Jumat, 31 Agustus 2012

19

Sejak kapan materi pelajaran bisa jadi pelarian? Se­jak ada pikiran yang lebih menggelisahkan. Hasil UN Ali nanti mestinya sangat memuaskan. Barangkali pi­kir­an bisa diurai melalui tulisan, tapi bagaimana dengan pe­ra­saan? Pikirkan terus perasaan itu hingga tidak terasa la­gi sebagai perasaan, melainkan sugesti pikiran. Se­nang­nya bisa menjadi orang yang rasional. Ali cuman bu­tuh waktu beberapa hari untuk itu. Lagipula selama se­minggu lebih ia bertemu Zia. Tali tambang yang sem­pat membelit dada hingga mencambuki pikirannya ber­ang­sur-angsur lepas. Hidup memang lebih lega tanpa as­mara. Tuh. Namanya saja sudah ASMA-ra, pantas saja bi­kin sesak napas.

Maka selama minggu persiapan UN, Ali bukan ha­nya mendalami pelajaran yang di-UN-kan, melainkan ju­ga pelajaran kehidupan. Ali bahkan membuat sebuah ke­rangka pikir, yang semula ia pikir baik untuk dibagi di blog. Tapi bagaimana kalau Zia baca, lalu pikiran cewek yang tengah diliputi hal-hal berhubungan lawan jenis itu me­nyerempet pada… Maka Ali simpan saja langkah-lang­kah praktisnya ini:

1. Menyukai lawan jenis adalah wajar, menandakan ka­lau ia heteroseksual—normal.

2. Ombak tidak bakal pasang di samudra hati Ali se­la­ma ia tidak bertemu—apalagi sampai  mengobrol!—de­ngan cewek itu.

3. Kalaupun Ali memang suka, apa Ali harus membuat per­nyataan pada Zia? Kalaupun Ali berhasil mem­bu­at pernyataan, selanjutnya apa?

  •      Ali—Anwar—salah sangka. Zia ternyata tidak me­miliki perasaan yang sama pada Ali. Zia akan men­jauhi Ali sebagaimana cewek itu menjauhi Ka­mal. Ali mungkin siap menanggung risiko apa­pun sebagai seorang wartawan kelak, tapi se­ba­gai cowok yang lembut hati ia tidak siap me­nang­gung risiko dihinakan Zia.
  •      Zia ternyata memang memiliki perasaan yang sa­ma pada Ali! Setelah itu apa? Apa mereka malah ja­di malu-malu satu sama lain? Ali tidak berani pe­gang tangan Zia, apa Zia yang bakal ber­ini­si­a­tif untuk memegang tangannya duluan? Apa me­re­ka bakal membuat janji bertemu, selain di XII IPS 1 dan perpustakaan, selain mem­bicarakan bu­ku dan tulisan? Lalu apa yang bakal mereka bi­ca­rakan? Lalu apa yang bakal mereka lakukan se­te­lah pegangan tangan? Ali tidak terbayang. Apa­kah ia butuh hal-hal semacam itu? Apa ia butuh ce­wek itu agar selalu di sampingnya? Apakah bu­kan­nya ia malah jadi menciptakan bentuk ke­ter­i­kat­an—ketergantungan—baru? Apakah ia harus se­lalu membayari Zia kemanapun mereka pergi, se­dang untuk biaya kuliah saja Ibu sampai me­ngor­­bankan buku-bukunya sendiri? Ali tidak pa­ham prosedur pacaran semacam itu—pa-car-an, huh, kata yang sangat jarang muncul dalam be­nak Ali, buang saja dari perbendaharaan!

4. Kesimpulan: Ali tidak butuh-butuh Zia amat. Belum. As­mara adalah suatu jenjang yang masih terlampau ja­uh untuk disentuh.

Gejolak ini bisa Ali redam. Tidak ada satu hal pun yang mesti Ali sampaikan pada cewek itu. Tidak ada yang perlu dipikirkan.

Tapi sepulang UN hari pertama, dalam per­ja­lan­an menuju gerbang sekolah, Ali berjumpa cewek itu. Ber­jalan sendiri dengan tangan kanan melipat lembaran ker­tas soal. Dekati. Jangan. Dekati. Jangan. Sembari mem­pertimbangkan itu, langkah Ali menjadi lebih cepat hing­ga dapat menjajari cewek itu. Mendadak ia jadi ingin. Ingin cewek itu datang lagi ke rumah, mengenal le­bih dalam adik-adik dan opungnya, biarpun balai ba­ca­an sudah tidak ada. Ingin cewek itu mengunjunginya se­ti­ap Minggu dan liburan di kios Mang Alwi, lalu mem­ba­has setiap buku yang ada di sana. Ingin cewek itu me­nu­kar buku-buku miliknya dengan buku-buku milik Ali, bi­arpun terbatas, lalu semakin tercengang akan per­be­da­an selera mereka. Ingin cewek itu menyodorkan tulisan-tu­lisannya secara kontinyu, memberikan Ali kepuasan da­lam mencoret dan berolok. Ingin cewek itu terus me­nyun­tikkan inspirasi padanya, untuk tetap menulis tanpa pe­duli sekacau apapun hasilnya. Ingin, ingin tahu, apa di­rinya memang pantas untuk menerima perasaan se­ma­cam itu dari seorang cewek. Setelah itu, setelah ke­pas­ti­an itu, Ali akan bilang. Selanjutnya terserah kamu, Zia, ka­rena Ali tidak tahu, barangkali Zia lebih tahu, seperti bi­asa, dan akan memberitahu Ali bagaimana caranya.

Bukankah kejujuran itu penting, Zia?

Cewek itu masih memandangi Ali. Setelah sapa, ba­sa-basi, lalu cowok ini tidak memberi gelagat kalau in­ter­aksi bakal dihentikan. Melainkan digantung.

“Kita…” Apakah ini sudah malam takbiran? Meng­apa beduk sudah digebuk bertalu-talu? “Kita…” Apa­kah ada cermin? Ali ingin melihat seberapa pucat wa­jahnya kini. “Kita…”Ali butuh alat bantu dengar, un­tuk memastikan suara yang ia keluarkan masih bernada da­tar. “Kita…” Ali juga benar-benar butuh kacamata ba­ru, karena di kacamata yang ia pakai kini masih me­nem­pel wajah Setta. “Kita…” Ali ingin menangis. Setta ha­nya tersenyum waktu itu, setelah mengandaskan nyali Ali untuk selama-lamanya, tapi Zia mungkin akan buang mu­ka, dan tidak sudi menengok Ali untuk selama-la­ma­nya.  “Habis UN kita mungkin bakal jarang ketemu.”

“Hm… Iya…?”

Sudahlah, Ali. Kamu tidak mungkin bisa. Atau co­ba lain kali saja. Lihat, cewek itu sudah jalan lagi. Mu­ka­nya tak sabaran. Mungkin ia sudah membaca mak­sud­mu, Ali, dan ia tidak mau, hahaha.

Ikut jalan lagi, Ali mengiyakan, ia tidak suka Zia—tidak sesuka itu. Tidak perlu memaksakan perasaan itu agar makin menggebu-gebu. Toh ini akan segera ber­la­lu, segera, setelah ia tidak bertemu cewek itu lagi un­tuk waktu yang lama. Ia sudah tidak sabar, ingin segera sam­pai ke masa tersebut. Tidak ada yang perlu di­sam­pai­kan, tidak penting, tidak lebih penting dari, “Terus me­nu­lis ya Zia.”

Pandangan Ali menekuri jalan. Ekor matanya me­nangkap wajah Zia terarah padanya, tapi ia tidak be­ra­ni berpaling.

“Iya. UN dulu tapinya, praktik, SNMPTN, huh…”

Hening di antara mereka terisi oleh riuh anak-anak lain. Masih saja soal-soal UN dipersoalkan, seolah ti­dak cukup yang di ruang ujian tadi.

“Kenapa… kamu bakal ngerasa kehilangan aku ya?”

…eeh…

Jawab, Ali! Katanya kejujuran itu penting, makan tuh jujur!

Gempa… gempa… 9,99 skala Richter! Asma Ali pun kambuh, jenis asma yang tak mempan diatasi in­haler, namanya ASMA RA!

“…kesepian, enggak ada tulisan-tulisan aku lagi. Hihihi… Tenang aja, baca aja di blog aku, komenin, en­tar aku update terus deh…”

Enggak usah dijawab, enggak usah dijawab. Ali te­rus-menerus bilang pada dirinya sendiri kalau ia tidak su­ka cewek itu—tidak sesuka itu.

“Kamu? Kan biasanya kamu yang nyamperin sa­ya?” Ah enaknya omong tanpa dipikir dulu! Yeah! Ba­las, langsung balas! Ali mengharapkan Zia lekas-lekas me­nampik, lalu Ali akan langsung melawannya lagi, ja­ngan beri Ali kesempatan untuk berpikir, Zia, jangan… Ta­pi Zia terdiam. Cukup lama untuk memporak-po­ran­da­kan lagi bagian dalam dada Ali. Bagaimana sekiranya ce­wek itu betulan bilang? Jadikah Ali balas me­nga­ta­kan­nya juga? Susunan katanya harus seperti apa? Cukupkah de­ngan subjek, predikat, dan objek? Perlu ditambah de­ngan kata keterangan lain tidak? Anak kalimat, ba­rang­ka­li? Bagaimana mengembangkannya hingga menjadi se­buah paragraf—perlukah?

“Jujur.” Cewek itu menatap Ali. Tinggal tiga me­ter lagi gerbang sekolah, langkah cewek itu berhenti. “Aku enggak tahu entar bisa ketemu orang kayak kamu la­gi apa enggak.”

Wah.

“Aku seneng sama kamu.”

Wah.

Bagaimana ini, bagaimana Ali balas me­nga­ta­kan­nya pada Zia? Ia tidak mungkin mengulang kata-kata Zia mes­ki memiliki maksud yang serupa, kan? Itu plagiat na­ma­nya. Larangan terbesar dalam dunia penulisan! Kalap. Ali mengobrak-abrik perbendaharaan katanya, mencari ka­ta yang tepat. Belum ketemu juga! Mungkin memang Ali harus baca teenlit sesekali, mempelajari bagaimana to­koh cowok mengungkapkan perasaannya pada tokoh ce­wek.

“Kamu baik. Enak aja gitu, pas ngejelasin, meski su­ka ngotot juga. Aku jadi lebih ngerti tentang EYD, tata ba­hasa, yang gitu-gitulah!”

Oh.

“Tapi sayang kamu enggak suka fiksi, padahal aku lebih minat ke sana.”

Oh. Oh. Oh.

“Kayaknya passion aku bukan di nulis sih, cu­man seneng baca doang… Tapi karena kamu mau nang­gep­in terus, aku jadi semangat aja.”

Terus… Terus… Terus apalagi Zia? Kenapa ka­mu malah lanjut jalan? Kamu bahkan sudah melewati ger­bang, aduh, apa kamu bakal berhenti di pinggir jalan dan menunggu Ali lagi? Biar kesannya dramatis, begitu? Ta­pi Ali keburu mengejar Zia dengan langkah-langkah pan­jang. Terus… Terus… Terus apalagi Zia? Masih Ali ber­tanya-tanya begitu dalam hati, ia harap gemanya bisa sam­pai ke benak Zia. Itu saja? Itu saja arti kehadiranmu di XII IPS 1? Itu kamuflase kan? Bukannya kamu ma­ni­pu­latif? Bukannya kamu sengaja ingin menengok Ali, ta­pi inginnya sembunyi-sembunyi? Jujur itu penting, Zia! Ka­mu yang bilang sendiri. Aku ini Ali, bukan Pak Bo­wo, kamu bisa bicara seblak-blakan apapun, semuamu, se­bebasmu, sesukamu! Katakan saja sekarang, kamu su­dah hampir!

Namun sedemikian Ali berkoar-koar, itu hanya da­lam batin, karena dalam lisan yang keluar malah, “UN ta­di gimana, Zia?”

Cewek itu sudah serong kiri. Dua kali serong ka­nan dan hinggap lagi tatapannya di muka Ali. “Hari ini pa­yah. Untung ada yang sms kunci jawaban tadi. Udah ya, aku pingin cepet pulang nih, biar banyak waktu buat be­lajar. Dah…” Ia melambaikan tangan. Ekor kudanya yang dikuncir asal-asalan itu bergoyang-goyang, saksi ke­termanguan Ali.

Kenapa? Bukankah jujur itu penting, Zia?

 

Jelang enam tahun setelah itu

Anwar menabok punggung Ali keras-keras. Me­nam­bah siksa bagi Ali, yang lagi mandi keringat di balik bes­kapnya. Wajahnya gatal dan berat. Ia masih tidak ha­bis pikir kenapa mempelai pria harus dirias juga. Ia tahu mem­pelai wanitanya juga tidak betah, sempat dengar ce­wek itu jerit-jerit di ruang sebelah tadi saat mereka se­dang sama-sama didandani. “Jangan tebel-tebel! Argh! Pa­hit!” Prosesi selesai, perempuan itu tidak mengenali la­gi wajahnya di cermin, pun Ali. Tapi memang pe­rem­pu­an itu jadi betulan cantik setelah didandani.

“Tadi bedaknya kemakan ya?” ledek Ali, meski pe­rempuan itu tetap cemberut. Biar cemberut tetap saja can­tik, kosmetiknya pasti sudah dijampi-jampi.

Kini masih ada satu jam lagi sebelum resepsi di­lang­sungkan. Kawan-kawan yang hadir langsung me­nyer­bu begitu ijab kabul rampung tadi. Kawan-kawan da­ri unit persma, kawan-kawan dari jurusan, kawan-ka­wan dari SMA… Para personil sixsweets+ sudah cantik be­tul-betul—kompak bergaun batik, riasan segar, dan ram­but yang baru ditata di salon—tapi masih lebih can­tik istri Ali, menurut Ali.

“Bos… si bos… kita-kita udah pada siap nyanyi nih buat si bos…” Tinggal Nilam dan Sheila yang masih do­yan menarik-narik tangan Ali, sedang yang lain sudah le­bih anteng. Indah kalem-kalem saja, Titew masih do­yan kipas-kipas, Fika yang tomboi telah berjilbab, Rieka ko­non sudah putus dari si Dendeng, sedang Lindung meng­gandeng seorang cewek—alhamdulillah.

“Ngomong aja tuh sama bude-budenya si Zia!” ser­gah Ali. Segala pernak-pernik perayaan beradat Jawa ini para wanita itu yang menyiapkan, sedang mama Zia su­dah tiada sejak Zia SMP, papanya cuman tahu beres agak­nya. Ali juga sudah tahu adik Zia yang cuman satu dan tidak lucu. Baru dua bulan tinggal di California un­tuk melanjutkan studi, sudah disuruh papanya pulang de­mi menghadiri pernikahan kakaknya.

 “Pengantin laki-laki, ke mobil yuk,” terdengar su­ara kakak sepupu Zia memanggil.

Akhirnya bisa beranjak juga dari teras masjid ini—dari handai tolan yang mengerubunginya terutama. Ali tidak tahu ia merasa gerah karena terbakar ke­gu­gup­an atau hawa Bandung memang makin panas. Ijab kabul su­dah lewat… sudah lewat… Ali mengulang-ulang itu da­lam batin. Degung gamelan sudah mengiang-ngiang da­lam kepala Ali, padahal pelaminan masih sekian ki­lo­me­ter lagi. Susah pula berjalan dengan kain. Aroma rang­kaian melati yang mengalunginya ini memabukkan. Se­sekali matanya memicing demi memperjelas jalan me­nu­ju mobil, awas ketabrak, Ali tidak pakai kacamata! Me­nurut salah satu bude Zia, mempelai pria terlihat lu­ma­yan tanpa kacamata. Ali malah disarankan untuk meng­ganti kacamata dengan lensa kontak, Ali ogah. Ali ingin minta dikipasi oleh Titew, mau tidak ya? Kok An­war masih mengekor di samping begini sih? Mana jarak da­ri teras ke mobil berhias pita-pita dan bunga itu masih ja­uh pula.

“Akhirnya lu berani bilang juga ke si Zia?”

“Bilang apa?”

“Alah… apa kek, ai shiteru, ich liebe dich, je t’aime, gitu dong!”

“Enggak. Enggak ada yang gitu-gitu.”

“Alah!”

“Kalau udah jodoh mah emang enggak bakal ke ma­na, An…”

Ali memang tidak pernah bilang. Bahkan ketika me­reka dipertemukan lagi di unit persma, biarpun tidak sam­pai setahun Zia sudah mangkir. Bahkan ketika me­re­ka mendapat tugas liputan bareng, sekali. Bahkan ketika me­reka bertemu sekadar untuk tukaran buku, sesekali. Bah­kan ketika mereka bisa berboncengan di motor butut Ali, lalu Zia memanfaatkan Ali untuk mengantarnya ke sa­na ke mari. Bahkan ketika Ali berhasil mengatakan, “Ka­mu manis sekali hari ini, Zia,” dalam bahasa Batak dan Zia tidak mengerti. Bahkan ketika perempuan itu mem­belikan helm mahal untuk Ali, saking prihatin de­ngan helm Ali yang sudah buluk. Bahkan ketika mereka su­dah semakin jarang bertemu, karena Ali terlalu sibuk ber­buru pengalaman dan penghasilan, sedang Zia entah te­ngah menclok ke dunia mana—tak ada lagi tulisan Zia la­gi yang mampir ke muka Ali, sedang Ali semakin giat me­nulis kacau, menatanya, lalu mengirimkannya ke me­dia. Bahkan ketika akhirnya Ali melihat Zia lagi, dan se­ke­tika rindunya meluap, Ali ke kampus hendak me­le­ga­li­sa­si ijazah, sedang Zia masih harus memperdebatkan draf skripsinya dengan dosen pembimbing.

“Kayaknya kemampuan menulis aku nurun. Dulu aku bisa nulis apa aja sampai panjang banget, sekarang di­kit-dikit mandek.”

“Bukan kemampuan nulis kamu yang nurun, Zia. Ta­pi kemampuan ngedit kamu yang ningkat. Kalau dulu cu­man kemampuan nulis kamu yang jalan, sekarang sam­bil nulis kemampuan ngedit kamu jalan juga.”

“Heh, bisa aja…”

Bahkan ketika Ali mulai sering menghentikan mo­tornya di depan rumah perempuan itu, mengetuk kaca jen­dela kamar perempuan itu dengan kerikil, lalu meng­a­jak bermotor sore-sore, sekadar untuk melipur kebuntuan Zia dalam mengerjakan skripsi. Bahkan ketika Ali sudah bi­sa membelikan sebungkus kue cubit dan sebatang es li­lin untuk perempuan itu di Tegallega—Ali sudah digaji se­buah harian nasional sekarang. Bahkan ketika pe­rem­pu­an itu menodong Ali meski dengan nada bercanda, “Kamu ngajakin jalan-jalan terus, sebenarnya mau nga­jak­in nikah ya?”

Ali tidak menjawab. Ali cuman bilang pada Ibu, se­sampainya ia di rumah, kalau ia ingin menikah. Baik pi­lihanmu itu, Ali? Insya Allah, Bu. Ibu pun bilang pada Mang Alwi. Mang Alwi bilang pada papanya Zia. Pa­pa­nya Zia bilang pada putrinya. Putrinya tidak bilang apa-apa pada Ali, hanya kepada papanya konon ia bilang, “Mau.” Setelah itu Mang Alwi dan Ibu berdiskusi de­ngan papa Zia dan saudara-saudara tua Zia lebih intens da­ripada diskusi yang biasanya antara Ali dengan Zia.

Zia hanya mengonfirmasikan, kamu teh serius mau nikah sama saya?

Daripada enggak sama sekali, kata Ali. Se­ba­gai­ma­na jawaban yang ia berikan pada keluarganya, ketika me­nanyakan keinginannya untuk menikah dini. Kelakar Opung, kalau tidak sekarang, Ali bakal sudah terlalu si­buk dengan kariernya hingga lupa menikah. Memang Ali sem­pat terpikir untuk hidup selibat. Lagipula tidak ada ala­san untuk tidak menikahi Zia, toh, ia cewek, satu iman, terhitung sebaya, tidak jelek amat, sudah cukup de­kat, asyik diajak tukar pikiran,dan sepertinya tidak ma­tre plus mau hidup ala kadarnya ala Ali. Ali tidak me­nun­tut banyak lagi dari Zia. Paling setelah menikah pun me­reka bakal masih sibuk mengejar impian masing-ma­sing, tapi setidaknya sumber semangat Ali tidak putus, ka­rena sudah ada ikatan yang pasti dengan perempuan itu.

Selanjutnya mereka lebih nyaman membicarakan apa­pun yang belum lama mereka baca. Pernikahan, bi­ar­lah yang tua-tua itu yang mengurus. Mereka tinggal men­jalankannya saja.

Akhirnya Zia diwisuda. Tak lama lagi Ali harus be­rangkat ke Palu karena tugas untuk menempati kantor bi­ro yang baru. Hingga sampailah hari ini. Ali tetap tidak bi­lang, ijab jabul tinggal mengulang ucapan penghulu. Toh Zia juga tidak bilang. Padahal sebagai pecandu fiksi ha­rusnya perempuan itu menyerap lebih banyak kata—eks­presi—ketimbang Ali. Bukankah jujur itu penting, Zia? Padahal kita selalu haus akan kata-kata, tapi ba­rang­ka­li untuk hal tertentu kita sama sekali tidak mem­bu­tuh­kan kata-kata. Begitukah, Zia?

Masih terasa kedua belah pipi perempuan itu di bi­birnya, Ali kecup seusai ijab kabul tadi. Sekarang ia ingin mengulanginya selagi berdampingan dengan pe­rem­puan itu dalam mobil, tapi malu sama yang duduk di jok depan. Lebih enak bahas buku saja ya, Zia?

“Kata Rene Suhardono di Your Job is not Your Career, passion is not what you’re good at, it’s what you enjoy the most. Kalau kamu bisa nulis sampai lupa ngang­kat jemuran, mungkin nulis emang passion kamu, Zia. Coba kirim lamaran ke tempat saya aja…”

Perempuan itu menoleh. Riasannya seperti makin te­bal saja, tapi justru itu yang membuatnya makin cantik bu­kan? Ali ingin mengatakannya, tapi ia lupa apa bahasa Ba­taknya “cantik”—harus tanya Opung lagi nih—biar Zia tidak paham.

“…mungkin juga,” perempuan itu memotong ka­li­mat terakhir Ali. “Tapi kayaknya aku bakal segera pu­nya passion baru deh.”

Passion apa lagi?”

“Aku habis baca buku How to Enhance Your Sexual Life…”

Ali tertegun. Kepalanya berputar pelan ke arah jen­dela. Pemandangan di balik sana begitu menyejukkan, se­mentara semburan angin dari AC mobil sudah tak te­ra­sa dingin.

Ini baru awal, Ali, baru awal…

 

*akhircampnanowrimoagustus2012*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain