Dalam ransel Ali ada
sebuah buku berwarna hijau seukuran buku tulis. Isinya telah menguning—tidak
ada buku baik di balai bacaan maupun kios buku Mang Alwi yang tidak seperti
itu. Lima lembar HVS yang terlipat dua mendekap buku tersebut. Semoga mereka
tidak mendekam terlalu lama di ransel Ali, sampai pemiliknya memutuskan untuk
mengembalikan buku ke rak, sedang kertas HVS bolak-balik penuh tinta itu
dibuang ke tong sampah terdekat tapi cukup jauh dari sekolah.
Namun Ali lebih memilih
untuk tidak mengacuhkan mereka. Jika suatu pagi menjelang siang bisa begitu
damai, kenapa tidak dengan jiwanya? Meski masih sesekali tatapannya
beranjak, dari kata-kata yang tertera ke horizon di atas permukaan buku yang
terbentang.Acap kali ada suara atau pergerakan di sana. Nah! Sosok itu! Hampir
saja terlewat… eh… kenapa tidak masuk ke kelas ini?! Ali kembali menekuri
bacaannya. Sudahlah.
Hidup itu memang harus
ada geregetnya. Nafsu, semangat, kemauan untuk berbuat—ada untungnya Ali membaca
kamus bahasa Jawa sesekali. Ali terpikir untuk bertanya pada seorang cewek
yang kebetulan sedang berada di kelas juga, kalau-kalau tahu di mana kelas
cewek itu. Dan lima menit kemudian Ali telah berada di sana. Ganti menjenguk
tidak masalah bukan? Terasa berlebihan. Tapi memang Ali geregetan, terlalu
lama tidak kasih petuah sama orang lain itu rasanya…
Cewek itu datang
bersama Regi. Seperti Tuhan mengabulkan harap terpendamnya belakangan ini. Seharusnya
Ali giat berdoa, sehingga tidak perlu resah sebegitu menggelora yang Ali pun
tidak tahu kenapa. Yang banyak orang tidak tahu adalah gejolak dalam dirinya
tidak selempeng tampang dan sikapnya.
“Eh Zia…” Obrolan di
antara dua cewek itu terputus. Zia menoleh namun Ali masih dapat menguasai dirinya.
“Sini…” O rasanya seperti kembali ke masa lalu. Ali duduk di kursi
kebesarannya di sekre LEMPERs, lalu begitulah caranya memanggil setiap anak
buahnya yang butuh dibenahi. Secara struktural Ali mungkin hanya seorang
pimred mading, tapi secara fungsional ia melebihi pinum, pimred majalah
semesteran, bahkan litbang dan PSDM meski organisasi LEMPERs tidak serumit
itu. Padahal cuman satu yang Ali miliki, yang kurang dimiliki anak-anak
LEMPERs yang lain, dedikasi.
Cewek itu duduk di
kursi sebelah Ali. Regi di depan mereka. Bagus. Seharusnya mereka membawa
lebih banyak orang lagi. Banyak yang bisa dipelajari dari apa yang perlu Ali
sampaikan. “Tentang yang kemarin.”
“Yang mana?”
“Review kamu…” ujar Ali demi mempersingkat waktu.
“Oh,” gumam cewek itu,
lalu mengerjap-ngerjapkan mata. “Kamu baca?”
“Ya…”
Cewek itu menoleh pada
Regi dengan begitu antusias. Regi ikut tersenyum. “Hehehe… Jadi malu.” Grogi
merajai wajah Zia.
Loh bagaimana sih, kamu
sendiri yang ingin dibaca… Katakan dengan tegas seperti Multatuli: Ya, aku
ingin dibaca! Akhirnya Ali membiarkan lima lembar kertas HVS dalam ranselnya
menghirup udara segar.
“Wah… Sampai di-print segala…”
“Biar lebih enak
bacanya, Regi…” sahut Ali seraya ganti mengeluarkan pensil. “Gaya kamu masih
sama kayak tulisan tentang UN waktu itu, Zia… Masalah kamu ada di berpikir
sistematis.” Ali menuliskan frasa itu di margin atas, didahului oleh lingkaran
berisi angka satu. “Banyak yang pingin kamu sampaikan di tulisan ini.
Pertama,” Ali menuliskan lagi angka satu, “sebagai peresensi kamu ingin
menyampaikan lagi cerita yang udah kamu baca, dan itu emang perlu. Kedua,“
angka dua,”dari cerita itu ada banyak yang ingin kamu bahas.” Ali membukai
halaman demi halaman, lalu mencoret sekenanya beberapa bagian. “Alur.
Karakter. Kondisi cetakan… hm… Gaya penuturan… Apa kamu sempat berpikir
buat mengelompokkan ini ke dalam subjudul-subjudul?”
“Ha?”
“Pikiran kamu
meloncat-loncat. Sampai sini, kamu seolah sudah berhenti dengan karakter. Tapi
di halaman ini, tahu-tahu kamu menjabarkan lagi, lebih banyak lagi.”
“Aku kan cuman ngikutin
alur pemikiranku aja.”
“Ya. Pikiran kamu
rumit, Zia. Tapi ketika kamu menulis buat orang lain, bakal lebih baik kalau
kamu bisa mempermudahnya. Maksud kamu bakal lebih tersampaikan. Orang lain
enggak bingung bacanya. Gagasan kamu banyak, banyak banget, di sini, dan
sayang banget ketika orang lain selesai baca ini, mereka malah sama bingungnya
kayak penulisnya.”
Regi tertawa. “Bener
juga sih. Bacanya sih emang enak-enak aja, ngalir gitu. Tapi dapet informasinya
ya sepotong-sepotong aja… Tahu sih, satu sama lain saling nyambung gitu, cuman
ya… iya, acak aja. Enggak keciri, gitu, aspek apa yang mau ditonjolin…”
“Emang enggak boleh ya
menulis bebas gitu?”
“Ya boleh. Itu bagus.
Tapi menulis itu kan proses yang berulang-ulang. Kamu enggak cukup cuman nulis
sekali kalau pingin hasilnya bagus,” Ali mengutip sebuah teori yang ia
sendiri tidak pernah praktikkan. Ia mengangkat tulisan Zia. “Dan ini udah awal
yang bagus Zia, tinggal masalah pengorganisasian gagasan aja, sama…” …tidak
tinggal masalah pengorganisasian gagasan saja ternyata.
“Baris ini, sampai baris
ini, ini satu paragraf apa satu kalimat? Coba deh, Regi, kamu tahu enggak ini
intinya apa?”
Lalu.
“Orang bakal lebih
mudah memahami tulisan kamu, enggak capek bacanya, kalau kamu pakai kalimat-kalimat
yang simpel. Pendek aja. Satu kalimat satu gagasan. Satu paragraf ngebentuk
satu gagasan umum. Kamu masih inget SPOK kan? Itu juga bisa ngebantu kamu buat
bikin kalimat yang padat. Coba lihat kalimat ini, kita ubah sedikit
susunannya…” Ali terus mencorat-coret di margin. “Liat, lebih ringkas kan? Tapi
maksudnya sama, bahkan lebih jelas. Lebih logis.”
Untuk ke sekian kali
Zia bersikap defensif. “Kenapa aku enggak boleh menulis sesuka hati? Ini kan blog aku, terserah dong aku mau nulis
apa.”
Sesaat Ali diam. “Iya.
Terserah kamu emang, mau nulis apapun,” ucapnya kalem. “Semangat menulis kamu
tinggi. Bagus banget. Tapi kalau saya sebagai pembaca, yang kebetulan main ke blog kamu, dan menemukan tulisan
sepanjang ini di blog…” Ali mengempaskan
lima lembar kertas HVS berisi tulisan Zia ke atas meja. “…saya bakal malas
baca sampai tuntas. Ngomong-ngomong itu font-nya
udah saya perkecil.” Dan ingat, tinta mengisi kertas tersebut bolak-balik.
“Kamu baca sampai
selesai enggak, Regi?” Zia menoleh pada teman dekatnya. Berharap pembelaan? Cengiran
Regi yang ia dapatkan.
“Dari paragraf pertama
saya udah kepingin pinjem buku itu dari kamu,” jawab Regi.
“Kamu sih emang selalu
pingin pinjem buku apa aja yang aku punya,” cemberut Zia.
Regi mengikik. “Betul
tuh kata si Ali. Kayaknya review
kamu bakal lebih bagus kalau kamu fokus ke hal tertentu aja, jadi kayak review di koran gitu, Zia. Siapa tahu
aja lain kali bisa dimuat di koran. Ya enggak?” Bibir Zia mengerucut sedang
bibir Regi membentuk lengkung ke atas.
“Kalau tiap tulisan
harus terpatok sama aturan-aturan kayak gitu, terus gimana penulis nunjukkin
keunikannya?”
Ali tertegun. “Keunikan
itu, dengan sendirinya bakal kelihatan dari gagasan kamu, pilihan kata, dan gimana
cara kamu ngerangkai kalimat…”
“Nah, itu… itu…!”
Telunjuk Zia mengarah pada Ali. “…kamu bilang gitu, tapi kamu sendiri yang menekankan
kalau pilihan kata sebisa mungkin simpel aja supaya mudah dipahami, gagasan
enggak boleh morat-maritlah, kalimat harus SPOK…”
“…tapi yang utama iru
gimana supaya informasi bisa disampaikan secara efektif kepada pembaca, Zia...
Gaya penulisan bakal terasa dengan sendirinya.”
“Aku enggak memaksudkan
tulisan aku seperti tulisan di LEMPERs pada umumnya,” ujar Zia, yang menyentil
kuping Ali karena nadanya terdengar bak lecehan, “tapi toh sengawur apapun
tulisan aku, tetep kamu bisa nangkep maksudnya kan?” Senyum cewek itu jadi
rada sinis. “Ini cuman masalah cita rasa.”
Terserah kamulah,
pungkas Ali dalam hati. Selanjutnya ganti Regi yang menanyakan apa saja
fungsi tanda koma. Saat bel tanda jam istirahat berakhir Ali masih
menguraikan di mana tanda titik koma bisa diletakkan, sampai ia tidak begitu
ngeh kalau Zia undur diri. Hanya Regi yang mendongak sedikit seraya tersenyum
pada teman dekatnya itu.
Sepulang sekolah Ali
melihat Zia dari kejauhan. Cewek itu berjalan sendirian menuju gerbang. Ali
juga akan menuju ke sana, namun ia sedang mempertimbangkan apakah hendak
melewati sekre LEMPERs dulu apa tidak, dan terpikir juga apa cewek itu marah
karena dengan sedemikian rupa Ali membongkar aib-aib pada tulisannya.
Sebetulnya Ali tidak merasa begitu perlu. Siapapun anak LEMPERs yang pernah
bekerja sama dengannya, setuju untuk menjuluki abang mereka ini si Pahit
Lidah. Bukan hanya karena apa yang ia katakan acap terbukti kebenarannya, tapi
juga karena terasa pahit di telinga hingga sukma. Kebenaran itu memang pahit,
Bung, begitu kata Ali kalau tabiatnya itu disinggung.
Lagipula tadi Zia ambil
juga hasil cetak tulisannya yang ramai ditimpa coret-coretan Ali.
.
Begitu sampai di rumah
Ali tidak hendak melanjutkan bacaan. Ia telah memiliki lain rencana. Mungkin
justru ini sebenarnya yang ia cari, dan harus selalu ada tumbal untuk itu.
Usai mencerca-merca tulisan orang lain, Ali selalu merasa bagai habis minum
segelas air ludah sendiri, maupun ludah orang lain yang ia sitasi atau parafrase
perkataannya. Bikin mual tentu saja, sehingga Ali harus memuntahkannya kembali.
Dalam sebentuk tulisannya sendiri.
Tapi lagi di depan
layar yang telah menyala Ali gamang. Kejadian ini sudah berulang kali, ia
masih tidak pasti mana draf yang bakal ia selesaikan lebih dulu. Apa sebaiknya
ia membuat tulisan baru, dan menambah perbendaharaan draf tulisan yang tidak
kunjung ia selesaikan?
Maka dengan senang hati
Ali beralih dari komputer, karena Ibu menyuruhnya untuk menjahit lubang-lubang
di pakaian adik-adik. Begitu Fathim tiba di rumah, serta-merta anak itu
meledek. Ali balas menggertak. “Seharusnya kamu yang jahit baju kamu sendiri.
Kamu itu anak perempuan apa bukan sih?!” Anak itu suka menghindar kalau
disuruh belajar menjahit. Kalaupun terpaksa mengerjakan, hasilnya asal-asalan.
Tapi Ali senang kok menusuk dan menarik benang selama bermenit-menit, karena
lebih ringan rasanya ketimbang harus menghadapi kebingungan dan kekosongan di
depan layar komputer.
Maka dengan riang hati
pula Ali mendapati bahwa ini adalah hari keramas. Sejak kecil Ali memiliki kebiasaan
untuk menandai kalender setiap dua hari sekali dengan tanda silang, artinya ia
telah keramas hari itu. Dua hari lalu ada tanda silang, kemarin tidak ada,
berarti hari ini harus ada tanda silang lagi. Hari ini Ali harus keramas.
Penundaan memang menyenangkan.
“Ali, sehabis ini kau
temani Opung tuh, di depan…” ujar Ibu sekeluarnya Ali dari kamar mandi. Ibu tengah
membilas sesuatu di bak cuci. Dapur memang penghubung antara belakang rumah
dengan ruang tengah.
Barulah Ali sadar untuk
mengelem pantatnya di kursi depan komputer. Ini lebih baik ketimbang menjadi
pendengar Opung. Zia saja bisa mengisi blog
miliknya seminggu sekali dengan tulisan-tulisan semacam itu—sejak bulan lalu
dan ini baru ganti bulan, omong-omong. Kenapa Ali tidak bisa? Apa artinya
segenap rasa sok yang ia kerahkan pada Zia dan Regi tadi? Segala ilmu kepenulisan
yang telah Ali serap selama bernaung di LEMPERs rasanya sia-sia, atau
barangkali Ali lah yang telah, bakal semakin, menyia-nyiakannya.
Ali putuskan untuk
memulai dari yang ringan dulu. “Liburan ke Bali.doc”. Ali akan mengganti judul
arsip tersebut dengan judul lain yang jauh dari kesan kalau itu adalah
karangan anak kelas lima SD, nanti, kalau karangan anak kelas tiga
SMA—IPS—nya telah selesai. Jadi Ali harus mengembangkan karangannya dalam perspektif
ilmu-ilmu sosial.
Omong-omong, apa yang
ia lakukan di Bali? Itu sudah hampir setengah tahun lalu. Menilik jurnal, meskipun
ia rutin mengisi, tapi apa yang bisa dikembangkan dari sebaris kalimat dengan
bahasa running text di TV? Rata-rata
ia menulis hanya sebaris kalimat setiap hari, termasuk hari-harinya di sana.
Karena ia tidak bawa jurnal saat itu jadi ia baru menuliskannya saat sudah kembali,
dengan mengais-ngais ingatan. Running
text ternyata tidak cukup informatif. PESAWAT FOKKER 27 MILIK TNI AU
JATUH DI PEMUKIMAN terus apa? Bersyukurlah orang-orang yang tidak cukup
kritis, tanpa daya untuk mengembangkan sejuta pertanyaan dari sebaris kalimat.
Lagipula dirundungi pertanyaan-pertanyaan itu sangat menganggu, sebagaimana
Ali kini bertanya-tanya apa saja yang ia dapatkan dari pengalamannya berkelana
di Bali selama lima hari dengan sesama lelaki(-lelaki) kering asmara. Apa itu
istilah Anwar—BOLEKER?
Mereka adalah
kawan-kawan Ali sesama siswa SMANSON, satu angkatan dari berbagai kelas.
Mereka adalah orang-orang yang punya cukup uang, tapi tidak cukup nyali untuk
membayari cewek-cewek agar terpikat dengan mereka. Bagaimana mau punya cukup
nyali, minat saja tidak cukup. Beberapa di antara mereka lebih berminat jadi
anggota Bismania, lalu mengajak kawan-kawan yang lain ke Bali dengan menggunakan
bis. Naik kereta ekonomi mungkin bakal lebih murah dan cepat, tapi
pemandangan dan pengalaman yang didapatkan dengan bis mereka yakini bakal
lebih beragam.
Mengajak Ali yang anak
IPS, dan dedengkot LEMPERs, terbukti amat berguna kemudian meski mereka
harus patungan untuk membiayai akomodasi anak itu. Semula Ali menolak ikut
dengan berbagai alasan. Finansial. Malas. Capek. Siapa yang jagain buku-buku
di rumah. Halah… Sok kamu adanya
berapa, entar kita rame-rame nombokin!
Ali yang jarang berpergian
tidak berkutik selama sehari pertama perjalanan. Ia tidak bisa apa-apa selain
meringkuk dalam-dalam di kursi bis, menghindari pemandangan ke arah jalan.
Kawan-kawannya mencekoki Ali dengan segala macam bau-bauan, jahe, jeruk, permen
mint, apapun yang mampu membuat anak
kurang gizi itu berhenti muntah. Sampai di feri wajah Ali pucat luar biasa.
Tubuh lunglai, lebih tidak bergairah daripada yang biasa. Setidaknya ia sudah
berani memandangi samudra, meski tanpa kacamata. Dan merespons ketika disodori
DSLR.
Beri Ali waktu untuk
mengutak-atik suatu kamera. Potret-potret dengan kualitas prima akan segera
tersimpan di sana. Ali tidak asal dalam memotret, saking terbiasa
menggunakan SLR analog yang harga filmnya lumayan untuk orang dengan kelas
ekonomi sepertinya. Maka seusai liburan si empunya DSLR merasa sayang untuk
menghapus hasil potretan Ali, meskipun sebagian hanya berupa objek mati. Tapi
Ali cuek saja, tidak berminat untuk mengoleksi karyanya sendiri, karena memori
komputer di rumahnya tidak bakal cukup. Ali juga tidak menolak kalau diminta
memotret anu dan apa dengan gaya seperti ini dan itu, tidak protes kalau tidak
ada yang cukup peduli untuk ganti memotret dirinya.
Sampai di Denpasar
mereka singgah sejenak di rumah paman salah seorang di antara mereka. Sang paman
meminjamkan sebuah mobil bak. Rencana mereka selanjutnya adalah mengelilingi
Bali. Pas betul hanya dua orang di antara mereka yang bisa mengemudikan mobil,
jadi bisa bergantian. Terbukti lagi tidak rugi membawa Ali. Ia yang paling
sering mengecek peta, punya inisiatif untuk turun dari bak dan bertanya pada
orang di pinggir jalan, menelepon ibunya untuk minta referensi harga-harga
murah di Bali, bahkan mencarikan tempat untuk bermalam. Sementara kawan-kawannya
membeli kaos baru karena kaos mereka pada kotor, Ali selalu mencuci pakaian
sekalian ia mandi. Pakaiannya pun berkibar-kibar di pojok bak ketika mobil
melaju. Ketika suasana sedang suntuk ia jadi hiburan tersendiri dengan
celetukannya akan berbagai informasi menarik yang ia dapatkan dari hasil
melihat-lihat atau tanya-tanya orang.
Cuman di pantai Ali
tidak betah pegang kamera lama-lama. Ia lebih bersemangat untuk melepas kaos,
menerjang ombak, menghilang sampai lama, lalu tahu-tahu muncul di sisi lain
pantai. Kawan-kawannya pun tidak jadi memanggil penjaga pantai. Sering juga ia
dikatai pelit, karena tidak pernah mengeluarkan sepeser pun saat harus isi
bensin, meski mereka maklum. Tinggal berapa lagi sih lembar ribuan di dompet
Ali? Tidak sepeser pun, karena Ali memang tidak punya dompet. Ali lebih suka
memecah uangnya dalam kantong-kantong kecil di baju dan tas. Lagipula ia beli
oleh-oleh saja tidak, malah lebih asyik memotret atau tanya-tanya orang.
Sebelum perjalanan
pulang dengan menggunakan bis lagi, kawan-kawan Ali sudah mengumpulkan banyak
kantong plastik. Demi keadilan dan kesejahteraan mereka akan bergantian
menjadi teman sebangku Ali. Tapi Ali tidak menunjukkan gejala apapun selama
beberapa jam pertama di bis. Di feri ia masih aktif bergerak, bahkan sempat
menjemur beberapa kaosnya di dek. Kembali ke bis ia tidak lagi duduk meringkuk.
Kadang ia bilang, mual, tapi begitu lihat pemandangan menarik di pinggir jalan
ia langsung sigap memotret. Tak ada sehelai kantong plastik pun yang terpakai
jadinya, kecuali untuk menampung sampah nyamikan dan minuman.
Loh kok jadinya cuman
catatan perjalanan? Akhirnya Ali tahan berkutat selama berjam-jam di depan
komputer. Lagu-lagu dangdut—ada apa sih dengan selera si Fathim ini?—mulai tertangkap
dalam pendengaran Ali. Ali mengacak-acak rambut, biarpun tak lama kemudian
tatanan rambutnya kembali seperti semula. Entah sudah berapa orang yang
menyarankan Ali untuk jadi bintang iklan sampo. Padahal Ali suka lupa menyisir
rambut.
Ali memindai hasil
tulisannya. Ia merasa cukup puas. Dalam sekali tulis ia bisa menghasilkan alur
pemikiran yang runut. Tiap gagasan mendapat paragrafnya masing-masing. Huh
memang aku seperti si Zia itu?!, dengus Ali, meski merasa malu juga kalau
cuman tulisan semacam ini yang ia pajang di blog. Cewek itu sudah hampir membahas pergerakan bangsa di awal
tahun 1920-an loh, sedangkan… Ah menulis itu kan proses, harus berulang-ulang!
Ali menandai beberapa bagian dalam tulisannya yang bisa dikembangkan jadi
tulisan lain yang lebih serius. Misal, kenapa toilet di banyak tempat wisata
di Bali jorok-jorok? Kenapa masjid-masjid yang ia lihat saat bis melintasi
sepanjang Jawa Timur megah-megah? Apa itu sebenarnya Kopi Tongkat Ali yang posternya
ia temukan di sebuah rumah makan di Probolinggo? Banyak lagi.
Jadi yang ia hasilkan
ini hanya tulisan awal, baru draf. Baru draf. Ali hanya menambah draf baru di
foldernya. Ali merasa sangat letih setelah mengetik berjam-jam. Ia butuh
istirahat, sangat. Lain kali lagi ia akan mengedit drafnya itu—kalau bukan
menghasilkan draf baru dengan topik yang sama sekali berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar