Malang benar nasib
Anwar. Delapan orang menudingnya sebagai teman Ali paling dekat—setidaknya paling
dekat di antara kedelapan orang itu. Anwar bisa saja menunjuk orang lain yang
menurutnya lebih dekat dengan Ali, tapi orang lain tersebut kan tidak tahu apa
perkaranya. Jadi Anwar, sebagai yang paling dekat di antara delapan lainnya
yang tidak bertanggung jawab itu, diamanatkan untuk memastikan Ali tidak marah
pada mereka karena kejadian tempo hari.
“Susah banget emang itu
orang. Enggak tahu dikasih perhatian!” apalagi Nilam yang misah-misuh begitu.
Duh suasana hati yang buruk dari seorang kembang bakal menghambat proses
pendekatan nih.
Maka Anwar mengirim sms
pada Ali. Li, Lebaran emang masih jauh,
tapi maafin kita-kitanya dari sekarang aja yah.
Sms balasan datang.
Anwar disuruh ikut main bola pingpong di stadion sekolah besok.
Kekhawatiran anak-anak
yang berlebihan. Sikap Ali biasa saja. Ali masih merespons kalau diajak mengobrol,
ditepuk-tepuk. Tidak ketus. Biasanya nada Ali memang sedatar itu, pun raut
mukanya. Kata-katanya, agaknya dipertimbangkan dulu apa memang perlu, sebelum
dikeluarkan.
Semakin siang tinggal
mereka berdua yang mengisi stadion.Tak tok tak tok bergema di seantero ruangan.
Sungguh Anwar masih penasaran. Lagipula untuk orang sepertinya tidak enak kalau
terlalu lama bungkam. Nah orang seperti Ali malah doyan. Lebih senang bertelepati
dengan bola pingpong tampaknya orang itu. Anwar tidak tahan dijadikan kacang
lebih lama.
“Jadi sebenarnya kamu
suka Zia enggak sih?”
Tuh Ali masih diam. Sok
cuek, pikir Anwar, tak sadar telah merebus lagi air di dalam hati Ali. Anwar
mau bikin mi rupanya. Tunggu sampai mendidih dulu, An, kalau perlu sampai
beruap. Meletup-letup. Tidak jadi mi nanti kalau tidak sampai bergejolak.
“Biasa ajalah,” kata
Anwar lagi. “Suka juga enggak apa-apa. Enak diliat juga kan si Zia itu...”
Ali kok masih diam. Wah
betulan ada yang tidak biasa ini.
“Ya biar kitanya jelas
aja. Namanya ngeliat orang suka berdua-dua kan, ya, kalau enggak jelas kan
jadinya malah fitnah.”
Tak.
Tok.
Tak.
Tok.
“Kenapa sih kamu teh parno banget sama cewek?”
“Maaf aja deh An, saya
belum ada prioritas ke hal-hal kayak gitu.” Akhirnya Ali bicara juga. Nadanya
sudah terdengar rada senewen.
“Tapi mikirin juga
kan?” ucap Anwar. Dibalas Ali dengan servis doang. “Enggak mungkin enggak! Tipe
lu tuh…”
“Tipe saya apa?” sungut
Ali.
“Malu-malu tapi mau
gitu…” Sekaligus yang tidak mungkin pacaran, selama tidak kunjung menjajal keberanian.
Tak.
Tok.
Tak.
Tok.
“Sekarang truth atau dare aja deh…”
“Macam anak cewek aja
kamu ini.”
“Kalemlah… Saya enggak
bakal nanya kamu suka sama Zia apa enggak…”
Tak.
Tok.
“Truth-nya, kamu pernah nembak cewek enggak sih?”
Berat sekali amanat
yang harus disandang oleh Anwar ini. Puas kalian cewek-cewek sixsweets!
Sehabis ini pizza Domino, jangan lupa!
“Kalau enggak dijawab, dare-nya, kamu nembak Zia!”
Hembusan napas nan
senewen, disertai geraman pelan.
“Ya udah, tinggal jawab
truth-nya aja apa susyenye sih.
Dengan lu bersikap kayak gitu tuh makin keciri tahu kalau—“
“Pernah,” kata Ali.
Tak.
Tok.
Tak.
“Berapa kali?”
“Kok pertanyaannya
beranak sih? Kayak ulangan Sejarah aja…”
“Soalnya fertil, jadi
bisa beranak.” Tentu saja Anwar masih ingat materi pelajaran Biologi, biarpun
sudah tahun kedua ini tidak buka-buka buku itu lagi. “Berapa kali? Sekali?
Lima kali?”
“Ck.”
Tok.
“Kapan?”
Tak.
Tok.
“SMP.”
“Diterima atau
ditolak?”
Anwar tidak merasa.
Hawa pembunuh mulai memancar dari tubuh Ali.
Namanya Setta. Cinta
pertama Ali. Setta itu nama cewek loh, lagipula ia suka cowok. Ali memang cowok,
tapi cowok itu bukan Ali. Begitu. Anwar tidak tahu. Asmara yang kandas tidak
boleh terulang lagi.
“Lagian kalau sekarang
kamu mau nembak Zia juga, bukannya kemungkinannya gede ya? Secara, dia juga
suka nyamperin kamu. Jangan-jangan dia juga emang suka kamu. Tuh dia udah
inisiatif. Dari kamunya yang kita enggak tahu.”
Tak.
Tok.
Tak!
Bola di Ali.
…suka sama kamu yang nasionalis, ehe…
Bagaimana cara memikat cowok dalam dua puluh hari?
…seseorang perlu orang lain…
“Dulu pas SMP berani
nembak cewek, sekarang… trauma apa nyali kamu udah melempem?”
Bola melesat. Anwar
mengumpat. Semoga pipi kirinya tak sampai melesak ke dalam. Panas dan perih betul
di sana. Ludahnya muncrat ke lantai stadion.
Di ujung meja Ali
mengarahkan bet kepadanya. Mata mendelik.
.
Jam istirahat yang
biasa. Ketika bel tanda jam istirahat dimulai, sudah bisa diduga bagaimana
Ali akan menghabiskan jam istirahat. Antara kelas, stadion, dan kantin. Ali
memilih yang pertama, karena kemarin ia sudah ke stadion, dan pada hari
sebelumnya lagi ia ke kantin. Balai bacaan saja sudah sampai tergadaikan, Ali
malah jadi doyan memanfaatkan uang jajan. Kadang Ali tidak tahu apa yang
harus dilakukan di kelas tanpa bacaan, kantin pun jadi pilihan. Setelah
menukar selembar uangnya dengan sebungkus lumpia basah, Ali baru menyadari apa
makna pepatah: “sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit.” Sedikit-sedikit ia
simpan saja uang jajannya, barangkali suatu saat ia dapat membangun kembali
balai bacaan yang serupa. Dinding jendela yang serupa hingga kosen-kacanya—sudah
dirobohkan. Ubin hitam yang serupa hingga cacat-cacatnya—sudah dikelupas
tanpa sisa. Buku-buku yang serupa hingga coretan-coretan Bapak di dalamnya—sudah
kian menguap isinya dalam ingatan. Berapa sih, berapa uang yang dibutuhkan
untuk mengembalikan semua itu? Berapa dekade yang diperlukan untuk mengumpulkan
uang sebanyak itu?
Dua puluh menit menuju
akhir jam istirahat. Ali sudah bisa mengatasi kejemuan yang kian terakumulasi.
Kali ini ia punya hobi baru. Menclok ke dekat siapa saja yang tak punya cukup
modal, baik sosial maupun finansial, untuk meninggalkan kelas. Kadang ia
berhasil mendekati seorang cewek, atau cewek-cewek, tapi segera cari
peralihan begitu terpikir bahwa ia kemungkinan bakal dianggap kegenitan.
Lebih enak menempel di
bangku sendiri. Dihampiri. Oleh cewek itu lagi.
Silahkan kalau mau
meledek. Ledek saja! Belum tahu rasanya dihantam smash sama Ali ya? Selain itu Ali ternyata seorang pembelajar yang
cepat. Dalam beberapa hari ia sudah tahu bagaimana caranya tertawa apabila ada
yang menyinggung-nyinggungnya dengan cewek itu, mulai dari seberapa lebar ia
harus membuka mulut, melagukan intonasi yang tepat, hingga besar volume yang
wajar untuk dikeluarkan. Biar mereka capek sendiri, biar suara Ali sampai
serak, hingga cengirannya lebih tampak sebagai kernyitan. Kenapa hubungannya
dengan seorang cewek mesti menjadi suatu isu yang penting? Padahal nilai isu
semacam ini sama sekali tak layak muat di mading huh!
Lagipula itu cuman
sekadar isu, bukan fakta. Ali tidak punya perasaan khusus dengan cewek itu,
saat ini sih tidak ada, saat lagi tidak bertemu. Ali sudah tahu kuncinya. Tapi
menghindar merupakan sikap yang berlebihan. Maka sesekali Ali perlu berdiam
saja di kelas, agar tampak sebagaimana jam istirahatnya yang wajar, dengan
potensi cewek itu tahu-tahu mampir. Gosip lagi. Tidak usah dipedulikan ya Zia?
Mereka itu tidak tahu bagaimana cara yang lebih baik untuk mendayagunakan otak
mereka. Lebih baik seperti kita bukan, membicarakan buku, meski tidak
nyambung, membahas tulisan, meski sambil mencak-mencak pada satu sama lain. Setidaknya
obrolan kita lebih berintelektual. Sedang mereka, disekolahkan sampai tinggi,
tapi esensi obrolan mereka tidak mencerminkan tingkat pendidikan mereka. Bicarakanlah
buku, bukannya dua orang lawan jenis yang kebetulan senang saat membicarakan
buku!
Betul kan Zia?
Tapi cewek itu tidak
mendengar monolog—kadang-kadang dialog kalau Ali ingin tahu apa kira-kira pendapat
Zia—dalam kepala Ali. Cewek itu mengocehkan hal lain setelah menyetor sebuah
bundelan tipis ke meja Ali, pada jam istirahat itu, apalagi kalau bukan rangkuman
tulisan terbarunya.
“…setahuku kitab suci
yang pertama bilang kalau cewek itu dibuat dari tulang rusuknya cowok—tulang
sulbi, dan kemudian para cowok sibuk mencari tulang rusuknya yang hilang.
Kenapa kita enggak sekali-kali lihat dari perspektifnya cewek? Bukan cowok,
yang nyari-nyari tulang rusuknya, tapi cewek, yang nyari-nyari dia ini
sebenarnya tulang rusuk milik siapa? Nah. Kalau udah gitu gimana cara
nyocokkinnya coba? Gimana satu sama lain, si cewek dan cowok yang kemudian
jadi, nikah, dan sebagainya itu, bisa tahu kalau mereka cocok satu sama lain?
Gimana si cowok bisa mastiin kalau cewek itu emang tulang rusuknya yang
hilang, sementara si cewek sendiri juga pasti kalau dia emang tulang rusuk yang
tepat buat cowok itu…”
“…dibelek dulu kali
dada yang cowok…” …terus yang cewek… masuk ke sana? Ali geli dengan pikirannya
sendiri—yang sekadar menyambung pikiran Zia sebetulnya—sembari memindai
baris-baris dalam tulisan itu. Dasar anak IPA, yang dibicarakan ya tulang
rusuk, tulang iga, tulang kering, tulang ikan… Ali sih, tak pernah sampai
mengibaratkan cewek sebagai tulang rusuk segala. Yang Ali lihat kan cuman
cewek yang punya perpustakaan di dalam kepalanya. Seperti cewek di depanmu
ini ya, Li? Pikiran Ali pun kelu, bahkan untuk sekadar mencerna tulisan yang
tangannya pegang pun… Ia letakkan tulisan itu. Sampai di mana tadi cewek itu
bicara? Sebaiknya Ali fokus menyimak dengan pendengaran saja.
“…kenapa sih kesannya
kayak cewek itu enggak bakal laku kalau enggak bisa ngerawat diri? Kalau enggak
bisa dandan, bau dikit, enggak bisa mempercantik dirilah, siapa yang mau? Tapi
cowok, enggak mesti jadi ganteng-ganteng amat kan. Yang penting, kaya, macho. Cowok, mau segimanapun enggak
bisa ngurus dirinya sendiri, belum tentu dipermasalahkan. Kan ada ceweknya,
yang bisa ngurusin, yang mes-ti-nya ngurusin. Tapi ada enggak sih yang
sebaliknya? Ada enggak sih ceritanya cowok yang ngurusin cewek?”
Pandangan Ali kembali
surut ke dalam tulisan. Cewek itu ternyata hanya meracau. Dari mulutnya pemikiran
yang semrawut itu kian melingkar-lingkar, sampai akhirnya membentuk simpul
mati. Cewek itu berusaha mengurai lagi, tapi malah menciptakan simpul mati
yang baru. Pemikiran itu sama semrawut ketika sudah dituangkan dalam
tulisan, tapi setidaknya Ali bisa meninjaunya ulang lalu berupaya mengurai
simpul mati-simpul mati itu dengan jari-jari pikirannya sendiri. Pensil. Ini
latihan yang bagus untuk persiapan UN Bahasa Indonesia. Ayo Zia, lebih banyak
tulisan lagi…
“Mau UN itu belajar,
bukannya curhat,” ledek Ali. Jadi ingat petuah Pak Bowo kapan itu, haha, cewek
itu masih ingat tidak ya? Ali menundukkan lagi kepalanya, semata-mata demi
menghindari lirikan-lirikan menggoda dari beberapa teman sekelas yang baru datang.
“Aku enggak bisa. Harus
keluarin yang ngeganjel dulu, baru bisa konsen.” Zia bersedekap. “Eh lagian
itu bukan sekadar curhat loh. Itu e-sai. Bukannya esai boleh personal?”
“Ini curhat…” sanggah
Ali geli. “Kenapa? Lagi galau mikirin jodoh?” Ali memperbaiki posisi duduknya.
Baru menyadari. Sekitar
setahun kebersamaan dengan sixsweets telah melatihnya untuk menanggapi curahan
hati cewek. Dulu memang, saat sedang bersama satu-dua anak buahnya saja di
dalam sekre, tahu-tahu mereka menceritakannya ini-itu. Seringnya soal cowok,
seakan Ali sebagai sesama cowok bisa memberikan opini bermutu, sayangnya yang
mereka limpahi masalah adalah cowok yang salah. Ali tidak berpengalaman dalam
hubungan lawan jenis. Maka respons Ali hanya “oh”, “hm”, “ya”, lalu tahu-tahu
tangan mereka memecutnya atau ia dilempari suatu barang. “Baca aja banyak,
tapi enggak punya kata-kata buat nanggapin orang, huu!”, Ali ingat betul Nilam
yang bicara begitu, setelah melayangkan wadah pensil ke lengan Ali. Seiring dengan
banyaknya pecutan dan barang yang memantul di tubuh Ali, perbendaharan kata
Ali yang bisa diterapkan pun bertambah. Sekurang-kurangnya tanggapan tersebut
harus berisi satu kalimat kesimpulan dan satu kalimat tanya sebagai umpan
balik.
Baru menyadari juga.
Kenapa tahu-tahu Zia membicarakan hal semacam ini? Bukankah ini telah melenceng
dari TOR yang biasa mereka jajaki? Ini bukan sekadar membicarakan budaya
literasi lagi, melainkan soal… hati?
“Enggak. Aku cuman lagi
mikirin aja soal kodrat cewek sama cowok.”
Zia mulai membicarakan
tentang hubungan lawan jenis. Apakah ini saatnya? Ali terperangah, meski tidak
mangap. Ini suatu kemajuan, ini… ini… Tentu saja, kebersamaan mereka di SMA bakal
segera berakhir kan? Belum tahu apakah kebersamaan ini bakal berlanjut atau tidak.
Tapi bukankah mereka bisa mengikat janji… janji, janji apa? Janji untuk
meneruskan perasaan yang tidak terjelaskan lagi tidak tentu ini? Ali, Ali,
keluar Li, jangan rusuh dengan pikiranmu sendiri. Ali kembali memandang Zia.
Jangan-jangan dia juga emang suka kamu.
“Udah tahu mau nerusin
ke mana, Zia?”
“Mm… Aku kepikirannya
sih TL ITB, sama Sastra Indonesia…” oh, perguruan tinggi negeri yang sama dengan
pilihan Ali. Seberapa besar kemungkinan mereka bakal sering bertemu lagi?
“IPC?”
“Yeah.”
“Semoga lolos ke ITB
yah.”
“Aamiin…!”
Tentu saja, tentu saja
ia mengharapkan yang terbaik bagi cewek itu. Meski kemungkinan untuk sering
bertemu lagi bakal berkurang, Ali?
“...cowok kalau jelek
tetep bisa ngedapetin cewek cantik, asal kaya, pengertian atau apa. Tapi cewek
sekalinya jelek, ya udah, cewek kalau enggak mau dandan, enggak bisa bikin
dirinya cantik kayak yang lazimnya, sampai kapanpun enggak ada cowok yang
mau. Ada enggak cowok yang mau pengertian kalau ceweknya enggak mau cantik
kayak gitu, cowok tuh selalu pingin yang indah-indah, enaknya aja…” … cewek itu
lanjut mendumel. “…ada apa sih dengan media? Kenapa harus melulu citra kayak
gitu yang ditampilkan? Kenapa sih cantiknya tuh harus cantik yang kayak gitu?
Seakan kita enggak mensyukuri tubuh kita apa adanya? Setiap saat harus
dipoles, enggak boleh bau, enggak boleh gendut sedikit, rambutnya harus
terurus…”
Apa cewek ini sedang
membicarakan dirinya sendiri? Perhatian Ali benar-benar tertuju pada omongan
Zia saja kini. Kenapa cewek itu mempermasalahkan dirinya sendiri? Padahal di
mata Ali segalanya tampak baik-baik saja, tidakkah cewek itu tahu? Apakah
cewek itu memiliki pandangan demikian terhadap cowok? Apakah ia menganggap Ali
sebagai satu di antaranya? Tidak, kamu tidak tepat, Zia, Ali ingin mengatakan
begitu. Kamu tidak buruk. Kamu bukan sekadar manis, kamu juga bergizi.
Seperti ikan. Ikan layur, dengan bumbu madu yang meresap hingga ke setiap
duri-durinya yang banyak tapi halus itu, dengan saos nanas melumuri sekujur
permukaan kulitnya.
Kecuali kalau cowok
yang dimaksud bukan Ali.
Tapi apa artinya
kehadiran Zia di XII IPS 1 selama ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar