Beberapa bulan sekali
Ali ingat untuk membelai buku-buku di balai bacaan dengan bulu-bulu kemoceng.
Setiap buku di balai bacaan diberi label, yang tercatat dalam katalog di
komputer. Sembari menyapukan kemoceng, Ali mencermati kode-kode pada label.
Seringkali ada buku yang ditaruh tidak sesuai urutan labelnya. Maka Ali akan
mencabutnya dari deretan lalu menempatkannya di urutan yang seharusnya.
Kadang juga ia menemukan buku dengan sampul plastik yang tidak lagi utuh,
perbuatan siapa ini, Ali sebal, lalu ia sisihkan untuk ia sampul ulang.
“Sudah dibaca semua
buku-buku di situ, Ali?” tanya Ibu.
“Belumlah, Bu,” jawab
Ali.
“Buku-buku yang kamu
perlu dimasukkan ke kamar saja.”
“Emang kenapa, Bu?”
“Biar enggak kelupaan
dibaca.”
Wah ini seperti
memasukkan seluruh isi ruang depan dan ruang tengah ke kamar Ali, yang luasya
hanya sepertiga dari luas dua ruang tersebut apabila digabungkan. Lagipula
Ali memang selalu menyimpan buku-buku yang lagi ingin ia baca di kamar. Ali
kira ia tidak perlu menambahkan lagi. Lagipula kalian lebih suka di sini kan,
dihangatkan mentari, dan disegarkan angin dari pintu dan jendela yang terbuka
meski tidak lebar-lebar, ketimbang dalam kamar Ali nan suram dan sumpek?
Selanjutnya Ali dan Ibu
berbincang mengenai rencana kuliah Ali. Ali sudah mencari informasi mengenai
kapan formulir SNMPTN bisa dibeli, berapa biaya masuk jurusan di perguruan
tinggi yang diincarnya, dan berbagai keperluan lain. Yang sebelumnya ia bilang
pada Ibu baru kira-kira saja, yang sekarang sudah mendekati pasti.
Itu peristiwa lebih
dari seminggu lalu.
Sepulang sekolah itu di
rumah Ali mendapati ibunya menyapu ruang depan yang lengang. Debu-debu bergelimpangan.
Garis-garis pada dinding, bekas ditempeli rak. Kursi-kursi dan meja masih
ada. Yang tidak ada adalah buku-buku lengkap dengan rak-rak yang menaunginya.
Pemandangan di ruang tengah juga tampak lain. Jika Zia ke mari ia tidak akan
menemukan rak-rak yang melukis semringahnya lagi. Yang tersisa hanya rak yang
biasa diincar anak-anak kampung.
“Ke mana buku-bukunya
Bu?”
“Ibu gadaikan.
Lemari-lemarinya sekalian. Udah pada kamu baca kan?”
“Kenapa?”
“Harta kita enggak
banyak…”
“Terus ke mana
teman-teman kita bakal mencari buku, Bu?”
“Yang jual buku
banyak.”
Ali semakin susah
bernapas. Ia ingin muntah, tapi bukan isi perutnya yang hendak keluar. Tidak
tahu apa. Serapah? Ibu saja lempeng kok, apa susahnya bagi Ali untuk begitu
juga? Ali masuk ke dalam kamar. Membukai kancing atasan seragamnya satu per
satu dengan pelan. Ayo sehabis ini bantu Ibu membersihkan ruang depan. Tidak
mau. Tidak bisa. Kamu sudah baca semua buku itu kan? Ya. Ingat kata-kata Ibu.
Ya. Apa perlunya lagi buku-buku itu bagi kamu? Ya. Semua sudah dibaca—ah, tidak—sebagian
besar, ada sebagian yang tidak begitu menarik. Bantu Ibu, ayo bantu Ibu. Ali
menyusupkan lubang kaos ke kepalanya. Ia menghembuskan napas seraya
berdeham keras-keras, sebelum keluar dari kamar. Membantu Ibu menyapu,
mengepel. Ruang depan harus dibikin kinclong, meski dinding jendela akan dijebol.
Fathim tercengang
mendapati ruang depan yang melompong. Pertanyaan yang sama. Tapi apa peduli
Fathim? Ia tidak membaca buku-buku di sana. Ia lebih senang dengan kedatangan
anak-anak sedang bacaan hanya sekadar gula bagi semut-semut itu. Dan ia yang
bersorak girang karena ruang depan akan disewakan. Ada orang yang berpikir
tempat tersebut cukup strategis untuk dijadikan tempat usaha. Aziz sama
melongo seperti Fathim, sesaat, sebab bocah itu lebih kerap minta duit untuk
ke rental PlayStation alih-alih membaca satu majalah saja.
Tadinya Ali hendak
mengedit lagi—untuk ke sekian kali—tulisannya di komputer. Hampir saja ia merombak
tulisan itu karena kritik dari Om Arman yang tak henti-henti. Kini sekedar
menyalakan komputer saja Ali tidak nafsu. Referensi yang ia butuhkan untuk menyempurnakan
tulisan itu kan sudah masuk pegadaian. Harus cari ke mana lagi buku semacam
itu? Di Gramedia pun stoknya pasti sudah habis sejak bertahun-tahun lalu. Palasari?
Satu windu lagi deh baru ketemu. Langsung ke pegadaian? Pegadaian mana,
jangan-jangan sebetulnya kolektor. Kolektor yang mana? Sudahlah. Sekarang Ali
hanya ingin menjalani sore yang biasa, baca buku sambil tiduran di kamar atau
tiduran di kamar sambil baca buku. Setidaknya masih ada belasan judul menumpuk
di tepi tempat tidurnya. Semoga mereka tetap selalu menarik, saat dibaca
berulang kali hingga sepanjang hayat.
Suara Ibu dari ambang
pintu. “Sekali-sekali temenin Opung dong.”
Ali meletakkan buku.
Keluar kamar langsung melesat ke dapur. Tidak mau dengar suara-suara dari tamu
yang kecewa. Balai bacaan yang biasa disambangi sudah tamat riwayatnya.
Tinggal beberapa bacaan anak yang tersedia, mau? Toh balai bacaan ini juga tidak
profesional kok, cuman milik pribadi yang keterlaluan banyaknya. Terserah
pemiliknya dong kalau sewaktu-waktu mau mengapa-apakan miliknya itu. Ali
menyeret kursi ke samping kursi Opung. Sejenak pandang lelaki tua itu beralih
dari TV ke Ali. “Kenapa kau, Ucok?”
Ali, temani tuh Opung.
Aah, enggak mau Ibu! Nanti Opung panggil aku Cak Cok Cak Cok.
“Bukan urusanmu, Pak
Tua.”
Opung terkekeh.
Ali melempar pandang ke
lain arah. Ia menginsafi bahwa tinggal ia sendiri yang gila buku di rumah
ini.
.
Cewek itu mengirim sms
pada suatu malam, minta dibawakan kumpulan cerpen Danarto dan novel Iwan Simatupang.
Begitu sms tersebut sampai di ponselnya, Ali langsung membaca. Tapi ia baru
membalas keesokan harinya, secara lisan, muka ke muka, di XII IPS 1. Ketiga
buku yang sebelumnya dipinjam Zia tumpuk di meja Ali. “Bawa enggak?”
“Balai bacaannya udah
enggak ada, Zia.”
“Hah…”
Tuh! Ekspresi itu!
Ekspresi itu yang sangat tidak Ali harapkan!
“Kenapa?”
Aduh. Andai Ali pintar
mengarang, jadi ia tidak harus secara lugas mengatakan kalau alasannya ialah
karena ia anak yatim kere. Ali tidak mengatakan apapun. Hanya
mengangkat bahu, mengatakan, “Usaha baru.”
“Oh…” gumam Zia.
Bingung. Wajar. Intinya ia tidak bisa pinjam buku lagi. Transaksi ini adalah
untuk pertama dan terakhir kalinya, kecuali kalau Zia mau baca buku-buku Ali
yang tersisa. Teori-teori Sosial Modern,
Ilmu Politik, Maldilog, Etika Pemerintahan dalam Filsafat Jawa, dan
judul-judul lain semacam itu, mau? “Terus buku-bukunya pada ke mana?”
“Hm… Ya… Udah enggak di
rumah aja…”
“Oh… Ke mana?”
Ck. Cewek ini cerewet
sekali. Pegadaian! Kolektor! Pamanku pedagang buku berpengalaman sejak tahun
‘73, tahu enggak?! Dia sudah berjualan buku-buku opungku sejak SD! Bayangkan!
Tidak bilang-bilang Opung pula!
“Tapi kalau mau main
sama anak-anak lagi, mereka masih suka pada main ke rumah tuh.”
Cewek itu meringis.
“Kapan-kapan lagi aja…”
“Kenapa? Bukannya kamu
suka anak-anak?”
“Mmm… Tapi energi yang
keluar besar juga…”
Pakai mengaitkan ke
energi-energi segala. Cih. Anak IPA. Kalau tidak suka ya bilang saja tidak
suka!
“Rame enggak bukunya,
Zia?”
Zia mengangguk.
Akhirnya Ali mensyukuri perhatian Zia yang mudah teralihkan.
“Yah, sayang yah,
padahal buku-bukunya buat aku aja…”
Ternyata tidak juga.
Lalu kamu mau
menanggung biaya kuliahku, begitu?
Di batin Ali
mencak-mencak, tapi di mulut ia melontar, “Jadi bikin review tea?”
Cewek itu mengangguk
lagi. Senyum yang semula rentan lepas sewaktu-waktu itu sekonyong-konyong melebar,
mewujud cengiran, lama-lama cengengesan. “Eh sori ya,” ujar cewek itu di tengah
sengalnya. Ia membuka salah satu buku yang hendak ia kembalikan pada Ali.
Halaman demi halaman ia buka, hingga sampai pada satu halaman dengan bercak
merah kehitaman. Badan Ali condong ke depan. Wajah terperangah. Hitam di atas
bercak merah itu rupanya remukan tubuh nyamuk. “Kan aku lagi baca… Terus
tahu-tahu ada nyamuk di sini. Awalnya aku biarin aja. Eh, enggak tahunya pas
aku ngebalik halaman, nyamuknya kegencet deh, hahaha…” Ali tidak tertawa. Cewek
itu kontan meredakan tawanya. “Nyamuknya saking keasyikan baca juga kali yah…
Hehehe… Buku kamu jadi ada najisnya…” Zia berdeham. “Atau perlu aku ganti?
Tapi pakai duit aja ya? Buku gini mah langka euy, enggak tahu di mana lagi adanya…”
Berangsur-angsur Ali
menyandarkan lagi tubuhnya. Tidak ada secuil pun nafsu untuk meledak. “Enggak
apa-apa. Buat kamu aja bukunya, Zia.”
“Hah? Serius?”
“Iya. Ambil aja,”
tuding Ali dengan dagu.
“Kamu marah?”
“Enggak. Udah, buat
kamu aja. Lagian yang suka fiksi kan kamu.”
“Tapi… Ini bukannya
buku orangtua kamu? Entar kalau ditanyain…”
“Enggak…” Ali
menggeleng. “Enggak bakal. Beneran. Gampanglah.”
Lepas, lepas semua
buku! Lepas! Ali tidak butuh lagi banyak buku.
“Ho… Makasih ya,” ucap
Zia, terlalu segan untuk menunjukkan rasa syukur.
“Oh iya. Ini buku-buku
kamu juga…” Ali mengintip kolong bangkunya, lalu mengeluarkan setumpuk buku
dari sana. “Makasih.”
“…disampulin?!” pekik
Zia.
Ali diam saja. Ia
mengeluarkan sebuah buku lagi dari ranselnya. Indonesia Menggugat. Sudah sejak lama sebetulnya ia ingin
meminjamkan Zia buku itu, yang ia sendiri telah berulang kali baca. Kurang
baik apa coba si Ali ini? Ia hanya mengharapkan review dari cewek sok idealis ini, yang barangkali bakal
berjejalan dengan komentar bernas. “Ini, baca juga. Tapi jangan lupa dibalikin
ya.”
“Wah kamu nasionalis
banget ya…” Zia meraih pidato Bung Karno yang dibukukan itu. Membuka halaman
demi halamannya.
“Iya dong…” tapi Ali
mulai heran. “Kamu seneng enggak?”
“Apanya?”
“Buku kayak gitu.”
“Oh…”
“Emang…?”
“Kirain, suka sama kamu
yang nasionalis, ehe…”
…eeh…
Ali menjatuhkan
pandangannya ke ubin kelas. Yang berdebar dada kok yang kacau malah pikirannya.
Ali malah menangkap kesan bahwa menurut Zia tidak semua orang harus jadi
nasionalis. “Emang kamu enggak nasionalis?”
“Ng… Enggak tahu.
Mungkin individualis.”
“Individualis?”
“Iya… Menurut aku
setiap orang itu berbeda. Setiap individu itu unik. Setiap orang punya
potensi yang harus dikembangkan… Gitulah.”
“Individualis juga bisa
nasionalis. Islamis bisa nasionalis, kayak Muhammad Natsir misal…”
“Ah kamu kayak Bung
Karno aja suka nyampur-nyampurin. Udah jelas Pancasila mengamanatkan rakyat Indonesia
buat beragama, dicampur-campurin juga sama komunis…”
“Nah…”
Tapi Zia berhenti saja
sampai di situ. “Aku enggak bener-bener ngerti apa yang aku bilang tadi sih.
Udah, enggak usah dipikirin!” Cewek itu mengibaskan tangannya. Sudah menangkap
gelagat Ali untuk mengajak berdebat agaknya. “Kalau menurut aku ya… Kemarin
kamu ngegolongin pencinta buku jadi yang bermodal apa enggak kan, kalau aku,
aku bikin tipe-tipe pembaca… Kayak aku nih contohnya, aku tuh masih tipe
orang yang baca, lalu lupakan, dan lihat nanti apa yang tertinggal.” Cewek
itu mengambil napas sejenak. “Terus, tipe yang kedua itu,” Zia menunjuk jari
telunjuk dan tengah tangan lainnya, “membaca hanya untuk tujuan tertentu. Kayak
sepupu aku tuh contohnya, Mas Imin, eh, Kang Luthfi, kamu masih ingat kan?”
Ali mengangguk. Yang disebut Zia sudah jadi alumni SMANSON, satu angkatan di
atas mereka. “Dia tuh suka baca-baca buku psikologi populer, cuman buat bahan
eksperimennya aja sama orang lain…” Ali manggut-manggut. “Yang ketiga,” kali
ini Zia menunjuk jari manisnya yang menyusul berdiri, “pembaca kritis. Apa yang
dia baca enggak disia-siain. Dia bisa nyimpen sari satu bacaan, terus
mengkaitkan dengan sari dari bacaan-bacaan lain, terus dirangkai, ditulis
lagi sehingga jadi bacaan baru. Kayak yang pernah kamu jelasin tentang esai
itu loh.”
“Ya,” tanggap Ali.
Jari kelingking Zia
ikut berdiri. “Yang keempat, doyan baca tapi genre-genre tertentu aja. Kayak
temenku tuh, si Dean, anak XI IPS 2, dia sukanya cuman baca majalah aja, sama teenlit, haha, teenlit dong, cowok baca teenlit…
Eh aku pernah baca sih di Why Men Don’t
Listen and Women Cant Read Map, katanya kalau cowok tuh baca cenderung
buat ngedapetin informasi, sementara kalau cewek itu buat ngeluapin emosi.
Jadi kalau cowok cenderung baca yang dia sukain aja, nah kalau cewek
senengnya baca novel… Kayak kamu, disuruh baca fiksi enggak mau. Aku sih
seneng-seneng aja… Wah, aku jadi lebih memahami kita!” Cewek itu terkejut sendiri.
“Terus yang kelima,” semua jari di tangan kiri Zia berdiri. “Enggak suka baca
sama sekali.” Cewek itu diam sejenak, sebelum menuding Ali. “Kamu tuh tipe keempat
banget.”
“Tipe keempat teh yang mana?”
“Yang maunya cuman baca
buku-buku tertentu melulu.”
“Enggak juga ah. Saya
tipe yang tadi itu… yang kritis, bisa nyambung-nyambungin isi buku ini sama
isi buku itu…”
“Hm!” Zia mencibir.
Ali tertawa. Dikira
candaan. Padahal sungguh! Ali ingin sekali jadi tipe pembaca yang seperti itu.
Pembaca yang menulis.
“Kalau buku-buku self-help gitu kamu suka baca sih? Itu
kan nonfiksi juga…”
“Self-help, maksudnya…?”
“Kayak buku-buku how to bla-bla-bla gitu. Misalnya…
Sepuluh-cara-meningkatkan-hasil-ulangan-dalam-semalam?”
“Tips-tips gitu?” Ada
rubrik semacam itu di mading. Tahun lalu penanggung-jawabnya Titew. Padahal sasaran
pembaca mading adalah seluruh publik SMANSON tanpa membedakan gender, tapi
yang terpikir oleh Titew hanya bagaimana para cewek SMANSON makin cantik dari
minggu ke minggu.
“Semacam itulah. Tapi
lebih tebel aja. Ulasannya juga mungkin lebih panjang, lebih lengkap… sampai
jadi buku. Aku udah hampir enggak percaya lagi sama buku-buku kayak gitu.
Bisa jadi sebenernya kamu udah tau apa yang harus kamu lakukan. Kamu cuman
butuh penguat—seseorang yang ngeyakinin kalau kamu emang bener-bener harus
ngelakuin itu, dengan kata-kata. Lalu setelah sekian banyak buku tentang itu
kamu baca, kamu nyadar kalau kamu belum juga ngelakuin apa-apa karena kamu
lebih tertarik buat ngebayangin diri kamu ngelakuin itu—dengan bantuin si
buku self-help itu—ketimbang bener-bener
melakukannya. Tahap berikutnya, kamu nyadar kalau kamu lebih milih buat
ngehabisin waktu dengan membaca buku-buku, ketimbang ngelakuin perubahan
yang kamu inginkan. Lalu kamu mulai ngejauhin buku. Begitu kamu deket lagi
sama buku, bisa-bisa kamu kehilangan kesempatan lagi untuk ngelakuin sesuatu.”
Ali tidak melihat buku
dari sudut pandang seperti itu. Tapi barangkali apa yang dikatakan Zia itu
bukannya salah sama sekali. Ali banyak membaca buku-buku sejarah, memoar,
apapun yang menyalakan api semangat untuk mengikuti jejak para tokoh tersebut.
Tapi yang Ali lakukan selanjutnya malah melahap lebih banyak buku semacam
alih-alih mulai melakukan sesuatu. Ia menjadi rakus akan inspirasi yang tiada
habisnya ditawarkan oleh buku-buku.
“…tapi aku cinta buku…”
lanjut Zia lagi, dengan nada memelas.
“Ya. Pada akhirnya kamu
bakal balik ke buku. Jangan salahin bukulah. Kamu kan punya wewenang penuh
buat memutuskan, bakal terus baca buku, atau naruh buku itu sebentar… aja,
buat nerapin isinya. Dengan begitu kan kamu bener-bener ngehargain buku,
ngehargain penulisnya bahkan.”
“Dengan menerapkan
isinya ya,” ulang Zia, “bukan sekadar menamatkan lalu meletakkannya lagi di
rak…”
“Seenggaknya bikin review-nya, rekomendasiin ke
orang-orang, kalau perlu kasih tahu penulisnya sekalian…” Ali ingin
tergelak. Entah Zia sadar apa tidak kalau dirinya tengah Ali singgung.
“Tapi enggak semua buku
bagus,” malah Zia sepertinya abai, “kadang kita baca buku apa gitu, tapi kita
enggak dapat apa-apa dari buku itu. Atau buku itu malah nyaranin hal-hal yang
sebetulnya enggak kita butuhin…”
“Contohnya?”
“Bagaimana cara memikat
cowok dalam dua puluh hari?”
“Siapa tahu aja suatu
saat kamu butuh?”
“Iyuh.” Zia menjulurkan
lidah.
“Kamu juga kan punya
wewenang buat milih buku mana yang pingin kamu baca dan mana yang enggak. Yang
emang penting aja gitu yang dibaca…”
“Aku kan omnivora.”
“Enggak semua buku
harus dibaca.”
“Iyaa… Enggak bakal ada
habisnya… Kalau baca terus, kapan kita mau mulai perubahan, coba?”
Ali tersenyum. Zia
tersenyum. Mereka sepakat untuk menjadi tipe pembaca yang ketiga.
Selanjutnya secara
blak-blakan Zia mengutarakan rasa tidak enaknya karena sudah diberi tiga buku
sekaligus—fiksi-fiksi langka pula, dipinjami satu buku yang menggelora,
sudah begitu buku-buku Zia disampuli. Membuat Zia tampak tidak tahu diri,
karena memang tidak tahu bagaimana membalas Ali yang keterlaluan baiknya.
Apa Zia perlu balas memberi Ali buku-buku? Tapi Zia lebih rela melepas uang
saku ketimbang buku-buku yang sudah terlanjur ia miliki. Sudah begitu berapa
biaya jasa sampul Ali? Aku pasti akan membaca buku Indonesia Menggugat ini, Ali, pasti!, plus review-nya! Tapi jangan harapkan itu terjadi dalam waktu dekat, sebab
ulangan kian padat.
Bah. Ali biarkan saja
Zia meracau sendiri. Ia tidak mau mendengar, apalagi bicara soal uang. Wajah
Zia terarah padanya, tapi wajahnya sendiri pelan-pelan bergerak ke arah
jendela. Dulu ketika ia duduk di tepi sana cahaya matahari begitu hangat
menyirami kepalanya. Sekarang yang penting baginya adalah bagaimana supaya sari
percakapannya dengan Zia tadi tetap hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar