Halaman
kuning kecokelatan tersibak. Sebesar-besarnya lubang hidung Ali terbuka. Bukan apak yang dirasa, tapi harum aksara. Napas yang
telah keruh ia keluarkan lagi dengan tersendat-sendat.
Gumpalan terakhir dilepas tanpa
ikhlas. Ia harus menghirupnya lagi, harus. Meski tak di halaman yang sama. Hampir menggelembung air di
sudut matanya. Ini hanya satu, baru satu. Masih berderet-deret lagi jilidan serat kayu di muka. Di belakang punggungnya berbaris-baris pria dan wanita mengumandangkan koor.
Jemarinya
mengusap pelan, dari tengah hingga tepi. Telunjuk dan
tengah mengintip. Mereka telah coreng-moreng oleh debu. Tapi sepasang mata di balik dinding kaca lebih mengindahkan judul demi
judul yang tertera. Sebagian sudah terpindai sebelumnya,
pada bagian “Sekadar Bacaan” dalam Nagabumi I – Jurus Tanpa Bentuk. Kalau bukan karena mengandung sejarah nusantara abad VIII –
IX, Ali bakal pikir beberapa kali sebelum memutuskan
untuk membaca novel tersebut.
Suara
cempreng Mang Alwi diramu logat Sunda menghentakkan sukma Ali ke realita. Deretan-deretan itu harus Ali susun menjadi tumpukan-tumpukan,
dengan ikatan rafia yang
ketat pada keempat sisi. Selanjutnya otot yang tak seberapa besar akan menonjol
begitu simpul pada
puncak-puncak tumpukan dihela. Ke dalam Carry hitam bersarang laba-laba mereka
diungsikan untuk sementara.
Debu
mengikal bak rontokan rambut wanita. Beterbangan kala
dua pasang kaki baik milik Ali maupun Mang Alwi mondar-mandir dari ruangan 2 x
4 meter, lalu dapur, ruang tengah, ruang tamu,
teras, gang, Carry, gang, teras, ruang tamu, ruang tengah, dapur, lalu ruangan 2 x 4 meter itu lagi.
Tuan
rumah adalah seorang pria paruh baya dengan muka bulat dan kumis persegi. Ia sedang mengunyah ketika Mang Alwi melapor bahwa ruangan 2 x 4 meter sudah dikosongkan dari segala buku.
Pria itu melepeh hasil kunyahannya ke ceruk sendok.
Ganti mulut keriput milik wanita tua yang meraup isi
sendok tersebut. Dari mulut itu pula kemudian
terungkap cerita. Ali menyusul
pamannya duduk di sofa kuno. Selagi pengantar cerita
dituturkan, Ali ingat kalau mangkuk yang dipegang pria
paruh baya berisi nasi dan hati kambing.
“Adik
saya itu memang senang sekali baca. Dia pintar… sekali. Beberapa kali dia keluar negeri. Sayang umurnya belum lima puluh, dia sudah
dipanggil Tuhan. Menikah saja
belum sempat.”
Jika
suatu saat Fathim harus menjual buku-buku koleksi keluarga mereka demi
menyambung hidupnya yang tak kunjung diputus, apakah ia akan menceritakan hal
yang sama tentang abangnya pada pihak pembeli? “...abang saya senang sekali
baca, dia lebih cinta buku daripada wanita… Yah, siapa sih wanita yang mau diduain? Dia enggak pernah nikah…”
“…setelah
meninggal, yah, yang ditinggal koleksi bukunya ini
banyak sekali. Sampai enggak tahu mau ditaruh di mana, padahal sebagian udah dikasih-kasihkan.”
Mata
Ali menyisir interior rumah yang menenggelamkannya dalam latar film Warkop DKI.
Semilir angin menggantikan hawa panas yang semula menerobos lewat pintu rumah yang terbuka lebar.
“…kalau
mau, koleksi pakaian wanitanya masih satu koper.”
“Sebelumnya
enggak ada yang tahu kalau paman saya itu koleksi yang begituan juga,” jelas
pria paruh baya.
Ali
tidak akan pernah punya cukup uang untuk mengoleksi pakaian wanita…
Dalam
Carry yang berjalan Ali duduk berdampingan pamannya di jok depan. Juga dalam
bisu. Hawa apak dari bertumpuk-tumpuk buku tua di belakang mereka meruap ke seantero rongga mobil. Jendela telah dibuka lebar, tapi itu malah menyusupkan hawa panas yang menderu-deru. Melalui spion Ali mendapati
turus-turus rambutnya mulai
kecokelatan, sekaligus gugusan debu yang melekat pada dinding kaca yang
memagari matanya.
Sampai
di rumah penatnya hilang lamat-lamat berkat wudu untuk salat zuhur di waktu menjelang asar. Ia membuka
sebuah program pada komputer di pojok ruang tengah. Model harddisk
masih lumayan baru, biar sudah belasan kali di-install
ulang, sedang CPU berupa balok serupa televisi 14 inch.
Warnanya mesti telah kekuningan dengan bilur-bilur debu, apabila
Ali dan adik-adiknya tidak
aktif menempeli tubuh kotak itu acap kali mereka mendapat stiker. Saint Seiya menjadi perintis.
“The Western Heritage… From the Earliest
Times to the Present. Ste-wart. C. E-as-ton,” baca Fathim. Tenggelam dalam
kepungan buku, hanya puncak kepalanya yang serupa milik Ali yang menyembul.
Jemari
Ali mengetuk tuts demi tuts.
“United States of America. 1965… Eh yang
dimasukin copyright apa tahun printed-nya,
Bang?” demikian sang adik bertanya.
“Lanjut,”
kata Ali usai menuntaskan identitas buku yang baru saja diletakkan kembali oleh Fathim.
“Borobudur,” sahut Fathim. “A. J.
Ber-net. Kem-pers. 1973.” Fathim membuka lembar demi lembar buku yang kini ada
di pangkuannya. “Wah, bahasa Belanda, Bang.”
Usai
mengetik apa yang dieja adiknya, barulah Ali menanggapi. “Waktu Borobudur
dibangun, cewek-ceweknya kalau
pakai baju tuh cuman bawahan doang loh.”
“Ah
yang bener, Bang?” sahut Fathim dengan nada agak takjub. Ia masih membolak-balik halaman.
“Perhatiin
aja reliefnya.” Ali memutar tubuh sehingga ia bisa
mendapati puncak kepala adiknya. Fathim seperti replika Ali dalam ukuran yang lebih kecil, dengan rambut lurus pendek, kaos lusuh
gombroh, celana pendek, dan tanpa
kacamata. Ia baru akan lulus SMP dua tahun lagi, tapi sudah memutuskan untuk meneruskan
pendidikan ke SMK
otomotif.
Tampaknya
Fathim sudah menemukan potret relief yang Ali
maksud. “Wah aku mau, Bang, hidup di zaman ini.”
Tanpa
bermaksud untuk jadi sosok religius, “astagfirullah al adzim,” refleks terlontar dari mulut
Ali. Sudah sejak lama
ia membayangkan apabila masa di mana Borobodur dibangun difilmkan. Film itu mungkin akan jadi film porno berkedok film sejarah.
Siapa sih yang tak sudi menonton?
Tapi sudah banyak yang bilang kalau Fathim lebih laki-laki ketimbang Ali.
Ali
sudah kembali menghadap komputer. Fathim lanjut mengabsen. “Ne… Gimana ini bacanya, Bang?” Buku tipis bersampul hijau butek itu
melayang ke arah Ali bak bumerang.
“Jangan
dilempar-lempar!” Ali berdecak kendati kedua tangannya sigap menangkap. “Tuh kan jilidannya aja
udah mau lepas.” Jangan main-main dengan buku seharga Rp 1.700,- yang dicetak tahun 1953 di Groningen! “Neues Deutsches Lesebuch – Buku – Batjaan
Baru Bahasa Djerman”, mata Ali memindai.
Ia menyesap aroma buku yang
berusia lebih tua dari ibunya itu, tatapan Fathim ia abaikan. Fathim pun
membiarkan, barangkali ia pikir buku lapuk masih lebih baik ketimbang Aibon.
.
Agaknya
tikus yang telah menggerogoti sampul buku itu, baik depan maupun belakang. Huruf-huruf yang
merangkai judul tidak lagi lengkap, tapi cukup utuh bagi calon pembaca yang mengenal bahasa
Inggris: THE ENCYCLOPEDIA OF ANCIENT AND
FORBID—KNOWLED—THE COMPLETE GUIDE TO THE OCCULT oleh ZOLAR. Ali belum
benar-benar mencerna isi buku itu, yang baginya merupakan
pencilan dari genre-genre yang
dikoleksi mendiang Pak Moes. Dari beragam judul yang diunduh kemarin, Ali menerka-nerka seperti apa kepribadian mendiang pria
itu. Benar apa yang dikatakan sang kakak, pria itu tampaknya suka bepergian keluar negeri—terutama negara-negara Barat. Atau
setidaknya mempelajari bahasa. Kemarin Fathim menemukan beberapa buku lain yang
berbahasa Prancis, Arab,
Italia, bahkan Sansekerta. Pria itu juga mendalami statistika, sosiologi, agama,
serta psikologi, mulai dari psikologi
sosial, kemampuan interpersonal, sampai parapsikologi.
Tapi koleksi yang terbanyak berasal dari ranah sejarah.
Di
meja depan Ali menumpuk selusin buku dengan ketebalan minimal satu senti. Lalu buku tentang pengetahuan purba nan terlarang ia sandarkan pada tumpukan buku tersebut, meski sebenarnya buku itu bisa berdiri sendiri. Ali ingin tahu orang macam
apa yang mungkin tertarik
dengan buku berjudul demikian.
Sesaat
Ali memerhatikan ujung jari-jari panjangnya yang
menghitam. Biarlah. Ia merebahkan tubuh pada tikar yang terhampar di balik meja depan.
Meja depan tapi rak buku,
sedang pada sisi kanan Ali menjulang rak buku yang jauh lebih tinggi. Keduanya penuh terisi. Begitupun rak buku di depan kaki Ali, dan yang di belakang kepalanya. Satu sama lain berjarak paling tidak 0,5
meter. Di
belakang rak buku pada sisi kanan masih terdapat rak buku
lagi. Beginilah kios buku Mang Alwi, satu di antara deretan kios serupa di Pasar Buku Palasari.
Segala macam
buku tersedia di kios ini, kecuali buku baru.
Kepala
berlabuh pada tas. Lalu kedua tangan mengangkat Soekarno
adalah Indonesia, Indonesia adalah Soekarno. Buku tipis itu baru Ali temukan beberapa hari lalu, saat mengganti
koleksi balai bacaan. Ali tidak ingin melewatkan buku apapun tentang Soekarno,
apalagi yang
menyinggung Ratna Sari Dewi—Ali sendiri tidak (mau) tahu kenapa. Butuh waktu untuk larut dalam bacaan, mata Ali sesekali melirik ke area
di sekitar meja depan. Yang lalu
lalang kadang terlihat, kadang tidak. Kalau sehari ini tak ada satupun yang
mengambil buku Mat Zolar, Ali akan menggantikan kedudukannya dengan buku lain
yang lebih menarik mata.
Ali
lanjut membaca, hingga tampak seraut kepala. Ia seperti
mengenali ekor kuda yang semrawut itu, terkulai dari kepala yang menunduk. Buku pengetahuan purba nan terlarang dalam genggaman. Sontak
Ali berdiri.
Cewek
itu mengangkat kepala. “Hei…” cetusnya dengan mata bersinar. Bahkan Ali tak sempat mengulas senyum. Cewek itu keburu asyik lagi
memindai halaman demi halaman
buku yang ia pegang.
Biasanya
Ali sungkan mengumbar-umbar kalimat, “Cari
buku apa, Pak? Dek? Bu?”, sebagaimana pedagang buku
lain. Lagipula statusnya di sini hanya menghabiskan sisa liburan, bukan pegawai betulan. Statusnya adalah pelajar SMAN Selonongan Bandung, sama seperti status cewek itu. Maka itu
terlontar juga tanya, “Cari
buku apa, Zia?”
Cewek
itu belum mengangkat kepala. Tidak responsif juga
rupanya, pikir Ali. Seketika ia tidak tahu bagaimana harus menggerakkan tangan, kepala, tubuh, dan kakinya dengan benar. “Wow.” Cewek itu
akhirnya mengangkat kepala.
“Buku ini primbon buat yang pingin bikin cerita fantasi,” ucapnya sambil meletakkan buku tersebut di tempat semula. Dahinya berkerut
ketika mendapati Ali berdiri di balik meja. “Jualan
buku, Bang?” tanyanya.
“Cuman
jagain kiosnya paman…” Ali pun bisa menghembuskan napas. Sekilas ia mengamati
cewek itu. Pakaiannya sekadar kaos dan celana pendek selutut, meski potongan
keduanya cukup kecewek-cewekan, tanpa aksesori apapun. Di dekat kakinya yang
beralaskan sandal jepit, tergeletak plastik yang sepertinya berisi banyak
buku. Dari logo dan tulisan yang terpampang pada plastik itu Ali tahu kalau
Zia sebelumnya mampir ke toko buku besar di gang belakang.
Cewek
itu terperangah. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas,
memperlihatkan sedikit deretan giginya yang rapi. “Wow,” lagi. “Asyik dong.
Bisa sambil baca-baca buku…” Ali
melihat pantulan deretan buku di atas kepalanya pada mata cewek itu.
“Hem…
Yah…” ucap Ali. Dalam hati ia bertanya apa
tampangnya seperti cewek itu acap kali melihat buku-buku berderet hingga nyaris tak
terhitung…
“Eh
boleh lihat buku itu enggak? Sybil…”
Agak
lama baru Ali menemukan buku yang dimaksud. Coba kalau ia yang membereskan rak ini, ia mungkin bisa menghemat waktu barang
beberapa detik.
“Waw…
Harganya masih tiga ribu enam ratus…” pekik Zia. Ali melihat coretan pensil di pojok kanan atas halaman pertama buku itu.
Sybil, wanita dengan enam belas kepribadian, tampaknya sesuatu yang legendaris. Tapi
bukan genre semacam itu yang menarik minat Ali untuk membaca. “Berapa sekarang harganya?”
“…tiga
lima,” jawab Ali. Ia tidak begitu suka menyebut harga. Apabila Zia menemukan buku itu di balai bacaan, bukannya di kios ini, Ali
akan meminjamkannya dengan
sukarela—asal dirawat dan dikembalikan lagi.
“Bukan
tiga ribu enam ratus?”
Yakin
deh, itu coretan tiga puluh tahun silam. “Di Gramedia bisa sampai lima puluhan,
Zia,” sambut Ali. Ia harap pamannya, atau siapapun pegawai pamannya, lekas datang dan melanjutkan negosiasi ini. Entah kapan keluarganya bisa menerima kalau pria
muda satu ini sama sekali tidak mewarisi jiwa pedagang.
Alih-alih
meneruskan penawaran harga yang musykil, Zia minta diambilkan beberapa buku lain. Pengakuan Pariyem. Siapa Menabur Angin Akan
Menuai Badai. Otobiografi A. A. Navis:
Satiris dan Suara Kritis dari Daerah. Teknik Mengarang. Indonesia Menggugat.
Pergolakan Pemikiran Islam.
Pada buku selanjutnya Ali meyakini kalau cewek itu tidak akan membeli satupun
buku dari kios ini. Tapi ia membolak-balik halaman setiap buku dengan gairah.
Pancaran
yang teraba Ali putus sejenak karena seorang ibu dengan menggiring putranya menanyakan sebuah buku pada Ali. Sembari mencari buku
tersebut di rak belakang, Ali pikir Zia bak kucing porselen dengan satu kaki depan terangkat ke atas.
Penjerat pelanggan. Mungkin Ali bisa
suruh Zia nangkring terus sampai kios tutup.
“Mau
disampul sekalian, Ibu?” tawar Ali begitu ibu itu cocok dengan kondisi dan
harga buku yang dicari. “…enggak usah bayar lagi.” Ali begitu murah hati, atau tidak berani menjadi begitu… berjiwa
bisnis. Sementara Ali menyampuli buku dengan serapi mungkin, Zia tak putus mengamati. Sebisa mungkin Ali
berusaha untuk tidak grogi.
“Kamu
terampil nyampul yah,” suara Zia begitu ibu dan putranya berlalu.
“Yah…
Udah biasa sih,” tanggap Ali. Sejenak Zia dan latar kios-kios buku di
belakangnya menghilang. Ali tengah memasukkan kembali gulungan plastik, gunting, dan isolasi ke dalam rak, yang
sebetulnya tidak perlu.
“Yo,
Ali, kamu sendiri suka baca buku yang kayak gimana?”
“Kebanyakan
sih sejarah,” sambut Ali. “Kamu?” lanjutnya karena percakapan tidak segera dilanjutkan oleh
penanya awal.
“Aku
sih omnivora. Apa aja dibaca.”
“Oh.”
“Kios
kamu bukunya keren-keren.” Zia mendorong tumpukan
buku-buku yang telah Ali ambilkan untuknya. “Selama ini aku sering baca judul buku apa gitu disebut, tapi aku enggak pernah liat di
toko buku biasa. Eh di sini pada ada gitu… Bahkan Pendidikan yang Memiskinkan
aja ada, padahal tiap aku nyari di obralan gitu enggak ketemu.”
“Hm…
Kalau mau coba hunting di sekitar
Alun-alun atau Cikapundung gitu. Kadang ada yang bagus,” ucap Ali. Paman sih,
yang senang begitu. Ali menikmati hasilnya saja. Buku apapun yang habis dibeli
Mang Alwi, pasti setidaknya transit dulu di balai bacaan—rumah Ali—sehingga
diketahui Ibu. Keluarga tetap nomor satu untuk urusan ilmu.
Tidak
heran juga sih kalau cewek ini doyan baca. Tulisannya lumayan, meski berantakan. Sayang tahun ajaran kemarin Ali tidak bisa meloloskannya
ke majalah semesteran.
Anggap saja itu setimpal, karena secara teknis cewek itu
masih perlu menata sistematika berpikirnya. “Kamu masih suka nulis, Zia?” tanya
itu tahu-tahu terlontar.
“…iya.
Sekarang-sekarang ini aku lagi nyoba aktif nge-blog.” Blog, rasanya
Ali pernah melihat benda itu di mana. “Kapan-kapan main ya. Alamatnya gampang
diinget kok,
ziaziazia.********.com.”
“Sip
sip.”
“Kalau
kamu ada blog juga, entar aku follow deh.”
“Ada
sih…” Laci-laci di dalam otak Ali dibukai. Arsip-arsip bertebaran. Data yang dicari
tidak terpindai dalam waktu
singkat. Ali yakin ia pernah membuat blog
pada suatu masa,
atau mungkin ini semua hanya mimpi.
“Aku
belum pernah loh baca tulisan kamu,” kata Zia, “padahal kan kamu sesepuh ekskul
jurnalistik kita.”
Ali
tersentak, tapi tidak memperlihatkannya tentu saja. Cowok itu hanya tersenyum. “Kamu
jarang baca mading ya.”
“Sekarang-sekarang
ini sih… lumayanlah.”
Ali
rajin mengisi mading saat kelas X. Mau tidak mau.
Mata
cewek itu kembali mengarah ke atas. Lebih ke atas. Ali ikut mendongak.
“Harahap…”
“Nama
keluarga,” sahut Ali. Selanjutnya ia sadar kalau ia telah salah ucap. Dulu ia pernah
memberitahukan nama lengkapnya pada orang yang tak
begitu dikenal, yang ternyata bermarga Tanjung,
yang kemudian dengan ramah
menyentaknya. Ali berkeringat dingin saat ditanya ia berada di urutan ke berapa dalam silsilah. Ia hanya
⅛ Batak, belum pernah menginjak tanah Sumatra, ibunya asli Jawa, neneknya
bahkan Sunda tulen yang sepanjang hidupnya hanya berpijak di bumi priangan,
dan Ali tidak begitu peduli pada cerita mengenai tanah kelahiran Opung.
“O
iya. Nama lengkap kamu Binsar Ali Harahap kan ya?”
Ali
tak merespons. Ia lebih terpana akan perubahan ekspresi Zia. Sepertinya cewek itu
baru menyadari adanya
ketidaksinkronan antara nama dengan kepribadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar