Ruang
Rabu, 29 Februari 2012
Menulis secara Ilmiah Populer - Tinjauan Umum
Selasa, 28 Februari 2012
Dalam Memorabilia Masa Anak-anak bersama Aleut
Pintu masuk yang nyempil di antara dua bangunan |
Di Pasar Cihapit kami berpencar. Pintu masuknya berupa lorong yang diapit dua dinding bangunan yang lumayan tinggi. Bagian dalamnya seperti pasar pada lazimnya. Beragam barang didagangkan di sini, mulai dari makanan tradisional, buah-buahan, lauk-pauk, bumbu masak, hingga pakaian dan elektronik. Namun yang menjadikannya demikian terkenal sebagai salah satu tujuan wisata kuliner di Bandung adalah kehadiran beberapa tempat makan khas seperti warung makan Bu Eha, Surabi Cihapit, dan Kupat Tahu Galunggung.
Surabi Cihapit campur telor |
Saat kami melintasi los Bu Eha, warung makan tersebut tidak buka. Saya sendiri belum pernah makan di sana. Konon warung makan tersebut menjual masakan khas Sunda biasa—masakan rumahan—yang saking maknyusnya, Bondan Winarno pernah bertandang ke sana. Pasar Cihapit konon sudah berdiri sejak lama, meski mungkin tidak selama Nyonya Meneer, begitupun warung makan Bu Eha.
Penyambung nyawa para survivor |
Di sini pula menjadi ajang reuni saya dengan honje. Bagian buahnya yang berwarna merah muda itu dikupas hingga tersisa bagian berwarna putih dengan rasa agak sepet. Buah inilah yang menjadi salah satu penyambung saya dan kawan-kawan yang melakukan survival di Situ Lembang dalam rangka Diksar Jamadagni.
Belajar nama-nama lalapan yuk... Dari atas: gandaria (penyedap), belimbing wuluh, eceng gondok, dan kembang pepaya. |
Masih di kawasan Cihapit, terdapat Taman Cibeunying. Taman ini terbagi karena dipisahkan jalan. Salah satu pulau taman menjadi sentra penjualan tanaman hias. Saya pernah ikut bapak saya belanja ke situ. Sudah begitu, pohon-pohon besar masih anteng merindangi sehingga kawasan ini menjadi salah satu kawasan terhijau di Bandung.
Bank yang terletak di seberang Taman Cibeunying ini ternyata warisan Belanda. Cek di sini. |
Siapa sangka, Cihapit ternyata pernah mengalami masa kelam. Pada masa pendudukan Jepang, Cihapit yang merupakan kawasan pemukiman orang Belanda notabene menjadi kamp interniran terbesar bagi kaum wanita, orang tua, dan anak-anak, sedang para pria ditempatkan di kamp interniran di daerah lain. Sekeliling kawasan diberi pagar berduri. Para interniran pun memanfaatkan gorong-gorong di bawah tanah sebagai sarana berkomunikasi. Dalam masa itu, warga hanya bisa beraktivitas di taman-taman. Hiburan datang dari simpatisan Belanda atau Jerman yang melawat ke Asia Tenggara. Salah satunya adalah Corry Vonk.
Gereja Maranatha yang antara lain terkenal karena loncengnya |
Salah satu rumah pribumi yang tersisa di jalan buah-buahan |
Dengan jam buka dari 1 PM – 3 AM, Toko
Cairo masih mengikuti tradisi tidur siang dari Eropa yang disebut siesta
|
Rumah bernama Leonie (haha enggak kelihatan yah namanya) di seberang Taman Cempaka |
Melewati SDN Priangan, lagi-lagi saya merasa familier. Beberapa orang yang saya kenal di masa awal SD saya merupakan murid SD tersebut. Saya bertemu mereka dalam mobil jemputan setiap pagi dan siang selama enam hari sekolah, sebanyak itu pula saya melintasi daerah ini kala itu. Di sekitar SDN Priangan itulah terdapat bangunan pertokoan khas China dengan lima pintu yang mempengaruhi bentuk rumah khas Betawi.
Di pinggir lapangan ini mobil jemputan saya biasa nongkrong. Di seberang sana adalah deretan toko China, namun ternyata sudah ada yang bersalin rupa. |
Tidak jauh dari SDN Priangan, terdapat SDN Ciujung. Lapangan yang rada becek berada di seberangnya, dilingkari jalan, dulunya bernama Houtmanplein. Masih dua taman lagi di depan yang kami jumpai. Konon dua taman tersebut berpasangan. Taman yang dinamai dengan nama raja dari Belanda berukuran lebih kecil dan tampak tidak terawat bila dibandingkan dengan taman satunya, yang dinamai dengan nama ratu dari Belanda namun kini lebih dikenal sebagai Taman Cempaka.
Lapangan Ciujung alias Houtmanplein yang tertutup semak-semak... :9 |
Sisi taman (aslinya plein atau lapangan) raja Belanda: sampah apa lemarinya tuna wisma? |
Pemukim di Taman Cempaka |
Beginilah sebaiknya taman dimanfaatkan :D |
Empat pohon ki hujan alias trembesi (Samanea saman) berdiameter sekitar 1,5 m cukup untuk menaungi taman yang cukup luas bagi warga untuk melakukan beberapa aktivitas itu. Beberapa sarana bermain anak menancap di rumputnya yang sebagian telah tergerus. Di sana kami memakan bekal yang kami beli di Pasar Cihapit lalu mendemonstrasikan beberapa permainan di masa lampau.
Gambar kotak-kotak di paving block, lempar batu atau potongan genting, lalu loncat-loncat deh (#lupanamapermainannya) |
Permainan congklak konon mengandung filosofi menabung |
Entah apakah anak-anak zaman sekarang masih ada yang merasakan kesenangan dari permainan-permainan ini, sebut saja congklak, gatrik, dan benteng-bentengan atau pris-prisan. Saya termasuk generasi yang cukup beruntung dapat merasakannya. Melalui permainan yang sekaligus tampak melelahkan dan sadis inilah anak-anak belajar berstrategi, bersosialisasi, sekaligus mengasah daya motorik seluruh tubuh—tidak hanya jari.
Gatrik, belum pernah saya mencoba permainan satu ini |
Kini kemajuan teknologi yang dibarengi penyempitan lahan telah membuat anak-anak lebih memilih untuk jadi anak rumahan. Permainan individualis tapi aman, misalnya bunuh-bunuhan dengan teman tapi cuman dalam layar, lebih menyita minat mereka.
Mana nih yang lagi main benteng-bentengan? |
Bang Ridwan—salah satu narasumber Aleut—tidak sependapat bahwa permainan zadul secara persis membentuk karakter. Para "pembesar" negeri ini, yang notabene besar-besaran dalam KKN, juga besar dengan melakukan permainan-permainan zadul.
Minggu, 26 Februari 2012
When inner beauty is trully inner beauty (and modest-look)
Perkenalkan duo pengacara ajib, Peter Bash dan Jared Franklin! sumber: http://www.nypost.com/rw/nypost/2011/05/29/tv/web_photos/tvw_franklin_bash--300x300.jpg |
halo om! sumber: http://images4.fanpop.com/image/photos/16300000/Mark-Paul-Gosselaar-mark-paul-gosselaar-16348965-2560-1922.jpg |
Jumat, 24 Februari 2012
Dari Museum ke Museum (Bagian 2 - Tamat)
Didirikan pada tahun 1931, museum ini semula bernama Museum PTT (Pos Telepon Telegrap) dan koleksinya baru sebatas perangko. Setelah direnovasi, museum ini diresmikan dengan nama Museum Pos dan Giro oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada tanggal 27 September 1983, bertepatan dengan Hari Bhakti Postel. Koleksinya pun bertambah hingga tidak sebatas benda pos, melainkan hingga sejarah, diorama kegiatan pos, dan lain-lain. Ketika status Perusahaan Umum (Perum) Pos dan Giro berubah menjadi PT Pos Indonesia pada tanggal 20 Juni 1995, museum ini ganti nama lagi menjadi Museum Pos Indonesia. Koleksinya meliputi koleksi sejarah, koleksi filateli, dan koleksi peralatan.
Setelah membaca panduan cetak, barulah saya menyadari kalau selama ini saya hanya ngeh sama bagian basement saja dari museum ini. Rupanya museum ini meliputi lantai di atasnya yang berupa ruang galeri dan ruang social center. Ruang yang pertama dimaksudkan agar pengunjung dapat memperoleh gambaran tentang perusahaan secara sekilas. Sedang pada ruang yang kedua, selain mendapat informasi pengunjung juga dapat melakukan praktik langsung yang berkaitan dengan kegiatan pos. Ruang ini dipadukan dengan kantor pos dan loket filateli.
Kemurah-hatian Museum Pos Indonesia :D |
:D |
Hayo... Ini dipakai buat apanya batik? |
Kalau yang ini bisa digunakan untuk pewarna, atau dibikin wedang, atau bikin baret-baret sekujur badan (#sensasihutansecangdipetak7wanagamarockforest) |
Pengunjung sedang dijelaskan proses pembuatan batik |
Kamis, 23 Februari 2012
Dari Museum ke Museum (Bagian 1)
Eh ada Inspektur Vijay! Aca... Aca... |
Hal menarik juga melihat-lihat berbagai rupa senjata yang berhasil dirampas dari penjajah. Ada yang bentuknya seperti samurai, ada berbagai model pistol, dan lain-lain. Tidak ketinggalan dipamerkan juga senjata khas Indonesia berupa pedang-pedangan yang sayang sekali saya tidak ingat dan sengaja hapalkan namanya. Saya kira bambu runcing itu hanya sekadar bambu dipotong dari rumpunnya, dihaluskan, lalu diruncingkan ujungnya. Ternyata ada juga bambu yang memang diraut sampai bentuknya menyerupai pedang. Bakal lebih mengerikan lagi kalau ujungnya masih berlumuran darah. Salah satu kotak kaca memamerkan pedang yang digunakan seorang pejuang wanita bernama Susilowati untuk memenggal kepala musuh, luar biasa.
Ah saya jadi teringat museum-museum lainnya yang juga saya kunjungi belakangan ini.
Minggu, 19 Februari 2012
Alina
Pagi.
Alina menyambutku
dengan matanya yang sayu. Kubelai rambutnya yang tinggal titik-titik di kepala.
Bagian-bagian yang pernah tersayat pisau bedah kuhindari, tentu saja. Jemariku
lanjut ke pelipisnya, wajahnya. Kujawil pipinya pelan, takut mengusik selang
oksigen yang melintang di sana.
“…Ma…ma…” senyumnya.
Senyumku untuknya.
“Mama enggak…” suaranya mengecil, “…kerja?” nyaris tak
terdengar.
Aku menggeleng.
Ini hari kelimaku di rumah sakit. Beranjak darinya hanya
ketika aku perlu ke kamar mandi, membeli makanan dan minuman, menyambut
pembesuk, atau memanggil petugas. Sudah sewajarnya ia heran. Tidak apa-apa.
Siang.
Biasanya sepi. Tapi sejak beberapa hari lalu Alina
mendapatkan teman sekamar, seorang anak SMP yang mengalami kecelakaan hingga
sebelah kakinya harus diamputasi. Anak-anak SMP pun meriuhkan ruangan saat jam
besuk, sementara aku dan Alina tersingkir dan tergugu. Alina terbaring ke
arahku, sementara aku duduk di kursi menghadapnya. Bibirnya bergerak-gerak.
Kudekatkan telinga.
“Ma… ma…” ucapnya dengan payah. “Temen-temen.. Ali…na…
enggak… nengok.”
Mulutku bungkam. Sudah berminggu-minggu Alina opname. Yang
membesuknya bisa dihitung dengan sebelah tangan—keluarga dan kolega dariku atau
suami. Kutunggu Alina melanjutkan.
“Ali… na… enggak punya… temen…”
Gadisku merajuk. Kuhadapkan wajahku pada wajahnya.
“Temen-temen Alina juga nanti dateng…” kuharap begitu, “kan
kemarin juga udah ditengok sama bu guru?”
Sejenak ia meresponsku dengan kosong.
Begitu ia menarik napas, kudekatkan lagi telinga.
“Ali…na… enggak ada… temen…”
Sore.
Alina di ruang operasi. Aku terkulai di bangku tak jauh dari
ruangan tersebut. Tak sendiri, Bik Surti segera ke mari begitu menyelesaikan
tugas-tugas di rumah.
Berkali-kali Bik Surti menawarkan diri untuk ganti menjaga
Alina. Berkali-kali suami menyuruhku untuk membiarkan Bik Surti ganti menjaga
Alina. Tidak apa-apa.
Bik Surti melulu yang menjaga Alina.
Kini bukan hanya Bik Surti yang tahu bagaimana Alina. Kini
akupun tahu apa saja kesukaan Alina, mulai dari makanan, acara TV, pelajaran di
sekolah, sampai buku bacaan. Wanita paruh baya itu menceritakannya selama
menemaniku.
Begitu banyak yang Bik Surti tahu tentang Alina.
Malam.
Alina pernah mengatakannya padaku. Saat pipinya masih tembam,
dan rambutnya lurus panjang. Deretan gigi mungilnya yang seputih susu membuat
senyumnya makin berseri. “Mama… Alina mau terbang.”
“Terbang? Terbang ke mana?”
Kutemukan jawabannya pada panorama yang sedang ia gambar.
Sebuah roket menembus malam. Betapa senang hati, cita-cita anakku begitu
tinggi.
Kini Alina mengatakannya padaku lagi. Saat pipinya telah
cekung, dan sorot matanya redup. Napasnya terseret-seret, mulutnya terbuka
untuk bantu menimba udara. “Ma…ma… Alina mau… terbang.”
“Terbang? Terbang ke mana?”
“…i…kut… malam…”
Pandangannya menerawang ke jendela. Akupun turut menatap
gelap yang membentang di atas lelampu perkotaan. Kegundahan sekonyong-konyong
menguasaiku. Alina sudah begitu lelah. Tangannya lemas dalam genggamanku.
“Alina…” ucapku, “jangan terbang dulu… ya? Ikut Mama pulang
ke rumah aja ya?”
Karena kini Mama akan selalu di rumah untuk Alina, sampai
Alina kembali menjadi gadis Mama yang ceria. Mama tidak akan ke kantor lagi
meninggalkan Alina. Mama sudah berhenti demi Alina. Alina…
“Ma… ma…” ucapnya, “Mama… sayang… Alina…”
“Iya… Mama sayang Alina.”
Hening ditimpa desahnya yang berat, matanya terpejam
lamat-lamat.
Lama aku tidak beranjak dari duduk di tepinya. Akhirnya aku
melepas genggaman dari nadinya yang tidak lagi berdenyut.
Kebersamaan yang singkat, Alina, dan telah berakhir. Kenapa
kamu tidak memberikan Mama lebih banyak kesempatan, Alina, untuk membuktikan
kalau Mama sungguh sayang kamu…
Aku kecup kedua belah pipinya. Aku rebah di sisinya. Aku
lekatkan pipiku dengan sebelah pipinya, sebelah tanganku mengusap sebelah
pipinya yang lain.
#cobainterpretasi
Randy Crawford – One Day I’ll Fly Away
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu