Minggu, 19 Agustus 2012

07

Dalam ransel Ali ada sebuah buku berwarna hi­jau seukuran buku tulis. Isinya telah menguning—tidak ada buku baik di balai bacaan maupun kios buku Mang Al­wi yang tidak seperti itu. Lima lembar HVS yang ter­li­pat dua mendekap buku tersebut. Semoga mereka tidak men­dekam terlalu lama di ransel Ali, sampai pemiliknya me­mutuskan untuk mengembalikan buku ke rak, sedang ker­tas HVS bolak-balik penuh tinta itu dibuang ke tong sam­pah terdekat tapi cukup jauh dari sekolah.

Namun Ali lebih memilih untuk tidak meng­a­cuh­kan mereka. Jika suatu pagi menjelang siang bisa begitu da­mai, kenapa tidak dengan jiwanya? Meski masih se­se­ka­li tatapannya beranjak, dari kata-kata yang tertera ke ho­rizon di atas permukaan buku yang terbentang.Acap ka­li ada suara atau pergerakan di sana. Nah! Sosok itu! Ham­pir saja terlewat… eh… kenapa tidak masuk ke ke­las ini?! Ali kembali menekuri bacaannya. Sudahlah.

Hidup itu memang harus ada geregetnya. Nafsu, se­mangat, kemauan untuk berbuat—ada untungnya Ali mem­baca kamus bahasa Jawa sesekali. Ali terpikir untuk ber­tanya pada seorang cewek yang kebetulan sedang ber­a­da di kelas juga, kalau-kalau tahu di mana kelas cewek itu. Dan lima menit kemudian Ali telah berada di sana. Gan­ti menjenguk tidak masalah bukan? Terasa ber­le­bih­an. Tapi memang Ali geregetan, terlalu lama tidak kasih pe­tuah sama orang lain itu rasanya…

Cewek itu datang bersama Regi. Seperti Tuhan me­ngabulkan harap terpendamnya belakangan ini. Se­ha­rus­nya Ali giat berdoa, sehingga tidak perlu resah se­be­gi­tu menggelora yang Ali pun tidak tahu kenapa. Yang ba­nyak orang tidak tahu adalah gejolak dalam dirinya ti­dak selempeng tampang dan sikapnya.

“Eh Zia…” Obrolan di antara dua cewek itu ter­pu­tus. Zia menoleh namun Ali masih dapat menguasai di­rinya. “Sini…” O rasanya seperti kembali ke masa la­lu. Ali duduk di kursi kebesarannya di sekre LEMPERs, la­lu begitulah caranya memanggil setiap anak buahnya yang butuh dibenahi. Secara struktural Ali mungkin ha­nya seorang pimred mading, tapi secara fungsional ia me­lebihi pinum, pimred majalah semesteran, bahkan lit­bang dan PSDM meski organisasi LEMPERs tidak se­ru­mit itu. Padahal cuman satu yang Ali miliki, yang kurang di­miliki anak-anak LEMPERs yang lain, dedikasi.

Cewek itu duduk di kursi sebelah Ali. Regi di de­pan mereka. Bagus. Seharusnya mereka membawa lebih ba­nyak orang lagi. Banyak yang bisa dipelajari dari apa yang perlu Ali sampaikan. “Tentang yang kemarin.”

“Yang mana?”

Review kamu…” ujar Ali demi mempersingkat wak­tu.

“Oh,” gumam cewek itu, lalu mengerjap-nger­jap­kan mata. “Kamu baca?”

“Ya…”

Cewek itu menoleh pada Regi dengan begitu an­tu­sias. Regi ikut tersenyum. “Hehehe… Jadi malu.” Gro­gi merajai wajah Zia.

Loh bagaimana sih, kamu sendiri yang ingin di­ba­ca… Katakan dengan tegas seperti Multatuli: Ya, aku ingin dibaca! Akhirnya Ali membiarkan lima lembar ker­tas HVS dalam ranselnya menghirup udara segar.

“Wah… Sampai di-print segala…”

“Biar lebih enak bacanya, Regi…” sahut Ali se­ra­ya ganti mengeluarkan pensil. “Gaya kamu masih sa­ma kayak tulisan tentang UN waktu itu, Zia… Masalah ka­mu ada di berpikir sistematis.” Ali menuliskan frasa itu di margin atas, didahului oleh lingkaran berisi angka sa­tu. “Banyak yang pingin kamu sampaikan di tulisan ini. Pertama,” Ali menuliskan lagi angka satu, “sebagai pe­resensi kamu ingin menyampaikan lagi cerita yang udah kamu baca, dan itu emang perlu. Kedua,“ angka dua,”dari cerita itu ada banyak yang ingin kamu bahas.” Ali membukai halaman demi halaman, lalu mencoret se­ke­nanya beberapa bagian. “Alur. Karakter. Kondisi ce­tak­an… hm… Gaya penuturan… Apa kamu sempat ber­pi­kir buat mengelompokkan ini ke dalam subjudul-sub­ju­dul?”

“Ha?”

“Pikiran kamu meloncat-loncat. Sampai sini, ka­mu seolah sudah berhenti dengan karakter. Tapi di ha­la­man ini, tahu-tahu kamu menjabarkan lagi, lebih banyak la­gi.”

“Aku kan cuman ngikutin alur pemikiranku aja.”

“Ya. Pikiran kamu rumit, Zia. Tapi ketika kamu me­nulis buat orang lain, bakal lebih baik kalau kamu bi­sa mempermudahnya. Maksud kamu bakal lebih ter­sam­pai­kan. Orang lain enggak bingung bacanya. Gagasan ka­mu banyak, banyak banget, di sini, dan sayang banget ke­tika orang lain selesai baca ini, mereka malah sama bi­ngung­nya kayak penulisnya.”

Regi tertawa. “Bener juga sih. Bacanya sih emang enak-enak aja, ngalir gitu. Tapi dapet in­for­ma­si­nya ya sepotong-sepotong aja… Tahu sih, satu sama lain sa­ling nyambung gitu, cuman ya… iya, acak aja. Enggak ke­ciri, gitu, aspek apa yang mau ditonjolin…”

“Emang enggak boleh ya menulis bebas gitu?”

“Ya boleh. Itu bagus. Tapi menulis itu kan proses yang berulang-ulang. Kamu enggak cukup cuman nulis se­kali kalau pingin hasilnya bagus,” Ali mengutip se­bu­ah teori yang ia sendiri tidak pernah praktikkan. Ia meng­angkat tulisan Zia. “Dan ini udah awal yang bagus Zia, tinggal masalah pengorganisasian gagasan aja, sa­ma…” …tidak tinggal masalah pengorganisasian ga­gas­an saja ternyata.

“Baris ini, sampai baris ini, ini satu paragraf apa sa­tu kalimat? Coba deh, Regi, kamu tahu enggak ini in­ti­nya apa?”

Lalu.

“Orang bakal lebih mudah memahami tulisan ka­mu, enggak capek bacanya, kalau kamu pakai kalimat-ka­limat yang simpel. Pendek aja. Satu kalimat satu ga­gas­an. Satu paragraf ngebentuk satu gagasan umum. Ka­mu masih inget SPOK kan? Itu juga bisa ngebantu kamu bu­at bikin kalimat yang padat. Coba lihat kalimat ini, ki­ta ubah sedikit susunannya…” Ali terus mencorat-coret di margin. “Liat, lebih ringkas kan? Tapi maksudnya sa­ma, bahkan lebih jelas. Lebih logis.”

Untuk ke sekian kali Zia bersikap defensif. “Ke­na­pa aku enggak boleh menulis sesuka hati? Ini kan blog aku, terserah dong aku mau nulis apa.”

Sesaat Ali diam. “Iya. Terserah kamu emang, mau nulis apapun,” ucapnya kalem. “Semangat menulis ka­mu tinggi. Bagus banget. Tapi kalau saya sebagai pem­baca, yang kebetulan main ke blog kamu, dan me­ne­mu­kan tulisan sepanjang ini di blog…” Ali meng­em­pas­kan lima lembar kertas HVS berisi tulisan Zia ke atas me­ja. “…saya bakal malas baca sampai tuntas. Ngo­mong-ngomong itu font-nya udah saya perkecil.” Dan ingat, tinta mengisi kertas tersebut bolak-balik.

“Kamu baca sampai selesai enggak, Regi?” Zia me­noleh pada teman dekatnya. Berharap pembelaan? Ce­ngiran Regi yang ia dapatkan.

“Dari paragraf pertama saya udah kepingin pin­jem buku itu dari kamu,” jawab Regi.

“Kamu sih emang selalu pingin pinjem buku apa aja yang aku punya,” cemberut Zia.

Regi mengikik. “Betul tuh kata si Ali. Kayaknya re­view kamu bakal lebih bagus kalau kamu fokus ke hal ter­tentu aja, jadi kayak review di koran gitu, Zia. Siapa ta­hu aja lain kali bisa dimuat di koran. Ya enggak?” Bi­bir Zia mengerucut sedang bibir Regi membentuk leng­kung ke atas.

“Kalau tiap tulisan harus terpatok sama aturan-atur­an kayak gitu, terus gimana penulis nunjukkin ke­unik­annya?”

Ali tertegun. “Keunikan itu, dengan sendirinya ba­kal kelihatan dari gagasan kamu, pilihan kata, dan gi­ma­na cara kamu ngerangkai kalimat…”

“Nah, itu… itu…!” Telunjuk Zia mengarah pada Ali. “…kamu bilang gitu, tapi kamu sendiri yang me­ne­kan­kan kalau pilihan kata sebisa mungkin simpel aja su­pa­ya mudah dipahami, gagasan enggak boleh morat-ma­rit­lah, kalimat harus SPOK…”

“…tapi yang utama iru gimana supaya informasi bi­sa disampaikan secara efektif kepada pembaca, Zia... Ga­ya penulisan bakal terasa dengan sendirinya.”

“Aku enggak memaksudkan tulisan aku seperti tu­lisan di LEMPERs pada umumnya,” ujar Zia, yang me­nyentil kuping Ali karena nadanya terdengar bak le­ceh­an, “tapi toh sengawur apapun tulisan aku, tetep ka­mu bisa nangkep maksudnya kan?” Senyum cewek itu ja­di rada sinis. “Ini cuman masalah cita rasa.”

Terserah kamulah, pungkas Ali dalam hati. Se­lan­jutnya ganti Regi yang menanyakan apa saja fungsi tan­da koma. Saat bel tanda jam istirahat berakhir Ali ma­sih menguraikan di mana tanda titik koma bisa di­le­tak­kan, sampai ia tidak begitu ngeh kalau Zia undur diri. Ha­nya Regi yang mendongak sedikit seraya tersenyum pa­da teman dekatnya itu.

Sepulang sekolah Ali melihat Zia dari kejauhan. Ce­wek itu berjalan sendirian menuju gerbang. Ali juga akan menuju ke sana, namun ia sedang mem­per­tim­bang­kan apakah hendak melewati sekre LEMPERs dulu apa ti­dak, dan terpikir juga apa cewek itu marah karena de­ngan sedemikian rupa Ali membongkar aib-aib pada tu­lis­annya. Sebetulnya Ali tidak merasa begitu perlu. Sia­pa­pun anak LEMPERs yang pernah bekerja sama de­ngan­nya, setuju untuk menjuluki abang mereka ini si Pa­hit Lidah. Bukan hanya karena apa yang ia katakan acap ter­bukti kebenarannya, tapi juga karena terasa pahit di te­li­nga hingga sukma. Kebenaran itu memang pahit, Bung, be­gitu kata Ali kalau tabiatnya itu disinggung.

Lagipula tadi Zia ambil juga hasil cetak tu­lis­an­nya yang ramai ditimpa coret-coretan Ali.

.

Begitu sampai di rumah Ali tidak hendak me­lan­jut­kan bacaan. Ia telah memiliki lain rencana. Mungkin jus­tru ini sebenarnya yang ia cari, dan harus selalu ada tum­bal untuk itu. Usai mencerca-merca tulisan orang la­in, Ali selalu merasa bagai habis minum segelas air lu­dah sendiri, maupun ludah orang lain yang ia sitasi atau pa­rafrase perkataannya. Bikin mual tentu saja, sehingga Ali harus memuntahkannya kembali. Dalam sebentuk tu­lis­annya sendiri.

Tapi lagi di depan layar yang telah menyala Ali ga­mang. Kejadian ini sudah berulang kali, ia masih tidak pas­ti mana draf yang bakal ia selesaikan lebih dulu. Apa se­baiknya ia membuat tulisan baru, dan menambah per­ben­daharaan draf tulisan yang tidak kunjung ia se­le­sai­kan?

Maka dengan senang hati Ali beralih dari kom­pu­ter, karena Ibu menyuruhnya untuk menjahit lubang-lu­bang di pakaian adik-adik. Begitu Fathim tiba di rumah, ser­ta-merta anak itu meledek. Ali balas menggertak. “Se­ha­rusnya kamu yang jahit baju kamu sendiri. Kamu itu anak perempuan apa bukan sih?!” Anak itu suka meng­hin­dar kalau disuruh belajar menjahit. Kalaupun terpaksa me­ngerjakan, hasilnya asal-asalan. Tapi Ali senang kok me­nusuk dan menarik benang selama bermenit-menit, ka­rena lebih ringan rasanya ketimbang harus meng­ha­dapi kebingungan dan kekosongan di depan layar kom­pu­ter.

Maka dengan riang hati pula Ali mendapati bah­wa ini adalah hari keramas. Sejak kecil Ali memiliki ke­bi­asaan untuk menandai kalender setiap dua hari sekali de­ngan tanda silang, artinya ia telah keramas hari itu. Dua hari lalu ada tanda silang, kemarin tidak ada, berarti ha­ri ini harus ada tanda silang lagi. Hari ini Ali harus ke­ra­mas. Penundaan memang menyenangkan.

“Ali, sehabis ini kau temani Opung tuh, di de­pan…” ujar Ibu sekeluarnya Ali dari kamar mandi. Ibu te­ngah membilas sesuatu di bak cuci. Dapur memang peng­hubung antara belakang rumah dengan ruang ten­gah.

Barulah Ali sadar untuk mengelem pantatnya di kur­si depan komputer. Ini lebih baik ketimbang menjadi pen­dengar Opung. Zia saja bisa mengisi blog miliknya se­minggu sekali dengan tulisan-tulisan semacam itu—se­jak bulan lalu dan ini baru ganti bulan, omong-omong. Ke­napa Ali tidak bisa? Apa artinya segenap rasa sok yang ia kerahkan pada Zia dan Regi tadi? Segala ilmu ke­penulisan yang telah Ali serap selama bernaung di LEM­PERs rasanya sia-sia, atau barangkali Ali lah yang te­lah, bakal semakin, menyia-nyiakannya.

Ali putuskan untuk memulai dari yang ringan du­lu. “Liburan ke Bali.doc”. Ali akan mengganti judul ar­sip tersebut dengan judul lain yang jauh dari kesan kalau itu adalah karangan anak kelas lima SD, nanti, kalau ka­rang­an anak kelas tiga SMA—IPS—nya telah selesai. Ja­di Ali harus mengembangkan karangannya dalam pers­pek­tif ilmu-ilmu sosial.

Omong-omong, apa yang ia lakukan di Bali? Itu su­dah hampir setengah tahun lalu. Menilik jurnal, mes­ki­pun ia rutin mengisi, tapi apa yang bisa dikembangkan da­ri sebaris kalimat dengan bahasa running text di TV? Ra­ta-rata ia menulis hanya sebaris kalimat setiap hari, ter­masuk hari-harinya di sana. Karena ia tidak bawa jur­nal saat itu jadi ia baru menuliskannya saat sudah kem­ba­li, dengan mengais-ngais ingatan. Running text ter­nya­ta tidak cukup informatif. PESAWAT FOKKER 27 MI­LIK TNI AU JATUH DI PEMUKIMAN terus apa? Ber­syu­kurlah orang-orang yang tidak cukup kritis, tanpa da­ya untuk mengembangkan sejuta pertanyaan dari sebaris ka­limat. Lagipula dirundungi pertanyaan-pertanyaan itu sa­ngat menganggu, sebagaimana Ali kini bertanya-tanya apa saja yang ia dapatkan dari pengalamannya berkelana di Bali selama lima hari dengan sesama lelaki(-lelaki) ke­ring asmara. Apa itu istilah Anwar—BOLEKER?

Mereka adalah kawan-kawan Ali sesama siswa SMAN­SON, satu angkatan dari berbagai kelas. Mereka ada­lah orang-orang yang punya cukup uang, tapi tidak cu­kup nyali untuk membayari cewek-cewek agar terpikat de­ngan mereka. Bagaimana mau punya cukup nyali, mi­nat saja tidak cukup. Beberapa di antara mereka lebih ber­minat jadi anggota Bismania, lalu mengajak kawan-ka­wan yang lain ke Bali dengan menggunakan bis. Naik ke­reta ekonomi mungkin bakal lebih murah dan cepat, ta­pi pemandangan dan pengalaman yang didapatkan de­ngan bis mereka yakini bakal lebih beragam.

Mengajak Ali yang anak IPS, dan dedengkot LEM­PERs, terbukti amat berguna kemudian meski me­re­ka harus patungan untuk membiayai akomodasi anak itu. Semula Ali menolak ikut dengan berbagai alasan. Fi­nan­sial. Malas. Capek. Siapa yang jagain buku-buku di ru­mah. Halah… Sok kamu adanya berapa, entar kita ra­me-rame nombokin!

Ali yang jarang berpergian tidak berkutik selama se­hari pertama perjalanan. Ia tidak bisa apa-apa selain me­ringkuk dalam-dalam di kursi bis, menghindari pe­man­dangan ke arah jalan. Kawan-kawannya mencekoki Ali dengan segala macam bau-bauan, jahe, jeruk, permen mint, apapun yang mampu membuat anak kurang gizi itu ber­henti muntah. Sampai di feri wajah Ali pucat luar bi­a­sa. Tubuh lunglai, lebih tidak bergairah daripada yang bi­asa. Setidaknya ia sudah berani memandangi samudra, mes­ki tanpa kacamata. Dan merespons ketika disodori DSLR.

Beri Ali waktu untuk mengutak-atik suatu ka­me­ra. Potret-potret dengan kualitas prima akan segera ter­sim­pan di sana. Ali tidak asal dalam memotret, saking ter­biasa menggunakan SLR analog yang harga filmnya lu­mayan untuk orang dengan kelas ekonomi sepertinya. Ma­ka seusai liburan si empunya DSLR merasa sayang un­tuk menghapus hasil potretan Ali, meskipun sebagian ha­nya berupa objek mati. Tapi Ali cuek saja, tidak ber­mi­nat untuk mengoleksi karyanya sendiri, karena me­mo­ri komputer di rumahnya tidak bakal cukup. Ali juga ti­dak menolak kalau diminta memotret anu dan apa de­ngan gaya seperti ini dan itu, tidak protes kalau tidak ada yang cukup peduli untuk ganti memotret dirinya.

Sampai di Denpasar mereka singgah sejenak di ru­mah paman salah seorang di antara mereka. Sang pa­man meminjamkan sebuah mobil bak. Rencana mereka se­lanjutnya adalah mengelilingi Bali. Pas betul hanya dua orang di antara mereka yang bisa mengemudikan mo­bil, jadi bisa bergantian. Terbukti lagi tidak rugi mem­bawa Ali. Ia yang paling sering mengecek peta, pu­nya inisiatif untuk turun dari bak dan bertanya pada orang di pinggir jalan, menelepon ibunya untuk minta re­fe­rensi harga-harga murah di Bali, bahkan mencarikan tem­pat untuk bermalam. Sementara kawan-kawannya mem­beli kaos baru karena kaos mereka pada kotor, Ali se­lalu mencuci pakaian sekalian ia mandi. Pakaiannya pun berkibar-kibar di pojok bak ketika mobil melaju. Ke­tika suasana sedang suntuk ia jadi hiburan tersendiri de­ngan celetukannya akan berbagai informasi menarik yang ia dapatkan dari hasil melihat-lihat atau tanya-tanya orang.

Cuman di pantai Ali tidak betah pegang kamera la­ma-lama. Ia lebih bersemangat untuk melepas kaos, me­nerjang ombak, menghilang sampai lama, lalu tahu-ta­hu muncul di sisi lain pantai. Kawan-kawannya pun ti­dak jadi memanggil penjaga pantai. Sering juga ia di­ka­tai pelit, karena tidak pernah mengeluarkan sepeser pun sa­at harus isi bensin, meski mereka maklum. Tinggal be­ra­pa lagi sih lembar ribuan di dompet Ali? Tidak sepeser pun, karena Ali memang tidak punya dompet. Ali lebih su­ka memecah uangnya dalam kantong-kantong kecil di ba­ju dan tas. Lagipula ia beli oleh-oleh saja tidak, malah le­bih asyik memotret atau tanya-tanya orang.

Sebelum perjalanan pulang dengan menggunakan bis lagi, kawan-kawan Ali sudah mengumpulkan banyak kan­­tong plastik. Demi keadilan dan kesejahteraan me­re­ka akan bergantian menjadi teman sebangku Ali. Tapi Ali tidak menunjukkan gejala apapun selama beberapa jam pertama di bis. Di feri ia masih aktif bergerak, bah­kan sempat menjemur beberapa kaosnya di dek. Kembali ke bis ia tidak lagi duduk meringkuk. Kadang ia bilang, mu­al, tapi begitu lihat pemandangan menarik di pinggir ja­lan ia langsung sigap memotret. Tak ada sehelai kan­tong plastik pun yang terpakai jadinya, kecuali untuk me­nampung sampah nyamikan dan minuman.

Loh kok jadinya cuman catatan perjalanan? Ak­hir­nya Ali tahan berkutat selama berjam-jam di depan kom­puter. Lagu-lagu dangdut—ada apa sih dengan se­le­ra si Fathim ini?—mulai tertangkap dalam pendengaran Ali. Ali mengacak-acak rambut, biarpun tak lama ke­mu­di­an tatanan rambutnya kembali seperti semula. Entah su­dah berapa orang yang menyarankan Ali untuk jadi bin­tang iklan sampo. Padahal Ali suka lupa menyisir ram­but.

Ali memindai hasil tulisannya. Ia merasa cukup pu­as. Dalam sekali tulis ia bisa menghasilkan alur pe­mi­kir­an yang runut. Tiap gagasan mendapat paragrafnya ma­sing-masing. Huh memang aku seperti si Zia itu?!, de­ngus Ali, meski merasa malu juga kalau cuman tulisan se­macam ini yang ia pajang di blog. Cewek itu sudah ham­pir membahas pergerakan bangsa di awal tahun 1920-an loh, sedangkan… Ah menulis itu kan proses, ha­rus berulang-ulang! Ali menandai beberapa bagian da­lam tulisannya yang bisa dikembangkan jadi tulisan lain yang lebih serius. Misal, kenapa toilet di banyak tempat wi­sata di Bali jorok-jorok? Kenapa masjid-masjid yang ia lihat saat bis melintasi sepanjang Jawa Timur megah-me­gah? Apa itu sebenarnya Kopi Tongkat Ali yang pos­ter­nya ia temukan di sebuah rumah makan di Pro­bo­ling­go? Banyak lagi.

Jadi yang ia hasilkan ini hanya tulisan awal, baru draf. Baru draf. Ali hanya menambah draf baru di fol­der­nya. Ali merasa sangat letih setelah mengetik berjam-jam. Ia butuh istirahat, sangat. Lain kali lagi ia akan meng­edit drafnya itu—kalau bukan menghasilkan draf ba­ru dengan topik yang sama sekali berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Animonster Volume 41 Agustus 2002 - Animonster edisi ini memuat banyak hal yang familier buat saya. Pertama, saya menemukan kembali lagu “SHARA RA” (atau “Sha la… Read more Animonster Volume ...
    5 hari yang lalu
  • Keindahan - Aku terbuka pada keindahan di sekelilingku. Biar kelembutan yang menguasai hidupku hari ini. Menepiskan cangkang pelindungku, otot-ototku mengendur dan ber...
    2 tahun yang lalu
  • Sumpah Pemuda - Hari Sumpah Pemuda baru saja berlalu. Masih hangat dalam ingatan, ketika pada 28 Oktober 1928--dalam Kongres Pemuda II--para pemuda yang sebagian berpendid...
    4 tahun yang lalu