Minggu, 26 Agustus 2012

14

Beberapa bulan sekali Ali ingat untuk membelai bu­ku-buku di balai bacaan dengan bulu-bulu kemoceng. Se­tiap buku di balai bacaan diberi label, yang tercatat da­lam katalog di komputer. Sembari menyapukan ke­mo­ceng, Ali mencermati kode-kode pada label. Seringkali ada buku yang ditaruh tidak sesuai urutan labelnya. Ma­ka Ali akan mencabutnya dari deretan lalu me­nem­pat­kan­nya di urutan yang seharusnya. Kadang juga ia me­ne­mu­kan buku dengan sampul plastik yang tidak lagi utuh, per­buatan siapa ini, Ali sebal, lalu ia sisihkan untuk ia sam­pul ulang.

“Sudah dibaca semua buku-buku di situ, Ali?” ta­nya Ibu.

“Belumlah, Bu,” jawab Ali.

“Buku-buku yang kamu perlu dimasukkan ke ka­mar saja.”

“Emang kenapa, Bu?”

“Biar enggak kelupaan dibaca.”

Wah ini seperti memasukkan seluruh isi ruang de­pan dan ruang tengah ke kamar Ali, yang luasya hanya se­pertiga dari luas dua ruang tersebut apabila di­ga­bung­kan. Lagipula Ali memang selalu menyimpan buku-buku yang lagi ingin ia baca di kamar. Ali kira ia tidak perlu me­nambahkan lagi. Lagipula kalian lebih suka di sini kan, dihangatkan mentari, dan disegarkan angin dari pin­tu dan jendela yang terbuka meski tidak lebar-lebar, ke­tim­bang dalam kamar Ali nan suram dan sumpek?

Selanjutnya Ali dan Ibu berbincang mengenai ren­cana kuliah Ali. Ali sudah mencari informasi me­nge­nai kapan formulir SNMPTN bisa dibeli, berapa biaya ma­suk jurusan di perguruan tinggi yang diincarnya, dan ber­bagai keperluan lain. Yang sebelumnya ia bilang pada Ibu baru kira-kira saja, yang sekarang sudah mendekati pas­ti.

Itu peristiwa lebih dari seminggu lalu.

Sepulang sekolah itu di rumah Ali mendapati ibu­nya menyapu ruang depan yang lengang. Debu-debu ber­gelimpangan. Garis-garis pada dinding, bekas di­tem­peli rak. Kursi-kursi dan meja masih ada. Yang tidak ada ada­lah buku-buku lengkap dengan rak-rak yang me­na­ungi­nya. Pemandangan di ruang tengah juga tampak la­in. Jika Zia ke mari ia tidak akan menemukan rak-rak yang melukis semringahnya lagi. Yang tersisa hanya rak yang biasa diincar anak-anak kampung.

“Ke mana buku-bukunya Bu?”

“Ibu gadaikan. Lemari-lemarinya sekalian. Udah pa­da kamu baca kan?”

“Kenapa?”

“Harta kita enggak banyak…”

“Terus ke mana teman-teman kita bakal mencari bu­ku, Bu?”

“Yang jual buku banyak.”

Ali semakin susah bernapas. Ia ingin muntah, ta­pi bukan isi perutnya yang hendak keluar. Tidak tahu apa. Serapah? Ibu saja lempeng kok, apa susahnya bagi Ali untuk begitu juga? Ali masuk ke dalam kamar. Mem­bu­kai kancing atasan seragamnya satu per satu dengan pe­lan. Ayo sehabis ini bantu Ibu membersihkan ruang de­pan. Tidak mau. Tidak bisa. Kamu sudah baca semua bu­ku itu kan? Ya. Ingat kata-kata Ibu. Ya. Apa perlunya la­gi buku-buku itu bagi kamu? Ya. Semua sudah di­ba­ca—ah, tidak—sebagian besar, ada sebagian yang tidak be­gitu menarik. Bantu Ibu, ayo bantu Ibu. Ali me­nyu­sup­kan lubang kaos ke kepalanya. Ia menghembuskan na­pas seraya berdeham keras-keras, sebelum keluar dari ka­mar. Membantu Ibu menyapu, mengepel. Ruang de­pan harus dibikin kinclong, meski dinding jendela akan di­jebol.

Fathim tercengang mendapati ruang depan yang me­lompong. Pertanyaan yang sama. Tapi apa peduli Fathim? Ia tidak membaca buku-buku di sana. Ia lebih se­nang dengan kedatangan anak-anak sedang bacaan ha­nya sekadar gula bagi semut-semut itu. Dan ia yang ber­so­rak girang karena ruang depan akan disewakan. Ada orang yang berpikir tempat tersebut cukup strategis un­tuk dijadikan tempat usaha. Aziz sama melongo seperti Fathim, sesaat, sebab bocah itu lebih kerap minta duit un­tuk ke rental PlayStation alih-alih membaca satu ma­ja­lah saja.

Tadinya Ali hendak mengedit lagi—untuk ke se­ki­an kali—tulisannya di komputer. Hampir saja ia me­rom­bak tulisan itu karena kritik dari Om Arman yang tak hen­ti-henti. Kini sekedar menyalakan komputer saja Ali ti­dak nafsu. Referensi yang ia butuhkan untuk me­nyem­pur­nakan tulisan itu kan sudah masuk pegadaian. Harus ca­ri ke mana lagi buku semacam itu? Di Gramedia pun stok­­nya pasti sudah habis sejak bertahun-tahun lalu. Pa­la­sari? Satu windu lagi deh baru ketemu. Langsung ke pe­gadaian? Pegadaian mana, jangan-jangan sebetulnya ko­lektor. Kolektor yang mana? Sudahlah. Sekarang Ali ha­nya ingin menjalani sore yang biasa, baca buku sambil ti­duran di kamar atau tiduran di kamar sambil baca buku. Se­tidaknya masih ada belasan judul menumpuk di tepi tem­pat tidurnya. Semoga mereka tetap selalu menarik, sa­at dibaca berulang kali hingga sepanjang hayat.

Suara Ibu dari ambang pintu. “Sekali-sekali te­men­in Opung dong.”

Ali meletakkan buku. Keluar kamar langsung me­lesat ke dapur. Tidak mau dengar suara-suara dari ta­mu yang kecewa. Balai bacaan yang biasa disambangi su­dah tamat riwayatnya. Tinggal beberapa bacaan anak yang tersedia, mau? Toh balai bacaan ini juga tidak pro­fe­sional kok, cuman milik pribadi yang keterlaluan ba­nyak­nya. Terserah pemiliknya dong kalau sewaktu-wak­tu mau mengapa-apakan miliknya itu. Ali menyeret kursi ke samping kursi Opung. Sejenak pandang lelaki tua itu ber­alih dari TV ke Ali. “Kenapa kau, Ucok?”

Ali, temani tuh Opung.

Aah, enggak mau Ibu! Nanti Opung panggil aku Cak Cok Cak Cok.

“Bukan urusanmu, Pak Tua.”

Opung terkekeh.

Ali melempar pandang ke lain arah. Ia meng­in­safi bahwa tinggal ia sendiri yang gila buku di rumah ini.

.

Cewek itu mengirim sms pada suatu malam, min­ta dibawakan kumpulan cerpen Danarto dan novel Iwan Si­matupang. Begitu sms tersebut sampai di ponselnya, Ali langsung membaca. Tapi ia baru membalas ke­e­sok­an ha­rinya, secara lisan, muka ke muka, di XII IPS 1. Ke­ti­ga buku yang sebelumnya dipinjam Zia tumpuk di meja Ali. “Bawa enggak?”

“Balai bacaannya udah enggak ada, Zia.”

“Hah…”

Tuh! Ekspresi itu! Ekspresi itu yang sangat tidak Ali harapkan!

“Kenapa?”

Aduh. Andai Ali pintar mengarang, jadi ia tidak ha­rus secara lugas mengatakan kalau alasannya ialah ka­re­na ia anak yatim kere. Ali tidak mengatakan apapun. Ha­nya mengangkat bahu, mengatakan, “Usaha baru.”

“Oh…” gumam Zia. Bingung. Wajar. Intinya ia ti­dak bisa pinjam buku lagi. Transaksi ini adalah untuk per­tama dan terakhir kalinya, kecuali kalau Zia mau baca bu­ku-buku Ali yang tersisa. Teori-teori Sosial Modern, Il­mu Politik, Maldilog, Etika Pemerintahan dalam Fil­sa­fat Jawa, dan judul-judul lain semacam itu, mau? “Terus bu­ku-bukunya pada ke mana?”

“Hm… Ya… Udah enggak di rumah aja…”

“Oh… Ke mana?”

Ck. Cewek ini cerewet sekali. Pegadaian! Ko­lek­tor! Pamanku pedagang buku berpengalaman sejak tahun ‘73, tahu enggak?! Dia sudah berjualan buku-buku opung­ku sejak SD! Bayangkan! Tidak bilang-bilang Opung pula!

“Tapi kalau mau main sama anak-anak lagi, me­re­ka masih suka pada main ke rumah tuh.”

Cewek itu meringis. “Kapan-kapan lagi aja…”

“Kenapa? Bukannya kamu suka anak-anak?”

“Mmm… Tapi energi yang keluar besar juga…”

Pakai mengaitkan ke energi-energi segala. Cih. Anak IPA. Kalau tidak suka ya bilang saja tidak suka!

“Rame enggak bukunya, Zia?”

Zia mengangguk. Akhirnya Ali mensyukuri per­ha­tian Zia yang mudah teralihkan.

“Yah, sayang yah, padahal buku-bukunya buat aku aja…”

Ternyata tidak juga.

Lalu kamu mau menanggung biaya kuliahku, be­gi­tu?

Di batin Ali mencak-mencak, tapi di mulut ia me­lontar, “Jadi bikin review tea?”

Cewek itu mengangguk lagi. Senyum yang se­mu­la rentan lepas sewaktu-waktu itu sekonyong-konyong me­lebar, mewujud cengiran, lama-lama cengengesan. “Eh sori ya,” ujar cewek itu di tengah sengalnya. Ia mem­­buka salah satu buku yang hendak ia kembalikan pa­da Ali. Halaman demi halaman ia buka, hingga sampai pa­da satu halaman dengan bercak merah kehitaman. Ba­dan Ali condong ke depan. Wajah terperangah. Hitam di atas bercak merah itu rupanya remukan tubuh nyamuk. “Kan aku lagi baca… Terus tahu-tahu ada nyamuk di si­ni. Awalnya aku biarin aja. Eh, enggak tahunya pas aku nge­balik halaman, nyamuknya kegencet deh, hahaha…” Ali tidak tertawa. Cewek itu kontan meredakan tawanya. “Nya­muknya saking keasyikan baca juga kali yah… Hehehe… Buku kamu jadi ada najisnya…” Zia ber­de­ham. “Atau perlu aku ganti? Tapi pakai duit aja ya? Bu­ku gini mah langka euy, enggak tahu di mana lagi ada­nya…”

Berangsur-angsur Ali menyandarkan lagi tubuh­nya. Tidak ada secuil pun nafsu untuk meledak. “Enggak apa-apa. Buat kamu aja bukunya, Zia.”

“Hah? Serius?”

“Iya. Ambil aja,” tuding Ali dengan dagu.

“Kamu marah?”

“Enggak. Udah, buat kamu aja. Lagian yang suka fik­si kan kamu.”

“Tapi… Ini bukannya buku orangtua kamu? En­tar kalau ditanyain…”

“Enggak…” Ali menggeleng. “Enggak bakal. Be­neran. Gampanglah.”

Lepas, lepas semua buku! Lepas! Ali tidak butuh la­gi banyak buku.

“Ho… Makasih ya,” ucap Zia, terlalu segan un­tuk menunjukkan rasa syukur.

“Oh iya. Ini buku-buku kamu juga…” Ali meng­in­tip kolong bangkunya, lalu mengeluarkan setumpuk bu­ku dari sana. “Makasih.”

“…disampulin?!” pekik Zia.

Ali diam saja. Ia mengeluarkan sebuah buku lagi da­ri ranselnya. Indonesia Menggugat. Sudah sejak lama se­betulnya ia ingin meminjamkan Zia buku itu, yang ia sen­diri telah berulang kali baca. Kurang baik apa coba si Ali ini? Ia hanya mengharapkan review dari cewek sok ide­alis ini, yang barangkali bakal berjejalan dengan ko­men­tar bernas. “Ini, baca juga. Tapi jangan lupa di­ba­lik­in ya.”

“Wah kamu nasionalis banget ya…” Zia meraih pi­dato Bung Karno yang dibukukan itu. Membuka ha­la­man demi halamannya.

“Iya dong…” tapi Ali mulai heran. “Kamu se­neng enggak?”

“Apanya?”

“Buku kayak gitu.”

“Oh…”

“Emang…?”

“Kirain, suka sama kamu yang nasionalis, ehe…”

…eeh…

Ali menjatuhkan pandangannya ke ubin kelas. Yang berdebar dada kok yang kacau malah pikirannya. Ali malah menangkap kesan bahwa menurut Zia tidak se­mua orang harus jadi nasionalis. “Emang kamu enggak na­sionalis?”

“Ng… Enggak tahu. Mungkin individualis.”

“Individualis?”

“Iya… Menurut aku setiap orang itu berbeda. Se­ti­ap individu itu unik. Setiap orang punya potensi yang ha­rus dikembangkan… Gitulah.”

“Individualis juga bisa nasionalis. Islamis bisa na­sionalis, kayak Muhammad Natsir misal…”

“Ah kamu kayak Bung Karno aja suka nyampur-nyam­purin. Udah jelas Pancasila mengamanatkan rakyat In­donesia buat beragama, dicampur-campurin juga sama ko­munis…”

“Nah…”

Tapi Zia berhenti saja sampai di situ. “Aku eng­gak bener-bener ngerti apa yang aku bilang tadi sih. Udah, enggak usah dipikirin!” Cewek itu mengibaskan ta­ngannya. Sudah menangkap gelagat Ali untuk meng­a­jak berdebat agaknya. “Kalau menurut aku ya… Ke­ma­rin kamu ngegolongin pencinta buku jadi yang bermodal apa enggak kan, kalau aku, aku bikin tipe-tipe pem­ba­ca… Kayak aku nih contohnya, aku tuh masih tipe orang yang baca, lalu lupakan, dan lihat nanti apa yang ter­ting­gal.” Cewek itu mengambil napas sejenak. “Terus, tipe yang kedua itu,” Zia menunjuk jari telunjuk dan tengah ta­ngan lainnya, “membaca hanya untuk tujuan tertentu. Ka­yak sepupu aku tuh contohnya, Mas Imin, eh, Kang Luth­fi, kamu masih ingat kan?” Ali mengangguk. Yang di­sebut Zia sudah jadi alumni SMANSON, satu angkatan di atas mereka. “Dia tuh suka baca-baca buku psikologi po­puler, cuman buat bahan eksperimennya aja sama orang lain…” Ali manggut-manggut. “Yang ketiga,” kali ini Zia menunjuk jari manisnya yang menyusul berdiri, “pem­baca kritis. Apa yang dia baca enggak disia-siain. Dia bisa nyimpen sari satu bacaan, terus mengkaitkan de­ngan sari dari bacaan-bacaan lain, terus dirangkai, di­tu­lis lagi sehingga jadi bacaan baru. Kayak yang pernah ka­mu jelasin tentang esai itu loh.”

“Ya,” tanggap Ali.

Jari kelingking Zia ikut berdiri. “Yang keempat, do­yan baca tapi genre-genre tertentu aja. Kayak temenku tuh, si Dean, anak XI IPS 2, dia sukanya cuman baca ma­jalah aja, sama teenlit, haha, teenlit dong, cowok baca teen­lit… Eh aku pernah baca sih di Why Men Don’t Listen and Women Cant Read Map, katanya kalau co­wok tuh baca cenderung buat ngedapetin informasi, se­men­tara kalau cewek itu buat ngeluapin emosi. Jadi ka­lau cowok cenderung baca yang dia sukain aja, nah kalau ce­wek senengnya baca novel… Kayak kamu, disuruh ba­ca fiksi enggak mau. Aku sih seneng-seneng aja… Wah, aku jadi lebih memahami kita!” Cewek itu terkejut sen­di­ri. “Terus yang kelima,” semua jari di tangan kiri Zia ber­diri. “Enggak suka baca sama sekali.” Cewek itu di­am sejenak, sebelum menuding Ali. “Kamu tuh tipe ke­em­pat banget.”

“Tipe keempat teh yang mana?”

“Yang maunya cuman baca buku-buku tertentu me­lulu.”

“Enggak juga ah. Saya tipe yang tadi itu… yang kri­tis, bisa nyambung-nyambungin isi buku ini sama isi bu­ku itu…”

“Hm!” Zia mencibir.

Ali tertawa. Dikira candaan. Padahal sungguh! Ali ingin sekali jadi tipe pembaca yang seperti itu. Pem­ba­ca yang menulis.

“Kalau buku-buku self-help gitu kamu suka baca sih? Itu kan nonfiksi juga…”

Self-help, maksudnya…?”

“Kayak buku-buku how to bla-bla-bla gitu. Mi­sal­nya… Sepuluh-cara-meningkatkan-hasil-ulangan-da­lam-semalam?”

“Tips-tips gitu?” Ada rubrik semacam itu di ma­ding. Tahun lalu penanggung-jawabnya Titew. Padahal sa­saran pembaca mading adalah seluruh publik SMAN­SON tanpa membedakan gender, tapi yang terpikir oleh Ti­tew hanya bagaimana para cewek SMANSON makin can­tik dari minggu ke minggu.

“Semacam itulah. Tapi lebih tebel aja. Ulasannya ju­ga mungkin lebih panjang, lebih lengkap… sampai jadi bu­ku. Aku udah hampir enggak percaya lagi sama buku-bu­ku kayak gitu. Bisa jadi sebenernya kamu udah tau apa yang harus kamu lakukan. Kamu cuman butuh pe­nguat—seseorang yang ngeyakinin kalau kamu emang be­ner-bener harus ngelakuin itu, dengan kata-kata. Lalu se­telah sekian banyak buku tentang itu kamu baca, kamu nya­dar kalau kamu belum juga ngelakuin apa-apa karena ka­mu lebih tertarik buat ngebayangin diri kamu nge­la­ku­in itu—dengan bantuin si buku self-help itu—ketimbang be­ner-bener melakukannya. Tahap berikutnya, kamu nya­dar kalau kamu lebih milih buat ngehabisin waktu de­ngan membaca buku-buku, ketimbang ngelakuin per­u­bah­an yang kamu inginkan. Lalu kamu mulai ngejauhin bu­ku. Begitu kamu deket lagi sama buku, bisa-bisa kamu ke­hilangan kesempatan lagi untuk ngelakuin sesuatu.”

Ali tidak melihat buku dari sudut pandang seperti itu. Tapi barangkali apa yang dikatakan Zia itu bukannya sa­lah sama sekali. Ali banyak membaca buku-buku se­ja­rah, memoar, apapun yang menyalakan api semangat un­tuk mengikuti jejak para tokoh tersebut. Tapi yang Ali la­kukan selanjutnya malah melahap lebih banyak buku se­macam alih-alih mulai melakukan sesuatu. Ia menjadi ra­kus akan inspirasi yang tiada habisnya ditawarkan oleh bu­ku-buku.

“…tapi aku cinta buku…” lanjut Zia lagi, dengan na­da memelas.

“Ya. Pada akhirnya kamu bakal balik ke buku. Ja­ngan salahin bukulah. Kamu kan punya wewenang pe­nuh buat memutuskan, bakal terus baca buku, atau naruh bu­ku itu sebentar… aja, buat nerapin isinya. Dengan be­gi­tu kan kamu bener-bener ngehargain buku, ngehargain pe­nulisnya bahkan.”          

“Dengan menerapkan isinya ya,” ulang Zia, “bu­kan sekadar menamatkan lalu meletakkannya lagi di rak…”

“Seenggaknya bikin review-nya, rekomendasiin ke orang-orang, kalau perlu kasih tahu penulisnya se­ka­li­an…” Ali ingin tergelak. Entah Zia sadar apa tidak kalau di­­rinya tengah Ali singgung.

“Tapi enggak semua buku bagus,” malah Zia se­per­tinya abai, “kadang kita baca buku apa gitu, tapi kita eng­gak dapat apa-apa dari buku itu. Atau buku itu malah nya­ranin hal-hal yang sebetulnya enggak kita butuhin…”

“Contohnya?”

“Bagaimana cara memikat cowok dalam dua pu­luh hari?”

“Siapa tahu aja suatu saat kamu butuh?”

“Iyuh.” Zia menjulurkan lidah.

“Kamu juga kan punya wewenang buat milih bu­ku mana yang pingin kamu baca dan mana yang enggak. Yang emang penting aja gitu yang dibaca…”

“Aku kan omnivora.”

“Enggak semua buku harus dibaca.”

“Iyaa… Enggak bakal ada habisnya… Kalau ba­ca terus, kapan kita mau mulai perubahan, coba?”

Ali tersenyum. Zia tersenyum. Mereka sepakat un­tuk menjadi tipe pembaca yang ketiga.

Selanjutnya secara blak-blakan Zia mengutarakan ra­sa tidak enaknya karena sudah diberi tiga buku se­ka­li­gus—fiksi-fiksi langka pula, dipinjami satu buku yang meng­gelora, sudah begitu buku-buku Zia disampuli. Mem­buat Zia tampak tidak tahu diri, karena memang ti­dak tahu bagaimana membalas Ali yang keterlaluan ba­ik­nya. Apa Zia perlu balas memberi Ali buku-buku? Ta­pi Zia lebih rela melepas uang saku ketimbang buku-bu­ku yang sudah terlanjur ia miliki. Sudah begitu berapa bi­aya jasa sampul Ali? Aku pasti akan membaca buku In­donesia Menggugat ini, Ali, pasti!, plus review-nya! Ta­pi jangan harapkan itu terjadi dalam waktu dekat, se­bab ulangan kian padat.

Bah. Ali biarkan saja Zia meracau sendiri. Ia ti­dak mau mendengar, apalagi bicara soal uang. Wajah Zia ter­arah padanya, tapi wajahnya sendiri pelan-pelan ber­ge­rak ke arah jendela. Dulu ketika ia duduk di tepi sana ca­haya matahari begitu hangat menyirami kepalanya. Se­ka­rang yang penting baginya adalah bagaimana supaya sa­ri percakapannya dengan Zia tadi tetap hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain