Rabu, 15 Agustus 2012

03

Om Arman datang sekitar pukul lima petang. Sa­at itu balai bacaan yang mencakup ruang depan dan ru­ang tengah rumah kian ramai. Tidak saja karena ke­ha­dir­an Fathim menyulut gempita anak-anak yang bolos TPQ, ta­pi juga karena Opung dapat teman mengobrol baru. Tan­pa dibilang Ali ngeh kalau Ibu mewajibkannya meng­ikuti diskusi Opung dan Om Arman. Senang sekali Opung apabila dibawakan koran tempat Om Arman be­ker­ja. Sudah beberapa bulan ini Ibu berhenti langganan ko­ran, sebab. Supaya kalian masih bisa mencicipi da­ging, kata Ibu. Koran digelar Opung di atas meja ling­kar­an di ruang depan. Tangan kirinya menyibak halaman de­mi halaman. Pada halaman yang memuat judul me­na­rik, kacamatanya melorot, sedang matanya menyorot ko­lom dengan tekun. Sesekali ia angkat kepala untuk me­nang­gapi omongan Om Arman, atau meletupkan topik pem­bicaraan baru sesuai apa yang tengah melintas di pi­kir­annya.

Bukan cuman Om Arman yang gemar me­ra­mai­kan rumah. Sesekali ada pula Om Wendo, Om Lubis, Om Gun, Om Nugraha, dan sekian om-om lain. Jarang tan­te yang ke mari, kecuali istri Mang Alwi yang itupun di­panggil “Bibi” oleh Ali dan adik-adiknya. Mereka da­tang pada waktu yang seenaknya, kapanpun ada luang. Ka­lau yang kumpul lumayan banyak, ruang redaksi di kan­tor masing-masing jadi pindah ke ruang depan. Bo­lak-balik mereka ke dapur untuk menyeduh kopi. Pun­tung-puntung bertebaran. Bahak tawa menyemarakkan. Pa­da akhirnya tetap cuman Ali dan Fathim yang harus mem­bereskan. Orang-orang itu tahu Ibu tak doyan se­pi—mereka kira seperti itu. Om Arman paling tahu, se­bab ia yang paling sering mampir.

“He Ali, kapan tulisan kamu mampir ke koran Om?”

Ali tersentil. Koran Om Arman memang di­leng­kapi suplemen untuk anak-anak sekolah menengah tiap Se­lasa. Ali kira seharusnya ada wadah yang lebih serius ke­timbang selembar halaman itu, tapi menulis yang tidak se­rius saja Ali tidak serius.

“Aziz kan sudah bilang enggak pingin jadi war­ta­wan. Fathim apalagi. Seenggaknya ada yang meneruskan per­juangan bapak sama opungmu ini.” Om Arman me­nyu­lut rokok.

Opung berdecak, sedang matanya pada sebagian ha­laman koran yang terangkat. “Memang payah kali anak ini.”

“Yang simpel-simpel aja dulu nulisnya. Lumayan bu­at bantu Ibu.”

Ah adakah Om Arman bisa menerawang ke­ru­mit­an pikiran Ali?

Dalam situasi seperti ini pula Ali dulu mendengar ce­rita mengenai betapa energik kedua orangtuanya dulu, dan betapa melempem dirinya kini. Sekitar sepuluh ta­hun lalu, saat Bapak cerita pada Ali yang SD dan Fathim yang TK sedang Aziz dalam buaian. “…dulu ibu kau yang sembunyikan Bapak, saat antek-antek penguasa ca­ri buruan. Kartu pers, hm, tak berguna, malah bawa ce­la­ka.”

Ada suara dari arah warung. Penyelamat! Ali mo­hon diri untuk menghampiri sang pelanggan.

“…atau jangan-jangan lebih bakat anak itu jadi pe­dagang…” Ali masih bisa mendengar suara Om Ar­man di belakang punggungnya. Sepertinya mata Om Ar­man masih terarah padanya untuk beberapa lama, se­ti­dak­nya sampai dinding warung menghalangi. Ali mem­buk­tikan bahwa ucapan teman orangtuanya itu tidak be­nar. Ali tak tega mengambil laba sebesar yang ditetapkan Ibu, saking ia bersimpati pada konsumen. Saya bisa me­nger­ti setiap orang menginginkan harga yang lebih ter­jang­kau di warung.

Seperginya tetangga yang beli Baygon, Ali me­ra­sa segan untuk kembali ke ruang depan. Bagus sih ada yang mengingatkannya untuk menulis. Ali pun sudah ber­upaya. Maka itu kini Ali lebih merasakan dorongan se­bagai tekanan.

Dulu Ali pikir jadi wartawan sambil sekolah itu mu­dah. Ali memang jadi wartawan sekolah, tapi apa ber­peng­hasilan? Kalaupun ada pemasukan dari divisi ma­ja­lah semesteran, sebagian besar lebih suka untuk lang­sung menghabiskannya di restoran ternama. Ali sempat be­berapa kali mengirim liputan ke suplemen remaja di ko­ran nasional, bareng tim. Honor lumayan, dan Ali bisa me­nyimpan bagiannya untuk keperluan dadakan di masa de­pan. Tapi tidak bisa rutin seperti itu. Ada tim-tim lain dar­i sekolah-sekolah lain di kota-kota lain yang meng­i­ngin­kan giliran. Bisa saja secara individual Ali mengirim ke media lain, banyak toh, tapi biasanya Ali lebih me­nik­mati penyesalan kenapa ia tidak segiat itu.

Baru malam Ali bisa melipat kaki dengan nya­man di pojok ruang tengah, berhadapan dengan CPU bu­tut. Ia hampir lupa di mana ia menaruh draf tulisan-tu­lis­an­nya. Terakhir kali ia coba merangkum sejarah pen­di­dik­an Indonesia, lengkap dengan tujuan politis Belanda di balik itu. Tapi sebelum tulisan itu kelar, ia malah ter­tarik dengan riwayat Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Ia ingin membuat nukilan tentang pers Indonesia mula-mu­la. Sekarang ia malah sedang mengeksplorasi bacaan me­ngenai Soekarno. Belum ada ide tulisan sama sekali me­ngenai bapak satu itu.

Ali membuka salah satu draf.

Ali biasa menghadapi susunan kalimat yang acak-acakan, lalu dengan semangat merapikannya se­ba­gai­mana ia merapikan buku-buku di balai bacaan. Tapi ka­lau kalimat-kalimat yang dihadapi adalah miliknya sen­diri, agaknya Ali lebih tertarik mendengar per­bin­cang­an antara Ibu dan Mang Alwi. Mang Alwi sedang me­nyetor sebagian penghasilan dari kios bukunya bulan lalu.

.

Amatlah penting bagi Ali untuk mengikuti per­kem­bangan isu di sekolah. OSIS membentuk forum khu­sus untuk itu. Sebagai penggawa LEMPERs—Lembaga Pers SMANSON—yang berdedikasi Ali tak pernah me­le­watkan Rabu tanpa menghadiri forum tersebut di ruang dis­kusi. Bahkan ia yang menempelkan kertas di muka pin­tu—pemberitahuan bagi siapapun yang melewati lo­rong itu bahwa sebuah kajian penting tengah di­lang­sung­kan di tepi. Begitu jenjangnya meningkat dari reporter ke pim­red mading, beberapa kali Ali menjadi moderator.

Anwar bilang mulai tahun ini akan dihelat forum se­rupa dengan cakupan isu yang lebih spesifik. Ming­gu­an juga, tiap Selasa. Tentu saja Ali berminat. Sejak pem­be­ritahuan dari Anwar, Ali menerka-nerka isu spesifik apa yang bakal diangkat dalam forum baru ini. Apakah khu­sus ekskul? Atau keguyuban antar kelas? Evaluasi gu­ru? Sarpras-fasos-fasum yang kurang menunjang ak­ti­vi­tas siswa?

Jam istirahat ia dan Anwar memasuki ruang dis­ku­si nan sempit. Ali terpana karena yang ia dapati hanya sis­wa-siswa, tak satupun siswi. Mungkin kebetulan saja, pi­kirnya. Kemudian ia mencermati kalau hampir semua wa­jah ia kenali, setidaknya setahun ini, jadi tak satupun ju­ga dari mereka yang kelas X. Sepertinya.

Seperempat jam mengikuti pembicaraan, degup jan­tung Ali kian tidak terkendali. Forum ini tak sekadar mem­bahas buah-buahan yang berbentuk bulat, sejak je­ruk polkam sampai semangka. Lalu kenapa buah yang ber­ukuran lebih kecil diposisikan di atas, sedang yang be­sar di bawah. Ada juga buah berukuran besar yang ber­ada di atas, tapi buah di bawahnya mesti berukuran le­bih besar lagi. Ali semakin yakin akan interpretasinya ter­hadap permainan analogi ini. Menjijikkan. Apa coba mak­sudnya, “...ada siah yang atas jeruk bali, bawah me­lon, …tapi tangan timun suri!”, yang kemudian disambut de­rai tawa membahana.

Setengah jam kemudian di kelas XII IPS I Anwar meng­interupsi teman sebangkunya. Pelajaran Sosiologi ma­sih memungkinkan bagi mereka yang duduk di bang­ku tengah untuk sekadar bisik-bisik. “Kamu emang BO­LE­KER sejati yah.”

“Bukan itu. Gimana kalau cewek kamu sendiri, adik kamu sendiri, yang diomongin di forum itu?”

“Serius banget yeuh maneh. Tau enggak, 70% hu­bungan lawan jenis enggak berhasil karena enggak di­per­siapkan dengan matang. Biar matang, kamu harus me­ngenal cewek luar dalam.”

Baru bulan depan pergiliran bangku diadakan la­gi. Kalut Ali memikirkan bagaimana untuk bertahan, de­ngan kawan yang tidak henti memersuasi. Apalagi ka­re­na seperempat jam forum mesum itu ternyata ampuh meng­ubah mindset Ali. Setiap melihat cewek Ali melihat bu­ah-buahan.

Selasa depan rayuan Anwar kembali masih mu­ja­rab. Di pertemuan kedua—baginya—Ali mengetahui ka­lau forum itu bernama Forum Kajian Kembang SMAN­SON. Seorang anak kelas XI telah membuat logo forum yang terbaca: 4KANGSON. Saat itu muncul debat se­ngit, apakah populasi cewek IPS 1 mampu mengimbangi pe­sona beberapa kembang terpilih dari IPS 2. Di jeda de­bat, Anwar menepuk-nepuk bahu Ali. “Maneh temen ba­ik urang Li. Jangan salah pilih cewek.” Anwar meng­ge­leng. “Jangan.”

.

Menit-menit menuju jam tayang 4KANGSON bi­kin Ali merana. Ia meratapi nasibnya sebagai seorang co­wok, lelaki, jejaka, pria. Apapun yang dibicarakan da­lam 4KANGSON menyentakkan Ali akan hakikatnya. Ali tak bisa memungkiri kalau berkecimpung dalam 4KANG­SON memang menyegarkan.

Forum ini eksklusif. Ali bisa nimbrung berkat di­ta­rik Anwar yang pegiat forum sejak awal. Anwar bisa ja­di pegiat berkat dekat dengan perintis forum. Hanya orang pilihan yang bisa masuk kualifikasi sebagai ang­go­ta: pengamat yang baik, berdaya kritis tinggi, mum­pu­ni dalam berimajinasi, gaya bicara beradab, bukan pu­ja­an para kembang SMANSON. Tak boleh meng­ung­kap­kan sesuatu secara vulgar, gunakan konotasi sehalus mung­kin hingga tiap orang bisa membayangkan apa yang dimaksudkan.

Ali tidak menyangka kalau sebagai anggota De­wan Penasihat LEMPERs yang mantan pimred mading bi­sa memberinya sedikit wibawa. Para peserta forum me­nyimak ketika Ali urun suara. Ali tidak secara lang­sung bilang kalau ia tidak nyaman dengan analogi buah, aso­siasinya terlalu gamblang. Buah—buah gitu loh. Ba­gai­mana kalau pakai yang lebih umum?

“Aci XII IPA 2?” sahut Royan, anak seangkatan Ali.

“Marrie.”

Anwar mendorong-dorong punggung Ali seraya ter­kekeh. Ali tak paham apa maksud Anwar, lagipula na­ma-nama lainnya seketika disodorkan.

“Mira XI IPA 8?” tanya anak kelas XI.

“Oreo.”

Anak itu manggut-manggut. Ekspresinya me­nun­juk­kan bahwa ia pun baru menyadari. Mira memang se­kom­pleks Oreo blueberry ice cream ketimbang sepasang ke­semek dan sepasang labu.

“Syasya X-7!”

“Yang mana?”

“Nita XII IPS 1?”

“Kit-kat.”

“Soraya XII IPA 3.”

“Mm… Marbles.”

“Lidya XII IPS 1!”

“Ma Icih.”

Kontan tawa cowok-cowok itu meledak. Ali ter­se­nyum grogi. Mantan mitramuda OSIS yang galaknya su­per tuh, moga-moga tak ada yang bermulut ember di fo­rum ini.

“Level berapa?”

Ali biasa makan kripik setan tanpa merek, har­ga­nya jauh lebih terjangkau, jadi asal saja ia menjawab, “Se­puluh.”

Tepuk tangan. Suitan.

“Rieka XI IPA 5.”

Ali tertegun. Makanan apa di zaman sekarang ini yang tak pakai pemanis buatan? Nira. Aren. Tebu. Aduh, ada­kah yang mampu mengungkapkan betapa beningnya ce­wek itu? Manisnya cewek itu memang tak bikin dia­be­tes, tapi Tropicana Slim pun kurang tepat.

Tatapan-tatapan itu menunggunya. Semakin lama Ali menggantung jawaban, semakin mereka bakal me­nge­tahui kenyataan. Selama ini Ali cuman mampu me­men­damnya. Bagaimanapun Ali masih senang melihat so­sok si manis tanpa sakarin, meski tak berdaya untuk me­nunjukkan hasrat apapun.

“…yang mana… ya…?” tanya Ali. Ia harap ko­tor­an yang melekat di kacamatanya mampu me­nya­mar­kan sorot penuh dusta.

“Anak buah lu Li, di LEMPERs,” seru Tohar yang juga pernah aktif di LEMPERs.

“Iya, yang baru jadian sama si Dendeng tea,” tim­pal anak kelas XI, tapi matanya mengarah pada se­sa­ma anak kelas XI lain.

“Oh udah enggak sama si Haqi?” Seketika Ali me­nyadari kalau ini bisa jadi taktik untuk mengalihkan to­pik.

“Enggak beres jalan sama si Haqi mah…” ce­le­tuk seseorang di kanan Ali.

Pergunjingan meruap. Ali tak memiliki bakat da­lam hal ini. Semua informasi menyusup ke dalam lubang te­linganya, lalu keluar lewat lubang satunya, tanpa se­lin­tas pun melekat di benak. Kronologi hubungan antara Ri­eka dan si Dendeng disusun. Analisis demi analisis mu­lai dikembangkan. Tangan kanan Ali menopang dagu. Ke­palanya menoleh ke beberapa arah. Sayang tak ada jen­dela di ruang ini—pas benar untuk melangsungkan fo­rum seeksklusif 4KANGSON di sini. Ali tak bisa meng­alihkan pikirannya sejenak.

Bel tanda jam istirahat berakhir disambut Ali de­ngan hembusan napas lega. Pertemuan yang cukup berat ha­ri ini. Ali tak biasa larut dalam pergunjingan, mau di­ser­tai dengan analisis seserius apapun. Kenapa hubungan an­tar lawan jenis begitu penting bagi orang-orang ini—orang-orang semacam Anwar? Kenapa pula sampai ada bu­ku berjudul Istri-istri Soekarno? Kenapa begitu me­na­rik untuk mengetahui kehidupan asmara seseorang? Se­je­nak Ali malu. Rupanya ia pun khilaf. Ia akan meng­gan­ti buku yang selama ini ditenteng-tentengnya itu de­ngan judul lain. Gagalnya Historisisme mungkin, Ali per­nah membaca judul itu di balai bacaan.

Menuju kelas XII IPS 1 Ali menangkap sejoli itu di kejauhan. Kini ia merasa lebih dekat dengan mereka se­cara emosional. Si Manis Tanpa Sakarin, dan… Den­deng itu… masak ada orang yang namanya seperti itu? Apa saudaranya bernama Kikil, Rambak, atau Abon? Agak­nya si Dendeng itu tipe cowok pesolek. Lihat saja ta­taan rambutnya. Kulitnya pun seperti tak pernah di­ke­cup matahari. Barangkali matahari lebih menyukai co­wok semacam Ali, sampai kulit Ali keling begini.

Ali tak melihat maupun membaui seutas pun asap mem­bumbung dari hatinya. Ia tidak bisa membayangkan di­rinya menggantikan posisi si Dendeng, menyentuh-nyen­tuh Nona MTS—yang Manis Tanpa Sakarin dan bu­kannya Madrasah Tsanawiyah—dengan kemesraan se­lembut awan. Ali bergidik. Ia ganti membayangkan di­ri­nya yang menggantikan posisi Rieka. Kali ini ia mau mun­tah.

Melihat mereka lagi, seperti menyaksikan video la­gu asmara populer di tempat karaoke. Rumpun bunga sa­tu meter di dekat mereka padahal, kok tidak diambil se­tangkai dan diselipkan ke balik kuping si perempuan? An­dai kantin itu menjelma gundukan bukit. Rumput Je­pang yang terawat melumurinya. Mereka tentu sudah sa­ling berkejaran di atas sana. Haduh padahal baru sekali itu Ali ke tempat karaoke, itupun berkat dipaksa para pe­ting­gi LEMPERs lain—yang pada waktu itu sudah tidak ting­gi lagi karena baru demisioner.

.

Sejak SD Ali memiliki kebiasaan menulis jurnal. Ia sudah lupa bagaimana mula kebiasaannya itu, mung­kin karena beberapa anggota keluarganya berprofesi se­ba­gai jurnalis. Namun Ali tidak begitu gemar meng­um­bar kata. Biar hampir tiap hari ia menorehkan sesuatu di jur­nal, ia hanya menuliskan hal-hal yang esensial. Hal ma­na yang membuat Ali menyadari bakatnya sebagai pe­nulis running text, mungkin suatu saat ia akan bekerja di TV.

Dengan demikian sebuah jurnal baru bisa di­ha­bis­kan Ali dalam kurun beberapa tahun. Ketika iseng mem­buka halaman demi halaman jurnalnya, membaca se­kilas kumpulan demi kumpulan kalimat pendek yang me­rangkum hari-harinya, sebaris kenangan memberitahu Ali kalau ia pernah berinteraksi dengan si Dendeng. Ali ti­dak menyebut nama anak itu, ­ck, payah, nulis jurnal aja eng­gak teliti!¸ sehingga ia hanya tahu anak itu berasal da­ri kelas X-7. Ali tidak kepikiran anak itu kini kelas XI ma­na.

Saat itu Ali dan Dian—rekan Ali di LEMPERs—mem­bentuk tim reporter dengan tiga anak lain dari dua SMA berbeda. Mereka hendak membuat laporan tentang prak­tik bullying terselubung di sekolah masing-masing, la­lu diajukan ke suplemen remaja koran nasional.

Ada sebuah komunitas di SMANSON yang di­du­ga sering melakukan praktik tersebut. Ali sih segan men­de­kati orang-orang komunitas itu, kecuali kalau terpaksa atau malah tak sengaja. Tapi Dian kenal dengan seorang anak kelas X, yang cukup lovable untuk bisa meng­hu­bung­kan kedua reporter amatir ini dengan para bully. Ma­lah anak itu menyarankan, “Jangan cuman anak BASTARD aja Kang, anak kantin juga banyak kalo cu­man masalah sepet-sepetan mah.”

Maka Ali dan Dian juga mendekati para cewek se­nior yang doyan menongkrongi kantin. Hasil dengan ob­jek kedua ini malah bikin Dian tidak puas. “Ini mah bully terang-terangan, bukan bully terselubung. Kita kan khu­sus menyoroti bully terselubung. Entar laporan kita ma­lah melebar.”

Selagi merenungi tahap demi tahap per­kem­bang­an hidupnya dari dalam kamar, Ali mendengar suara se­o­rang tetangga di ruang depan. Ibu-ibu.

“Aduh makasih loh Bu Joko,” suara Ibu.

“Eh enggak… Justru saya yang makasih sama Bu Kar­men. Kalau enggak diajarin Aziz kemarin, enggak ta­hu deh gimana ulangan matematiknya Didik…”

Senyum Ali tersungging. Memang keahlian Ibu un­tuk bikin orang lain merasa berutang budi padanya, Fathim dan Aziz adalah antek-anteknya. Kalau Fathim me­mang tulus mengasihi anak-anak tetangga, Aziz nya­ris seperti Giant di perumahan ini. Di depan para orang­tua ia berlagak super dan teladan, tapi begitu yang di­tua­kan pergi ia mewujud penindas bocah-bocah. Suruh me­re­ka berbaik-baik sama tetangga, sampai tetangga tak enak kalau tak kasih apa-apa. Tidak mesti uang, yang pen­­ting bermanfaat. Bu Joko biasa kasih makanan, jadi so­re ini Ali bisa punya kudapan selain nasi dan te­man­nya.

Tuh benar. Harum bolu pisang melambai-lambai hing­ga kamar Ali. Setelah Bu Joko pergi, Ibu menyuruh Ali membeli ikan patin di warung pojok—warung me­re­ka cuman jual nyamikan dan keperluan rumah tangga yang tahan lama. Ali mengerti yang Ibu inginkan se­be­tul­nya bukan ikan, tapi motor. Ibu memberi Ali kunci mo­tor mereka—satu-satunya yang tidak diklaim Mang Al­wi sebagai miliknya juga.

Ali menyalakan motor sementara Ibu memanggil Fathim. Tak lama kemudian Fathim muncul.

“Aku yang di depan aja, Bang?”

“…belum cukup umur…” Ali memundurkan mo­tor ke arah jalan. Sedang lengang, tak ada hambatan. “Fathim mau ikut?”

“Iyalah. Abang kan enggak tahu cara milih ikan.”

“Enggak Abang izinkan Fathim naik motor ini ka­lau Fathim enggak pakai rok.”

“Yang benar aja Abang, nanti siapa yang me­nye­la­matkan Abang kalau Abang celaka di jalan?”

“He! Awas kamu berani-beraninya ngeremehin Abang. Kamu pikir Abang enggak pernah belajar mo­tor?” Ali menunjuk-nunjuk Fathim.

“Tapi aku yang lebih sering naik motor itu hahahaha…” Renyahnya tawa Fathim tak ada merdunya sa­ma sekali di telinga Ali. Kalau tidak disuruh beli ikan, Abang tidak akan pernah latihan.

Setelah dua menit adu mulut, satu mulut lagi me­nam­bah menit—mulut Ibu, Ali setuju membonceng Fathim yang tak jadi mengganti celana selututnya de­ngan rok. Ali memang pengalah.

Setengah jam kemudian motor itu telah kembali. Se­belum Ali mengarahkan motor ke lantai semen sam­ping warung rumah, Fathim meloncat turun. Keresek bi­ru penuh muatan menggantung di pergelangan tangan ka­nannya. Begitu riangnya langkah-langkah Fathim me­nu­ju dapur, diiringi celotehan dengan nada tak kalah gi­rang. “Ibu… Ibu… Tadi Abang nabrak tiang di per­ti­ga­an… hahahaha…”

Malam itu pada jurnalnya Ali menulis: ASTREA ME­NABRAK TIANG DI PERTIGAAN, ADIK TER­TA­WA HISTERIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Animonster Volume 41 Agustus 2002 - Animonster edisi ini memuat banyak hal yang familier buat saya. Pertama, saya menemukan kembali lagu “SHARA RA” (atau “Sha la… Read more Animonster Volume ...
    5 hari yang lalu
  • Keindahan - Aku terbuka pada keindahan di sekelilingku. Biar kelembutan yang menguasai hidupku hari ini. Menepiskan cangkang pelindungku, otot-ototku mengendur dan ber...
    2 tahun yang lalu
  • Sumpah Pemuda - Hari Sumpah Pemuda baru saja berlalu. Masih hangat dalam ingatan, ketika pada 28 Oktober 1928--dalam Kongres Pemuda II--para pemuda yang sebagian berpendid...
    4 tahun yang lalu