Om
Arman datang sekitar pukul lima petang. Saat itu balai bacaan yang mencakup ruang depan dan ruang tengah rumah kian ramai. Tidak saja
karena kehadiran Fathim menyulut gempita anak-anak yang bolos TPQ, tapi juga karena Opung dapat teman
mengobrol baru. Tanpa dibilang
Ali ngeh kalau Ibu mewajibkannya mengikuti diskusi Opung dan Om Arman. Senang sekali Opung
apabila dibawakan koran tempat Om Arman bekerja. Sudah
beberapa bulan ini Ibu berhenti langganan koran, sebab. Supaya kalian masih bisa mencicipi daging, kata Ibu. Koran digelar Opung di
atas meja lingkaran di ruang depan. Tangan kirinya
menyibak halaman demi halaman.
Pada halaman yang memuat judul menarik,
kacamatanya melorot, sedang matanya menyorot kolom dengan tekun. Sesekali ia angkat
kepala untuk menanggapi omongan Om Arman, atau meletupkan topik
pembicaraan baru
sesuai apa yang tengah melintas di pikirannya.
Bukan
cuman Om Arman yang gemar meramaikan rumah. Sesekali ada pula Om Wendo,
Om Lubis, Om Gun, Om Nugraha, dan sekian om-om lain. Jarang tante yang ke mari, kecuali istri Mang Alwi
yang itupun dipanggil “Bibi”
oleh Ali dan adik-adiknya. Mereka datang pada waktu yang seenaknya, kapanpun ada luang. Kalau yang kumpul lumayan banyak, ruang
redaksi di kantor
masing-masing jadi pindah ke ruang depan. Bolak-balik mereka ke dapur untuk menyeduh kopi. Puntung-puntung bertebaran. Bahak tawa
menyemarakkan. Pada akhirnya
tetap cuman Ali dan Fathim yang harus membereskan. Orang-orang itu tahu Ibu tak doyan sepi—mereka kira seperti itu. Om Arman
paling tahu, sebab ia yang
paling sering mampir.
“He
Ali, kapan tulisan kamu mampir ke koran Om?”
Ali
tersentil. Koran Om Arman memang dilengkapi suplemen
untuk anak-anak sekolah menengah tiap Selasa. Ali kira seharusnya ada wadah yang lebih serius ketimbang selembar halaman itu, tapi
menulis yang tidak serius saja Ali
tidak serius.
“Aziz
kan sudah bilang enggak pingin jadi wartawan. Fathim
apalagi. Seenggaknya ada yang meneruskan perjuangan bapak sama opungmu ini.” Om Arman menyulut rokok.
Opung
berdecak, sedang matanya pada sebagian halaman koran yang terangkat. “Memang payah kali anak ini.”
“Yang
simpel-simpel aja dulu nulisnya. Lumayan buat bantu Ibu.”
Ah
adakah Om Arman bisa menerawang kerumitan pikiran Ali?
Dalam
situasi seperti ini pula Ali dulu mendengar cerita mengenai betapa energik kedua
orangtuanya dulu, dan betapa melempem dirinya kini. Sekitar sepuluh tahun lalu, saat Bapak cerita pada Ali
yang SD dan Fathim yang TK sedang Aziz dalam buaian. “…dulu ibu kau yang
sembunyikan Bapak, saat antek-antek penguasa cari buruan. Kartu pers, hm, tak berguna,
malah bawa celaka.”
Ada
suara dari arah warung. Penyelamat! Ali mohon diri untuk menghampiri sang pelanggan.
“…atau
jangan-jangan lebih bakat anak itu jadi pedagang…” Ali masih bisa mendengar suara Om Arman di belakang punggungnya. Sepertinya
mata Om Arman masih
terarah padanya untuk beberapa lama, setidaknya sampai dinding warung menghalangi.
Ali membuktikan bahwa ucapan teman orangtuanya itu
tidak benar. Ali tak
tega mengambil laba sebesar yang ditetapkan Ibu, saking ia bersimpati pada
konsumen. Saya bisa mengerti setiap orang menginginkan harga yang
lebih terjangkau di warung.
Seperginya
tetangga yang beli Baygon, Ali merasa segan untuk
kembali ke ruang depan. Bagus sih ada yang mengingatkannya untuk menulis. Ali
pun sudah berupaya. Maka
itu kini Ali lebih merasakan dorongan sebagai tekanan.
Dulu
Ali pikir jadi wartawan sambil sekolah itu mudah. Ali memang jadi wartawan sekolah,
tapi apa berpenghasilan? Kalaupun ada pemasukan dari
divisi majalah semesteran, sebagian besar lebih
suka untuk langsung
menghabiskannya di restoran ternama. Ali sempat beberapa kali mengirim liputan ke suplemen
remaja di koran nasional,
bareng tim. Honor lumayan, dan Ali bisa menyimpan bagiannya untuk keperluan dadakan di masa depan. Tapi tidak bisa rutin seperti itu.
Ada tim-tim lain dari
sekolah-sekolah lain di kota-kota lain yang menginginkan giliran.
Bisa saja secara individual Ali mengirim ke media lain, banyak toh, tapi
biasanya Ali lebih menikmati penyesalan kenapa ia tidak segiat
itu.
Baru
malam Ali bisa melipat kaki dengan nyaman di pojok ruang tengah, berhadapan dengan CPU butut. Ia hampir lupa di mana ia menaruh
draf tulisan-tulisannya. Terakhir kali ia coba merangkum sejarah pendidikan Indonesia,
lengkap dengan tujuan politis Belanda di balik itu. Tapi sebelum tulisan itu
kelar, ia malah tertarik dengan
riwayat Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Ia ingin membuat nukilan tentang pers
Indonesia mula-mula. Sekarang
ia malah sedang mengeksplorasi bacaan mengenai Soekarno. Belum ada ide tulisan sama sekali mengenai bapak satu itu.
Ali
membuka salah satu draf.
Ali
biasa menghadapi susunan kalimat yang acak-acakan, lalu dengan semangat
merapikannya sebagaimana ia merapikan buku-buku di balai bacaan. Tapi kalau kalimat-kalimat yang dihadapi adalah
miliknya sendiri, agaknya
Ali lebih tertarik mendengar perbincangan antara Ibu dan Mang Alwi. Mang Alwi
sedang menyetor
sebagian penghasilan dari kios bukunya bulan lalu.
.
Amatlah
penting bagi Ali untuk mengikuti perkembangan isu di
sekolah. OSIS membentuk forum khusus untuk itu. Sebagai penggawa LEMPERs—Lembaga Pers
SMANSON—yang berdedikasi Ali tak pernah melewatkan Rabu
tanpa menghadiri forum tersebut di ruang diskusi. Bahkan ia yang menempelkan kertas di muka pintu—pemberitahuan bagi siapapun yang
melewati lorong itu bahwa
sebuah kajian penting tengah dilangsungkan di tepi. Begitu jenjangnya meningkat
dari reporter ke pimred mading,
beberapa kali Ali menjadi moderator.
Anwar
bilang mulai tahun ini akan dihelat forum serupa dengan cakupan isu yang lebih spesifik. Mingguan juga, tiap Selasa. Tentu saja Ali berminat. Sejak pemberitahuan dari Anwar, Ali menerka-nerka isu spesifik apa
yang bakal diangkat dalam forum baru ini. Apakah khusus ekskul? Atau keguyuban antar kelas?
Evaluasi guru?
Sarpras-fasos-fasum yang kurang menunjang aktivitas siswa?
Jam
istirahat ia dan Anwar memasuki ruang diskusi nan sempit.
Ali terpana karena yang ia dapati hanya siswa-siswa, tak satupun siswi. Mungkin kebetulan saja, pikirnya.
Kemudian ia mencermati kalau hampir semua wajah ia kenali, setidaknya setahun
ini, jadi tak satupun juga dari mereka yang kelas X. Sepertinya.
Seperempat
jam mengikuti pembicaraan, degup jantung Ali kian tidak terkendali. Forum ini tak sekadar membahas buah-buahan yang berbentuk bulat,
sejak jeruk polkam
sampai semangka. Lalu kenapa buah yang berukuran lebih kecil diposisikan di atas, sedang yang besar di bawah. Ada juga buah berukuran
besar yang berada di atas,
tapi buah di bawahnya mesti berukuran lebih besar lagi. Ali semakin yakin akan interpretasinya terhadap permainan analogi ini.
Menjijikkan. Apa coba maksudnya,
“...ada siah yang atas jeruk bali,
bawah melon, …tapi
tangan timun suri!”, yang kemudian disambut derai tawa membahana.
Setengah
jam kemudian di kelas XII IPS I Anwar menginterupsi teman sebangkunya. Pelajaran Sosiologi masih
memungkinkan bagi mereka yang duduk di bangku tengah untuk sekadar
bisik-bisik. “Kamu emang BOLEKER sejati yah.”
“Bukan
itu. Gimana kalau cewek kamu sendiri, adik kamu sendiri, yang diomongin di
forum itu?”
“Serius
banget yeuh maneh. Tau enggak, 70% hubungan lawan jenis enggak berhasil
karena enggak dipersiapkan dengan matang. Biar matang, kamu
harus mengenal cewek
luar dalam.”
Baru
bulan depan pergiliran bangku diadakan lagi. Kalut Ali memikirkan bagaimana untuk bertahan, dengan kawan yang tidak henti memersuasi.
Apalagi karena seperempat jam forum mesum itu
ternyata ampuh mengubah mindset Ali. Setiap melihat cewek Ali
melihat buah-buahan.
Selasa
depan rayuan Anwar kembali masih mujarab. Di
pertemuan kedua—baginya—Ali mengetahui kalau forum itu bernama Forum Kajian Kembang SMANSON. Seorang anak kelas XI telah membuat
logo forum yang terbaca: 4KANGSON. Saat itu muncul debat sengit, apakah populasi cewek IPS 1 mampu
mengimbangi pesona beberapa
kembang terpilih dari IPS 2. Di jeda debat, Anwar menepuk-nepuk bahu Ali. “Maneh temen baik urang Li.
Jangan salah pilih cewek.” Anwar menggeleng. “Jangan.”
.
Menit-menit
menuju jam tayang 4KANGSON bikin Ali merana. Ia meratapi nasibnya sebagai seorang cowok, lelaki, jejaka, pria. Apapun yang
dibicarakan dalam 4KANGSON menyentakkan Ali akan hakikatnya. Ali tak bisa
memungkiri kalau berkecimpung dalam 4KANGSON memang menyegarkan.
Forum
ini eksklusif. Ali bisa nimbrung berkat ditarik Anwar yang
pegiat forum sejak awal. Anwar bisa jadi pegiat berkat dekat dengan perintis
forum. Hanya orang pilihan yang bisa masuk kualifikasi sebagai anggota: pengamat
yang baik, berdaya kritis tinggi, mumpuni dalam berimajinasi, gaya bicara
beradab, bukan pujaan para kembang SMANSON. Tak boleh mengungkapkan sesuatu
secara vulgar, gunakan konotasi sehalus mungkin hingga tiap orang bisa membayangkan apa yang
dimaksudkan.
Ali
tidak menyangka kalau sebagai anggota Dewan Penasihat LEMPERs yang mantan pimred mading bisa memberinya sedikit wibawa. Para
peserta forum menyimak ketika
Ali urun suara. Ali tidak secara langsung bilang kalau ia tidak nyaman dengan analogi buah, asosiasinya terlalu gamblang. Buah—buah
gitu loh. Bagaimana kalau pakai yang lebih umum?
“Aci
XII IPA 2?” sahut Royan, anak seangkatan Ali.
“Marrie.”
Anwar
mendorong-dorong punggung Ali seraya terkekeh. Ali tak paham apa maksud Anwar, lagipula nama-nama lainnya seketika disodorkan.
“Mira
XI IPA 8?” tanya anak kelas XI.
“Oreo.”
Anak
itu manggut-manggut. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia pun baru menyadari. Mira
memang sekompleks Oreo blueberry ice cream ketimbang sepasang kesemek dan sepasang labu.
“Syasya
X-7!”
“Yang
mana?”
“Nita
XII IPS 1?”
“Kit-kat.”
“Soraya
XII IPA 3.”
“Mm…
Marbles.”
“Lidya
XII IPS 1!”
“Ma
Icih.”
Kontan
tawa cowok-cowok itu meledak. Ali tersenyum grogi.
Mantan mitramuda
OSIS yang galaknya super tuh,
moga-moga tak ada yang bermulut ember di forum ini.
“Level
berapa?”
Ali
biasa makan kripik setan tanpa merek, harganya jauh lebih terjangkau, jadi
asal saja ia menjawab, “Sepuluh.”
Tepuk
tangan. Suitan.
“Rieka
XI IPA 5.”
Ali
tertegun. Makanan apa di zaman sekarang ini yang tak pakai pemanis buatan?
Nira. Aren. Tebu. Aduh, adakah yang mampu mengungkapkan betapa beningnya cewek itu? Manisnya cewek itu memang tak
bikin diabetes, tapi Tropicana Slim pun kurang
tepat.
Tatapan-tatapan
itu menunggunya. Semakin lama Ali menggantung jawaban, semakin mereka bakal mengetahui kenyataan. Selama ini Ali cuman mampu memendamnya. Bagaimanapun Ali masih senang melihat sosok si manis tanpa sakarin, meski tak
berdaya untuk menunjukkan
hasrat apapun.
“…yang
mana… ya…?” tanya Ali. Ia harap kotoran yang
melekat di kacamatanya mampu menyamarkan sorot penuh dusta.
“Anak
buah lu Li, di LEMPERs,” seru Tohar yang juga pernah aktif di LEMPERs.
“Iya,
yang baru jadian sama si Dendeng tea,”
timpal anak kelas
XI, tapi matanya mengarah pada sesama anak kelas
XI lain.
“Oh
udah enggak sama si Haqi?” Seketika Ali menyadari kalau ini bisa jadi taktik untuk mengalihkan topik.
“Enggak
beres jalan sama si Haqi mah…” celetuk seseorang
di kanan Ali.
Pergunjingan
meruap. Ali tak memiliki bakat dalam hal ini. Semua informasi menyusup ke dalam lubang telinganya, lalu keluar lewat lubang
satunya, tanpa selintas pun melekat di benak. Kronologi
hubungan antara Rieka dan si
Dendeng disusun. Analisis demi analisis mulai dikembangkan. Tangan kanan Ali menopang dagu. Kepalanya menoleh ke beberapa arah. Sayang
tak ada jendela di ruang
ini—pas benar untuk melangsungkan forum seeksklusif 4KANGSON di sini. Ali tak bisa mengalihkan pikirannya sejenak.
Bel
tanda jam istirahat berakhir disambut Ali dengan hembusan napas lega. Pertemuan yang cukup berat hari ini. Ali tak biasa larut dalam
pergunjingan, mau disertai dengan analisis seserius apapun.
Kenapa hubungan antar lawan
jenis begitu penting bagi orang-orang ini—orang-orang semacam Anwar? Kenapa
pula sampai ada buku berjudul Istri-istri Soekarno? Kenapa begitu menarik untuk mengetahui kehidupan asmara seseorang? Sejenak Ali malu.
Rupanya ia pun khilaf. Ia akan mengganti buku yang
selama ini ditenteng-tentengnya itu dengan judul lain. Gagalnya
Historisisme mungkin, Ali pernah membaca judul itu di balai bacaan.
Menuju
kelas XII IPS 1 Ali menangkap sejoli itu di kejauhan. Kini ia merasa lebih
dekat dengan mereka secara
emosional. Si Manis Tanpa Sakarin, dan… Dendeng itu… masak ada orang yang namanya seperti itu? Apa
saudaranya bernama Kikil, Rambak, atau Abon? Agaknya si Dendeng itu tipe cowok pesolek.
Lihat saja tataan
rambutnya. Kulitnya pun seperti tak pernah dikecup matahari. Barangkali matahari lebih menyukai cowok semacam Ali, sampai kulit Ali keling
begini.
Ali
tak melihat maupun membaui seutas pun asap membumbung dari hatinya. Ia tidak bisa
membayangkan dirinya menggantikan posisi si Dendeng, menyentuh-nyentuh Nona
MTS—yang Manis Tanpa Sakarin dan bukannya Madrasah Tsanawiyah—dengan kemesraan
selembut awan. Ali bergidik. Ia ganti membayangkan dirinya yang menggantikan posisi Rieka. Kali ini ia mau muntah.
Melihat
mereka lagi, seperti menyaksikan video lagu asmara populer di tempat karaoke. Rumpun bunga satu meter di dekat mereka padahal, kok
tidak diambil setangkai dan
diselipkan ke balik kuping si perempuan? Andai kantin itu menjelma gundukan bukit. Rumput Jepang yang terawat melumurinya. Mereka
tentu sudah saling berkejaran di atas sana. Haduh padahal baru sekali itu Ali
ke tempat karaoke, itupun berkat dipaksa para petinggi LEMPERs lain—yang pada
waktu itu sudah tidak tinggi lagi karena baru demisioner.
.
Sejak
SD Ali memiliki kebiasaan menulis jurnal. Ia sudah lupa bagaimana mula
kebiasaannya itu, mungkin karena
beberapa anggota keluarganya berprofesi sebagai jurnalis.
Namun Ali tidak begitu gemar mengumbar kata. Biar
hampir tiap hari ia menorehkan sesuatu di jurnal, ia hanya menuliskan hal-hal yang
esensial. Hal mana yang
membuat Ali menyadari bakatnya sebagai penulis running text,
mungkin suatu saat ia akan bekerja di TV.
Dengan
demikian sebuah jurnal baru bisa dihabiskan Ali dalam kurun beberapa tahun.
Ketika iseng membuka halaman
demi halaman jurnalnya, membaca sekilas kumpulan demi kumpulan kalimat pendek yang merangkum hari-harinya, sebaris kenangan
memberitahu Ali kalau ia pernah berinteraksi dengan si Dendeng. Ali tidak menyebut nama anak itu, ck, payah,
nulis jurnal aja enggak teliti!¸
sehingga ia hanya tahu anak itu berasal dari kelas X-7. Ali tidak kepikiran anak itu kini kelas XI
mana.
Saat
itu Ali dan Dian—rekan Ali di LEMPERs—membentuk tim reporter dengan tiga anak lain dari dua SMA
berbeda. Mereka hendak membuat laporan tentang praktik bullying
terselubung di sekolah masing-masing, lalu diajukan ke suplemen remaja koran nasional.
Ada
sebuah komunitas di SMANSON yang diduga sering
melakukan praktik tersebut. Ali sih segan mendekati orang-orang komunitas itu, kecuali kalau terpaksa atau
malah tak sengaja. Tapi Dian kenal dengan seorang anak kelas X, yang cukup lovable untuk bisa menghubungkan kedua
reporter amatir ini dengan para bully.
Malah anak itu
menyarankan, “Jangan cuman anak BASTARD aja Kang, anak kantin juga banyak kalo
cuman masalah
sepet-sepetan mah.”
Maka
Ali dan Dian juga mendekati para cewek senior yang doyan menongkrongi kantin. Hasil dengan objek kedua ini malah bikin Dian tidak
puas. “Ini mah bully terang-terangan, bukan bully
terselubung. Kita kan khusus menyoroti bully terselubung. Entar laporan kita malah melebar.”
Selagi
merenungi tahap demi tahap perkembangan hidupnya dari dalam kamar, Ali
mendengar suara seorang tetangga di ruang depan. Ibu-ibu.
“Aduh
makasih loh Bu Joko,” suara Ibu.
“Eh
enggak… Justru saya yang makasih sama Bu Karmen. Kalau enggak diajarin Aziz kemarin, enggak tahu deh gimana ulangan matematiknya
Didik…”
Senyum
Ali tersungging. Memang keahlian Ibu untuk bikin orang lain merasa berutang budi padanya, Fathim
dan Aziz adalah antek-anteknya. Kalau Fathim memang tulus mengasihi anak-anak tetangga,
Aziz nyaris seperti
Giant di perumahan ini. Di depan para orangtua ia berlagak super dan teladan, tapi begitu yang dituakan pergi ia mewujud penindas bocah-bocah. Suruh mereka berbaik-baik sama tetangga, sampai tetangga tak enak
kalau tak kasih apa-apa. Tidak mesti uang, yang penting bermanfaat. Bu Joko biasa kasih
makanan, jadi sore ini Ali
bisa punya kudapan selain nasi dan temannya.
Tuh
benar. Harum bolu pisang melambai-lambai hingga kamar Ali. Setelah Bu Joko pergi, Ibu
menyuruh Ali membeli ikan patin di warung pojok—warung mereka cuman jual nyamikan dan keperluan rumah tangga yang
tahan lama. Ali mengerti yang Ibu inginkan sebetulnya bukan
ikan, tapi motor. Ibu memberi Ali kunci motor mereka—satu-satunya yang tidak diklaim Mang Alwi sebagai miliknya juga.
Ali
menyalakan motor sementara Ibu memanggil Fathim. Tak lama kemudian Fathim
muncul.
“Aku
yang di depan aja, Bang?”
“…belum
cukup umur…” Ali memundurkan motor ke arah jalan. Sedang lengang, tak ada hambatan.
“Fathim mau ikut?”
“Iyalah.
Abang kan enggak tahu cara milih ikan.”
“Enggak
Abang izinkan Fathim naik motor ini kalau Fathim enggak pakai rok.”
“Yang
benar aja Abang, nanti siapa yang menyelamatkan Abang kalau Abang celaka di
jalan?”
“He!
Awas kamu berani-beraninya ngeremehin Abang. Kamu pikir Abang enggak pernah
belajar motor?” Ali
menunjuk-nunjuk Fathim.
“Tapi
aku yang lebih sering naik motor itu hahahaha…” Renyahnya tawa Fathim tak ada
merdunya sama sekali di
telinga Ali. Kalau tidak disuruh beli ikan, Abang tidak akan pernah latihan.
Setelah
dua menit adu mulut, satu mulut lagi menambah
menit—mulut Ibu, Ali setuju membonceng Fathim yang tak jadi mengganti celana
selututnya dengan rok. Ali
memang pengalah.
Setengah
jam kemudian motor itu telah kembali. Sebelum Ali mengarahkan motor ke lantai semen samping warung rumah, Fathim meloncat
turun. Keresek biru penuh muatan menggantung di pergelangan tangan kanannya.
Begitu riangnya langkah-langkah Fathim menuju dapur, diiringi celotehan
dengan nada tak kalah girang. “Ibu… Ibu… Tadi Abang nabrak tiang di pertigaan… hahahaha…”
Malam
itu pada jurnalnya Ali menulis: ASTREA MENABRAK TIANG DI PERTIGAAN, ADIK TERTAWA HISTERIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar