Sabtu, 25 Agustus 2012

13

Selepas asar Zia hendak pulang, tapi dihadang Fathim dan segerombolan anak tetangga. Anak-anak te­tang­ga tidak membiarkan Fathim mengganti seragam ka­ra­tenya dulu, jadi Fathim minta abangnya me­nang­gu­langi mereka sebentar. Padahal Abang baru saja hendak meng­antar teman ceweknya sampai tepi jalan raya. Abang pun urung. Ketika Fathim sudah selesai ganti pa­kai­an, yang ia dapati malah teman Abang yang asyik ber­cengkerama dengan anak-anak itu di karpet ruang te­ngah. Tiap anak berebut dengan bacaan pilihan masing-ma­sing, minta teman Abang membacakan untuk mereka. Se­dang Abang malah duduk saja di kursi, seakan meng­a­wasi.

“Keliatannya teman Abang suka sama anak-anak,” sempat Fathim bilang begitu sama abangnya.

“Oh. Gitu ya?” Sebab yang Ali lihat bukanlah Zia yang suka sama anak-anak, melainkan dasarnya Zia yang seperti anak-anak sehingga dengan mudah me­nem­pat­kan diri.

Fathim pun terjun ke dalam kerumunan anak-anak itu. Tuh kan. Anak kelas dua SMP itu lebih bisa me­ngendalikan anak-anak, mengajak mereka melakukan per­mainan ketimbang sekadar membacakan. Tapi sudah ada beberapa anak yang terlanjur lengket sama si anak ke­las tiga SMA. Biarlah.

“Udah magrib! Ayo pulang dulu, pulang… Nanti di­cariin mama loh…” Beberapa detik setelah azan mag­rib berkumandang, Fathim menjelma alarm.

“Besok ke sini lagi ya, Teh…” Seorang anak pe­rem­puan menarik-narik tangan Zia.

“Iya… iya…” Zia meringis.

“Teh Zia! Teh Zia! Teteh Zia!”

“Dadah…”

“Aku belum salat asar…” Zia menoleh pada Ali de­ngan nada meratap. Betapa tidak berdayanya cewek ini di tengah anak-anak kecil. Lalu ia ingin menumpang sa­lat magrib. Ali kebingungan. Ruang mana yang me­ma­dai—yang cukup layak untuk dipertunjukkan pada ce­wek itu—untuk salat?

“Fathim, kau salat gih. Temenin Zia di kamar Ibu.”

Fathim menurut. Ali merasa telah menabung amal baik pada hari itu, menyuruh adik salat.

“Harusnya aku nganter anak-anak itu ke TPQ, Teh.” Ali dengar Fathim berkicau pada Zia saat kedua ce­wek itu bergiliran wudu di keran depan kamar mandi. “Ta­pi aku suka malas ke sana. Habis ada temannya Abang yang ngeceng aku.”

“Pede kali kau Fathim!” teriak Ali dari dapur, me­ngalahkan jeritan minyak yang beradu dengan air ta­hu, aliran air yang pecah begitu menimpa lantai semen, dan gerusan muntu di tangannya pada cobek. Tugas Ali ti­ap sore adalah mengulek sambal.

“Beneran Teh. Percaya aku. Abangku itu enggak per­nah ada yang ngeceng makanya dia suka jahat sama aku.”

Bisa-bisanya bocah itu memutar-balikkan fakta! Ta­pi Ali simpan saja kemangkelannya itu. Tidak baik kan menyemprot adik sendiri di depan tamu? Ali terus me­nyimak cerita Fathim pada Zia mengenai anak-anak kam­pung yang gemar bertandang ke balai bacaan, se­men­tara anak-anak perumahan itu sendiri lebih sadar diri un­tuk ke TPQ, sampai tidak terdengar lagi suara bocah itu. Mereka sudah masuk ke dalam kamar Ibu.

“Temanmu enggak apa-apa cuman makan tahu?” Di atas meja besar di tengah dapur itu Ibu meletakkan pi­ring yang penuh berisi tahu panas. Kuning berminyak nan menggoda. Aziz mencomot satu lalu melepaskannya la­gi sambil mengaduh-aduh. Akhirnya ia hanya men­ce­lup­kan jari pada sambal buatan Ali yang sudah jadi, men­jilatnya, mencelupkannya lagi.

“Aziz! Jorok!” tegur Ibu sambil lalu.

“Kasih lalap.” Ali beringsut ke kulkas. Meng­a­duk-aduk bagian dalamnya.

Yang anteng malah Opung. Duduk saja ia di kur­si, antara ruang dapur dengan triplek yang menjadi sekat ka­marnya. Sesekali pandangannya beredar pada wira-wi­ri orang di ruangan itu, lalu mengarah lagi pada TV di se­berangnya.

Begitu Zia dan Fathim keluar dari kamar Ibu, Aziz sedang menata piring-piring serta bakul nasi di kar­pet ruang tengah. Zia bersimpuh dalam bengong. Sedang Fathim sigap ke dapur. Tapi tidak banyak lagi yang ha­rus disiapkan. Dalam waktu singkat seluruh penghuni ru­mah itu telah melingkar, meski tidak persis “lingkar”an, di karpet ruang tengah. Ibu menyendokkan nasi ke dalam pi­ring untuk Opung. Tangan kiri Opung menerimanya, la­lu kaki kanan Opung terangkat—gaya duduk khasnya, khas warteg. Aziz dengan sukacita membenamkan tahu da­lam-dalam pada genangan sambal di cobek. Fathim me­nyerahkan piring pada Zia. Dari sisi Zia yang lain Ali ber­ujar, “Cuman tahu aja, enggak apa-apa kan, Zia?”

“Sambalnya yang man-tap!” timpal Fathim se­ra­ya menyendokkan sambal banyak-banyak ke atas nasi da­lam piringnya.

“Aziz, taruh dulu sambalnya di piring,” suara Ibu. Padahal biasanya Ibu biarkan Aziz mencocol lang­sung di cobek.

“Ck. Kau tahu, sewaktu Jepang ke mari, tahu…” Opung mulai juga deh.

“Makanya, kalau pingin jadi orang yang banyak ta­hu itu ya beli tahu, bukan beli buku. Entar bukan ba­nyak tahu, tapi banyak buku!” Aziz menutupi suara Opung dengan suara yang lebih nyaring. Tawa Fathim mem­bahana. Zia tersedak. Belum selesai Ibu me­me­rin­tah­kan Ali untuk mengambil air, Ali sudah lari duluan. Sam­bil terbatuk-batuk Zia menggeleng-geleng saat Ali ber­tanya-tanya apakah Zia baik-baik saja. Zia seolah ingin mengatakan bahwa ia tidak apa-apa, tapi selagi di­be­ri segelas air oleh Ali air telah bercucuran dari mata dan hidungnya. Ali minggat lagi untuk mencari sekotak ti­su. Ibu menyuruh Ali mengambil yang ada di ka­mar­nya. Dengan tisu Zia mengelap matanya, hidungnya, mu­lut­nya, tapi merah semakin membayang di wajahnya. Ce­wek itu mengambil tisu lagi. Kali ini hanya menutup ma­tanya, sedang punggungnya agak bergetar seperti ter­se­du-sedu. Tidak ada yang bersuara. Mulut Aziz pun me­nge­cap kian pelan. Bahkan Opung membungkam.

“Wah Abang bikin nangis cewek—sambalnya!” ce­car Fathim sekonyong-konyong.

“Apa kubilang. Abang itu durjana. Iya Opung? Apa itu durjana Opung?” Aziz menoleh pada Opung.

“Bah. Berapa juta kali aku bilang kau Aziz. Ja­ngan kau kira mulutku ini kamus apa…” Ganti kaki kiri Opung yang naik. Tangan kirinya kemudian bertelekan di sana.

“Sudahlah Fathim. Jangan ganggu Abang terus!” te­gur Ibu.

Zia mengusap-usap mukanya lagi. Tisu akhirnya le­pas dari sana. Wah merah benar mukanya. Tapi se­nyum­nya mengembang. Bisa dimaklumi rasa malunya.

“Sudah, enggak usah ambil sambal lagi,” kata Ibu.

“Ini sambalku…” Aziz menarik cobek ke de­kat­nya.

“Sambalnya Abang berbahaya.” Fathim masih bi­sa mengoceh.

“Kamu enggak apa-apa, Zia?” tanya Ali dengan me­nahan gejolak. Ali ingin momen ini berakhir se­ce­pat­nya. Kalaupun tidak, biarkan Ali tahu-tahu lenyap di­te­lan bumi. Salah siapa kalau seluruh penghuni rumah ini do­yan sambal, wahai tamu-yang-tak-berdaya?

Zia menggeleng sambil tersenyum.

“Kasih dia air panas, Ali, jangan air kulkas.”

“Iya Bu.” Ali kontan bangkit.

Sementara nasi di piring Zia masih separuh, sam­bal segumpal, sedang tahu satu setengah utuh, isi piring Opung sudah tandas. Tangan kirinya mengorek-ngorek gi­gi. Sendawanya menggelegar hingga terdengar Ali yang sedang menakar panas air di dapur. Zia lanjut me­nyu­ap isi piringnya ke dalam mulut, sementara matanya ter­paku pada tangan kanan Opung yang buntung. Se­be­tul­nya tangan Opung sudah menarik perhatiannya, sejak so­re tadi, saat ia sedang bersama anak-anak kecil lalu Opung melintas ruang tengah.

“Apa kau lihat-lihat?!” tiba-tiba suara Opung meng­guntur. Zia mengkeret. Ali yang baru kembali ke ru­ang tengah berdecak pada Opung yang lantas terkekeh-ke­keh. Lelaki tua itu mengangkat tangan kanannya. “Ini ya? Dulu—“

“Opung!” Aziz mengacungkan jari setelah Fathim menepuk punggungnya dengan keras. “Aku saja yang cerita, Opung!”

“Ah. Bisa kau cerita?” tanya Opung dengan lagak me­ledek.

“Bisa! Bisa!” seru Aziz, lalu menoleh pada Fathim, “Versi yang mana, Kak Fathim?”

Fathim menepuk punggung Aziz lagi dengan ke­ras, diiringi gumaman Opung yang bernada cemooh.

“Kalau Opung yang cerita, bisa pulang tengah ma­lam kau nanti,” Ali mendekatkan bibirnya ke telinga Zia, tidak sadar sudah bicara dengan logat Opung.

.

Sewaktu di bawah lampu warung tadi Ali per­ha­ti­kan wajah cewek itu masih seperti yang habis me­na­ngis. Wah, Abang bikin nangis cewek, kalimat Fathim itu terngiang-ngiang di telinganya, meskipun, sam­bal­nya. Heran deh, menangis karena sambal kok sampai ter­se­du-sedu. Fathim sampai terpikir untuk buka bisnis ru­mah makan. Kalo sambal mercon kan udah ada tuh Bang, nama rumah makannya Sambal Durjana aja!

Sekarang cahaya bulan saja tidak cukup untuk me­nerangi rona wajah cewek itu. Ali merasa lebih te­nang.

“Di rumah kamu banyak buku juga, Zia?”

“Lumayanlah… Sekitar dua lemari.”

“Orangtua kamu suka baca juga?”

Zia menggeleng. “Enggak begitu…”

Perjalanan mereka menuju tepi jalan raya diiringi ko­or azan isya. Untuk beberapa lama hanya terdengar ge­sekan alas kaki mereka dengan permukaan jalan yang ti­dak begitu rata. Sebelumnya Fathim menyuruh Ali meng­antar Zia dengan motor saja, kalau perlu sampai ru­mah­nya sekalian, tapi Ali mengelak dengan beralasan bah­wa jalan kaki itu lebih sehat. Bisa bersama Zia lebih la­ma juga, toh?

“Jadi kamu teh beneran orang Batak?” Ganti Zia ber­tanya.

“Kenapa gitu?”

“Kirain orangtua kamu teh namain kamu gitu bi­ar kesannya kamu kayak orang Batak gitu, padahal bu­kan.” Ali heran kok bisa Zia berpikiran seperti itu, untuk apa seseorang menamai anaknya dengan nama Batak ka­lau dirinya bukan orang Batak? Lagipula marga itu bu­kan sembarang nama! Bisa dikutuk Raja Borbor nanti! “Mu­ka kamu lebih keliatan kayak orang Jawa.”

“Kan ibu saya dari Jawa,” meski lahir dan besar di Jakarta. Kenal bahasa Jawa, tapi tidak fasih meng­gu­na­kannya.

“Oh. Jadi bukan ibu kamu ya yang anak opung ka­mu? Kirain…”

“Bukan. Yang anak opung itu bapak saya, sama pa­man saya yang kemarin itu loh.”

“Tapi bukannya kamu manggil paman kamu… ‘mang’?”

“Iya. Istrinya paman orang Sunda.” Konon se­be­lum Mang Alwi menikah memang Ali memanggil pa­man­nya itu dengan ‘tulang’, tapi mesti Ali masih kecil se­kali saat itu sehingga sekarang ia tidak ingat.

“Oh… Ari bapak kamu, tadi, belum pulang ya?”

“Belum.”

“Adik-adik kamu lucu-lucu ih…”

 “He? Iya yah?” Ganas-ganas menurut Ali. Sam­bung­nya demi menjaga suasana, “Kamu punya adik, Zia?”

“Ada. Satu, dan enggak lucu sama sekali.”

“Hm…”

“Jadi tangan opung kamu teh kenapa? Tadi kata adik kamu yang Aziz itu, kegilas tank…” berhenti se­je­nak cewek itu untuk bergidik, “tapi si Fathim bilang ada pe­luru busuk di sana jadi diamputasi…”

“…intinya sih,” Ali membesarkan suaranya. Me­mang hobi Opung mengarang cerita dengan model pilih-sen­diri-jalan-ceritamu. Apa yang akan Opung lakukan se­lanjutnya? Jika Opung bersembunyi di dalam drum, de­ngarkan ia dalam tiga menit lagi. Jika Opung terus me­ma­suki semak-semak itu, ambil snack dulu tidak apa-apa, Opung baru akan sampai bagian situ lima menit la­gi. Jika Opung pergi bersama para serdadu, jangan ber­an­jak ke mana-mana, dengarkan terus. “Opung itu sa­king gigihnya ngejar berita, sampai-sampai ada oknum yang enggak suka. Terus, yah, kejadian deh.” Pilih-sen­di­ri-jalan-ceritamu. Begitu pula yang terjadi pada Bapak, de­ngan konsekuensi yang berbeda. Wartawan memang ti­dak mesti bernasib nahas, tapi itulah yang terjadi pada Opung dan Bapak. Opung hilang sebelah lengan, sedang Ba­pak hilang entah sampai kapan.

“Di keluarga kamu ada yang namanya Abdullah eng­gak?”

“Opung saya namanya Abdullah.”

“Eh? Iya? Opung kamu yang suka bikin novel mis­tis erotis itu bukan?”

“Hmh?! Enggak, dia cuman wartawan!”

Di tepi jalan raya Ali berdiri. Zia telah me­nye­be­rang jalan, melambaikan tangan padanya dari dalam ang­kot. Bayangan cewek itu remang-remang. Ali meng­ang­guk dengan senyum tipis.

.

Ali pikir sebaiknya jam istirahat sesekali diisi de­ngan menunggu. Barangkali cewek itu bertandang ke XII IPS 1. Kalau tidak bertemu, ya belum nasib.

Tidak terpikir untuk mengupayakan nasib.

Sepertinya cewek itu tidak serajin semester lalu da­tang ke mari. XII IPS 1, sepi, tanpa ocehannya. Terasa be­gitu gempita.

Jam istirahat masih sisa dua puluh menit lagi. Ta­pi kejemuan Ali sudah mencapai titik kulminasi. Aku­mu­lasi dari jam istirahat-jam istirahat sebelumnya yang ger­sang tanpa kehadirannya. Sebetulnya sekali sudah ce­wek itu mampir ke XII IPS 1 lagi, sehari setelah pe­ris­ti­wa di balai bacaan. Cewek itu meminjamkan Ali buku-bu­kunya, sejumlah yang ia pinjam dari balai bacaan. Bu­ku-buku yang menurut Ali enggak Ali banget, tapi Ali te­rima saja. Barangkali suatu saat Ali tertarik untuk mem­baca.

Baru sekali itu saja.

Dua puluh menit lagi. Cukuplah untuk me­man­tul-mantulkan bola pingpong ke meja, barang beberapa ka­li…

Beranjak Ali ke stadion. Lewati koridor dan pintu per­pustakaan yang terbuka lebar. Mendapati cewek itu ter­tegun ke arahnya di dalam sana. Punggung Ali ber­a­yun ke belakang, tidak sampai, tidak kelihatan, baiklah, Ali balik arah. Cewek itu sudah tidak melihat ke arahnya la­gi, melainkan pada sebuah buku tipis yang terbentang di meja. Sembari mendengarkan sesuatu di lewat ear­phone yang tersambung dengan ponselnya.

Ali mendekat.

“Hei.”

Cewek itu mengangkat kepala. Tersenyum.

Buku-buku yang dipinjam dari balai bacaan Ali su­dah selesai apa belum, sudah baca buku yang lain saja. Ali ingin mengangkat ujung sampul buku yang sedang di­baca Zia tersebut, tapi tak melakukannya. Mengusik orang yang sedang menikmati buku itu dosa.

Tapi kalau dilakukan secara tidak langsung tidak apa-apa.

“Ada dua tipe pencinta buku,” kata Ali. Zia meng­angkat wajah lagi. Cewek itu mencabut salah satu ear­phone dari lubang telinganya. “Pencinta buku yang ber­modal, sama yang enggak bermodal. Pencinta buku yang bermodal bisa beli buku apapun yang dia senangi, ka­rena dia punya uang. Pencinta buku yang enggak ber­mo­dal, pergi ke toko buku bukan buat beli. Tapi buat num­pang baca buku-buku yang enggak disampul, atau cu­man baca sinopsisnya doang. Atau enggak, dia nge­da­teng­in tempat-tempat yang bisa minjemin buku gratisan, ka­yak perpustakaan.”

“Aku yang mana?”

“Kamu pencinta buku yang bermodal, tapi ka­dang-kadang kamu pelit buat ngeluarin modal.”

Cewek itu mendengus. “Kalau kamu,” ucapnya, “pen­cinta buku yang enggak bermodal hehehe… Ka­yak­nya enggak ada buku baru ya di balai bacaan kamu ke­ma­rin.”

Ali tersenyum. Memang betul kok adanya. Ia me­lan­jutkan, “Tapi yang ironis adalah, pencinta buku yang eng­gak tahu cara ngerawat buku, minimal nyam­pul­in­lah.”

Zia tergelak sampai punggungnya bersandar pada kur­si. “Sampulin atuh.” Cewek itu ngeh Ali sedang me­nying­gung buku-buku yang telah dipinjamkan padanya. Se­mua dalam keadaan belel.

“Kamu bisa nyampul enggak sih?”

Zia menggeleng. Seringaiannya melebar. “Bi­a­sa­nya udah disampulin sama toko bukunya.” –toko buku lang­ganan Zia di Palasari. “Tapi kalau yang itu aku be­li­nya enggak di Palasari sih,” Zia menyebut nama sebuah to­ko buku terkemuka yang boro-boro kasih servis sam­pul plastik, diskon saja tidak. “Udah lama. Udah sering di­pinjem orang lain juga. Makanya buku-buku bagus itu, ka­mu harus baca!”

Tentu saja Ali sudah selesai membaca semua, ia ba­wa selalu dalam ranselnya malah. Menanti Zia datang ke XII IPS 1 untuk menjemput mereka. Tapi ia tidak bi­lang, karena sekarang ia terpikir untuk membawa mereka pu­lang lagi. Memakaikan baju plastik pada mereka. Jadi Ali malah memancing cewek itu untuk bicara lebih ba­nyak—memang di mana bagusnya buku-buku itu? Tapi Zia pun sudah lupa kapan ia menghabiskan buku-buku itu, apalagi membahas isinya.

“Eh iya. Sori ya, aku belum selesai euy baca bu­ku kamu. Ada sih satu, tapi aku belum selesai bikin re­view-nya. Entar aja ya sekalian semua dibalikinnya.”

“Bikin review lagi. Sekali-sekali jangan review dong.”

“Cerpen kamu enggak mau.”

“Esai kek. Itu juga kan bisa personal.”

“Enggak mau ah. Entar jadinya malah curhat. Diary atuh itu mah, bukan esai.”

“Enggak apa-apa curhat, tapi curhatnya yang ber­bobot. Masukin referensi dari mana-mana.”

“Males ah, kudu banyak baca lagi.”

“Dari apa yang udah kamu baca selama ini aja. Kan mestinya ada tuh, beberapa buku yang isinya saling ber­hubungan. Itu yang coba kamu rangkai lewat tulisan ka­mu. Masak udah sekian yang dibaca enggak ada isinya yang diinget sih?”

“Kamu ada blog enggak sih?” Mulai deh cewek ini bergelagat. Entah memang pikirannya yang acak atau si­asatnya saja untuk menghindari tekanan. Tapi Ali la­deni saja.

“Ada. Tapi udah jarang disi.” Dan sekarang Ali su­dah lupa lagi apa alamatnya. Di Blogger apa Wordpress? Jangan-jangan malah di Multiply?

“Kenapa?”

Apa yang mau dipajang? Ali kan belum me­nye­le­sai­kan satu tulisan pun… Aduh. Agaknya tidak tepat meng­ungkapkan itu pada Zia. Bagaimana kalau berlagak ti­dak fokus juga, Ali? Alihkan topik!

“Nulis itu gampang enggak sih?” Ali kalah cepat.

“Menurut kamu?”

Zia menggeleng. “Dari sekian tulisan aku yang udah dibaca sama kamu, menurut kamu ada yang udah be­res belum?”

Ali tersengal. “Iya… Enggak bisa sekali jadi. Ayo terus berusaha, Zia!” Ali mengepalkan tangan.

“Curang ah, kamu enggak pernah ngeliatin tu­lis­an kamu,” tuding Zia. Akhirnya.

“Buat apa?” Lagipula kalau mau ubek-ubek tuh sek­re LEMPERs. Barangkali belum dibuang artefak-ar­te­fak mading zaman baheula yang memuat tulisan Ali.

“Biar aku bisa belajar dari tulisan kamu, Pak Gu­ru…” Zia mencondongkan tubuhnya ke arah Ali. “Kalau ka­mu bisa nyoret-nyoret tulisan aku, mestinya kamu bisa nu­lis lebih baik dari aku. Hayo!”

Itu telunjuk apa pisau yang Zia arahkan pada Ali. Kok rasanya seperti ditusuk. “Tertohok,” dulu demikian ist­ilah cewek-cewek sixsweets+ saat Ali mencecar pe­ri­la­ku mereka yang lebih suka meramaikan kantin alih-alih sekre sendiri. Jadi sekarang Ali sudah tahu apa ja­wab­an atas pertanyaan Zia semula: menulis itu tidak gam­pang.

Kalaupun Ali harus menunjukkan tulisannya pa­da Zia, tulisan itu harus tulisan Ali yang terbaik.

Sepulang sekolah Ali langsung berkutat di depan kom­puter. Ia bahkan menepis tangan Fathim yang hen­dak menyetelkan lagu-lagu. Biar Abang kerja dengan se­ma­ngat, kata Fathim. Enggak usah! sentak si abang. Bu­ku-buku bertumpuk di meja samping komputer. Remah-re­mah ketombe berjatuhan karena kepala kerap digaruk-ga­ruk. Tidak ia hiraukan tamu-tamu yang berseliweran di sekitarnya.

“Jangan sentuh-sentuh!” Buku-buku sudah ter­se­bar dan terbuka sedemikian rupa di meja samping kom­pu­ter, agar mudah bagi Ali untuk langsung menemukan re­ferensi yang ia incar. Namun Ibu tetap mengangkat sa­lah satu buku demi buku sirkulasi peminjaman yang ter­tim­pa. Plus Ali rada mengkeret karena mendapat de­lik­.

Azan magrib mengalun. Ali tergeragap. Ia belum sa­lat asar, seperti Zia waktu di sini kapan itu. Barangkali se­lama azan magrib belum berakhir masih ada ke­sem­pat­an untuk menunaikan kewajiban itu, buru-buru Ali me­lom­pat ke keran di depan kamar mandi.

Selepas isya Om Ar­man datang dengan mem­ba­wa­kan martabak. Ali me­rasa tulisannya belum sempurna, ta­pi mumpung, mumpung!, kapan lagi Om Arman da­tang ke mari? Kan tidak setiap hari! Ali pun mencetak tu­lisannya, sejadinya, dengan printer kotak yang ber­de­rit-derit. Tidak kalah berisik dari mesin ketik, meski bu­nyi­nya lain. “Tek tek… Ngiiik… ngiiik… ngiiik…”

Om Arman minta pensil, dan secangkir teh. Ali le­kas menyediakan. Selanjutnya, di mata Om Arman, Ali ba­gai Zia di mata Ali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain