Senin, 13 Agustus 2012

01

Halaman kuning kecokelatan tersibak. Sebesar-be­sarnya lubang hidung Ali terbuka. Bukan apak yang di­rasa, tapi harum aksara. Napas yang telah keruh ia ke­lu­arkan lagi dengan tersendat-sendat. Gumpalan terakhir di­lepas tanpa ikhlas. Ia harus menghirupnya lagi, harus. Mes­ki tak di halaman yang sama. Hampir meng­ge­lem­bung air di sudut matanya. Ini hanya satu, baru satu. Ma­sih berderet-deret lagi jilidan serat kayu di muka. Di be­la­kang punggungnya berbaris-baris pria dan wanita me­ngu­mandangkan koor.

Jemarinya mengusap pelan, dari tengah hingga te­pi. Telunjuk dan tengah mengintip. Mereka telah co­reng-moreng oleh debu. Tapi sepasang mata di balik din­ding kaca lebih mengindahkan judul demi judul yang ter­te­ra. Sebagian sudah terpindai sebelumnya, pada bagian Se­kadar Bacaan dalam Nagabumi I – Jurus Tanpa Ben­tuk. Kalau bukan karena mengandung sejarah nu­san­ta­ra abad VIII – IX, Ali bakal pikir beberapa kali se­be­lum memutuskan untuk membaca novel tersebut.

Suara cempreng Mang Alwi diramu logat Sunda meng­hentakkan sukma Ali ke realita. Deretan-deretan itu ha­rus Ali susun menjadi tumpukan-tumpukan, dengan ikat­an rafia yang ketat pada keempat sisi. Selanjutnya otot yang tak seberapa besar akan menonjol begitu sim­pul pada puncak-puncak tumpukan dihela. Ke dalam Carry hitam bersarang laba-laba mereka diungsikan un­tuk sementara.

Debu mengikal bak rontokan rambut wanita. Be­ter­bangan kala dua pasang kaki baik milik Ali maupun Mang Alwi mondar-mandir dari ruangan 2 x 4 meter, la­lu dapur, ruang tengah, ruang tamu, teras, gang, Carry, gang, teras, ruang tamu, ruang tengah, dapur, lalu ru­ang­an 2 x 4 meter itu lagi.

Tuan rumah adalah seorang pria paruh baya de­ngan muka bulat dan kumis persegi. Ia sedang me­ngu­nyah ketika Mang Alwi melapor bahwa ruangan 2 x 4 me­ter sudah dikosongkan dari segala buku. Pria itu me­le­peh hasil kunyahannya ke ceruk sendok. Ganti mulut ke­ri­put milik wanita tua yang meraup isi sendok ter­se­but. Dari mulut itu pula kemudian terungkap cerita. Ali me­nyusul pamannya duduk di sofa kuno. Selagi peng­an­tar cerita dituturkan, Ali ingat kalau mangkuk yang di­pe­gang pria paruh baya berisi nasi dan hati kambing.

“Adik saya itu memang senang sekali baca. Dia pin­tar… sekali. Beberapa kali dia keluar negeri. Sayang umur­nya belum lima puluh, dia sudah dipanggil Tuhan. Me­nikah saja belum sempat.”

Jika suatu saat Fathim harus menjual buku-buku ko­leksi keluarga mereka demi menyambung hidupnya yang tak kunjung diputus, apakah ia akan menceritakan hal yang sama tentang abangnya pada pihak pembeli? “...abang saya senang sekali baca, dia lebih cinta buku da­ripada wanita… Yah, siapa sih wanita yang mau di­dua­in? Dia enggak pernah nikah…”

“…setelah meninggal, yah, yang ditinggal ko­lek­si bukunya ini banyak sekali. Sampai enggak tahu mau di­taruh di mana, padahal sebagian udah dikasih-ka­sih­kan.”

Mata Ali menyisir interior rumah yang me­neng­ge­lamkannya dalam latar film Warkop DKI. Semilir angin menggantikan hawa panas yang semula menerobos le­wat pintu rumah yang terbuka lebar.

“…kalau mau, koleksi pakaian wanitanya masih sa­tu koper.”

“Sebelumnya enggak ada yang tahu kalau paman sa­ya itu koleksi yang begituan juga,” jelas pria paruh ba­ya.

Ali tidak akan pernah punya cukup uang untuk me­ngoleksi pakaian wanita…

Dalam Carry yang berjalan Ali duduk ber­dam­ping­an pamannya di jok depan. Juga dalam bisu. Hawa apak dari bertumpuk-tumpuk buku tua di belakang me­re­ka meruap ke seantero rongga mobil. Jendela telah di­bu­ka lebar, tapi itu malah menyusupkan hawa panas yang men­deru-deru. Melalui spion Ali mendapati turus-turus ram­butnya mulai kecokelatan, sekaligus gugusan debu yang melekat pada dinding kaca yang memagari ma­ta­nya.

Sampai di rumah penatnya hilang lamat-lamat ber­kat wudu untuk salat zuhur di waktu menjelang asar. Ia membuka sebuah program pada komputer di pojok ru­ang tengah. Model harddisk masih lumayan baru, biar su­dah belasan kali di-install ulang, sedang CPU berupa ba­lok serupa televisi 14 inch. Warnanya mesti telah ke­ku­ningan dengan bilur-bilur debu, apabila Ali dan adik-adik­nya tidak aktif menempeli tubuh kotak itu acap kali me­reka mendapat stiker. Saint Seiya menjadi perintis.

The Western Heritage… From the Earliest Times to the Present. Ste-wart. C. E-as-ton,” baca Fathim. Tenggelam dalam kepungan buku, hanya puncak ke­palanya yang serupa milik Ali yang menyembul.

Jemari Ali mengetuk tuts demi tuts.

United States of America. 1965… Eh yang di­ma­sukin copyright apa tahun printed-nya, Bang?” de­mi­ki­an sang adik bertanya.

“Lanjut,” kata Ali usai menuntaskan identitas bu­ku yang baru saja diletakkan kembali oleh Fathim.

Borobudur,” sahut Fathim. “A. J. Ber-net. Kem-pers. 1973.” Fathim membuka lembar demi lembar buku yang kini ada di pangkuannya. “Wah, bahasa Belanda, Bang.”

Usai mengetik apa yang dieja adiknya, barulah Ali menanggapi. “Waktu Borobudur dibangun, cewek-ce­weknya kalau pakai baju tuh cuman bawahan doang loh.”

“Ah yang bener, Bang?” sahut Fathim dengan na­da agak takjub. Ia masih membolak-balik halaman.

“Perhatiin aja reliefnya.” Ali memutar tubuh se­hing­ga ia bisa mendapati puncak kepala adiknya. Fathim se­perti replika Ali dalam ukuran yang lebih kecil, de­ngan rambut lurus pendek, kaos lusuh gombroh, celana pen­dek, dan tanpa kacamata. Ia baru akan lulus SMP dua ta­hun lagi, tapi sudah memutuskan untuk meneruskan pen­didikan ke SMK otomotif.

Tampaknya Fathim sudah menemukan potret re­li­ef yang Ali maksud. “Wah aku mau, Bang, hidup di za­man ini.”

Tanpa bermaksud untuk jadi sosok religius, “as­tag­firullah al adzim,” refleks terlontar dari mulut Ali. Su­dah sejak lama ia membayangkan apabila masa di mana Bo­robodur dibangun difilmkan. Film itu mungkin akan ja­di film porno berkedok film sejarah. Siapa sih yang tak su­di menonton? Tapi sudah banyak yang bilang kalau Fathim lebih laki-laki ketimbang Ali.

Ali sudah kembali menghadap komputer. Fathim lan­jut mengabsen. “Ne… Gimana ini bacanya, Bang?” Bu­ku tipis bersampul hijau butek itu melayang ke arah Ali bak bumerang.

“Jangan dilempar-lempar!” Ali berdecak kendati ke­dua tangannya sigap menangkap. “Tuh kan jilidannya aja udah mau lepas.” Jangan main-main dengan buku se­har­ga Rp 1.700,- yang dicetak tahun 1953 di Groningen! Neues Deutsches Lesebuch – Buku – Batjaan Baru Bahasa Djerman, mata Ali memindai. Ia menyesap aro­ma buku yang berusia lebih tua dari ibunya itu, tatapan Fathim ia abaikan. Fathim pun membiarkan, barangkali ia pikir buku lapuk masih lebih baik ketimbang Aibon.

.

Agaknya tikus yang telah menggerogoti sampul bu­ku itu, baik depan maupun belakang. Huruf-huruf yang merangkai judul tidak lagi lengkap, tapi cukup utuh ba­gi calon pembaca yang mengenal bahasa Inggris: THE ENCYCLOPEDIA OF ANCIENT AND FORBID—KNOWLED—THE COMPLETE GUIDE TO THE OCCULT oleh ZOLAR. Ali belum benar-benar men­cer­na isi buku itu, yang baginya merupakan pencilan dari gen­re-genre yang dikoleksi mendiang Pak Moes. Dari be­ragam judul yang diunduh kemarin, Ali menerka-ner­ka seperti apa kepribadian mendiang pria itu. Benar apa yang dikatakan sang kakak, pria itu tampaknya suka be­per­gian keluar negeri—terutama negara-negara Barat. Atau setidaknya mempelajari bahasa. Kemarin Fathim me­nemukan beberapa buku lain yang berbahasa Prancis, Arab, Italia, bahkan Sansekerta. Pria itu juga mendalami sta­tistika, sosiologi, agama, serta psikologi, mulai dari psi­kologi sosial, kemampuan interpersonal, sampai pa­ra­psi­kologi. Tapi koleksi yang terbanyak berasal dari ranah se­jarah.

Di meja depan Ali menumpuk selusin buku de­ngan ketebalan minimal satu senti. Lalu buku tentang pe­nge­tahuan purba nan terlarang ia sandarkan pada tum­puk­an buku tersebut, meski sebenarnya buku itu bisa ber­diri sendiri. Ali ingin tahu orang macam apa yang mung­kin tertarik dengan buku berjudul demikian.

Sesaat Ali memerhatikan ujung jari-jari pan­jang­nya yang menghitam. Biarlah. Ia merebahkan tubuh pada ti­kar yang terhampar di balik meja depan. Meja depan ta­pi rak buku, sedang pada sisi kanan Ali menjulang rak bu­ku yang jauh lebih tinggi. Keduanya penuh terisi. Be­gi­tupun rak buku di depan kaki Ali, dan yang di be­la­kang kepalanya. Satu sama lain berjarak paling tidak 0,5 me­ter. Di belakang rak buku pada sisi kanan masih ter­da­pat rak buku lagi. Beginilah kios buku Mang Alwi, sa­tu di antara deretan kios serupa di Pasar Buku Palasari. Se­gala macam buku tersedia di kios ini, kecuali buku ba­ru.

Kepala berlabuh pada tas. Lalu kedua tangan meng­angkat Soekarno adalah Indonesia, Indonesia ada­lah Soekarno. Buku tipis itu baru Ali temukan beberapa ha­ri lalu, saat mengganti koleksi balai bacaan. Ali tidak ingin melewatkan buku apapun tentang Soekarno, apa­lagi yang menyinggung Ratna Sari Dewi—Ali sendiri ti­dak (mau) tahu kenapa. Butuh waktu untuk larut dalam ba­caan, mata Ali sesekali melirik ke area di sekitar meja de­pan. Yang lalu lalang kadang terlihat, kadang tidak. Ka­lau sehari ini tak ada satupun yang mengambil buku Mat Zolar, Ali akan menggantikan kedudukannya de­ngan buku lain yang lebih menarik mata.

Ali lanjut membaca, hingga tampak seraut ke­pa­la. Ia seperti mengenali ekor kuda yang semrawut itu, ter­kulai dari kepala yang menunduk. Buku pengetahuan pur­ba nan terlarang dalam genggaman. Sontak Ali ber­di­ri.

Cewek itu mengangkat kepala. “Hei…” cetusnya de­ngan mata bersinar. Bahkan Ali tak sempat mengulas se­nyum. Cewek itu keburu asyik lagi memindai halaman de­mi halaman buku yang ia pegang.

Biasanya Ali sungkan mengumbar-umbar ka­li­mat, “Cari buku apa, Pak? Dek? Bu?”, sebagaimana pe­da­gang buku lain. Lagipula statusnya di sini hanya meng­habiskan sisa liburan, bukan pegawai betulan. Sta­tus­nya adalah pelajar SMAN Selonongan Bandung, sa­ma seperti status cewek itu. Maka itu terlontar juga ta­nya, “Cari buku apa, Zia?”

Cewek itu belum mengangkat kepala. Tidak res­pon­sif juga rupanya, pikir Ali. Seketika ia tidak tahu ba­gai­mana harus menggerakkan tangan, kepala, tubuh, dan ka­kinya dengan benar. “Wow.” Cewek itu akhirnya meng­angkat kepala. “Buku ini primbon buat yang pingin bi­kin cerita fantasi,” ucapnya sambil meletakkan buku ter­sebut di tempat semula. Dahinya berkerut ketika men­da­pati Ali berdiri di balik meja. “Jualan buku, Bang?” ta­nya­nya.

“Cuman jagain kiosnya paman…” Ali pun bisa meng­hembuskan napas. Sekilas ia mengamati cewek itu. Pa­kaiannya sekadar kaos dan celana pendek selutut, mes­ki potongan keduanya cukup kecewek-cewekan, tan­pa aksesori apapun. Di dekat kakinya yang beralaskan san­dal jepit, tergeletak plastik yang sepertinya berisi ba­nyak buku. Dari logo dan tulisan yang terpampang pada plas­tik itu Ali tahu kalau Zia sebelumnya mampir ke to­ko buku besar di gang belakang.

Cewek itu terperangah. Kedua sudut bibirnya ter­ta­rik ke atas, memperlihatkan sedikit deretan giginya yang rapi. “Wow,” lagi. “Asyik dong. Bisa sambil baca-ba­ca buku…” Ali melihat pantulan deretan buku di atas ke­palanya pada mata cewek itu.

“Hem… Yah…” ucap Ali. Dalam hati ia ber­ta­nya apa tampangnya seperti cewek itu acap kali melihat bu­ku-buku berderet hingga nyaris tak terhitung…

“Eh boleh lihat buku itu enggak? Sybil…”

Agak lama baru Ali menemukan buku yang di­maksud. Coba kalau ia yang membereskan rak ini, ia mun­gkin bisa menghemat waktu barang beberapa detik.

“Waw… Harganya masih tiga ribu enam ra­tus…” pekik Zia. Ali melihat coretan pensil di pojok ka­nan atas halaman pertama buku itu. Sybil, wanita dengan enam belas kepribadian, tampaknya sesuatu yang le­gen­da­ris. Tapi bukan genre semacam itu yang menarik mi­nat Ali untuk membaca. “Berapa sekarang harganya?”

“…tiga lima,” jawab Ali. Ia tidak begitu suka me­nyebut harga. Apabila Zia menemukan buku itu di ba­lai bacaan, bukannya di kios ini, Ali akan me­min­jam­kan­nya dengan sukarela—asal dirawat dan dikembalikan la­gi.

“Bukan tiga ribu enam ratus?”

Yakin deh, itu coretan tiga puluh tahun silam. “Di Gramedia bisa sampai lima puluhan, Zia,” sambut Ali. Ia harap pamannya, atau siapapun pegawai pa­man­nya, lekas datang dan melanjutkan negosiasi ini. Entah ka­pan keluarganya bisa menerima kalau pria muda satu ini sama sekali tidak mewarisi jiwa pedagang.

Alih-alih meneruskan penawaran harga yang musy­kil, Zia minta diambilkan beberapa buku lain. Peng­akuan Pariyem. Siapa Menabur Angin Akan Me­nu­ai Badai. Otobiografi A. A. Navis: Satiris dan Suara Kri­tis dari Daerah. Teknik Mengarang. Indonesia Meng­gu­gat. Pergolakan Pemikiran Islam. Pada buku selanjutnya Ali meyakini kalau cewek itu tidak akan membeli sa­tu­pun buku dari kios ini. Tapi ia membolak-balik halaman se­tiap buku dengan gairah.

Pancaran yang teraba Ali putus sejenak karena se­orang ibu dengan menggiring putranya menanyakan se­buah buku pada Ali. Sembari mencari buku tersebut di rak belakang, Ali pikir Zia bak kucing porselen dengan sa­tu kaki depan terangkat ke atas. Penjerat pelanggan. Mung­kin Ali bisa suruh Zia nangkring terus sampai kios tu­tup.

“Mau disampul sekalian, Ibu?” tawar Ali begitu ibu itu cocok dengan kondisi dan harga buku yang dicari. “…eng­gak usah bayar lagi.” Ali begitu murah hati, atau ti­dak berani menjadi begitu… berjiwa bisnis. Sementara Ali menyampuli buku dengan serapi mungkin, Zia tak pu­tus mengamati. Sebisa mungkin Ali berusaha untuk ti­dak grogi.

“Kamu terampil nyampul yah,” suara Zia begitu ibu dan putranya berlalu.

“Yah… Udah biasa sih,” tanggap Ali. Sejenak Zia dan latar kios-kios buku di belakangnya menghilang. Ali tengah memasukkan kembali gulungan plastik, gun­ting, dan isolasi ke dalam rak, yang sebetulnya tidak per­lu.

“Yo, Ali, kamu sendiri suka baca buku yang ka­yak gimana?”

“Kebanyakan sih sejarah,” sambut Ali. “Kamu?” lan­jutnya karena percakapan tidak segera dilanjutkan oleh penanya awal.

“Aku sih omnivora. Apa aja dibaca.”

“Oh.”

“Kios kamu bukunya keren-keren.” Zia men­do­rong tumpukan buku-buku yang telah Ali ambilkan un­tuknya. “Selama ini aku sering baca judul buku apa gitu di­sebut, tapi aku enggak pernah liat di toko buku biasa. Eh di sini pada ada gitu… Bahkan Pendidikan yang Me­mi­skinkan aja ada, padahal tiap aku nyari di obralan gitu eng­gak ketemu.”

“Hm… Kalau mau coba hunting di sekitar Alun-alun atau Cikapundung gitu. Kadang ada yang bagus,” ucap Ali. Paman sih, yang senang begitu. Ali menikmati ha­silnya saja. Buku apapun yang habis dibeli Mang Al­wi, pasti setidaknya transit dulu di balai bacaan—rumah Ali—sehingga diketahui Ibu. Keluarga tetap nomor satu un­tuk urusan ilmu.

Tidak heran juga sih kalau cewek ini doyan baca. Tu­lisannya lumayan, meski berantakan. Sayang tahun ajar­an kemarin Ali tidak bisa meloloskannya ke majalah se­mesteran. Anggap saja itu setimpal, karena secara tek­nis cewek itu masih perlu menata sistematika ber­pi­kir­nya. “Kamu masih suka nulis, Zia?” tanya itu tahu-tahu ter­lontar.

“…iya. Sekarang-sekarang ini aku lagi nyoba ak­tif nge-blog.” Blog, rasanya Ali pernah melihat benda itu di mana. “Kapan-kapan main ya. Alamatnya gampang di­inget kok, ziaziazia.********.com.”

“Sip sip.”

“Kalau kamu ada blog juga, entar aku follow deh.”

“Ada sih…” Laci-laci di dalam otak Ali dibukai. Ar­sip-arsip bertebaran. Data yang dicari tidak terpindai da­lam waktu singkat. Ali yakin ia pernah membuat blog pa­da suatu masa, atau mungkin ini semua hanya mimpi.

“Aku belum pernah loh baca tulisan kamu,” kata Zia, “padahal kan kamu sesepuh ekskul jurnalistik kita.”

Ali tersentak, tapi tidak memperlihatkannya tentu sa­ja. Cowok itu hanya tersenyum. “Kamu jarang baca ma­ding ya.”

“Sekarang-sekarang ini sih… lumayanlah.”

Ali rajin mengisi mading saat kelas X. Mau tidak mau.

Mata cewek itu kembali mengarah ke atas. Lebih ke atas. Ali ikut mendongak.

“Harahap…”

“Nama keluarga,” sahut Ali. Selanjutnya ia sadar ka­lau ia telah salah ucap. Dulu ia pernah mem­be­ri­ta­hu­kan nama lengkapnya pada orang yang tak begitu di­ke­nal, yang ternyata bermarga Tanjung, yang kemudian de­ngan ramah menyentaknya. Ali berkeringat dingin saat di­tanya ia berada di urutan ke berapa dalam silsilah. Ia ha­nya ⅛ Batak, belum pernah menginjak tanah Sumatra, ibu­nya asli Jawa, neneknya bahkan Sunda tulen yang se­pan­jang hidupnya hanya berpijak di bumi priangan, dan Ali tidak begitu peduli pada cerita mengenai tanah ke­la­hir­an Opung.

“O iya. Nama lengkap kamu Binsar Ali Harahap kan ya?”

Ali tak merespons. Ia lebih terpana akan per­u­bah­an ekspresi Zia. Sepertinya cewek itu baru menyadari ada­nya ketidaksinkronan antara nama dengan ke­pri­ba­di­an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain