Kamis, 30 Agustus 2012

18

Malang benar nasib Anwar. Delapan orang me­nu­dingnya sebagai teman Ali paling dekat—setidaknya pa­ling dekat di antara kedelapan orang itu. Anwar bisa sa­ja menunjuk orang lain yang menurutnya lebih dekat de­ngan Ali, tapi orang lain tersebut kan tidak tahu apa per­karanya. Jadi Anwar, sebagai yang paling dekat di an­ta­ra delapan lainnya yang tidak bertanggung jawab itu, di­amanatkan untuk memastikan Ali tidak marah pada me­reka karena kejadian tempo hari.

“Susah banget emang itu orang. Enggak tahu di­ka­sih perhatian!” apalagi Nilam yang misah-misuh be­gi­tu. Duh suasana hati yang buruk dari seorang kembang ba­kal menghambat proses pendekatan nih.

Maka Anwar mengirim sms pada Ali. Li, Lebaran emang masih jauh, tapi maafin kita-kitanya dari se­ka­rang aja yah.

Sms balasan datang. Anwar disuruh ikut main bo­la pingpong di stadion sekolah besok.

Kekhawatiran anak-anak yang berlebihan. Sikap Ali biasa saja. Ali masih merespons kalau diajak meng­ob­rol, ditepuk-tepuk. Tidak ketus. Biasanya nada Ali me­mang sedatar itu, pun raut mukanya. Kata-katanya, agak­nya dipertimbangkan dulu apa memang perlu, se­be­lum dikeluarkan.      

Semakin siang tinggal mereka berdua yang meng­isi stadion.Tak tok tak tok bergema di seantero ru­ang­an. Sungguh Anwar masih penasaran. Lagipula untuk orang sepertinya tidak enak kalau terlalu lama bungkam. Nah orang seperti Ali malah doyan. Lebih senang ber­te­le­pati dengan bola pingpong tampaknya orang itu. An­war tidak tahan dijadikan kacang lebih lama.

“Jadi sebenarnya kamu suka Zia enggak sih?”

Tuh Ali masih diam. Sok cuek, pikir Anwar, tak sa­dar telah merebus lagi air di dalam hati Ali. Anwar mau bikin mi rupanya. Tunggu sampai mendidih dulu, An, kalau perlu sampai beruap. Meletup-letup. Tidak ja­di mi nanti kalau tidak sampai bergejolak.

“Biasa ajalah,” kata Anwar lagi. “Suka juga eng­gak apa-apa. Enak diliat juga kan si Zia itu...”

Ali kok masih diam. Wah betulan ada yang tidak bi­asa ini.

“Ya biar kitanya jelas aja. Namanya ngeliat orang su­ka berdua-dua kan, ya, kalau enggak jelas kan jadinya malah fitnah.”

Tak.

Tok.

Tak.

Tok.

“Kenapa sih kamu teh parno banget sama ce­wek?”

“Maaf aja deh An, saya belum ada prioritas ke hal-hal kayak gitu.” Akhirnya Ali bicara juga. Nadanya su­dah terdengar rada senewen.

“Tapi mikirin juga kan?” ucap Anwar. Dibalas Ali dengan servis doang. “Enggak mungkin enggak! Ti­pe lu tuh…”

“Tipe saya apa?” sungut Ali.

“Malu-malu tapi mau gitu…” Sekaligus yang ti­dak mungkin pacaran, selama tidak kunjung menjajal ke­be­ranian.

Tak.

Tok.

Tak.

Tok.

“Sekarang truth atau dare aja deh…”

“Macam anak cewek aja kamu ini.”   

“Kalemlah… Saya enggak bakal nanya kamu su­ka sama Zia apa enggak…”

Tak.

Tok.

Truth-nya, kamu pernah nembak cewek enggak sih?”

Berat sekali amanat yang harus disandang oleh An­war ini. Puas kalian cewek-cewek sixsweets! Sehabis ini pizza Domino, jangan lupa!

“Kalau enggak dijawab, dare-nya, kamu nembak Zia!”

Hembusan napas nan senewen, disertai geraman pelan.

“Ya udah, tinggal jawab truth-nya aja apa su­sye­nye sih. Dengan lu bersikap kayak gitu tuh makin keciri ta­hu kalau—“

“Pernah,” kata Ali.

Tak.

Tok.

Tak.

“Berapa kali?”

“Kok pertanyaannya beranak sih? Kayak ulangan Se­jarah aja…”

“Soalnya fertil, jadi bisa beranak.” Tentu saja An­war masih ingat materi pelajaran Biologi, biarpun su­dah tahun kedua ini tidak buka-buka buku itu lagi. “Be­ra­pa kali? Sekali? Lima kali?”

“Ck.”

Tok.

“Kapan?”

Tak.

Tok.

“SMP.”

“Diterima atau ditolak?”

Anwar tidak merasa. Hawa pembunuh mulai me­man­car dari tubuh Ali.

Namanya Setta. Cinta pertama Ali. Setta itu na­ma cewek loh, lagipula ia suka cowok. Ali memang co­wok, tapi cowok itu bukan Ali. Begitu. Anwar tidak ta­hu. Asmara yang kandas tidak boleh terulang lagi.

“Lagian kalau sekarang kamu mau nembak Zia ju­ga, bukannya kemungkinannya gede ya? Secara, dia ju­ga suka nyamperin kamu. Jangan-jangan dia juga emang suka kamu. Tuh dia udah inisiatif. Dari kamunya yang kita enggak tahu.”

Tak.

Tok.

Tak!

Bola di Ali.

…suka sama kamu yang nasionalis, ehe…

Bagaimana cara memikat cowok dalam dua puluh hari?

…seseorang perlu orang lain…

“Dulu pas SMP berani nembak cewek, se­ka­rang… trauma apa nyali kamu udah melempem?”

Bola melesat. Anwar mengumpat. Semoga pipi ki­rinya tak sampai melesak ke dalam. Panas dan perih be­tul di sana. Ludahnya muncrat ke lantai stadion.

Di ujung meja Ali mengarahkan bet kepadanya. Ma­ta mendelik.

.

Jam istirahat yang biasa. Ketika bel tanda jam is­ti­rahat dimulai, sudah bisa diduga bagaimana Ali akan meng­habiskan jam istirahat. Antara kelas, stadion, dan kan­tin. Ali memilih yang pertama, karena kemarin ia su­dah ke stadion, dan pada hari sebelumnya lagi ia ke kan­tin. Balai bacaan saja sudah sampai tergadaikan, Ali ma­lah jadi doyan memanfaatkan uang jajan. Kadang Ali ti­dak tahu apa yang harus dilakukan di kelas tanpa bacaan, kan­tin pun jadi pilihan. Setelah menukar selembar uang­nya dengan sebungkus lumpia basah, Ali baru menyadari apa makna pepatah: “sedikit-sedikit lama-lama jadi bu­kit.” Sedikit-sedikit ia simpan saja uang jajannya, ba­rang­kali suatu saat ia dapat membangun kembali balai ba­caan yang serupa. Dinding jendela yang serupa hingga ko­sen-kacanya—sudah dirobohkan. Ubin hitam yang se­ru­pa hingga cacat-cacatnya—sudah dikelupas tanpa sisa. Bu­ku-buku yang serupa hingga coretan-coretan Bapak di da­lamnya—sudah kian menguap isinya dalam ingatan. Be­rapa sih, berapa uang yang dibutuhkan untuk me­ngem­balikan semua itu? Berapa dekade yang diperlukan un­tuk mengumpulkan uang sebanyak itu?

Dua puluh menit menuju akhir jam istirahat. Ali su­dah bisa mengatasi kejemuan yang kian terakumulasi. Ka­li ini ia punya hobi baru. Menclok ke dekat siapa saja yang tak punya cukup modal, baik sosial maupun fi­nan­si­al, untuk meninggalkan kelas. Kadang ia berhasil men­de­kati seorang cewek, atau cewek-cewek, tapi segera ca­ri peralihan begitu terpikir bahwa ia kemungkinan bakal di­anggap kegenitan.

Lebih enak menempel di bangku sendiri. Di­ham­piri. Oleh cewek itu lagi.

Silahkan kalau mau meledek. Ledek saja! Belum ta­hu rasanya dihantam smash sama Ali ya? Selain itu Ali ter­nyata seorang pembelajar yang cepat. Dalam beberapa ha­ri ia sudah tahu bagaimana caranya tertawa apabila ada yang menyinggung-nyinggungnya dengan cewek itu, mu­lai dari seberapa lebar ia harus membuka mulut, me­la­gukan intonasi yang tepat, hingga besar volume yang wa­jar untuk dikeluarkan. Biar mereka capek sendiri, biar su­ara Ali sampai serak, hingga cengirannya lebih tampak se­bagai kernyitan. Kenapa hubungannya dengan seorang ce­wek mesti menjadi suatu isu yang penting? Padahal ni­lai isu semacam ini sama sekali tak layak muat di ma­ding huh!

Lagipula itu cuman sekadar isu, bukan fakta. Ali ti­dak punya perasaan khusus dengan cewek itu, saat ini sih tidak ada, saat lagi tidak bertemu. Ali sudah tahu kun­cinya. Tapi menghindar merupakan sikap yang ber­le­bih­an. Maka sesekali Ali perlu berdiam saja di kelas, agar tampak sebagaimana jam istirahatnya yang wajar, de­ngan potensi cewek itu tahu-tahu mampir. Gosip lagi. Ti­dak usah dipedulikan ya Zia? Mereka itu tidak tahu ba­gaimana cara yang lebih baik untuk mendayagunakan otak mereka. Lebih baik seperti kita bukan, mem­bi­ca­ra­kan buku, meski tidak nyambung, membahas tulisan, mes­ki sambil mencak-mencak pada satu sama lain. Se­ti­dak­nya obrolan kita lebih berintelektual. Sedang mereka, di­sekolahkan sampai tinggi, tapi esensi obrolan mereka ti­dak mencerminkan tingkat pendidikan mereka. Bi­ca­ra­kan­lah buku, bukannya dua orang lawan jenis yang ke­be­tulan senang saat membicarakan buku!

Betul kan Zia?

Tapi cewek itu tidak mendengar monolog—ka­dang-kadang dialog kalau Ali ingin tahu apa kira-kira pen­dapat Zia—dalam kepala Ali. Cewek itu meng­o­ceh­kan hal lain setelah menyetor sebuah bundelan tipis ke me­ja Ali, pada jam istirahat itu, apalagi kalau bukan rang­kuman tulisan terbarunya.

“…setahuku kitab suci yang pertama bilang kalau ce­wek itu dibuat dari tulang rusuknya cowok—tulang sul­bi, dan kemudian para cowok sibuk mencari tulang ru­suknya yang hilang. Kenapa kita enggak sekali-kali li­hat dari perspektifnya cewek? Bukan cowok, yang nyari-nya­ri tulang rusuknya, tapi cewek, yang nyari-nyari dia ini sebenarnya tulang rusuk milik siapa? Nah. Kalau udah gitu gimana cara nyocokkinnya coba? Gimana satu sa­ma lain, si cewek dan cowok yang kemudian jadi, ni­kah, dan sebagainya itu, bisa tahu kalau mereka cocok sa­tu sama lain? Gimana si cowok bisa mastiin kalau ce­wek itu emang tulang rusuknya yang hilang, sementara si cewek sendiri juga pasti kalau dia emang tulang rusuk yang tepat buat cowok itu…”

“…dibelek dulu kali dada yang cowok…” …te­rus yang cewek… masuk ke sana? Ali geli dengan pi­kir­an­nya sendiri—yang sekadar menyambung pikiran Zia se­betulnya—sembari memindai baris-baris dalam tulisan itu. Dasar anak IPA, yang dibicarakan ya tulang rusuk, tu­lang iga, tulang kering, tulang ikan… Ali sih, tak per­nah sampai mengibaratkan cewek sebagai tulang rusuk se­gala. Yang Ali lihat kan cuman cewek yang punya per­pus­takaan di dalam kepalanya. Seperti cewek di de­pan­mu ini ya, Li? Pikiran Ali pun kelu, bahkan untuk se­ka­dar mencerna tulisan yang tangannya pegang pun… Ia le­takkan tulisan itu. Sampai di mana tadi cewek itu bi­ca­ra? Sebaiknya Ali fokus menyimak dengan pendengaran sa­ja.

“…kenapa sih kesannya kayak cewek itu enggak ba­kal laku kalau enggak bisa ngerawat diri? Kalau eng­gak bisa dandan, bau dikit, enggak bisa mempercantik di­rilah, siapa yang mau? Tapi cowok, enggak mesti jadi gan­teng-ganteng amat kan. Yang penting, kaya, macho. Co­wok, mau segimanapun enggak bisa ngurus dirinya sen­diri, belum tentu dipermasalahkan. Kan ada ce­wek­nya, yang bisa ngurusin, yang mes-ti-nya ngurusin. Tapi ada enggak sih yang sebaliknya? Ada enggak sih ce­ri­ta­nya cowok yang ngurusin cewek?”

Pandangan Ali kembali surut ke dalam tulisan. Ce­wek itu ternyata hanya meracau. Dari mulutnya pe­mi­kir­an yang semrawut itu kian melingkar-lingkar, sampai ak­hirnya membentuk simpul mati. Cewek itu berusaha meng­urai lagi, tapi malah menciptakan simpul mati yang ba­ru. Pemikiran itu sama semrawut ketika sudah di­tu­ang­kan dalam tulisan, tapi setidaknya Ali bisa me­nin­jau­nya ulang lalu berupaya mengurai simpul mati-simpul ma­ti itu dengan jari-jari pikirannya sendiri. Pensil. Ini la­tih­an yang bagus untuk persiapan UN Bahasa Indonesia. Ayo Zia, lebih banyak tulisan lagi…

“Mau UN itu belajar, bukannya curhat,” ledek Ali. Jadi ingat petuah Pak Bowo kapan itu, haha, cewek itu masih ingat tidak ya? Ali menundukkan lagi ke­pa­la­nya, semata-mata demi menghindari lirikan-lirikan meng­goda dari beberapa teman sekelas yang baru da­tang.

“Aku enggak bisa. Harus keluarin yang ngeganjel du­lu, baru bisa konsen.” Zia bersedekap. “Eh lagian itu bu­kan sekadar curhat loh. Itu e-sai. Bukannya esai boleh per­sonal?”

“Ini curhat…” sanggah Ali geli. “Kenapa? Lagi ga­lau mikirin jodoh?” Ali memperbaiki posisi duduknya.

Baru menyadari. Sekitar setahun kebersamaan de­ngan sixsweets telah melatihnya untuk menanggapi cu­rahan hati cewek. Dulu memang, saat sedang bersama sa­tu-dua anak buahnya saja di dalam sekre, tahu-tahu me­reka menceritakannya ini-itu. Seringnya soal cowok, se­akan Ali sebagai sesama cowok bisa memberikan opi­ni bermutu, sayangnya yang mereka limpahi masalah ada­lah cowok yang salah. Ali tidak berpengalaman da­lam hubungan lawan jenis. Maka respons Ali hanya “oh”, “hm”, “ya”, lalu tahu-tahu tangan mereka me­me­cut­nya atau ia dilempari suatu barang. “Baca aja banyak, ta­pi enggak punya kata-kata buat nanggapin orang, huu!”, Ali ingat betul Nilam yang bicara begitu, setelah me­layangkan wadah pensil ke lengan Ali. Seiring de­ngan banyaknya pecutan dan barang yang memantul di tu­buh Ali, perbendaharan kata Ali yang bisa diterapkan pun bertambah. Sekurang-kurangnya tanggapan tersebut ha­rus berisi satu kalimat kesimpulan dan satu kalimat ta­nya sebagai umpan balik.

Baru menyadari juga. Kenapa tahu-tahu Zia mem­bicarakan hal semacam ini? Bukankah ini telah me­len­ceng dari TOR yang biasa mereka jajaki? Ini bukan se­kadar membicarakan budaya literasi lagi, melainkan soal… hati?

“Enggak. Aku cuman lagi mikirin aja soal kodrat ce­wek sama cowok.”

Zia mulai membicarakan tentang hubungan la­wan jenis. Apakah ini saatnya? Ali terperangah, meski ti­dak mangap. Ini suatu kemajuan, ini… ini… Tentu saja, ke­bersamaan mereka di SMA bakal segera berakhir kan? Be­lum tahu apakah kebersamaan ini bakal berlanjut atau ti­dak. Tapi bukankah mereka bisa mengikat janji… janji, jan­ji apa? Janji untuk meneruskan perasaan yang tidak ter­jelaskan lagi tidak tentu ini? Ali, Ali, keluar Li, jangan rusuh dengan pikiranmu sendiri. Ali kembali me­man­dang Zia.

Jangan-jangan dia juga emang suka kamu.

“Udah tahu mau nerusin ke mana, Zia?”

“Mm… Aku kepikirannya sih TL ITB, sama Sas­tra Indonesia…” oh, perguruan tinggi negeri yang sama de­ngan pilihan Ali. Seberapa besar kemungkinan mereka ba­kal sering bertemu lagi?

“IPC?”

“Yeah.”

“Semoga lolos ke ITB yah.”

“Aamiin…!”

Tentu saja, tentu saja ia mengharapkan yang ter­ba­ik bagi cewek itu. Meski kemungkinan untuk sering ber­temu lagi bakal berkurang, Ali?

“...cowok kalau jelek tetep bisa ngedapetin ce­wek cantik, asal kaya, pengertian atau apa. Tapi cewek se­kalinya jelek, ya udah, cewek kalau enggak mau dan­dan, enggak bisa bikin dirinya cantik kayak yang la­zim­nya, sampai kapanpun enggak ada cowok yang mau. Ada eng­gak cowok yang mau pengertian kalau ceweknya eng­gak mau cantik kayak gitu, cowok tuh selalu pingin yang indah-indah, enaknya aja…” … cewek itu lanjut men­dumel. “…ada apa sih dengan media? Kenapa harus me­lulu citra kayak gitu yang ditampilkan? Kenapa sih can­tiknya tuh harus cantik yang kayak gitu? Seakan kita eng­gak mensyukuri tubuh kita apa adanya? Setiap saat ha­rus dipoles, enggak boleh bau, enggak boleh gendut se­dikit, rambutnya harus terurus…”

Apa cewek ini sedang membicarakan dirinya sen­di­ri? Perhatian Ali benar-benar tertuju pada omongan Zia saja kini. Kenapa cewek itu mempermasalahkan di­ri­nya sendiri? Padahal di mata Ali segalanya tampak baik-ba­ik saja, tidakkah cewek itu tahu? Apakah cewek itu me­miliki pandangan demikian terhadap cowok? Apakah ia menganggap Ali sebagai satu di antaranya? Tidak, ka­mu tidak tepat, Zia, Ali ingin mengatakan begitu. Kamu ti­dak buruk. Kamu bukan sekadar manis, kamu juga ber­gi­zi. Seperti ikan. Ikan layur, dengan bumbu madu yang me­resap hingga ke setiap duri-durinya yang banyak tapi ha­lus itu, dengan saos nanas melumuri sekujur per­mu­ka­an kulitnya.

Kecuali kalau cowok yang dimaksud bukan Ali.

Tapi apa artinya kehadiran Zia di XII IPS 1 se­la­ma ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain