Selasa, 21 Agustus 2012

09

Sebundel kertas meluncur di meja Ali. Ali meng­ang­kat kepala. Cewek itu mengangkat kedua belah ta­ngan­nya. “Sori. Tangan aku licin.” Ali tidak segera me­nyen­tuh bundelan tipis itu. Ia masih terperangah sampai Zia duduk di kursi sampingnya. Buku hijau dimunculkan ce­wek itu kemudian. “Ini makasih.” Ali mengambil buku itu lalu meletakkannya di meja. Zia meraih bundelan ker­tas yang tidak kunjung dijamah Ali. “Ini review-nya,” sam­bung cewek itu. Ali memasukkan buku yang semula ia baca ke kolong bangku. Matanya memindai tulisan pa­da bundelan yang diserahkan Zia. Sesekali ia melirik ke sam­ping saat cewek itu membeberkan rangkuman tu­lis­an­nya. “Aku jadi ngerti. Dari awal emang sistem pen­di­dik­an kita udah enggak oke. Hhh, miris banget jadi bang­sa kita ini. Coba kita dijajah sama Inggris aja. Aku cu­riga, pendidikan sekarang pun masih sekadar untuk me­menuhi kebutuhan pemerintah… dan ah, ya, ke­bu­tuh­an pemilik modal! Terus kapan pendidikan bisa ngeliat ki­ta sebagai individu yang unik, yang berbeda antara sa­tu dengan yang lainnya? Yang bertujuan buat nge­op­ti­mal­in potensi yang ada dalam diri kita? Bukan sekadar un­tuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya materialistis ka­yak gitu? Pendidikan yang memanusiakan?”

Ali tahu, apa yang Zia koar-koarkan sudah me­len­ceng dari intisari buku yang diulasnya ini. Nukilan da­ri buku itu sendiri tidak sampai satu halaman, tapi pe­ngem­bangan kesimpulan yang ditarik Zia hampir men­ca­pai dua halaman. Ali tidak yakin beberapa poin dalam pa­paran ini merupakan pikiran Zia sendiri. Cewek ini ter­pengaruh bacaan apa lagi?

Beberapa kali Ali membolak-balik halaman. Ia se­dang tidak berminat untuk mangangkat pensil dan men­corat-coret sesuatu. Mungkin nanti.

“Nah, aku tuh enggak terdikotomi kan sama fiksi dan nonfiksi? Aku tuh omnivora, pemakan segala ba­ca­an, meski, ya, aku cenderung ke fiksi. Tapi aku masih tuh memahami nonfiksi, kalau enggak kan aku enggak akan bisa nulis review-nya? Jadi kenapa sih kita harus ja­di orang yang picik? Ngebatasin diri cuman sama jenis ba­­caan tertentu aja?”

…dikotomi? Memang cewek itu mengerti apa ar­ti “dikotomi”? Dan lagi, ini cewek kenapa sih? Kok gen­car amat memersuasi untuk doyan fiksi? Penting ya? Di­ba­yar berapa sama PT Fiksi Sejahtera Tbk?

Tapi bagaimanapun juga Ali takjub karena tu­lis­an Zia adalah tulisan yang ia ingin bikin sejak berbulan-bu­lan lalu. Tapi Ali tidak ingat kapan terakhir kali ia mem­buka draf tulisan tersebut, sudah sepanjang apa, in­for­masi apa saja yang sudah ia cantumkan di situ, apakah sudah disertai analisis apa belum, yang sudah ia tulis di sa­na apa saja sih? Dan Ali memikirkan tulisan itu selama ber­minggu-minggu, sebelum mulai mengarang drafnya. Se­dang Zia, sepertinya belum ada seminggu dari sejak ce­wek itu mengambil si buku hijau dari tangan Ali. Bu­ku­nya memang tipis sih. Tulisan Zia juga masih seacak-acak­an sebelumnya. Gagasan tahu-tahu berganti, dan ber­ulang di paragraf berbeda. Kalimatnya panjang-pan­jang. Diksi yang frontal.

“…ini…”

“Buat kamu,” sahut Zia.

Mau minta dicorat-coret lagi? Berani bayar be­ra­pa? Tapi Ali lipat juga bundelan tipis itu, lalu me­ma­suk­kan­nya ke dalam ransel begitu Zia berlalu.

Menjelang sore, setelah Fathim menyetel sederet mp3 untuk menemani Ali yang hendak berkutat dengan kom­puter rumah, Ali membuka draf tulisannya yang mem­bahas buku yang sama, yang dibandingkan dan di­leng­kapi dengan beberapa buku lain yang serupa. Se­men­tara arsip tersebut terbuka, terpampang begitu ken­ta­ra di depan mukanya, Ali mencermati tulisan Zia dengan sak­sama. Kata demi kata. Ia lupa mengambil pensil, jadi ia sekadar memungut remah-remah informasi yang ber­se­rakan dalam tulisan itu, sekaligus menandai dalam ingat­an bagian mana saja yang nanti bakal ditimpa co­ret­an­nya.

Usai dengan tulisan Zia, Ali ganti mencermati draf­nya. Ada perbedaan gaya yang kontras. Gagasan-ga­gas­an miliknya lebih runut tentu saja, terkelompokkan se­cara padu dalam paragraf-paragraf yang padat in­for­ma­si. Kata-kata tertata sedemikian rupa, menghasilkan  rang­­kaian kalimat yang tidak bikin ngos-ngosan saat di­ba­ca. Ali cukup puas dengan kelugasan cara pe­nyam­pai­an­nya. Yang bikin ia tidak puas adalah panjang tulisan itu hanya setengah halaman.

Lebih baik menulis kacau tapi selesai, apa me­nu­lis baik sejak awal tapi tidak selesai-selesai?

.

Begitu bel tanda jam istirahat dimulai, Ali se­ka­dar iseng bertanya pada cewek yang duduk di bangku de­pannya. Kenal Zia enggak? Kelas berapa sih dia? Ja­wab­an cewek itu membuat Ali tidak tahan duduk lebih la­ma di bangkunya. Kali ini ganti ia membawa lembaran ker­tas yang distaples ujungnya, sebagai bekal untuk me­nyam­bangi kelas yang tidak pernah ia masuki se­be­lum­nya. XII IPA 8.

Memasuki kelas XII IPA 8, Ali menyadari betapa pen­cahayaan di kelasnya sendiri lebih memadai. Cewek itu baru saja hendak bangkit dari bangkunya, yang nyaris per­sis di tengah kelas. Teman-temannya disuruhnya per­gi duluan, sementara ia duduk kembali sedang Ali meng­ham­piri. Tangan Ali tidak licin, tapi dengan mantap me­nem­pelkan bawaannya di meja Zia.

Ali duduk di kursi samping Zia. Beberapa anak la­gi yang keluar dari kelas itu. Riuh di luar, tapi senyap mu­lai mengambang di dalam. Ruangan mendadak terasa sa­ngat lapang, hanya mereka berdua di sana. Zia mem­bi­su selagi meninjau tulisan yang dibawa Ali. Ali jadi me­ra­sa agak tegang.

“Tumben enggak istirahat bareng Regi.”

“Enggak juga kok. Aku kan ke sana cuman pas si Re­gi mau balikin atau pinjem buku aja.”

Ali memandang Zia sedikit-sedikit. Masak iya, se­pertinya Zia sering sekali bertandang ke XII IPS 1. Mung­kin karena Regi begitu cepat menamatkan bacaan da­ri Zia?

Pandangan Ali kemudian beredar ke arah papan tu­lis. Rumus-rumus bertebaran di sana. Begitu asing. Ali su­dah lupa bagaimana cara memahaminya. Fisika tidak me­mancarkan aura bersahabat dengannya, sejak awal me­reka jumpa.

Ali menggaruk-garuk kepala, menyeruak se­jum­put-sejumput rambutnya, sekadar biar ada kegiatan. Apa ce­wek ini tidak bisa membaca lebih cepat? Apa cewek ini tahu bagaimana cara membaca cepat? Yang Ali bawa bu­kan tulisan fiksi, tidak usah dibaca per kata. Tangkap du­lu gagasan-gagasan pokoknya. Tinjau apa yang hen­dak disampaikan dalam tulisan itu. Barulah baca dengan sak­sama. Resapi informasi-informasi yang terkandung di da­lamnya. Mungkin cewek itu juga perlu juga diajari ru­mus membaca cepat, di samping rumus kecepatan dalam ru­ang hampa udara.

Lagipula tulisan itu cuman empat halaman kok.

Zia menatap Ali dalam bingung. “Ini kok…” Ia mem­bukai halaman demi halaman sekali lagi. Agak lama di halaman terakhir. Menoleh ke arah Ali lagi. Tangan yang memegang tulisan itu jatuh ke pangkuannya. “Ka­yak tulisan aku, yang kemarin aku kasihin ke kamu itu loh. Tapi kayak bukan aku yang nulis…”

Ali tidak segera merespons. Mana ada Zia cuman omong pendek?

“Kesannya tuh kayak… lebih simpel. Enggak ta­hu di mananya. Padahal kayaknya materi di tulisan ini tuh lebih banyak dari yang kemarin aku tulis.” Zia me­nyi­bak lagi halaman terakhir. “Tuh, referensinya juga eng­gak cuman dari buku kamu itu aja, tapi dari… satu… dua… tiga… yah, tapi kok ya enggak sekalian di­can­tum­in penulisnya siapa sih?” Zia kembali ke halaman per­ta­ma. Ali teringat tulisan Zia kemarin, memang Zia pun men­cantumkan namanya di akhir tulisan. Cuman (#zia#), ta­pi tetap sebuah identitas. Penting ya? Ali bertanya-ta­nya, meski sadar kemudian kalau tanyanya itu sendiri ti­dak penting untuk dibahas lanjut.

“Itu tulisan kita berdua.”

Mulut Zia sebulat matanya.

“Kesannya lebih simpel ya? Kalimat-kalimat ka­mu saya pendekkin, terus gagasan-gagasan kamu saya ta­ta ulang. Misalnya…” Ali teringat kalau ia terlupa mem­bawa tulisan Zia kemarin, yang sudah dipenuhi co­ret­an-coretan pensilnya. “Saya lupa bawa tulisan kamu ke­marin. Kapan-kapan aja ya… Terus selain itu, saya leng­kapin lagi sama sumber-sumber lain. Kalau mi­sal­nya di tulisan kamu kemarin itu kamu ada sumber-sum­ber lainnya juga, bagus juga kalau kamu tambahin.”

“Oh iya… Aku suka baca buku-bukunya Eko Pra­setyo sih. Tapi ya sekilas-sekilas aja. Aku enggak inget yang aku masukin ke sini tuh dari bukunya yang ma­na. Aku malas buka-buka lagi…”

Ali mengangkat bahu. Kalau Ali jadi Zia, Ali ti­dak akan membiarkan itu terjadi. Kalau perlu ia akan mem­baca ulang setiap buku yang pikiran di dalamnya ia co­mot. Biarpun seseorang bernama Patrick Delany me­nga­takan bahwa pikiran yang sudah jadi kata-kata bukan la­gi milikmu sendiri, tapi bagi Ali adalah menarik jika bi­sa menelusuri pemilik sejati suatu pikiran—bahkan ji­ka pikiran tersebut sudah menjadi pikiran yang umum.

“Tapi ada beberapa pilihan kata kamu sih, yang eng­gak saya ganti. Misalnya… Ini, ‘naif’…” Ali me­nun­juk kata yang kebetulan terbaca. Matanya mencari-cari la­gi di halaman yang diperlihatkan Zia. “’jomplang’, te­rus… yah, ada beberapa lagi. Yang jelas kamu banyak pa­kai kata sifat kan. Ada kesan ‘berasa’-nya gitu. Eks­pre­sif. Cuman gimana ngeletakinnya ke konteks kalimat aja, biar ngena gitu…”

“Naaah, itu kan karena aku banyak baca fiksi!” se­ru Zia semringah. Sepertinya ia sudah tidak men­de­ngar­kan kata-kata terakhir Ali. “Di fiksi kan diksinya le­bih kaya. Aturan bikin kalimatnya juga enggak kaku ka­yak di nonfiksi. Makanya baca nonfiksi tuh bikin ngan­tuk. Kata-katanya kering, kurang punya ‘rasa’…”

Dasar cewek labil, kemarin ia mengimbau-imbau su­paya tidak ada dikotomi antara fiksi dan nonfiksi. Tapi Ali kalem saja menyimak kelanjutan pembanding-ban­ding­an Zia itu. Bukannya ia tidak tahu kalau nonfiksi ti­dak mesti seperti itu. Tapi dalam konteks pembanding-ban­dingan seperti ini Ali bisa maklum kalau argumen yang dikemukakan mesti ekstrim. Biar cewek itu puas du­lu deh, baru disadarkan.

“Nonfiksi bisa cair juga kok. Di jurnalistik mi­sal­nya, ada istilah softnewsfeature. Gaya penuturannya le­bih mengalir, bahkan cenderung sastrawi…”

“Tapi katanya feature beda sama jurnalime sas­tra­wi?”

“Bedanya apa?” Ali mengubah posisi duduk se­hing­ga lebih menghadap Zia.

“Kalau jurnalisme sastrawi tuh lebih kayak cerita gi­tu. Ada pelaku dan kejadian. Kalau feature mah eng­gak, cuman sekadar, yah, informasi kayak di berita aja, ta­pi gaya penyampaiannya lebih nyantai. Bahasanya eng­gak seketat hardnews.”

Cewek ini rupanya ngeh juga dengan dunia jur­na­listik. Aktif di LEMPERs cuman setengah tahun per­ta­ma loh. Sepertinya memang masih banyak bacaan lain di per­pustakaan dalam kepala Zia yang belum ter­i­den­ti­fi­ka­si oleh Ali. Cewek itu terus-terusan menyebut Truman Ca­pote, wartawan di Amerika Serikat yang pernah meng­usung genre novel nonfiksi. Anak-anak LEMPERs sa­ja belum tentu mengulik dunia jurnalistik sampai se­ja­uh itu. Sepertinya mereka cuman tahu berburu materi un­tuk dipajang dalam mading maupun majalah semesteran.

Jam istirahat besoknya, ganti Zia yang me­nyat­roni kelas Ali. Tangan Zia masih licin. Dua buku lu­ma­yan tebal terhempas di meja Ali. Di bawah meja kaki Ali ber­jengit, sementara matanya tertuju pada judul-judul yang terpampang. Buku berwarna hijau butek berjudul In Cold Blood, sedangkan yang berdasar warna putih de­ngan merah di beberapa bagian berjudul Jurnalisme Sas­tra­wi.

“Ih Ziaaa… Mau pinjem…” terdengar seruan Re­gi. “…entar ya, habis Ali…”

Ali mendongak. Muka Zia di atas kepalanya, ter­se­nyum lebar. “Bawa pulang aja. Balikin kalau udah se­le­sai.”

.

Ini rangkaian fakta. Tapi seperti membaca fiksi. Ma­ta Ali jadi terasa lebih lekat ke kertas, tanpa ia sendiri ke­hen­daki. Tidak ringan lagi bagi mata untuk loncat dari sa­tu gumpalan informasi ke informasi lain. Kata-kata se­la­in itu bukan sekadar jadi penyambung antar informasi, ta­pi juga membangun suasana. Ada lintasan imaji yang ber­jalan di dalam kepala Ali.

Baru setelah dua minggu Ali mengembalikan dua bu­ku itu pada Zia. Itupun ketika kebetulan Ali melihat Zia melintas di depan kelasnya, lewat jendela, cewek itu se­dang tidak mampir.

“Eh bikin yang kayak gini yuk.”

Cewek itu tertawa.

“Harus banyak-banyak baca fiksi dulu tuh…”

“Males ah…”

“Truman Capote aja enggak cuman bikin novel non­fiksi loh, tapi bikin novel beneran juga… Breakfast at Tiffany’s, mau pinjem?”

Ali menggeleng.

“Ya udah.”

Ali agak berat ditinggal cewek itu dengan per­cu­ma. “Ada rekomendasi enggak?” sahut Ali, Zia pun ber­ba­lik lagi.

“Hm… Apa yah? Mau buku-buku yang kayak gi­ni lagi?”

Ali mengangkat bahu. “Terserah.”

Sebisa mungkin yang tipis, yang simpel, dan ter­se­dia di balai bacaan atau kios buku Mang Alwi karena Ali tidak mau beli. Tapi sepertinya perbendaharaan Zia men­cakup buku-buku relatif baru, jadi Ali ragu juga. Ba­ik­lah, nanti Ali akan mengorek-ngorek sendiri di rumah. Agak malas sebetulnya, mengingat fiksi-fiksi lapuk se­per­ti apa yang bakal ia temukan nanti. Sejak membaca bu­ku-buku Zia, Ali merasa bak membaca dengan pen­ca­ha­yaan lampu neon. Mungkin karena buku-buku itu re­la­tif baru. Biasanya Ali membaca buku-buku dengan ha­la­man menguning, apek meruap—apapun yang sudah ter­se­dia di rumah pokoknya. Dan kini membaca buku-buku se­macam itu bak membaca dengan pencahayaan lampu re­mang-remang.

 “Tapi aku belum nyari lagi euy buku kayak gi­ni­an mah…” Zia menimang-nimang kedua bukunya itu, se­akan itu caranya untuk memperlancar pikiran. Ke­pa­la­nya mendongak lagi ke arah Ali. “Maunya yang kayak gi­mana…”

“Yang gampang ngabisinnya.”

Muka Zia berkerut. Mungkin menerawang fiksi ma­cam apa yang sesuai dengan kepribadian Ali. “Ya udah aku cari-cari dulu ya.”

Besoknya Zia mengantarkan The Little Prince ke me­ja Ali. Ali membaca buku tersebut sepulang sekolah. Ku­rang dari dua jam yang Ali butuhkan untuk meng­ha­bis­kan buku tipis itu, seperti bacaan untuk anak-anak. Ta­pi seingat Ali cerpen-cerpen di Bobo tidak bernuansa se­muram ini. Benarkah ini bacaan untuk anak-anak? To­koh­nya sih anak-anak, si Pangeran Kecil, tapi—apa pen­ting­nya memusingkan dunia rekaan seperti ini sih? Ali se­gera beralih bacaan, melanjutkan Kamus Jawa Kuna yang tersendat-sendat.

“Apa sih ini, ceritanya sedih gini?” Ali me­lun­cur­kan The Little Prince ke meja di antara Zia dan Regi. Se­te­lah beberapa hari, akhirnya cewek itu bertandang lagi ke XII IPS 1. Ali malas kalau sengaja mencari-cari ce­wek itu hanya untuk mengembalikan buku.

“Oh. The Little Prince ya…” Regi meraih buku ti­pis tersebut, membolak-balik halaman, berhenti di ha­la­man tertentu, lalu membaca.

“Kalau menurutku itu enggak cuman sekadar ce­ri­ta sedih. Tiap unsur dalam cerita itu pasti me­nyim­bol­kan sesuatu. Kayak bunga, contohnya, kalau yang aku per­nah baca sih…”

“Eh Zia, boleh pinjem lagi enggak?” ucapan Regi me­motong ocehan Zia. Dalam hati Ali bersyukur suara cem­preng itu tidak bakal menghabiskan sisa jam is­ti­ra­hat­nya, yang seharusnya damai—boleh mengoceh, asal ter­struktur, asal bukan kepada Ali.

Sok aja,” sambut Zia. “Ali mau pinjem lagi?” ka­li ini pada Ali.

“Jangan yang sedih-sedih…” Ali baru mulai mem­buka Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam yang ia pinjam dari seorang anak DKM di atas me­ja. Ia sudah menyerah dengan Kamus Jawa Kuna. “Apa kek, Lupus kek, yang ringan, yang tipis…” lanjut Ali, le­bih terdengar seperti gerundelan pada diri sendiri alih-alih untuk Zia.

Lagipula Zia memang tidak mendengarkan. Be­sok­nya ia membawakan Ali The Boy in the Stripped Pyjamas. Ali melirik buku tipis dengan sampul setrip-se­trip bak motif selimut itu. Ia membuka-buka buku itu, me­mindai gaya bahasa di dalamnya sekilas. Seperti buku anak-anak juga. Buku anak-anak yang serius. Ali mulai ber­asumsi. Anak-anak dijadikan komoditas oleh para pe­nu­lis fiksi, tidak lain sebagai selubung dalam me­nyam­pai­kan peliknya kehidupan dewasa. Dua hari yang Ali bu­tuhkan untuk menghabiskan buku Zia kali ini, asum­si­nya kian nyata.

“Ini cerita tentang Nazi ya?” kata Ali saat Zia mam­pir ke XII IPS 1 lagi. Ali lebih suka membawa buku Zia berhari-hari dalam ranselnya, dan menanti ke­da­tang­an Zia di kelasnya, alih-alih menghubungi langsung ce­wek itu kalau memang ingin segera mengembalikan. Ali sa­ma sekali tidak terpikir untuk memanfaatkan kontak Zia di ponselnya. Sebaris nomor yang hanya sekali wak­tu ia acap sentuh, saat mengurus tulisan Zia tentang kong­kalikong UN kapan itu.

“Gimana?” respons Zia, barangkali Ali ter­pan­cing untuk mengungkapkan lebih banyak pembacaannya ter­hadap novel tersebut.

Ali tidak mau bilang. Perasaannya masih tidak ke­ruan, karena memikirkan nasib anak dalam novel ter­se­but yang berakhir tragis.

“Novel ini ada filmnya loh. Difilmin sama BBC. Yang main jadi ayahnya tuh yang jadi Lupin di Harry Pot­ter,” kata Zia lagi. Ia tidak mengindahkan apakah Ali me­mang tertarik dengan wawasan semacam itu. Toh Ali se­pertinya lebih suka bungkam. Pendar-pendar emosi da­lam fiksi telah mengacaukan konstruksi dunia dalam ke­pa­la Ali—Zia lebih suka menggunakan istilah “memberi war­na baru”, tapi bagi Ali itu tetaplah “mengacaukan”. “Gulag¸Solzenitzyn. Malam, Elie Wiesel. History of Love, Nicole Krauss. Terus kalau filmnya… Life is Beautiful…” Zia terus melanjutkan. “…itu semua ada hu­bungannya sama Nazi juga.”

“Oh…” Tapi Ali tidak memiliki ketertarikan un­tuk melahap semua itu. Mendingan ia langsung baca Mein Kampf.

“…diary-nya Anne Frank… Eh itu nonfiksi loh. Ka­mu lebih suka nonfiksi kan? Bersejarah lagi.”

Ali menggeleng seraya tersenyum—lebih seperti ker­nyitan. “Yang diary itu ya?” Sebersejarah apapun bu­ku satu itu, tetap saja itu diary cewek! Ali malas mem­ba­ca yang semacam itu.

“Emang kenapa kalau diary?”

Cewek itu seperti tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan. Bukan karena stok judul dalam kepalanya su­dah habis, melainkan bagaimana lagi cara untuk me­man­cing minat Ali?

Terpikir untuk membalas perhatian cewek itu, se­pu­lang sekolah Ali mampir ke Palasari. Kios buku Mang Al­wi. Ali hendak mencari-cari buku tentang teori kons­pi­rasi. Buku, atau mungkin buku-buku, itu akan ia bawa da­lam ranselnya setiap hari, atau disimpan saja di kolong bang­­ku, sampai cewek itu datang ke kelasnya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain