Adalah suatu
akhir pekan di mana Bandung tambah macet karena pelaksanaan USM ITB
Daerah. Papa jadi korban. Sampai di rumah, ia tampak menyesali sesuatu.
“Ternyata USM ITB udah lewat, Imin kok nggak ikut?”
Emang Mas Imin mau ke ITB? batin Zahra saat mendengar itu.
Rupanya Mas Imin belum bilang soal ganti haluan cita-cita masa kecilnya itu.
Namun seketemunya Papa dengan Mas Imin kemudian, sepengetahuan Zahra tidak
ada keduanya membicarakan soal itu. Lagipula obrolan antara Papa dengan Mas
Imin tidak pernah menarik hatinya. Ia lebih suka mendekam di kamar dan
membaca.
Setiap akhir
pekan setelahnya, kegamangan di hati Zahra setiap mendengar Papa dan Mas
Imin berbincang. Biasanya di tengah malam, saat Zahra dan saudara-saudaranya
sudah masuk kamar. Kadang terdengar suara Mama dan atau Kakek menyerta. Zahra
hanya dapat menangkap penggalan kalimat mereka. Sisanya ditelan suara TV.
Kalimat yang diulang terus dari minggu ke minggu.
“…dari dulu
pinginnya Imin masuk ITB… kerja di tempat bonafide… gaji dolar… gantiin Papa
biayain adik-adik… biar nggak kayak Papa gini… termakan idealisme sendiri… mau
bangkrut… nggak usah main psikolog-psikologan lagi sama adik-adik kamu… Ardi
nilainya turun terus… kalau bisanya cuman gambar, anak-istrinya entar gimana…
Mayong… stres… anak SMP favorit kok kena razia polisi… berhenti dululah ngasih
motivasi buat obsesi-obsesi nggak jelas kayak gitu… mau kayak gimana masa depan
mereka nanti… .Om Bahar juga negur… Zia jadi makin urakan gitu… sekali-kali
bikin orangtua senang… harus bisa jadi sosok… dicontoh adik-adik… Papa-Mama
nggak mungkin ngebiayain terus...”
Akhir pekan ke
sekian, pembicaraan beberapa orang kawan kian memicu keresahan Zahra.
Pembicaraan yang menggiring mereka pada sebuah pertanyaan, “Kakak kamu ada yang
kelas XII juga kan, Zahra? Mau nerusin ke mana?”
“Mm… Psikologi.”
Zahra tidak yakin dengan jawabannya sendiri.
“Oh? Ya? Katanya
Psikologi mah banyakan perempuannya
ya?”
“Emang kenapa
kalau laki-laki?” Zahra agak tersinggung, meski lucu juga membayangkan Mas Imin
sebagai laki-laki seorang di tengah para perempuan.
“Nggak apa-apa .
Cuman denger-denger mah, banyakan
perempuannya…” jawab kawan Zahra dengan nada menghindar dari emosi Zahra yang
mulai terasa.
“Mau masuk ke
Psikologi mana, Zahra?” tanya kawan Zahra yang lain.
Zahra tidak tahu
jawabannya.
“Perasaan
kemarin teh baru SIMAK UI sama UM UGM
yah?”
“Kakak kamu ikut
yang mana, Zahra? Tesnya ikut yang di mana?”
Tidak tahu.
Tidak tahu. Tidak tahu. Setelah kawan-kawannya memberi informasi lebih
lengkap mengenai seleksi masuk beberapa PTN yang belum lama lalu, tahulah
Zahra, tak satupun yang Mas Imin ikuti. Tidak pernah ada adegan Mas Imin pamit
pada Papa-Mama untuk mengikuti salah satu atau bahkan semua. Kalaupun ada,
Zahra mestinya menyaksikan. Dan sewaktu rombongan siswa SMANSON ke Yogyakarta untuk
mengikuti UM UGM—bersamaan dengan USM ITB Daerah, sepertinya Mas Imin
santai-santai saja di rumah.
“Dia ikutan
SNMPTN kali,” ujar seseorang dengan nada menenangkan.
“Tapi kalau
SNMPTN peluangnya cuman dikit,” tanggap kawan yang lain.
“Tapi kan lebih
murah.”
Meski SNMPTN
lebih murah dan kondisi finansial keluarga tengah menuju ambruk, rasanya Papa
tak akan sampai hati menjadikan itu sebagai satu-satunya peluang bagi putra
kesayangan. Lalu Mas Imin ke mana? Benarkah ia ke ITB?
Zahra merutuki
ketidakpeduliannya pada Mas Imin. Mengapa sih ia tidak punya inisiatif untuk
menanyakan kabar Mas Imin? Semua obrolan mereka kerap merambati banyak hal,
tapi jarang membahas soal Mas Imin sendiri. Kalaupun Zahra menyinggung itu,
topik pembicaraan dapat berbelok lagi ke hal lainnya. Pun, Mas Imin tidak
pernah berinisiatif menceritakan dirinya, apalagi bayangan akan masa depannya
yang harus segera ia tentukan. Zahra harus cari tahu. Ia harus pastikan Mas
Imin berada di jalur yang tepat.
Minggu-minggu
ini memang Zahra cari-cari kesempatan di mana ia bisa mengobrol lagi dengan
Mas Imin. Kesempatan yang ia rasa tepat adalah saat ia berdua saja dengan Mas
Imin. Sebagaimana obrolan-obrolan mereka sebelumnya, Zahra tidak mau ada orang
lain dengar. Hanya Mas Imin yang boleh tahu.
Namun kesempatan
itu tidak pernah datang. Jarang ia menemukan Mas Imin termangu sendiri di kamar
sambil memelototi deret geometri. Mas Imin adalah tipe orang yang belajar di
tengah lalu lalang dan suara orang. Dan akhir-akhir ini Mas Imin belajar
terus. Belajar untuk ke mana? Zahra terus bertanya-tanya. Ia takut saja Mas
Imin ternyata tidak sesuai prasangkanya semula. Apalagi jika mengingat bahwa
Mas Imin tidak pernah bilang hendak ke Psikologi.
Tiba suatu akhir
pekan. Disiram pencahayaan lampu ruang tengah, Mas Imin menyatakan keputusan.
“STEI ITB,” kata Mas Imin mantap. Papa, Mama, dan Kakek menyambut dengan senyum
senang.
“Bagus! Tapi itu
passing grade-nya lumayan tinggi,
kan?” suara Papa.
“Ah, cucu Kakek
pasti bisa!” yakin Kakek.
“Anak Mama kan
pinter. Masuk mana aja bisa!” Mama tak mau kalah.
Mas Imin risi
dengan polah para orang tua di hadapannya itu. Belum lagi tiba-tiba Zahra
menghempaskan diri di sampingnya. Dan berkata dengan penuh emosi, “Mas Imin kan
sebetulnya pingin masuk Psikologi.”
Para orang tua
itu kaget.
“Lo, tapi uang
kita bertiga sudah masuk rekening ITB!” protes Kakek yang kemudian dipotong
Mama, “Calon insinyur kok Imin ini…”
“Tapi Mas Imin
minatnya sama psikologi! Dia harusnya jadi psikolog! Mas Imin tuh bisa bikin
orang yang tadinya bermasalah, jadi nggak lagi!”
“Ya bagus sih
itu. Tapi Imin pilih ITB kok,” tanggap Papa.
Mas Imin
menangkap lirikan Papa. Katanya kemudian, “Iya, akhir Mei besok Mas Imin mau
coba dulu ikut USM ITB Terpusat, Zahra.”
“Tapi itu nggak
Mas Imin banget. Mas Imin cocoknya jadi psikolog. Itu potensinya dia. Papa sama
Mama harusnya ngebiarin Mas Imin milih jurusan sesuai potensinya…” Zahra tak
bisa lagi membendung air mata. Ia juga tak mengerti mengapa ia harus sampai
menangis hanya untuk mengungkap pendaman hati yang menyesakkannya selama ini.
Para orang tua itu, anggap Zahra, tidak pernah tahu apa yang mampu Mas Imin
perbuat untuk orang lain—untuk dirinya.
Para orang tua
itu memandang Mas Imin dengan tanda tanya. Mas Imin membalas dengan cengiran yang
menyatakan bahwa ia juga tak mengerti.
Zahra mengusap
basah wajahnya dengan lengan. Sudah terlanjur. Masih menggebu-gebu inginnya
untuk menentang orangtua. Suaranya mulai bergetar. “Jangan-jangan entar Zahra
juga nggak boleh milih jurusan lain selain Kedokteran, padahal Zahra pinginnya
masuk ke jurusan lain…”
“Lo, Zahra
bukannya memang mau jadi dokter dari dulu?” suara Mama.
“Zahra mau ke
mana memangnya?” tanya Papa.
“Tapi ya
terserah Zahra aja deh,” suara Mama lagi.
Zahra tak tahan
terus menangis sambil dilihati begitu. Tidak ada pula yang berinisiatif
merangkulnya. Ia berdiri. “Nggak adil! Zahra boleh terserah tapi Mas Imin mau
nggak mau harus masuk ITB!” jeritnya, sebelum menghambur ke kamarnya sendiri.
Mata semua orang mengarah padanya sampai ia lenyap.
Kakek
berdecak-decak. “Udah lama nggak liat dia kayak gitu.”
Papa dan Mama
pura-pura tak mendengar perkataan Kakek. Memang kejadian barusan adalah suatu
hal biasa yang mengiringi pelayaran bahtera rumah tangga mereka. Dari dulu
Zahra sering tiba-tiba menangis tanpa sebab dan lari ke tempat sepi untuk
sembunyi. Bagi mereka, hal tersebut belum jadi suatu hal serius yang harus
segera ditangani karena setelahnya keadaan akan biasa-biasa lagi. Baru mereka
sadari bahwa penyakit Zahra tersebut sudah lama tidak kambuh.
Namun yang
terpenting sekarang adalah masa depan putra sulung mereka. Kata mereka,
“Sekarang fokus belajar dulu, ya!”
☺
Berjalan sambil
terus menyeka air mata dengan lengan membuat Zahra menabrak Mas Ardi. Zahra
tidak peduli. Hasrat ingin segera menangis puas-puas di kamarnya lebih besar
ketimbang rasa malu. “Zahra, kenapa?” Mas Ardi terus bertanya seperti itu
sampai Zahra membanting pintu kamar lalu menguncinya.
Zahra
menghempaskan diri ke kasur. Membenamkan muka pada bantal. Terdengar usahanya
menangis tanpa suara. Merutuki kecengengannya. Rasa malu kembali menghantam.
Ia malu pada semua orang yang melihatnya menangis tadi. Ia malu karena telah
mengatakan pada kawan-kawannya Mas Imin akan masuk Psikologi, padahal tidak.
Ia malu karena telah menyemangati Mas Imin masuk Psikologi. Ia malu karena
tidak bisa menahan rasa sebal pada Unan. Ia malu karena sudah berani
menggertak Dean dan berprasangka buruk pada Arderaz. Ia malu karena telah
mengajukan diri sebagai presentator pada kawan-kawan sekelompok tugasnya. Ia
malu karena telah begitu meniatkan diri untuk ke rumah Syifa malam-malam. Ia
malu karena telah termakan begitu saja omongan Zia. Ia juga malu pada Zaha dan
Om Bahar, entah mengapa. Ia malu pada semua orang. Ia merasa rendah di hadapan
mereka semua.
Dan sungguh naif
ia mengharapkan Mas Imin akan sudi untuk terus menolongnya—juga orang-orang
seperti dirinya, suatu saat, dengan menjadi psikolog. Seharusnya ia tidak
sebegitunya mengharap pertolongan pada orang itu. Ia jadi ingin kembali
membenci Mas Imin, sebenci-bencinya. Ia juga benci pada dirinya sendiri.
Semakin keras ia menahan tangis.
Terkuras
energinya karena menangis hebat. Lambat laun ia hanya tersengguk saja.
Sengguk berubah jadi isak. Isak diredam kantuk. Zahra tak peduli dengan
ketokan di pintu kamar. Suara kedua orangtuanya yang membujuk rayu. Sadar
untuk mengambil kembali hati anaknya. Iming-iming berupa mi dog-dog atau sate
sama sekali tidak menggugahnya untuk membuka pintu. Ia hanya ingin mempertahankan
lelapnya kini. Pergi jauh dari dunia yang menyusahkannya.
“Tok. Tok.”
Zahra menggumam
kesal. Ia jadi terbangun lagi. Ia merasa matanya sudah membengkak karena
begitu beratnya membuka. Ditengoknya jam dinding. Sudah hampir tengah malam
begini. Masih terdengar samar-samar suara TV. Ia membekap kepalanya dengan
bantal. Ingin kembali larut ke alam mimpi. Tapi suara “tok tok” di pintu itu
terus mengganggunya.
“Zahra…”
Terdengar lagi suara Mas Ardi. “Masih hidup kan?”
Dengan suntuk ia
berjalan ke arah pintu. Lebih karena lagi enak-enak tidur dibangunkan,
ketimbang karena penyebab tangisnya tadi. Ia bahkan lupa tadi ia menangis
hebat karena apa.
Tak apa-apalah,
Mas Ardi ini, pikirnya. Paling-paling hanya menumpang sms untuk secara resmi
menyudahi percengkeramaannya dengan Teh Tata. Zahra sudah berkali-kali
mengingatkan Mas Ardi untuk ganti provider
supaya pulsanya tidak cepat habis.
Zahra memutar
kunci. Menarik gagangnya dan membukalah pintu kurang dari sejengkal. Terlihat
seraut wajah tirus. Dengan nada sok terganggu Zahra bertanya, “Ada apa sih?”
“Boleh masuk?”
tanya Mas Ardi.
“Hmh… Apa sih?
Besok ajalah!”
Mata Mas Ardi
lari sebentar ke luar kamar. Lalu kembali lagi. “Kalau gitu, pinjam HP bentar
dong.”
“Ya… Ya…” Zahra
sudah menduga itu yang akan diucapkan Mas Ardi pada akhirnya. Ia mencari-cari
di mana ia menaruh ponselnya terakhir kali. Di atas tempat tidur. Berjalanlah
ia ke sana untuk mengambil. Ketika ia berbalik lagi, dilihatnya pintu sudah
terbuka lebih lebar. Mas Ardi tidak sendiri rupanya. Ada Mas Imin di
sebelahnya. Dan mereka sudah bertukar tempat.
“Makasih, Di,”
Mas Imin memamerkan behelnya.
“Sama-sama.” Dan
minggatlah Mas Ardi begitu saja. Sementara itu, Zahra masih terpaku di tepi
tempat tidur dengan ponsel dalam genggaman.
☺
Tinggal tersisa
satu bantal Zahra. Sisanya telah dilemparkan dengan kasar ke arah Mas Imin yang
menangkapnya dengan tangkas. Zahra menangkupkan bantal yang ada ke mukanya,
lalu terciptalah Tangkuban Zahra di atas tempat tidur. Ia tidak bisa menahan
diri untuk tidak terisak. Teringat lagi olehnya segala penyebab tangisnya yang
sebelumnya. Kini ditambah pula dengan rasa sebal karena Mas Imin berhasil
menipunya. Zahra merasa dirinya bodoh sekali.
Terasa Mas Imin
duduk di sampingnya. Punggungnya yang naik turun ditepuk beberapa kali. “Tadi
dibeliin mi dog-dog tuh…”
“Pergi!” jerit
Zahra. Tetap telungkup, ia menggeser tubuh sejauh mungkin dari Mas Imin.
Menangis makin kencang, meski tanpa suara. Ingin ia tumpahkan semuanya. Biar
Mas Imin tahu sekalian, pedihnya menjadi seorang Zahra.
Terdengar Mas
Imin berdecak. Lalu bangkit dari tempat tidur Zahra. Hening lama. Pintu
ditutup. Hening kembali.
Zahra tidak tahu
ia harus merasa lega atau makin pedih karena ternyata sampai situ saja
perhatian Mas Imin padanya. Ia habiskan sisa-sisa tangis, meski sudah tak
ingin sekencang tadi. Masih tersengguk, ia lepas bantal dari muka, hendak
melihat kekacauan yang mungkin tercipta akibat serbuan bantal tadi. Ia memekik
ketika mendapati seraut wajah bengong Mas Imin.
Mas Imin lekas
duduk di dekatnya dan menahan pundaknya agar tidak membuat tangkuban lagi.
Disodorkannya segelas air minum. Alih-alih menerima air tersebut untuk meredam
senggukannya, Zahra malah memukuli Mas Imin keras-keras. Mas Imin berusaha
menyelamatkan air di tangannya agar tidak tumpah. “Eh, eh… Kalau mau gelut,
entar dulu… Imin taruh dulu minumnya…”
Mas Imin menaruh
gelas di meja samping tempat tidur Zahra kemudian kembali ke posisi semula.
Dengan segenap emosi, Zahra menghajarnya lagi. Mas Imin mengaduh-aduh. Berusaha
menangkis pukulan Zahra sambil masih sempat-sempatnya mengamankan kacamata.
Zahra mengambil sebuah bantal. Dengan beberapa kali pukulan ia membuat Mas Imin
jatuh. Tak berkutik. Dan kali ini suara mengaduh kesakitan Mas Imin terdengar
sungguh-sungguh. Zahra menghentikan serangannya.
“Tadi denger
nggak, bunyi ‘krek’ keras?” Mas Imin bangkit pelan-pelan dengan tangan kiri
memegangi lengan kanan. Ia mencoba menggerakkan lengan kanannya itu. Ia
mengaduh lagi. “Aduh… Kayaknya tangan Imin patah nih…”
Panik merambat
pada Zahra. Lekas ia mendekati Mas Imin. “Maaf, Mas Imin, maaf…” Zahra hampir
menangis lagi.
“Makanya, jangan
keras-keras tadi mukulnya…”
“Maaf…” Zahra
mulai terisak. Ia tidak berani melihat mata Mas Imin yang seolah-olah
menyalahkan dirinya. Yang lain juga pasti akan memarahinya nanti karena
mematahkan lengan Mas Imin. Zahra tersedu-sedu.
“Eh, Zahra…
Zahra…” Zahra berhenti mengusap-usap matanya. Terpana dengan lengan “patah” Mas
Imin yang kini bisa bergerak bebas lagi. “Liat! Lo, kok, bisa gerak-gerak lagi.
Patahnya nggak jadi!”
“Aaarrgh…”
Dengan sekuat tenaga Zahra menghantamkan bantal lagi pada Mas Imin. Rasanya
kali ini ia ingin mematahkan lengan Mas Imin betulan. Mas Imin tertawa-tawa
saja dibegitukan. Sambil bangkit lagi dari jatuhnya, ia masih terkekeh-kekeh.
Zahra diam saja. Ia sudah capek marah-marah dan cemberut terus. Dan ia tetap
diam saja hingga Mas Imin berhenti sama sekali. Heran karena Zahra tampak tak
terusik dengan tawanya lagi.
Mas Imin
berdehem beberapa kali sambil memperbaiki posisi duduknya. Zahra mengamatinya
terus. Kalau ingin serius bicara, sekaranglah saatnya.
“Zahra,” kata
Mas Imin, setelah mendapatkan ketenangan dirinya kembali, “Kata siapa Imin mau
masuk Psikologi?”
“Kata hati Mas
Imin.”
Mas Imin
terbatuk pelan. “Imin emang dari dulu pinginnya masuk STEI ITB kok. Emang cuman
hobi Imin aja baca buku-buku psikologi dan semacamnya itu. Banyak juga kok
orang yang suka baca gituan.”
“Bohong!” tukas
Zahra. “Mas masuk STEI ITB cuman karena banyak orang yang pingin masuk ke sana
aja. Ngikutin tren. Huh, nggak keren!”
Mas Imin
terdiam. Zahra melanjutkan lagi, “Mas Imin tuh dari dulu ngabisin duit
Papa-Mama terus. Masuk ITB kan mahal! USM lagi! Entar kalo gilirannya Mas
Ardi, Zahra, sama Mayong masuk kuliah trus nggak ada duit, gimana?” Zahra jadi
ingin menangis lagi. Bukan itu alasan sebetulnya. Ia takut setelah jadi mahasiswa
ITB, Mas Imin sibuknya bukan main. Tidur hanya tiga jam sehari. Terancam tewas
saat osjur. Tidak punya kehidupan lain selain kehidupan akademis. Akhir
pekan digunakan untuk pemulihan tenaga sebelum sibuk mengerjakan tugas-tugas
lagi, dan bukannya untuk memberdayakan potensi lain. Dan hal-hal mengerikan
lain yang Zahra dengar dari cerita kawan yang kakaknya kuliah di ITB. Dengan
demikian, Mas Imin tidak akan punya banyak waktu untuk dicurhati Zahra lagi.
Juga, mengapa Mas Imin hendak tega mengubur potensinya sendiri, itu yang
paling Zahra sesalkan.
“Nggak, Zahra.
Papa udah rajin nabung buat biaya kuliah anak-anaknya dari dulu. Termasuk
biaya Imin di ITB, Papa udah memperkirakan juga. Meski jatuhnya jauh lebih
tinggi juga sih… Makanya Mama sama Kakek juga patungan…” Zahra bergeming.
Lanjut Mas Imin, “Apa salahnya sih kalau Imin pingin balas budi sama mereka?”
“Mas Imin tuh
gigit lidah sendiri! Nelen ludah sendiri! Mengingkari potensi sendiri!”
“Eh… Udah…”
potong Mas Imin sebelum Zahra menyatakan bahwa dirinya telah mengingkari
nikmat Tuhan juga. “Bener kata Zahra, potensi itu nggak boleh disia-siakan.
Tapi, Imin kira, kita tetep bisa ngembangin potensi kita tanpa harus
kehilangan yang lain. Meskipun entar Imin jadi mahasiswa ITB—insya Allah,
amin—Imin tetep bisa ngelakuin hobi Imin kok. Ngamatin orang lain kek.
Nyemangatin mahasiswa lain yang lagi pada madesu kek. Anak ITB kan tingkat
stresnya tinggi tuh. Tenang aja, Imin juga bakal berguna kok di sana.”
Zahra merasa ia
tak akan pernah bisa menang melawan Mas Imin. Mungkin memang benar ia saja
yang terlalu naif. Berharap terlalu banyak.
Mas Imin bangkit
lalu berjalan menuju pintu. Sebelum ditutupnya pintu tersebut, dibuatnya Zahra
jadi ingin menangis lagi. Belum pernah Zahra mendengar Mas Imin mengucap
kalimat itu, “Maaf ya, udah ganggu.”
MAAF. Kata itu
mengiang-ngiang dalam kepala Zahra. Mas Imin bahkan tidak pernah mengucap
TOLONG padanya jika hendak diambilkan sesuatu, pun TERIMA KASIH saat sudah
diambilkan. Zahra bertanya-tanya kapankah Mas Imin akan mengucap dua kata sakti
lainnya.
“Doain Imin
tembus USM, ya,” kata Mas Imin lagi. “Makasih.”
Zahra terkesima.
Pintu ditutup. Dan terbuka lagi. “Eh, tolong entar gelasnya dibalikin sendiri
ya.” Zahra mengangguk.
“Oh ya,
salutlah. Imin nggak nyangka loh Zahra tadi berani ngomong ma Papa-Mama kayak
gitu. Besok-besok lagi Zahra pasti bisa berani juga ngomong di depan kelas.”
Pintu kembali tertutup.
Air mata Zahra mengalir lagi dengan deras. Sebelum tangisnya keburu habis,
lekas ia beranjak ke kamar mandi. Ia hendak berwudu, solat tahajud, lalu
berdoa dengan penuh kesungguhan agar Mas Imin tidak tembus USM ITB. Semoga
dengan demikian, hati Mas Imin akan kembali terbelokkan pada Psikologi, dan
menjadikan jurusan tersebut sebagai satu-satunya pilihan pada SNMPTN. Amin.
Masih belum terlambat untuk daftar SNMPTN kan? Zahra bertekad untuk cari
tahu. Kali ini ia tidak mau ketinggalan informasi.