
anak-anak LITERASON sedang mencoba untuk menghasilkan karya. Indah sudah
merancang rencana dengan Sheila untuk menggarap mading edisi LITERASON. Barangkali
dalam pertemuan LITERASON berikut Ali bisa menjelaskan sedikit kriteria
karya-layak-mading itu seperti apa. Ali menyadari bahwa kini mading mulai kembali
jadi media bergengsi di SMANSON. Publik SMANSON tidak sabaran menunggu
kemunculan majalah semesteran yang hanya satu semester sekali itu, sementara
tampilan mading makin memikat mata saja.
“Kenapa enggak pimred
mading yang sekarang aja?” tanya Ali.
“Aah… Biar kesannya
lebih gimana gitu Kang. Akang kan paling tua sesekolahan…”
“Biar ‘lebih gimana
gitu’ gimana?”
“Ya gitu deh Kang! Mau
ya Kang? Mau ya?”
Ali sukar menolak kalau
disuruh berkontribusi. Untuk diklat LEMPERs tahun ajaran berikut mesti ia lagi
yang diminta membawakan materi “Manajemen Mading”. Ia masih ingin
mempersoalkan kenapa mading jadi beraroma nepotisme begini. Tidak baik ini.
Tapi tukar argumen dengan Indah terputus bel. Jam istirahat berakhir. Indah
meneriakkan pernyataan terakhirnya dengan lantang seraya menjauh dari Ali.
“Yang penting kan anak-anak SMANSON jadi makin terpacu buat nulis Kang!”
Rada sebal Ali karena
kini ia yang tidak berkutik di hadapan para mantan anak buahnya itu. Tapi ia
pertimbangkan terus argumen-argumen yang diutarakan Indah tadi.
Ali hadir pada
pertemuan LITERASON terdekat, kali ini di ruangan kelas. Sekadar mengulang
materi “Manajemen Mading” yang pernah ia sampaikan dalam diklat LEMPERs kapan
itu, Ali menekankan pada terbatasnya lahan mading, maksimal jumlah karya
yang bisa dipampang di mading, komposisi jenis karya pada mading, dan
bagaimana menyesuaikan panjang tulisan dengan lahan yang tersedia. Ini seperti
menjelaskan pada Zia pentingnya membuat kalimat pendek tapi padat, alih-alih
kalimat panjang meski berjubelan gagasan. Ada Zia pula di forum itu. Cewek itu
tidak banyak suara dan lagak kali itu. Ia menatap Ali dengan lekat saat Ali
bicara. Begitupun Ali pada Zia—contoh nyata penulis kacau. Ini seperti
menekankan pada Zia…
“Besok kita bikin
majalah mingguan aja yah,” ucap Ali begitu pertemuan klub literasi SMANSON itu
bubar. Ia terkesan sekaligus kewalahan. Banyak pertanyaan yang terlontar
dari para peserta forum begitu Ali selesai memaparkan. Tapi kok Zia bungkam
saja selama itu, padahal kalau dengan
Ali saja ia begitu cerewet. Ini berarti yang namanya luar biasa. “Biar bisa
nampung banyak sekalian. Tiap minggu kudu nyunting. Nge-layout. Nyari sponsor. Ke percetakan. Tiap minggu loh. Haha, tahu
rasa kalian.”
“Ih… Si Bos sinis
banget sih,” protes Fika. Ia tengah menghapus coret-coretan Ali di papan
tulis, sementara Ali dan Indah duduk saja di bangku.
Namun Indah menangkap
dari perspektif lain. “Kita? Woi, inget Bos. Tahun depan Bos udah enggak di sini.
Yee… Kasian tuh si Bos. Enggak bisa ikut garap. Kita mah mending, masih bisa
mantau. Hahaha...”
Isu Ali mengidap post power syndromme masih beredar di
antara bocah-bocah ini rupanya, Ali mesem. “Atau enggak LITERASON bikin buletin
sendiri. Cari dana tuh kayak anak-anak K3[1],
CEO[2],
apa AFS[3],”
Ali menyebut nama beberapa ekskul di SMANSON yang kegiatannya mencari dana.
“Uang jajan lebih dikit enggak usah dipake ngafe, sisihin buat biaya cetak.
Gampang toh.”
“Ah enggak. Pokoknya
Sheila udah oke kita bisa dapet satu kolom di mading tiap minggu. Tapi sebelumnya
mading edisi LITERASON dulu dong… Eh iya, apa tadi, kita? Kami yaa…” cerocos
Indah.
Biar gencar digempur
oleh para mantan anak buahnya yang kini sok berkuasa, Ali kalem saja. Kangen
juga adu mulut begini sama cewek-cewek centil nan rewel ini. Asal tidak pakai
bergelayutan di lengan Ali saja, hih, yang sesekali mereka lakukan kalau Ali
tidak merespons.
“Lucu kalian ini. Dari
dulu dong ada klub kayak LITERASON gini. Jadi dulu kerja kalian bisa lebih ringan!
Enggak perlu tiap minggu repot-repot nyari tulisan!” cecar Ali.
“Ya baru kepikiran
sekarang lah Bos… Lagian kenapa juga si Bos enggak kepikiran bikin yang ginian
dulu?” balas Indah.
“Emang inisiatif siapa
sih LITERASON ini?”
“Yang mulai anak-anak
kelas XII sih Kang…” jawab Fika. Satu sapuan lagi, sret, ia turun dari panggung
rendah di bawah papan tulis. “Tapi yang disuruh ngurusin kita, yang masih pada
muda-muda…” Intonasi Fika meninggi pada dua kata terakhir.
“Siapa anak-anak kelas
XII teh? LEMPERs juga?” Ali menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Capek juga
hampir satu jam tadi berdiri terus, dan hampir selalu ia yang bicara. Sebelum
itu jam istirahat ia optimalkan dengan anak-anak PINKSON. Azan magrib masih kurang
dari tiga jam lagi. Olahraga dan aktivitas lain tak akan menghambat ritual Ali
berpuasa Senin-Kamis.
“Iyalah… Teh Cibluk,
Teh Oki…” …wah, sialan, anak-anak Dewan Penasihat juga itu. Terbukti koordinasi
di antara mereka bertiga kurang baik, atau cuman Ali yang tidak dikasih tahu?!
Lebih sialan lagi mereka. “…Teh Shana, Teh Zia…”
“…Zia?” ulang Ali
seolah nama itu tidak tepat dimasukkan dalam jajaran anak-anak LEMPERs. Asing.
Sok asing.
“Iya, enggak cuman
LEMPERs doang sih Kang. Banyak sebetulnya anak-anak kelas XII teh, awalnya, cuman
enggak tahu sekarang pada enggak keliatan.”
Zia masih kelihatan
tuh.
Cewek itu tadi pergi
begitu saja setelah pertemuan ditutup.
Zia. Zia Zia Zia oh
Zia.
Ah lebih mengasyikkan
adu pingpong dan kok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar