Sebundel kertas
meluncur di meja Ali. Ali mengangkat kepala. Cewek itu mengangkat kedua belah
tangannya. “Sori. Tangan aku licin.” Ali tidak segera menyentuh bundelan
tipis itu. Ia masih terperangah sampai Zia duduk di kursi sampingnya. Buku
hijau dimunculkan cewek itu kemudian. “Ini makasih.” Ali mengambil buku itu
lalu meletakkannya di meja. Zia meraih bundelan kertas yang tidak kunjung
dijamah Ali. “Ini review-nya,” sambung
cewek itu. Ali memasukkan buku yang semula ia baca ke kolong bangku. Matanya
memindai tulisan pada bundelan yang diserahkan Zia. Sesekali ia melirik ke samping
saat cewek itu membeberkan rangkuman tulisannya. “Aku jadi ngerti. Dari awal
emang sistem pendidikan kita udah enggak oke. Hhh, miris banget jadi bangsa
kita ini. Coba kita dijajah sama Inggris aja. Aku curiga, pendidikan sekarang
pun masih sekadar untuk memenuhi kebutuhan pemerintah… dan ah, ya, kebutuhan
pemilik modal! Terus kapan pendidikan bisa ngeliat kita sebagai individu yang
unik, yang berbeda antara satu dengan yang lainnya? Yang bertujuan buat ngeoptimalin
potensi yang ada dalam diri kita? Bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan yang
sifatnya materialistis kayak gitu? Pendidikan yang memanusiakan?”
Ali tahu, apa yang Zia
koar-koarkan sudah melenceng dari intisari buku yang diulasnya ini. Nukilan
dari buku itu sendiri tidak sampai satu halaman, tapi pengembangan
kesimpulan yang ditarik Zia hampir mencapai dua halaman. Ali tidak yakin
beberapa poin dalam paparan ini merupakan pikiran Zia sendiri. Cewek ini terpengaruh
bacaan apa lagi?
Beberapa kali Ali membolak-balik
halaman. Ia sedang tidak berminat untuk mangangkat pensil dan mencorat-coret
sesuatu. Mungkin nanti.
“Nah, aku tuh enggak
terdikotomi kan sama fiksi dan nonfiksi? Aku tuh omnivora, pemakan segala bacaan,
meski, ya, aku cenderung ke fiksi. Tapi aku masih tuh memahami nonfiksi, kalau
enggak kan aku enggak akan bisa nulis review-nya?
Jadi kenapa sih kita harus jadi orang yang picik? Ngebatasin diri cuman sama
jenis bacaan tertentu aja?”
…dikotomi? Memang cewek
itu mengerti apa arti “dikotomi”? Dan lagi, ini cewek kenapa sih? Kok gencar
amat memersuasi untuk doyan fiksi? Penting ya? Dibayar berapa sama PT Fiksi
Sejahtera Tbk?
Tapi bagaimanapun juga
Ali takjub karena tulisan Zia adalah tulisan yang ia ingin bikin sejak
berbulan-bulan lalu. Tapi Ali tidak ingat kapan terakhir kali ia membuka draf
tulisan tersebut, sudah sepanjang apa, informasi apa saja yang sudah ia
cantumkan di situ, apakah sudah disertai analisis apa belum, yang sudah ia
tulis di sana apa saja sih? Dan Ali memikirkan tulisan itu selama berminggu-minggu,
sebelum mulai mengarang drafnya. Sedang Zia, sepertinya belum ada seminggu
dari sejak cewek itu mengambil si buku hijau dari tangan Ali. Bukunya memang
tipis sih. Tulisan Zia juga masih seacak-acakan sebelumnya. Gagasan tahu-tahu
berganti, dan berulang di paragraf berbeda. Kalimatnya panjang-panjang. Diksi
yang frontal.
“…ini…”
“Buat kamu,” sahut Zia.
Mau minta dicorat-coret
lagi? Berani bayar berapa? Tapi Ali lipat juga bundelan tipis itu, lalu memasukkannya
ke dalam ransel begitu Zia berlalu.
Menjelang sore, setelah
Fathim menyetel sederet mp3 untuk
menemani Ali yang hendak berkutat dengan komputer rumah, Ali membuka draf
tulisannya yang membahas buku yang sama, yang dibandingkan dan dilengkapi
dengan beberapa buku lain yang serupa. Sementara arsip tersebut terbuka,
terpampang begitu kentara di depan mukanya, Ali mencermati tulisan Zia dengan
saksama. Kata demi kata. Ia lupa mengambil pensil, jadi ia sekadar memungut
remah-remah informasi yang berserakan dalam tulisan itu, sekaligus menandai
dalam ingatan bagian mana saja yang nanti bakal ditimpa coretannya.
Usai dengan tulisan
Zia, Ali ganti mencermati drafnya. Ada perbedaan gaya yang kontras. Gagasan-gagasan
miliknya lebih runut tentu saja, terkelompokkan secara padu dalam
paragraf-paragraf yang padat informasi. Kata-kata tertata sedemikian rupa,
menghasilkan rangkaian kalimat yang
tidak bikin ngos-ngosan saat dibaca. Ali cukup puas dengan kelugasan cara penyampaiannya.
Yang bikin ia tidak puas adalah panjang tulisan itu hanya setengah halaman.
Lebih baik menulis
kacau tapi selesai, apa menulis baik sejak awal tapi tidak selesai-selesai?
.
Begitu bel tanda jam
istirahat dimulai, Ali sekadar iseng bertanya pada cewek yang duduk di bangku
depannya. Kenal Zia enggak? Kelas berapa sih dia? Jawaban cewek itu membuat
Ali tidak tahan duduk lebih lama di bangkunya. Kali ini ganti ia membawa
lembaran kertas yang distaples ujungnya, sebagai bekal untuk menyambangi
kelas yang tidak pernah ia masuki sebelumnya. XII IPA 8.
Memasuki kelas XII IPA
8, Ali menyadari betapa pencahayaan di kelasnya sendiri lebih memadai. Cewek
itu baru saja hendak bangkit dari bangkunya, yang nyaris persis di tengah
kelas. Teman-temannya disuruhnya pergi duluan, sementara ia duduk kembali
sedang Ali menghampiri. Tangan Ali tidak licin, tapi dengan mantap menempelkan
bawaannya di meja Zia.
Ali duduk di kursi
samping Zia. Beberapa anak lagi yang keluar dari kelas itu. Riuh di luar, tapi
senyap mulai mengambang di dalam. Ruangan mendadak terasa sangat lapang,
hanya mereka berdua di sana. Zia membisu selagi meninjau tulisan yang dibawa
Ali. Ali jadi merasa agak tegang.
“Tumben enggak
istirahat bareng Regi.”
“Enggak juga kok. Aku
kan ke sana cuman pas si Regi mau balikin atau pinjem buku aja.”
Ali memandang Zia
sedikit-sedikit. Masak iya, sepertinya Zia sering sekali bertandang ke XII IPS
1. Mungkin karena Regi begitu cepat menamatkan bacaan dari Zia?
Pandangan Ali kemudian
beredar ke arah papan tulis. Rumus-rumus bertebaran di sana. Begitu asing. Ali
sudah lupa bagaimana cara memahaminya. Fisika tidak memancarkan aura
bersahabat dengannya, sejak awal mereka jumpa.
Ali menggaruk-garuk
kepala, menyeruak sejumput-sejumput rambutnya, sekadar biar ada kegiatan. Apa
cewek ini tidak bisa membaca lebih cepat? Apa cewek ini tahu bagaimana cara
membaca cepat? Yang Ali bawa bukan tulisan fiksi, tidak usah dibaca per kata.
Tangkap dulu gagasan-gagasan pokoknya. Tinjau apa yang hendak disampaikan
dalam tulisan itu. Barulah baca dengan saksama. Resapi informasi-informasi
yang terkandung di dalamnya. Mungkin cewek itu juga perlu juga diajari rumus
membaca cepat, di samping rumus kecepatan dalam ruang hampa udara.
Lagipula tulisan itu cuman
empat halaman kok.
Zia menatap Ali dalam
bingung. “Ini kok…” Ia membukai halaman demi halaman sekali lagi. Agak lama di
halaman terakhir. Menoleh ke arah Ali lagi. Tangan yang memegang tulisan itu
jatuh ke pangkuannya. “Kayak tulisan aku, yang kemarin aku kasihin ke kamu itu
loh. Tapi kayak bukan aku yang nulis…”
Ali tidak segera
merespons. Mana ada Zia cuman omong pendek?
“Kesannya tuh kayak…
lebih simpel. Enggak tahu di mananya. Padahal kayaknya materi di tulisan ini
tuh lebih banyak dari yang kemarin aku tulis.” Zia menyibak lagi halaman
terakhir. “Tuh, referensinya juga enggak cuman dari buku kamu itu aja, tapi
dari… satu… dua… tiga… yah, tapi kok ya enggak sekalian dicantumin
penulisnya siapa sih?” Zia kembali ke halaman pertama. Ali teringat tulisan
Zia kemarin, memang Zia pun mencantumkan namanya di akhir tulisan. Cuman
(#zia#), tapi tetap sebuah identitas. Penting ya? Ali bertanya-tanya, meski
sadar kemudian kalau tanyanya itu sendiri tidak penting untuk dibahas lanjut.
“Itu tulisan kita
berdua.”
Mulut Zia sebulat
matanya.
“Kesannya lebih simpel
ya? Kalimat-kalimat kamu saya pendekkin, terus gagasan-gagasan kamu saya tata
ulang. Misalnya…” Ali teringat kalau ia terlupa membawa tulisan Zia kemarin,
yang sudah dipenuhi coretan-coretan pensilnya. “Saya lupa bawa tulisan kamu
kemarin. Kapan-kapan aja ya… Terus selain itu, saya lengkapin lagi sama
sumber-sumber lain. Kalau misalnya di tulisan kamu kemarin itu kamu ada
sumber-sumber lainnya juga, bagus juga kalau kamu tambahin.”
“Oh iya… Aku suka baca
buku-bukunya Eko Prasetyo sih. Tapi ya sekilas-sekilas aja. Aku enggak inget
yang aku masukin ke sini tuh dari bukunya yang mana. Aku malas buka-buka
lagi…”
Ali mengangkat bahu.
Kalau Ali jadi Zia, Ali tidak akan membiarkan itu terjadi. Kalau perlu ia akan
membaca ulang setiap buku yang pikiran di dalamnya ia comot. Biarpun
seseorang bernama Patrick Delany mengatakan bahwa pikiran yang sudah jadi
kata-kata bukan lagi milikmu sendiri, tapi bagi Ali adalah menarik jika bisa
menelusuri pemilik sejati suatu pikiran—bahkan jika pikiran tersebut sudah
menjadi pikiran yang umum.
“Tapi ada beberapa pilihan kata kamu sih, yang enggak saya ganti.
Misalnya… Ini, ‘naif’…” Ali menunjuk kata yang kebetulan terbaca. Matanya
mencari-cari lagi di halaman yang diperlihatkan Zia. “’jomplang’, terus… yah,
ada beberapa lagi. Yang jelas kamu banyak pakai kata sifat kan. Ada kesan
‘berasa’-nya gitu. Ekspresif. Cuman gimana ngeletakinnya ke konteks kalimat
aja, biar ngena gitu…”
“Naaah, itu kan karena
aku banyak baca fiksi!” seru Zia semringah. Sepertinya ia sudah tidak mendengarkan
kata-kata terakhir Ali. “Di fiksi kan diksinya lebih kaya. Aturan bikin
kalimatnya juga enggak kaku kayak di nonfiksi. Makanya baca nonfiksi tuh bikin
ngantuk. Kata-katanya kering, kurang punya ‘rasa’…”
Dasar cewek labil,
kemarin ia mengimbau-imbau supaya tidak ada dikotomi antara fiksi dan
nonfiksi. Tapi Ali kalem saja menyimak kelanjutan pembanding-bandingan Zia
itu. Bukannya ia tidak tahu kalau nonfiksi tidak mesti seperti itu. Tapi dalam
konteks pembanding-bandingan seperti ini Ali bisa maklum kalau argumen yang
dikemukakan mesti ekstrim. Biar cewek itu puas dulu deh, baru disadarkan.
“Nonfiksi bisa cair
juga kok. Di jurnalistik misalnya, ada istilah softnews—feature. Gaya
penuturannya lebih mengalir, bahkan cenderung sastrawi…”
“Tapi katanya feature beda sama jurnalime sastrawi?”
“Bedanya apa?” Ali
mengubah posisi duduk sehingga lebih menghadap Zia.
“Kalau jurnalisme
sastrawi tuh lebih kayak cerita gitu. Ada pelaku dan kejadian. Kalau feature mah enggak, cuman sekadar, yah, informasi kayak di berita aja, tapi
gaya penyampaiannya lebih nyantai. Bahasanya enggak seketat hardnews.”
Cewek ini rupanya ngeh
juga dengan dunia jurnalistik. Aktif di LEMPERs cuman setengah tahun pertama
loh. Sepertinya memang masih banyak bacaan lain di perpustakaan dalam kepala
Zia yang belum teridentifikasi oleh Ali. Cewek itu terus-terusan menyebut
Truman Capote, wartawan di Amerika Serikat yang pernah mengusung genre novel
nonfiksi. Anak-anak LEMPERs saja belum tentu mengulik dunia jurnalistik sampai
sejauh itu. Sepertinya mereka cuman tahu berburu materi untuk dipajang dalam
mading maupun majalah semesteran.
Jam istirahat besoknya,
ganti Zia yang menyatroni kelas Ali. Tangan Zia masih licin. Dua buku lumayan
tebal terhempas di meja Ali. Di bawah meja kaki Ali berjengit, sementara
matanya tertuju pada judul-judul yang terpampang. Buku berwarna hijau butek
berjudul In Cold Blood, sedangkan
yang berdasar warna putih dengan merah di beberapa bagian berjudul Jurnalisme Sastrawi.
“Ih Ziaaa… Mau pinjem…”
terdengar seruan Regi. “…entar ya, habis Ali…”
Ali mendongak. Muka Zia
di atas kepalanya, tersenyum lebar. “Bawa pulang aja. Balikin kalau udah selesai.”
.
Ini rangkaian fakta.
Tapi seperti membaca fiksi. Mata Ali jadi terasa lebih lekat ke kertas, tanpa
ia sendiri kehendaki. Tidak ringan lagi bagi mata untuk loncat dari satu
gumpalan informasi ke informasi lain. Kata-kata selain itu bukan sekadar jadi
penyambung antar informasi, tapi juga membangun suasana. Ada lintasan imaji
yang berjalan di dalam kepala Ali.
Baru setelah dua minggu
Ali mengembalikan dua buku itu pada Zia. Itupun ketika kebetulan Ali melihat
Zia melintas di depan kelasnya, lewat jendela, cewek itu sedang tidak mampir.
“Eh bikin yang kayak
gini yuk.”
Cewek itu tertawa.
“Harus banyak-banyak
baca fiksi dulu tuh…”
“Males ah…”
“Truman Capote aja
enggak cuman bikin novel nonfiksi loh, tapi bikin novel beneran juga… Breakfast at Tiffany’s, mau pinjem?”
Ali menggeleng.
“Ya udah.”
Ali agak berat
ditinggal cewek itu dengan percuma. “Ada rekomendasi enggak?” sahut Ali, Zia
pun berbalik lagi.
“Hm… Apa yah? Mau
buku-buku yang kayak gini lagi?”
Ali mengangkat bahu.
“Terserah.”
Sebisa mungkin yang
tipis, yang simpel, dan tersedia di balai bacaan atau kios buku Mang Alwi
karena Ali tidak mau beli. Tapi sepertinya perbendaharaan Zia mencakup
buku-buku relatif baru, jadi Ali ragu juga. Baiklah, nanti Ali akan
mengorek-ngorek sendiri di rumah. Agak malas sebetulnya, mengingat fiksi-fiksi
lapuk seperti apa yang bakal ia temukan nanti. Sejak membaca buku-buku Zia,
Ali merasa bak membaca dengan pencahayaan lampu neon. Mungkin karena
buku-buku itu relatif baru. Biasanya Ali membaca buku-buku dengan halaman
menguning, apek meruap—apapun yang sudah tersedia di rumah pokoknya. Dan kini
membaca buku-buku semacam itu bak membaca dengan pencahayaan lampu remang-remang.
“Tapi aku belum nyari lagi euy buku kayak ginian mah…” Zia
menimang-nimang kedua bukunya itu, seakan itu caranya untuk memperlancar
pikiran. Kepalanya mendongak lagi ke arah Ali. “Maunya yang kayak gimana…”
“Yang gampang
ngabisinnya.”
Muka Zia berkerut.
Mungkin menerawang fiksi macam apa yang sesuai dengan kepribadian Ali. “Ya
udah aku cari-cari dulu ya.”
Besoknya Zia
mengantarkan The Little Prince ke meja
Ali. Ali membaca buku tersebut sepulang sekolah. Kurang dari dua jam yang Ali
butuhkan untuk menghabiskan buku tipis itu, seperti bacaan untuk anak-anak.
Tapi seingat Ali cerpen-cerpen di Bobo
tidak bernuansa semuram ini. Benarkah ini bacaan untuk anak-anak? Tokohnya
sih anak-anak, si Pangeran Kecil, tapi—apa pentingnya memusingkan dunia
rekaan seperti ini sih? Ali segera beralih bacaan, melanjutkan Kamus Jawa Kuna yang tersendat-sendat.
“Apa sih ini, ceritanya
sedih gini?” Ali meluncurkan The
Little Prince ke meja di antara Zia dan Regi. Setelah beberapa hari,
akhirnya cewek itu bertandang lagi ke XII IPS 1. Ali malas kalau sengaja
mencari-cari cewek itu hanya untuk mengembalikan buku.
“Oh. The Little Prince ya…” Regi meraih buku
tipis tersebut, membolak-balik halaman, berhenti di halaman tertentu, lalu
membaca.
“Kalau menurutku itu
enggak cuman sekadar cerita sedih. Tiap unsur dalam cerita itu pasti menyimbolkan
sesuatu. Kayak bunga, contohnya, kalau yang aku pernah baca sih…”
“Eh Zia, boleh pinjem
lagi enggak?” ucapan Regi memotong ocehan Zia. Dalam hati Ali bersyukur suara
cempreng itu tidak bakal menghabiskan sisa jam istirahatnya, yang
seharusnya damai—boleh mengoceh, asal terstruktur, asal bukan kepada Ali.
“Sok aja,” sambut Zia. “Ali mau pinjem lagi?” kali ini pada Ali.
“Jangan yang
sedih-sedih…” Ali baru mulai membuka Tinjauan
Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam yang ia pinjam dari seorang anak
DKM di atas meja. Ia sudah menyerah dengan Kamus
Jawa Kuna. “Apa kek, Lupus kek, yang ringan, yang tipis…” lanjut Ali, lebih
terdengar seperti gerundelan pada diri sendiri alih-alih untuk Zia.
Lagipula Zia memang
tidak mendengarkan. Besoknya ia membawakan Ali The Boy in the Stripped Pyjamas. Ali melirik buku tipis dengan
sampul setrip-setrip bak motif selimut itu. Ia membuka-buka buku itu, memindai
gaya bahasa di dalamnya sekilas. Seperti buku anak-anak juga. Buku anak-anak
yang serius. Ali mulai berasumsi. Anak-anak dijadikan komoditas oleh para penulis
fiksi, tidak lain sebagai selubung dalam menyampaikan peliknya kehidupan
dewasa. Dua hari yang Ali butuhkan untuk menghabiskan buku Zia kali ini, asumsinya
kian nyata.
“Ini cerita tentang
Nazi ya?” kata Ali saat Zia mampir ke XII IPS 1 lagi. Ali lebih suka membawa
buku Zia berhari-hari dalam ranselnya, dan menanti kedatangan Zia di
kelasnya, alih-alih menghubungi langsung cewek itu kalau memang ingin segera
mengembalikan. Ali sama sekali tidak terpikir untuk memanfaatkan kontak Zia di
ponselnya. Sebaris nomor yang hanya sekali waktu ia acap sentuh, saat mengurus
tulisan Zia tentang kongkalikong UN kapan itu.
“Gimana?” respons Zia,
barangkali Ali terpancing untuk mengungkapkan lebih banyak pembacaannya terhadap
novel tersebut.
Ali tidak mau bilang.
Perasaannya masih tidak keruan, karena memikirkan nasib anak dalam novel tersebut
yang berakhir tragis.
“Novel ini ada filmnya
loh. Difilmin sama BBC. Yang main jadi ayahnya tuh yang jadi Lupin di Harry Potter,”
kata Zia lagi. Ia tidak mengindahkan apakah Ali memang tertarik dengan wawasan
semacam itu. Toh Ali sepertinya lebih suka bungkam. Pendar-pendar emosi dalam
fiksi telah mengacaukan konstruksi dunia dalam kepala Ali—Zia lebih suka
menggunakan istilah “memberi warna baru”, tapi bagi Ali itu tetaplah
“mengacaukan”. “Gulag¸Solzenitzyn. Malam, Elie Wiesel. History of Love, Nicole Krauss. Terus kalau filmnya… Life is Beautiful…” Zia terus melanjutkan.
“…itu semua ada hubungannya sama Nazi juga.”
“Oh…” Tapi Ali tidak
memiliki ketertarikan untuk melahap semua itu. Mendingan ia langsung baca Mein Kampf.
“…diary-nya Anne Frank… Eh itu nonfiksi loh. Kamu lebih suka
nonfiksi kan? Bersejarah lagi.”
Ali menggeleng seraya
tersenyum—lebih seperti kernyitan. “Yang diary
itu ya?” Sebersejarah apapun buku satu itu, tetap saja itu diary cewek! Ali malas membaca yang
semacam itu.
“Emang kenapa kalau diary?”
Cewek itu seperti tidak
tahu lagi apa yang harus ia katakan. Bukan karena stok judul dalam kepalanya sudah
habis, melainkan bagaimana lagi cara untuk memancing minat Ali?
Terpikir untuk membalas
perhatian cewek itu, sepulang sekolah Ali mampir ke Palasari. Kios buku Mang
Alwi. Ali hendak mencari-cari buku tentang teori konspirasi. Buku, atau
mungkin buku-buku, itu akan ia bawa dalam ranselnya setiap hari, atau disimpan
saja di kolong bangku, sampai cewek itu datang ke kelasnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar