Selepas asar Zia hendak
pulang, tapi dihadang Fathim dan segerombolan anak tetangga. Anak-anak tetangga
tidak membiarkan Fathim mengganti seragam karatenya dulu, jadi Fathim minta
abangnya menanggulangi mereka sebentar. Padahal Abang baru saja hendak mengantar
teman ceweknya sampai tepi jalan raya. Abang pun urung. Ketika Fathim sudah
selesai ganti pakaian, yang ia dapati malah teman Abang yang asyik bercengkerama
dengan anak-anak itu di karpet ruang tengah. Tiap anak berebut dengan bacaan
pilihan masing-masing, minta teman Abang membacakan untuk mereka. Sedang
Abang malah duduk saja di kursi, seakan mengawasi.
“Keliatannya teman Abang suka sama anak-anak,”
sempat Fathim bilang begitu sama abangnya.
“Oh. Gitu ya?” Sebab
yang Ali lihat bukanlah Zia yang suka sama anak-anak, melainkan dasarnya Zia
yang seperti anak-anak sehingga dengan mudah menempatkan diri.
Fathim pun terjun ke
dalam kerumunan anak-anak itu. Tuh kan. Anak kelas dua SMP itu lebih bisa mengendalikan
anak-anak, mengajak mereka melakukan permainan ketimbang sekadar membacakan.
Tapi sudah ada beberapa anak yang terlanjur lengket sama si anak kelas tiga
SMA. Biarlah.
“Udah magrib! Ayo
pulang dulu, pulang… Nanti dicariin mama loh…” Beberapa detik setelah azan magrib
berkumandang, Fathim menjelma alarm.
“Besok ke sini lagi ya,
Teh…” Seorang anak perempuan menarik-narik tangan Zia.
“Iya… iya…” Zia
meringis.
“Teh Zia! Teh Zia!
Teteh Zia!”
“Dadah…”
“Aku belum salat asar…”
Zia menoleh pada Ali dengan nada meratap. Betapa tidak berdayanya cewek ini di
tengah anak-anak kecil. Lalu ia ingin menumpang salat magrib. Ali kebingungan.
Ruang mana yang memadai—yang cukup layak untuk dipertunjukkan pada cewek
itu—untuk salat?
“Fathim, kau salat gih.
Temenin Zia di kamar Ibu.”
Fathim menurut. Ali
merasa telah menabung amal baik pada hari itu, menyuruh adik salat.
“Harusnya aku nganter
anak-anak itu ke TPQ, Teh.” Ali dengar Fathim berkicau pada Zia saat kedua cewek
itu bergiliran wudu di keran depan kamar mandi. “Tapi aku suka malas ke sana.
Habis ada temannya Abang yang ngeceng aku.”
“Pede kali kau Fathim!”
teriak Ali dari dapur, mengalahkan jeritan minyak yang beradu dengan air tahu,
aliran air yang pecah begitu menimpa lantai semen, dan gerusan muntu di
tangannya pada cobek. Tugas Ali tiap sore adalah mengulek sambal.
“Beneran Teh. Percaya
aku. Abangku itu enggak pernah ada yang ngeceng makanya dia suka jahat sama
aku.”
Bisa-bisanya bocah itu
memutar-balikkan fakta! Tapi Ali simpan saja kemangkelannya itu. Tidak baik
kan menyemprot adik sendiri di depan tamu? Ali terus menyimak cerita Fathim
pada Zia mengenai anak-anak kampung yang gemar bertandang ke balai bacaan, sementara
anak-anak perumahan itu sendiri lebih sadar diri untuk ke TPQ, sampai tidak
terdengar lagi suara bocah itu. Mereka sudah masuk ke dalam kamar Ibu.
“Temanmu enggak apa-apa
cuman makan tahu?” Di atas meja besar di tengah dapur itu Ibu meletakkan piring
yang penuh berisi tahu panas. Kuning berminyak nan menggoda. Aziz mencomot satu
lalu melepaskannya lagi sambil mengaduh-aduh. Akhirnya ia hanya mencelupkan
jari pada sambal buatan Ali yang sudah jadi, menjilatnya, mencelupkannya lagi.
“Aziz! Jorok!” tegur
Ibu sambil lalu.
“Kasih lalap.” Ali
beringsut ke kulkas. Mengaduk-aduk bagian dalamnya.
Yang anteng malah
Opung. Duduk saja ia di kursi, antara ruang dapur dengan triplek yang menjadi
sekat kamarnya. Sesekali pandangannya beredar pada wira-wiri orang di ruangan
itu, lalu mengarah lagi pada TV di seberangnya.
Begitu Zia dan Fathim
keluar dari kamar Ibu, Aziz sedang menata piring-piring serta bakul nasi di karpet
ruang tengah. Zia bersimpuh dalam bengong. Sedang Fathim sigap ke dapur. Tapi
tidak banyak lagi yang harus disiapkan. Dalam waktu singkat seluruh penghuni
rumah itu telah melingkar, meski tidak persis “lingkar”an, di karpet ruang
tengah. Ibu menyendokkan nasi ke dalam piring untuk Opung. Tangan kiri Opung
menerimanya, lalu kaki kanan Opung terangkat—gaya duduk khasnya, khas warteg.
Aziz dengan sukacita membenamkan tahu dalam-dalam pada genangan sambal di cobek.
Fathim menyerahkan piring pada Zia. Dari sisi Zia yang lain Ali berujar,
“Cuman tahu aja, enggak apa-apa kan, Zia?”
“Sambalnya yang
man-tap!” timpal Fathim seraya menyendokkan sambal banyak-banyak ke atas nasi
dalam piringnya.
“Aziz, taruh dulu sambalnya
di piring,” suara Ibu. Padahal biasanya Ibu biarkan Aziz mencocol langsung di
cobek.
“Ck. Kau tahu, sewaktu
Jepang ke mari, tahu…” Opung mulai juga deh.
“Makanya, kalau pingin
jadi orang yang banyak tahu itu ya beli tahu, bukan beli buku. Entar bukan banyak
tahu, tapi banyak buku!” Aziz menutupi suara Opung dengan suara yang lebih
nyaring. Tawa Fathim membahana. Zia tersedak. Belum selesai Ibu memerintahkan
Ali untuk mengambil air, Ali sudah lari duluan. Sambil terbatuk-batuk Zia
menggeleng-geleng saat Ali bertanya-tanya apakah Zia baik-baik saja. Zia
seolah ingin mengatakan bahwa ia tidak apa-apa, tapi selagi diberi segelas
air oleh Ali air telah bercucuran dari mata dan hidungnya. Ali minggat lagi
untuk mencari sekotak tisu. Ibu menyuruh Ali mengambil yang ada di kamarnya.
Dengan tisu Zia mengelap matanya, hidungnya, mulutnya, tapi merah semakin
membayang di wajahnya. Cewek itu mengambil tisu lagi. Kali ini hanya menutup
matanya, sedang punggungnya agak bergetar seperti tersedu-sedu. Tidak ada
yang bersuara. Mulut Aziz pun mengecap kian pelan. Bahkan Opung membungkam.
“Wah Abang bikin nangis
cewek—sambalnya!” cecar Fathim sekonyong-konyong.
“Apa kubilang. Abang
itu durjana. Iya Opung? Apa itu durjana Opung?” Aziz menoleh pada Opung.
“Bah. Berapa juta kali
aku bilang kau Aziz. Jangan kau kira mulutku ini kamus apa…” Ganti kaki kiri
Opung yang naik. Tangan kirinya kemudian bertelekan di sana.
“Sudahlah Fathim.
Jangan ganggu Abang terus!” tegur Ibu.
Zia mengusap-usap
mukanya lagi. Tisu akhirnya lepas dari sana. Wah merah benar mukanya. Tapi senyumnya
mengembang. Bisa dimaklumi rasa malunya.
“Sudah, enggak usah
ambil sambal lagi,” kata Ibu.
“Ini sambalku…” Aziz
menarik cobek ke dekatnya.
“Sambalnya Abang
berbahaya.” Fathim masih bisa mengoceh.
“Kamu enggak apa-apa,
Zia?” tanya Ali dengan menahan gejolak. Ali ingin momen ini berakhir secepatnya.
Kalaupun tidak, biarkan Ali tahu-tahu lenyap ditelan bumi. Salah siapa kalau
seluruh penghuni rumah ini doyan sambal, wahai tamu-yang-tak-berdaya?
Zia menggeleng sambil
tersenyum.
“Kasih dia air panas,
Ali, jangan air kulkas.”
“Iya Bu.” Ali kontan
bangkit.
Sementara nasi di
piring Zia masih separuh, sambal segumpal, sedang tahu satu setengah utuh, isi
piring Opung sudah tandas. Tangan kirinya mengorek-ngorek gigi. Sendawanya
menggelegar hingga terdengar Ali yang sedang menakar panas air di dapur. Zia
lanjut menyuap isi piringnya ke dalam mulut, sementara matanya terpaku pada
tangan kanan Opung yang buntung. Sebetulnya tangan Opung sudah menarik
perhatiannya, sejak sore tadi, saat ia sedang bersama anak-anak kecil lalu
Opung melintas ruang tengah.
“Apa kau lihat-lihat?!”
tiba-tiba suara Opung mengguntur. Zia mengkeret. Ali yang baru kembali ke ruang
tengah berdecak pada Opung yang lantas terkekeh-kekeh. Lelaki tua itu
mengangkat tangan kanannya. “Ini ya? Dulu—“
“Opung!” Aziz
mengacungkan jari setelah Fathim menepuk punggungnya dengan keras. “Aku saja
yang cerita, Opung!”
“Ah. Bisa kau cerita?”
tanya Opung dengan lagak meledek.
“Bisa! Bisa!” seru
Aziz, lalu menoleh pada Fathim, “Versi yang mana, Kak Fathim?”
Fathim menepuk punggung
Aziz lagi dengan keras, diiringi gumaman Opung yang bernada cemooh.
“Kalau Opung yang
cerita, bisa pulang tengah malam kau nanti,” Ali mendekatkan bibirnya ke
telinga Zia, tidak sadar sudah bicara dengan logat Opung.
.
Sewaktu di bawah lampu
warung tadi Ali perhatikan wajah cewek itu masih seperti yang habis menangis.
Wah, Abang bikin nangis cewek, kalimat Fathim itu terngiang-ngiang di telinganya,
meskipun, sambalnya. Heran deh, menangis karena sambal kok sampai tersedu-sedu.
Fathim sampai terpikir untuk buka bisnis rumah makan. Kalo sambal mercon kan
udah ada tuh Bang, nama rumah makannya Sambal Durjana aja!
Sekarang cahaya bulan
saja tidak cukup untuk menerangi rona wajah cewek itu. Ali merasa lebih tenang.
“Di rumah kamu banyak
buku juga, Zia?”
“Lumayanlah… Sekitar
dua lemari.”
“Orangtua kamu suka
baca juga?”
Zia menggeleng. “Enggak
begitu…”
Perjalanan mereka
menuju tepi jalan raya diiringi koor azan isya. Untuk beberapa lama hanya
terdengar gesekan alas kaki mereka dengan permukaan jalan yang tidak begitu
rata. Sebelumnya Fathim menyuruh Ali mengantar Zia dengan motor saja, kalau
perlu sampai rumahnya sekalian, tapi Ali mengelak dengan beralasan bahwa
jalan kaki itu lebih sehat. Bisa bersama Zia lebih lama juga, toh?
“Jadi kamu teh beneran orang Batak?” Ganti Zia bertanya.
“Kenapa gitu?”
“Kirain orangtua kamu teh namain kamu gitu biar kesannya kamu
kayak orang Batak gitu, padahal bukan.” Ali heran kok bisa Zia berpikiran
seperti itu, untuk apa seseorang menamai anaknya dengan nama Batak kalau
dirinya bukan orang Batak? Lagipula marga itu bukan sembarang nama! Bisa
dikutuk Raja Borbor nanti! “Muka kamu lebih keliatan kayak orang Jawa.”
“Kan ibu saya dari
Jawa,” meski lahir dan besar di Jakarta. Kenal bahasa Jawa, tapi tidak fasih
menggunakannya.
“Oh. Jadi bukan ibu
kamu ya yang anak opung kamu? Kirain…”
“Bukan. Yang anak opung
itu bapak saya, sama paman saya yang kemarin itu loh.”
“Tapi bukannya kamu
manggil paman kamu… ‘mang’?”
“Iya. Istrinya paman
orang Sunda.” Konon sebelum Mang Alwi menikah memang Ali memanggil pamannya
itu dengan ‘tulang’, tapi mesti Ali masih kecil sekali saat itu sehingga
sekarang ia tidak ingat.
“Oh… Ari bapak kamu, tadi, belum pulang ya?”
“Belum.”
“Adik-adik kamu
lucu-lucu ih…”
“He? Iya yah?” Ganas-ganas menurut Ali. Sambungnya
demi menjaga suasana, “Kamu punya adik, Zia?”
“Ada. Satu, dan enggak
lucu sama sekali.”
“Hm…”
“Jadi tangan opung kamu
teh kenapa? Tadi kata adik kamu yang
Aziz itu, kegilas tank…” berhenti sejenak cewek itu untuk bergidik, “tapi si
Fathim bilang ada peluru busuk di sana jadi diamputasi…”
“…intinya sih,” Ali
membesarkan suaranya. Memang hobi Opung mengarang cerita dengan model
pilih-sendiri-jalan-ceritamu. Apa yang akan Opung lakukan selanjutnya? Jika
Opung bersembunyi di dalam drum, dengarkan ia dalam tiga menit lagi. Jika
Opung terus memasuki semak-semak itu, ambil snack dulu tidak apa-apa, Opung baru akan sampai bagian situ lima
menit lagi. Jika Opung pergi bersama para serdadu, jangan beranjak ke
mana-mana, dengarkan terus. “Opung itu saking gigihnya ngejar berita,
sampai-sampai ada oknum yang enggak suka. Terus, yah, kejadian deh.” Pilih-sendiri-jalan-ceritamu.
Begitu pula yang terjadi pada Bapak, dengan konsekuensi yang berbeda. Wartawan
memang tidak mesti bernasib nahas, tapi itulah yang terjadi pada Opung dan
Bapak. Opung hilang sebelah lengan, sedang Bapak hilang entah sampai kapan.
“Di keluarga kamu ada
yang namanya Abdullah enggak?”
“Opung saya namanya
Abdullah.”
“Eh? Iya? Opung kamu
yang suka bikin novel mistis erotis itu bukan?”
“Hmh?! Enggak, dia
cuman wartawan!”
Di tepi jalan raya Ali
berdiri. Zia telah menyeberang jalan, melambaikan tangan padanya dari dalam
angkot. Bayangan cewek itu remang-remang. Ali mengangguk dengan senyum
tipis.
.
Ali pikir sebaiknya jam
istirahat sesekali diisi dengan menunggu. Barangkali cewek itu bertandang ke
XII IPS 1. Kalau tidak bertemu, ya belum nasib.
Tidak terpikir untuk
mengupayakan nasib.
Sepertinya cewek itu
tidak serajin semester lalu datang ke mari. XII IPS 1, sepi, tanpa ocehannya.
Terasa begitu gempita.
Jam istirahat masih
sisa dua puluh menit lagi. Tapi kejemuan Ali sudah mencapai titik kulminasi.
Akumulasi dari jam istirahat-jam istirahat sebelumnya yang gersang tanpa
kehadirannya. Sebetulnya sekali sudah cewek itu mampir ke XII IPS 1 lagi,
sehari setelah peristiwa di balai bacaan. Cewek itu meminjamkan Ali buku-bukunya,
sejumlah yang ia pinjam dari balai bacaan. Buku-buku yang menurut Ali enggak
Ali banget, tapi Ali terima saja. Barangkali suatu saat Ali tertarik untuk membaca.
Baru sekali itu saja.
Dua puluh menit lagi.
Cukuplah untuk memantul-mantulkan bola pingpong ke meja, barang beberapa kali…
Beranjak Ali ke
stadion. Lewati koridor dan pintu perpustakaan yang terbuka lebar. Mendapati
cewek itu tertegun ke arahnya di dalam sana. Punggung Ali berayun ke
belakang, tidak sampai, tidak kelihatan, baiklah, Ali balik arah. Cewek itu
sudah tidak melihat ke arahnya lagi, melainkan pada sebuah buku tipis yang
terbentang di meja. Sembari mendengarkan sesuatu di lewat earphone yang tersambung dengan ponselnya.
Ali mendekat.
“Hei.”
Cewek itu mengangkat
kepala. Tersenyum.
Buku-buku yang dipinjam
dari balai bacaan Ali sudah selesai apa belum, sudah baca buku yang lain saja.
Ali ingin mengangkat ujung sampul buku yang sedang dibaca Zia tersebut, tapi
tak melakukannya. Mengusik orang yang sedang menikmati buku itu dosa.
Tapi kalau dilakukan
secara tidak langsung tidak apa-apa.
“Ada dua tipe pencinta
buku,” kata Ali. Zia mengangkat wajah lagi. Cewek itu mencabut salah satu earphone dari lubang telinganya.
“Pencinta buku yang bermodal, sama yang enggak bermodal. Pencinta buku yang
bermodal bisa beli buku apapun yang dia senangi, karena dia punya uang.
Pencinta buku yang enggak bermodal, pergi ke toko buku bukan buat beli. Tapi
buat numpang baca buku-buku yang enggak disampul, atau cuman baca sinopsisnya
doang. Atau enggak, dia ngedatengin tempat-tempat yang bisa minjemin buku
gratisan, kayak perpustakaan.”
“Aku yang mana?”
“Kamu pencinta buku
yang bermodal, tapi kadang-kadang kamu pelit buat ngeluarin modal.”
Cewek itu mendengus.
“Kalau kamu,” ucapnya, “pencinta buku yang enggak bermodal hehehe… Kayaknya
enggak ada buku baru ya di balai bacaan kamu kemarin.”
Ali tersenyum. Memang
betul kok adanya. Ia melanjutkan, “Tapi yang ironis adalah, pencinta buku
yang enggak tahu cara ngerawat buku, minimal nyampulinlah.”
Zia tergelak sampai
punggungnya bersandar pada kursi. “Sampulin atuh.” Cewek itu ngeh Ali sedang menyinggung buku-buku yang telah
dipinjamkan padanya. Semua dalam keadaan belel.
“Kamu bisa nyampul
enggak sih?”
Zia menggeleng.
Seringaiannya melebar. “Biasanya udah disampulin sama toko bukunya.” –toko
buku langganan Zia di Palasari. “Tapi kalau yang itu aku belinya enggak di
Palasari sih,” Zia menyebut nama sebuah toko buku terkemuka yang boro-boro
kasih servis sampul plastik, diskon saja tidak. “Udah lama. Udah sering dipinjem
orang lain juga. Makanya buku-buku bagus itu, kamu harus baca!”
Tentu saja Ali sudah
selesai membaca semua, ia bawa selalu dalam ranselnya malah. Menanti Zia
datang ke XII IPS 1 untuk menjemput mereka. Tapi ia tidak bilang, karena
sekarang ia terpikir untuk membawa mereka pulang lagi. Memakaikan baju plastik
pada mereka. Jadi Ali malah memancing cewek itu untuk bicara lebih banyak—memang
di mana bagusnya buku-buku itu? Tapi Zia pun sudah lupa kapan ia menghabiskan
buku-buku itu, apalagi membahas isinya.
“Eh iya. Sori ya, aku
belum selesai euy baca buku kamu.
Ada sih satu, tapi aku belum selesai bikin review-nya.
Entar aja ya sekalian semua dibalikinnya.”
“Bikin review lagi. Sekali-sekali jangan review dong.”
“Cerpen kamu enggak
mau.”
“Esai kek. Itu juga kan
bisa personal.”
“Enggak mau ah. Entar
jadinya malah curhat. Diary atuh itu mah, bukan esai.”
“Enggak apa-apa curhat,
tapi curhatnya yang berbobot. Masukin referensi dari mana-mana.”
“Males ah, kudu banyak baca lagi.”
“Dari apa yang udah
kamu baca selama ini aja. Kan mestinya ada tuh, beberapa buku yang isinya
saling berhubungan. Itu yang coba kamu rangkai lewat tulisan kamu. Masak udah
sekian yang dibaca enggak ada isinya yang diinget sih?”
“Kamu ada blog enggak sih?” Mulai deh cewek ini
bergelagat. Entah memang pikirannya yang acak atau siasatnya saja untuk
menghindari tekanan. Tapi Ali ladeni saja.
“Ada. Tapi udah jarang
disi.” Dan sekarang Ali sudah lupa lagi apa alamatnya. Di Blogger apa
Wordpress? Jangan-jangan malah di Multiply?
“Kenapa?”
Apa yang mau dipajang?
Ali kan belum menyelesaikan satu tulisan pun… Aduh. Agaknya tidak tepat
mengungkapkan itu pada Zia. Bagaimana kalau berlagak tidak fokus juga, Ali?
Alihkan topik!
“Nulis itu gampang
enggak sih?” Ali kalah cepat.
“Menurut kamu?”
Zia menggeleng. “Dari
sekian tulisan aku yang udah dibaca sama kamu, menurut kamu ada yang udah beres
belum?”
Ali tersengal. “Iya…
Enggak bisa sekali jadi. Ayo terus berusaha, Zia!” Ali mengepalkan tangan.
“Curang ah, kamu enggak
pernah ngeliatin tulisan kamu,” tuding Zia. Akhirnya.
“Buat apa?” Lagipula
kalau mau ubek-ubek tuh sekre LEMPERs. Barangkali belum dibuang artefak-artefak
mading zaman baheula yang memuat tulisan Ali.
“Biar aku bisa belajar
dari tulisan kamu, Pak Guru…” Zia mencondongkan tubuhnya ke arah Ali. “Kalau
kamu bisa nyoret-nyoret tulisan aku, mestinya kamu bisa nulis lebih baik dari
aku. Hayo!”
Itu telunjuk apa pisau
yang Zia arahkan pada Ali. Kok rasanya seperti ditusuk. “Tertohok,” dulu
demikian istilah cewek-cewek sixsweets+ saat Ali mencecar perilaku mereka
yang lebih suka meramaikan kantin alih-alih sekre sendiri. Jadi sekarang Ali
sudah tahu apa jawaban atas pertanyaan Zia semula: menulis itu tidak gampang.
Kalaupun Ali harus
menunjukkan tulisannya pada Zia, tulisan itu harus tulisan Ali yang terbaik.
Sepulang sekolah Ali
langsung berkutat di depan komputer. Ia bahkan menepis tangan Fathim yang hendak
menyetelkan lagu-lagu. Biar Abang kerja dengan semangat, kata Fathim. Enggak
usah! sentak si abang. Buku-buku bertumpuk di meja samping komputer. Remah-remah
ketombe berjatuhan karena kepala kerap digaruk-garuk. Tidak ia hiraukan
tamu-tamu yang berseliweran di sekitarnya.
“Jangan sentuh-sentuh!”
Buku-buku sudah tersebar dan terbuka sedemikian rupa di meja samping komputer,
agar mudah bagi Ali untuk langsung menemukan referensi yang ia incar. Namun
Ibu tetap mengangkat salah satu buku demi buku sirkulasi peminjaman yang tertimpa.
Plus Ali rada mengkeret karena mendapat delik.
Azan magrib mengalun.
Ali tergeragap. Ia belum salat asar, seperti Zia waktu di sini kapan itu.
Barangkali selama azan magrib belum berakhir masih ada kesempatan untuk
menunaikan kewajiban itu, buru-buru Ali melompat ke keran di depan kamar
mandi.
Selepas isya Om Arman
datang dengan membawakan martabak. Ali merasa tulisannya belum sempurna, tapi
mumpung, mumpung!, kapan lagi Om Arman datang ke mari? Kan tidak setiap hari!
Ali pun mencetak tulisannya, sejadinya, dengan printer kotak yang berderit-derit. Tidak kalah berisik dari mesin
ketik, meski bunyinya lain. “Tek tek… Ngiiik… ngiiik… ngiiik…”
Om Arman minta pensil,
dan secangkir teh. Ali lekas menyediakan. Selanjutnya, di mata Om Arman, Ali
bagai Zia di mata Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar