Selasa, 20 Juli 2010

20

Hari pelaksanaan USM ITB Terpusat, Papa, Mama, Kakek, dan Mayong me­lepas kepergian Mas Imin bagai Mas Imin hendak pergi ke medan perang. Se­o­lah bukan pensil 2B yang ia bawa, tapi bambu runcing. Bukan papan jalan yang a­da dalam ranselnya, melainkan granat tangan. Namun bukan semangat MER­DE­KA ATAU MATI yang dipancarkan orang-orang itu, melainkan MASUK ITB A­TAU TIDAK SAMA SEKALI. Zahra melepas kepergian Mas Imin dari rumah de­ngan pedih. Ia tidak mau ikut mengantar.

Atas desak angin-anginan Zahra, dan terutama karena pertimbangan logis pa­ra anggota keluarga lainnya, Mas Imin juga mendaftar SNMPTN. Sudah redup se­mangat Zahra untuk memaksa Mas Imin mencantumkan Psi­ko­logi sebagai salah sa­tu pilihan. Apalagi Mama memberitahu Zahra agar Zah­ra berhenti menentang Mas Imin masuk ITB. Jadi Zahra tidak peduli apa saja pi­lihan Mas Imin untuk SNMPTN. Mau Mas Imin pillih Peternakan pun, Zahra tak ingin peduli.

Zahra juga sudah tidak ingin peduli pada semangat pemberdayaan diri lagi. Ia biarkan kehidupannya berjalan apa adanya. Mengalir bagai air keran. Kalau ma­­u senyum, ia akan senyum. Kalau mau cemberut, ia tak akan menahan. Pi­kir­nya, untuk apa berpura-pura. Terserah ia mau bersikap bagaimana pun, orang la­in­lah yang harus memahaminya.

Pasca USM ITB Terpusat, Mas Imin coba mendekatinya lagi. Kali ini, Zah­ra tidak mau terjerat. Ia ingin memberi Mas Imin pelajaran, entah sampai ka­pan. Tidak adil, pikirnya Kenapa Mas Imin masih ingin aku buat ngembangin po­ten­si, tapi dia sendiri menafikan potensinya?

Tak putus asa, Mas Imin bertanya apakah Zahra jadi meneruskan ke ju­rus­an IPS atau tidak. Mas Imin menawarkan materi-materi IPS yang ia miliki. Mem­bu­at Zahra jadi menduga bahwa memang betul Mas Imin ada kecenderungan un­tuk ikut jalur IPC. Karena sebetulnya dia emang pingin ke Psikologi, batinnya. Zah­ra menampik tawaran tersebut. Dipikirnya, kecenderungannya untuk masuk IPS akan membuat Mas Imin senang.

Selain itu, Papa-Mama ternyata tidak melarang jika ia berkehendak masuk IPS. Meski Papa bilang bahwa sebaiknya Zahra mempertimbangkan masuk IPA sa­ja. Peluang untuk memilih jurusan di perguruan tinggi nanti lebih besar. Se­men­ta­ra itu, Mama menyarankannya untuk kelak memilih Akuntansi atau jurusan yang menjamin kemapanan lainnya. Pertimbangan lainnya adalah, kalau Zahra ma­suk IPA lantas memilih Kedokteran, dengan kondisi Papa yang di ambang pa­i­lit begitu, bisa jadi Papa belum tentu sanggup membiayai. Zahra jadi merasa Pa­pa-Mama tidak memedulikannya sebagaimana mereka memedulikan Mas Imin hing­ga memaksanya masuk ITB, padahal biaya kuliah di ITB juga mahal. Kem­ba­li ia merasa iri pada Mas Imin. Tambah surut niatnya untuk meneruskan ke IPS.

Namun Zahra tak bisa membohongi diri. Berubah itu memang perlu, pi­kir­nya. Meski itu dapat menyenangkan orang yang dibenci? Ini tidak ada hu­bung­an­nya dengan Mas Imin, ia meyakinkan diri. Terlepas dari itu bisa membuat Mas I­min senang atau tidak, ia memang membutuhkan perubahan dalam dirinya.

Itu membuatnya tergugah untuk ke luar dari zona aman lagi. Ia harus ma­suk IPS agar lebih siap menghadapi pilihannya untuk bangku kuliah nanti. Ko­mu­ni­kasi? Atau Psikologi? Ah, seolah-olah ia sudah mantap akan keduanya saja.

Kekosongan bangku di sebelahnya kini terisi oleh Dean secara penuh wak­tu. Sejak Zahra memaksa Dean untuk meninggalkan kejahatan akademisnya dan mu­lai hidup bersih, mau tak mau Dean harus duduk dekat Zahra agar Zahra bisa meng­awasinya. Apalagi UAS makin dekat saja. Dan bangku kosong yang tersisa di sekitar bangku Zahra hanyalah bangku di sebelah Zahra. Zahra sendiri bu­kan­nya senang mendapat kawan sebangku lagi. Kehadiran Dean di sebelahnya malah me­nambah derita baru. Sesekali Dean masih berusaha mengintip kertas jawaban u­langannya, atau merengek meminta PR-nya. Tapi yang paling Zahra tidak suka a­dalah, Dean kerap mengajaknya mengobrol di tengah pelajaran. Zahra berusaha ti­dak mengacuhkan. Ia ingin konsentrasi pada penjelasan guru. Sesekali ia men­de­sis, menyuruh Dean bungkam. Mungkin siksaan juga bagi Dean, harus diam terus se­panjang pelajaran, namun Zahra menikmati.

Zahra tidak merasa tersinggung sama sekali, saat jam istirahat datang lalu se­ketika Dean melesat ke kantin atau mendekati kawanan gaulnya. Zahra malah se­bal kalau Dean diam saja di bangkunya dan berinisiatif mengajaknya ngobrol. A­palagi kalau topik obrolannya menyangkut apa yang jadi pikiran Zahra juga.

“Si Kang Lutung jadi masuk ITB nggak? Pengumumannya udah?” tanya De­an suatu hari.

“Nggak tahu,” jawab Zahra acuh tak acuh.

“Kirain teh si Kang Lutung mau masuk Psikologi…”

“Nggak kok. Dia nggak mau.”

“Kenapa gitu?”

“Kamu kok bisa sih, sampe mikir kalo dia mau masuk Psikologi?” semprot Zah­ra dengan jemu. Pertanyaan tersebut ia tujukan juga pada dirinya.

“Ya nggak apa-apa… Emang kamu nggak deket ya sama kakak kamu?”

Bukan urusan kamu, Zahra ingin menjawab. Ia coba mengalihkan topik pem­bicaraan. “Eh, persamaan reaksi yang kemarin aku ajarin ke kamu, udah nger­ti belum? Entar siang kamu masih ada remedial Kimia kan?”

Dean mengerang. “Aduh, gua mah nggak yakin euy bisa masuk IPA … Se­cara nilai-nilai gua di mafiki cuman bisa dihitung pake sebelah tangan gitu. Yah, moga-moga aja IPS masih mau nerima gua, hehe…”

Satu lagi yang membuat Zahra ragu masuk IPS. Peluang Dean untuk di­to­lak IPA dan diterima IPS lebih besar daripada peluang untuk sebaliknya. Mana ke­las IPS di SMANSON jumlahnya hanya dua pula. Makin besar saja peluang Dean untuk kembali sekelas dengan Zahra.

Kata Dean lagi, “Udah, lo masuk IPS aja, Zah. Jadi kan kita entar masih bi­sa nyambung kalo belajar bareng lagi…” Dean tersenyum lebar. Zahra ngeri me­lihatnya. Jadi semakin bimbang saja ia hendak memilih IPA atau IPS.

Hingga penghujung Juni, masih ada pendar kebahagiaan para anggota ke­lu­ar­ga yang mendukung Mas Imin masuk ITB. Sudah dua minggu lebih berlalu se­j­ak pengumuman padahal. Pengumuman yang memastikan Mas Imin sebagai ca­lon mahasiswa ITB. Zahra takjub dengan kedigdayaan Mas Imin, sekaligus lesu ka­rena Mas Imin batal mengikuti SNMPTN.

“Buat apa?” kata Mama waktu itu. “Imin kan udah resmi jadi anak ITB.”

“Tapi kan sayang duit buat daftar SNMPTN-nya kemarin…”

“Emangnya Imin masih mau ikutan tes lagi?”

Zahra enggan hendak menengok reaksi Mas Imin. Ia sudah putus harap.

Pembagian rapot semester genap. Kenaikan kelas. Penjurusan. Zahra tahu se­mua nilainya akan baik-baik saja, ia yakin itu. Tidak ada kendala untuk meng­ha­langinya lanjut ke IPA, pun IPS. Tiba hari di mana ia harus menetapkan ke­pu­tus­an. Ia ikut Mama mengambil rapot ke sekolah.

Wali kelas di hadapannya, merangkum hasil belajarnya selama setahun ini. Ma­ma di sampingnya, tersenyum karena sudah sepatutnya. Wali kelas bilang bah­wa nilai Zahra baik untuk semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang ti­dak banyak menuntut keaktifan dalam hal afektif dan psikomotorik, khususnya ek­sak. Lalu berdasarkan hasil psikotesnya kemarin juga… blablabla… Zahra co­cok­nya masuk IPA. Zahra meringis.

“Gimana, Zahra?” Mama menoleh pada Zahra, lalu kembali pada wali ke­las. “Kemarin sempet kepikiran masuk IPS.”

“Ooh… Ya nggak apa-apa. Bisa… Cuma ya, mau ke IPA atau IPS, mung­kin Zahra harus lebih aktif di kelas aja, ya, Bu…”

Zahra menunduk. Semalam ia telah memikirkannya, masa depan macam ma­na yang terbaik untuknya.

Pertama, ia membayangkan dirinya sebagai peneliti yang mengeram diri di laboratorium. Ia hanya harus fokus mengerjakan risetnya saja, dengan tabung-ta­bung percobaan yang berisi cairan menggelegak, para mencit yang tersudut ke­ta­kut­an dalam kotak kaca, denting pipet pada cawan petri, tetes cairan yang sedang di­titrasi, dan nyala api yang berkobar dari birunya spirtus. Sesekali mungkin ia ha­rus bertemu dengan orang baru dan menunjukkan ini itu, tapi itu tidak sering kan?

Kedua, ia membayangkan dirinya harus berpenampilan pantas sepanjang wak­tu (sementara sampai saat ini ia belum menemukan gaya berpakaian yang be­nar-benar cocok untuknya selain seragam sekolah). Profesinya mengharuskannya ber­interaksi dengan macam-macam orang beserta tabiatnya masing-masing setiap ha­ri, setiap saat. Terbiasa dengan tuntutan tersebut, ia dapat menempatkan rasa per­caya dirinya agar selalu berada di permukaan. Segala kecemasan, kegagapan, dan gemetaran tak perlu telah berhasil dientaskannya. Ia mampu menebar senyum tan­pa canggung, aktif berkata tanpa banyak jeda…

IPA atau IPS, sebenarnya sama saja, pikirnya. Dengan usaha keras, ia tetap bi­sa masuk Kedokteran atau Biologi atau Teknik meskipun ia anak IPS—pernah a­da cerita seperti itu. Dan masuk Komunikasi atau Hukum atau HI meskipun ia a­nak IPA. Apapun profesinya nanti, semuanya membutuhkan keterampilan sosial yang memadai. Yang akan selalu menjadi PR baginya.

Lantas, apa gunanya penjurusan saat SMA kalau begitu?

“Jadi, Zahra mau ke IPA atau IPS?” tanya wali kelas.

Atas segala yang telah ia lalui selama ini, dan perasaannya pada Mas Imin ter­utama, maka Zahra memutuskan. Ia membisikkannya pada telinga Mama yang ter­selubung jilbab batik.

 

-akhir-

Senin, 19 Juli 2010

19

Sejak terorientasinya Mas Imin pada ITB, perlahan-lahan energi negatif mu­lai menguasai Zahra kembali. Zahra jadi malas dekat-dekat Mas Imin. Mas I­min juga sudah tidak berusaha mendekati Zahra. Di rumah, ia selalu terlihat ber­ku­tat dengan buku kumpulan soal. Ia seakan hendak menunjukkan pada Zahra bah­­wa keinginannya masuk ITB bukan sekadar untuk menyenangkan para orang tu­a di rumah. Saat Zahra mengingatkannya akan pendaftaran SNMPTN pun, Zah­ra kaget dengan jawaban Mas Imin, “Oh iya ya! Buat jaga-jaga kalo Imin nggak tem­bus USM, eh, audzubillahimindzalik…”

Kehadiran Dean beberapa kali seminggu di rumah semakin memperburuk su­asana hatinya. Entah jin mana kali ini yang merasuki bocah itu hingga sadar un­tuk tidak mangkir kerja kelompok lagi. Memang bagus seperti itu, tapi tidak baik ju­ga kalau akibatnya Dean jadi ketagihan datang ke rumah. Alasannya sih mau be­la­jar bareng. Zahra sampai dititipi langsung oleh ibunya Dean via te­lepon. Ke­mu­di­­an Zahra tahu semua itu kamuflase belaka. Alih-alih belajar, Dean malah lebih se­ring nongkrong di paviliun Kakek. Zahra tak mau tahu apa yang dikerjakan De­an di sana, melibatkan Mas Imin pula. Bikin Zahra tambah keki. Yang jelas, a­ki­bat dititipi oleh ibunya Dean yang tinggi ia sanjung itu, ia jadi terbebani un­tuk meng­ubah gaya belajar Dean. Setidaknya kini Zahra jadi punya sarana untuk me­lam­piaskan emosi labilnya. Dean adalah objek yang enak untuk dibentak-bentak.

Kehidupan so­si­al Zahra di sekolah kena juga. Zahra seolah tak ingat bah­wa ia telah mengalami kemajuan. Ha­nya karena alasan kelelahan batin, ia sudah ti­dak peduli lagi akan itu. Hu­bung­an­nya dengan Unan sudah hampir membaik pa­da­hal. Hingga pada suatu ke­sem­pat­an jalan ke mal ramai-ramai, Zahra tahu-tahu ka­bur. Zahra lebih membela pe­ra­saan tidak nyamannya ketimbang usaha untuk ber­baur. Lama-lama Unan pun pin­dah ke lain bangku. Setelah kosong untuk be­be­ra­pa lama, lain-lain orang meng­isinya secara paruh waktu. Namun tak ada seorang pun yang bisa meng­gan­ti­kan peran Unan.

Ia bahkan tidak bersemangat saat Zia main ke rumah dan menyampaikan sa­lam Zaha untuknya. Melihat-lihat isi Facebook Zaha malah membuat Zahra ter­i­ri­tasi. Malas jadinya ia berhubungan dengan cewek tersebut. Ia iri mengapa se­pu­pu­nya itu bisa terlihat begitu gaul dan berbakat, padahal kakaknya hanya seorang Zi­a—seorang cewek urakan yang agak sinting, menurut Zahra—bukannya co­wok u­sil namun memberdayakan macam Mas Imin!

Namun Mas Imin sudah tidak memberdayakannya lagi. Melempem pula se­mangat pemberdayaan diri Zahra. Buku-buku pelajaran sosial tidak lagi sering di­bukanya. Ia menertawakan gagasannya semula yang hendak meneruskan ke ke­las IPS, lalu lanjut ke jurusan Komunikasi atau Psikologi di bangku kuliah. Bisa-bi­sa terintimidasi terus ia setiap hari dengan kegaulan dan keaktifan para ma­ha­sis­wa di sana.

Hingga Zahra sungguh lupa akan usaha memberdayakan dirinya dulu yang mem­beri imbas pada dirinya kini. Zahra baru ingat kalau ia pernah mengajukan di­ri sebagai presentator, M-5 menuju presentasi.

Turunnya kelompok sebelumnya mendatangkan giliran maju bagi ke­lom­pok mereka. Sebagai ketua kelompok, Acil langsung sigap memberi instruksi. “De­an, kamu jadi moderator yah kayak biasa? Rani, kamu gantiin Zahra jadi no­tu­len yah? Yang presentasi Zahra. Berarti entar yang jawab pertanyaan saya sama Sal­man. Eh, nggak deng, saya jadi operatornya aja.”

Zahra tidak mendengar. Ia masih sibuk membenahi slide pre­sentasi di lap­top Salman. Beginilah jadinya kalau ia mempercayakan pe­nger­ja­an slide pada o­rang lain, ia misuh-misuh. Sambil membawa laptop Salman, ia pin­dah duduk ke sa­lah satu kursi yang telah dipindahkan ke depan kelas. Rani me­nyu­sul. Acil dan Sal­man menyambungkan kabel proyektor ke laptop. Setelah ka­wan-kawan se­ke­lom­poknya duduk, Dean ambil posisi di depan mereka. Siap un­tuk membuka. Be­lum juga ambil vokal, anak-anak sudah tertawa melihatnya. Ka­lau kata Acil, tanpa per­lu dibantu mulut, muka Dean sudah jago melawak dengan sen­dirinya.

“…udah ah, tong seuri wae, gandeng[1]! Eh, maaf, Pak Bagod, itu di luar teks… Ya udah, langsung ajalah ya, kita tampilnya… presentator kita tercinta… Pro­fesor Zahra Maulana…”

Rani menepuk lengan Zahra. Zahra tersadar. “Apa?”

“Presentasi!” Acil memperingatkannya tanpa suara.

Kontan wajah Zahra bagai maling tertangkap. “Kok aku?”

Acil kaget, dengan berbisik, “Loh, kan kamu yang waktu itu minta?”

“Iya, Zahra. Katanya kamu pingin biasa ngomong di depan? Kapan lagi?” du­­kung Salman. Suaranya pelan namun penuh semangat.

Zahra menggeleng gelisah. Kalaupun ia masih peduli akan hal tersebut, ten­tu ia tetap membutuhkan persiapan sejak lama. Ia berbisik keras,  “Nggak ah! Ng­gak! Aku nggak mau!”

Wajah Acil dan Salman diliputi kebingungan.

“Tapi kan kamu yang paling ngerti isi slide-nya!” bisik Salman lagi.

“Tapi kan kamu yang nyelesein slide-nya terakhir kali!” tukas Zahra.

“Lo? Ya nggak! Lha, tadi kamu ngutak-ngatik laptopku tuh ngapain tho?”

Zahra bungkam. Menyesali dirinya yang selalu kalah dalam setiap adu mu­lut. Kembali ia merengek. “Nggak… Jangan aku, plis…”

Bangkitlah Rani. Prinsip hidupnya adalah Talk Less Do More. Baru saja ia hen­dak mengucap salam, Pak Bagod selaku guru Biologi memotong. “Tunggu… Tung­gu… Daripada kalian bingung-bingung, biar Bapak aja yang ngatur for­ma­si­nya. Kamu, yak, kamu yang udah berdiri, bukan kamu Dean, Zahra ya? Eh? Ma­ha­rani? Yak, kamu yang jadi moderator. Buka lagi presentasi kalian dari awal. Te­rus, operatornya kamu yang rambutnya kayak rambut ketiak itu. Yang jadi pre­sen­ta­tornya, yang perempuan satu lagi… Yak, Zahra. Notulennya…”

“DEAN, PAK!” Sebuah suara muncul dari bangku paling belakang.

“Ya udah, Dean aja.”

Salman buru-buru bangkit karena didorong Acil. “Wah, jangan, Pak. Saya a­ja! Tulisan saya masih lebih kebaca dari tulisannya si Dean!”

Acil menambahkan, “Iya, Pak. Setuju, Pak. Tolong, Pak, demi ke­mas­la­hat­an bersama! Saya ngalah deh, Pak, biar Dean yang jadi operator!”

Pak Bagod meneruskan, “Yang jawab pertanyaan Salman. Tapi nanti bo­leh dibantu yang lain. Sudah, sudah, jatah waktu presentasi kalian entar habis.”

Acil dan Salman duduk lagi dengan lesu. Acil menggeser duduknya ke de­pan layar komputer. Dean duduk di salah satu kursi yang kosong sambil cengar-ce­ngir. Dengan ogah-ogahan, Salman menyodorkannya kertas folio dan alat tulis. Ra­ni maju ke depan. Zahra berkeringat dingin.

Zahra bangkit dari kursi. Tatap nanarnya menyapu audiens. Mereka se­mu­a di­am. Bermuka datar. Ke mana keriuhan yang tadi mengisi? Mana an­tu­si­as­me me­re­ka karena melihat siapa yang di depan? Oh, tentu saja ia bukan Dean. Ra­gam pra­sangka berkecamuk dalam pikiran Zahra. Apa yang orang-orang itu ha­rap­kan da­rinya? Apa yang hati mereka bisikkan tentangnya? Apakah berisi ce­mo­oh­an untuknya? Zahra menoleh ke belakang. Pandangnya menyapu wajah pa­ra kawan se­kelompoknya. Berharap bantuan. Mungkin Acil bisa coba melobi Pak Ba­god untuk menggantikannya? Tapi raut muka me­re­ka semua me­mancarkan penantian. Dan rasa optimis bahwa Zahra bisa. Selagi ia me­noleh la­gi ke depan, dilihatnya wa­jah Pak Bagod menyiratkan hal yang sa­ma. Kem­ba­li Zahra menatap audiens. Rasa tidak percaya diri masih bercokol kuat dalam dada.

Padahal sudah berkali-kali ia mendapat kesempatan bicara di depan orang ba­nyak, tapi mengapa rasa macam ini tidak pernah pudar? Kali ini tanpa persiapan a­pa-apa pula. Berhenti mikir! Teriaknya dalam hati. Mengingatkannya akan satu hal yang ia sadari dalam perjalanan silaturahmi ke rumah Syifa. Cara untuk me­wu­judkan sesuatu yang mulanya enggan dilakukan adalah membuatnya jadi ter­lan­jur. Berhentilah mencemaskan hal yang tidak perlu, Zahra!

“Ayo? Zahra?” tegur Pak Bagod.

Bismillahirahmanirrahim… ucapnya dalam hati. Ia memejamkan mata. Ke­tika dibukanya lagi, dibayangkannya mereka semua adalah paduan garis-garis hi­tam di atas latar putih. Tidak begitu indah wujud mereka, karena begitulah ka­rak­ter gambar Mas Imin. Dan karena ini siang hari, mereka tidak terlihat seperti se­kelompok siswa dedemit.

Zahra lupa mengucap salam. Ia ingin langsung pada hal pokok yang hen­dak ia sampaikan. Tapi sebelumnya ia harus melalui dulu bagian latar belakang, ru­musan permasalahan, dan seterusnya. Ia merutuki dirinya saat tanpa sengaja me­noleh ke belakang. Sesekali ia lupa pada apa yang hendak ia ucapkan sehingga ia harus menyontek slide yang terpampang di viewer. Dan ia tidak suka me­nyon­tek. Sudah terlanjur… sudah terlanjur… biarlah... hibur hatinya yang lain.

Sesekali tawa pelan dari audiens saat ia salah ucap. Entah me­ngapa, itu tidak terdengar lagi sebagai cemoohan kini dalam pendengarannya. Ma­lah ia merasa dirinya telah menghibur mereka. Tawa itu adalah bentuk per­hatian mereka padanya. Mereka memerhatikan ucapannya. Sebagaimana Dean yang acap ditertawakan teman-temannya, namun Zahra tidak merasakan itu se­ba­gai cemooh untuk Dean. Dean malah terlihat menikmatinya. Sadarlah Zahra, jus­tru itu yang membuat Dean tidak pernah kekurangan perhatian karena Dean meng­hargai segala bentuk perhatian orang untuknya. Bahkan jika itu berupa ben­tak­an Zahra sekalipun. Dean tak pernah kelihatan tersinggung. Ia menerimanya se­olah-olah itu adalah suatu hal yang wajar bagi seseorang untuk melampiaskan ke­butuhannya.

Perasaan senang menelusupi diri Zahra, meskipun terasa getar di tangan dan kakinya, panas dingin badannya, dan agak gagap lisannya sesekali. Di luar itu, ia tidak percaya bahwa kata-kata dapat mengalir dari mulutnya selancar Curug Dago. Ia terus berusaha menyambung kalimat-kalimatnya, tidak peduli bahwa mereka dalam keadaan berhamburan di kepala. Ia bahkan bisa menciptakan kalimat-kalimat yang pokoknya tak termuat dalam slide. Ia yakin bahwa ia mulai bisa menikmati ini. Padahal sudah lama ia tidak berinteraksi secara khusus dengan Mas Imin, namun ia merasakan satu kemajuan lagi dalam hidupnya. Zahra merasa tidak membutuhkan dukungan Mas Imin lagi untuk maju. Masih ada orang lain yang mau mendukungnya. Ia bisa melanjutkan pemberdayaan dirinya sendiri tanpa harus minta petuah Mas Imin dulu sebelumnya. Ia bisa, ia pasti bisa!

“Huahahahahahha…”

Sebuah tawa yang entah muncul dari mana—terdengar main-main dan bukan pertanda hati yang terhibur—memadamkan penerangan dalam ruang kata di otak Zahra. Zahra jadi tidak bisa mengambil kalimat untuk ia keluarkan dalam bentuk lisan. Entah ke mana mereka semua. Tidak teraba. Zahra diam. Mendadak terasa kosong dan gelap dalam kepala.

“…presentasi akan dilanjutkan oleh teman saya…” Zahra bingung hendak pi­lih siapa. Ia balik kanan lalu duduk di kursi yang kosong. Menunduk. Kawan-ka­wan sekelompok memandanginya dengan bingung. Zahra tidak mau tahu ba­gai­ma­na ekspresi orang-orang lainnya dalam kelas tersebut. Dadanya berdebar ken­cang. Tangannya masih gemetaran, terasa dingin dan lembap. Ia tidak percaya apa yang telah dilakukannya tadi. Hal itu pasti terjadi di luar kesadarannya.

“Tinggal kesimpulan, Zahra…” bisik Acil. Zahra menggeleng kuat-kuat.

Tanpa lebih lama lagi menunggui usaha kawan-kawan sekelompoknya un­tuk membujuk Zahra, dengan sigap Rani berdiri. Ia bacakan kesimpulan pre­sen­ta­si kelompok mereka, menutupnya, lalu membuka sesi tanya jawab.



[1] Sunda: jangan ketawa terus, berisik

Minggu, 18 Juli 2010

18

Adalah suatu akhir pekan di mana Bandung tambah macet ka­rena pe­lak­sa­na­an USM ITB Daerah. Papa jadi korban. Sam­pai­ di rumah, ia tampak menyesali sesuatu. “Ternyata USM ITB udah lewat, Imin kok nggak ikut?”

Emang Mas Imin mau ke ITB? batin Zahra saat mendengar itu. Rupanya Mas Imin belum bilang soal ganti haluan cita-cita masa kecilnya itu. Namun se­ke­te­munya Papa dengan Mas Imin kemudian, sepengetahuan Zahra tidak ada ke­du­a­nya membicarakan soal itu. Lagipula obrolan antara Papa dengan Mas Imin tidak per­nah menarik hatinya. Ia lebih suka mendekam di kamar dan membaca.

Setiap akhir pekan setelahnya, kegamangan di hati Zahra setiap me­n­de­ngar Papa dan Mas Imin berbincang. Biasanya di tengah malam, sa­at Zahra dan sa­u­dara-saudaranya sudah masuk kamar. Kadang terdengar suara Ma­ma dan atau Ka­kek menyerta. Zahra hanya dapat menangkap penggalan kalimat mereka. Si­sa­nya ditelan suara TV. Kalimat yang diulang terus dari minggu ke minggu.

“…dari dulu pinginnya Imin masuk ITB… kerja di tempat bonafide… gaji dolar… gantiin Papa biayain adik-adik… biar nggak kayak Papa gini… termakan idealisme sendiri… mau bangkrut… nggak usah main psikolog-psikologan lagi sama adik-adik kamu… Ardi nilainya turun terus… kalau bisanya cuman gambar, anak-istrinya entar gimana… Mayong… stres… anak SMP favorit kok kena razia polisi… berhenti dululah ngasih motivasi buat obsesi-obsesi nggak jelas kayak gitu… mau kayak gimana masa depan mereka nanti… .Om Bahar juga negur… Zia jadi makin urakan gitu… sekali-kali bikin orangtua senang… harus bisa jadi sosok… dicontoh adik-adik… Papa-Mama nggak mungkin ngebiayain terus...”

Akhir pekan ke sekian, pembicaraan beberapa orang kawan kian memicu keresahan Zahra. Pembicaraan yang menggiring mereka pada sebuah pertanyaan, “Kakak kamu ada yang kelas XII juga kan, Zahra? Mau nerusin ke mana?”

“Mm… Psikologi.” Zahra tidak yakin dengan jawabannya sendiri.

“Oh? Ya? Katanya Psikologi mah banyakan perempuannya ya?”

“Emang kenapa kalau laki-laki?” Zahra agak tersinggung, meski lucu juga membayangkan Mas Imin sebagai laki-laki seorang di tengah para perempuan.

“Nggak apa-apa . Cuman denger-denger mah, banyakan perempuannya…” jawab kawan Zahra dengan nada menghindar dari emosi Zahra yang mulai terasa.

“Mau masuk ke Psikologi mana, Zahra?” tanya kawan Zahra yang lain.

Zahra tidak tahu jawabannya.

“Perasaan kemarin teh baru SIMAK UI sama UM UGM yah?”

“Kakak kamu ikut yang mana, Zahra? Tesnya ikut yang di mana?”

Tidak tahu. Tidak tahu. Tidak tahu. Setelah kawan-kawannya memberi in­for­masi lebih lengkap mengenai seleksi masuk beberapa PTN yang belum lama la­lu, tahulah Zahra, tak satupun yang Mas Imin ikuti. Tidak pernah ada adegan Mas Imin pamit pada Papa-Mama untuk mengikuti salah satu atau bahkan semua. Kalaupun ada, Zahra mestinya menyaksikan. Dan sewaktu rombongan siswa SMANSON ke Yogyakarta untuk mengikuti UM UGM—bersamaan dengan USM ITB Daerah, sepertinya Mas Imin santai-santai saja di rumah.

“Dia ikutan SNMPTN kali,” ujar seseorang dengan nada menenangkan.

“Tapi kalau SNMPTN peluangnya cuman dikit,” tanggap kawan yang lain.

“Tapi kan lebih murah.”

Meski SNMPTN lebih murah dan kondisi finansial keluarga tengah me­nu­ju ambruk, rasanya Papa tak akan sampai hati menjadikan itu sebagai satu-satunya peluang bagi putra kesayangan. Lalu Mas Imin ke mana? Benarkah ia ke ITB?

Zahra merutuki ketidakpeduliannya pada Mas Imin. Mengapa sih ia tidak pu­nya inisiatif untuk menanyakan kabar Mas Imin? Semua obrolan mereka kerap me­rambati banyak hal, tapi jarang membahas soal Mas Imin sendiri. Kalaupun Zah­ra menyinggung itu, topik pembicaraan dapat berbelok lagi ke hal lainnya. Pun, Mas Imin tidak pernah berinisiatif menceritakan dirinya, apalagi bayangan akan masa depannya yang harus segera ia tentukan. Zahra harus cari tahu. Ia harus pastikan Mas Imin berada di jalur yang tepat.

Minggu-minggu ini memang Zahra cari-cari kesempatan di mana ia bisa me­ngobrol lagi dengan Mas Imin. Kesempatan yang ia rasa tepat adalah saat ia ber­dua saja dengan Mas Imin. Sebagaimana obrolan-obrolan mereka sebelumnya, Zah­ra tidak mau ada orang lain dengar. Hanya Mas Imin yang boleh tahu.

Namun kesempatan itu tidak pernah datang. Jarang ia menemukan Mas Imin termangu sendiri di kamar sambil memelototi deret geometri. Mas Imin a­da­lah tipe orang yang belajar di tengah lalu lalang dan suara orang. Dan akhir-akhir i­ni Mas Imin belajar terus. Belajar untuk ke mana? Zahra terus bertanya-tanya. Ia ta­kut saja Mas Imin ternyata tidak sesuai prasangkanya semula. Apalagi jika meng­ingat bahwa Mas Imin tidak pernah bilang hendak ke Psikologi.

Tiba suatu akhir pekan. Disiram pencahayaan lampu ruang tengah, Mas Imin menyatakan keputusan. “STEI ITB,” kata Mas Imin mantap. Papa, Mama, dan Kakek menyambut dengan senyum senang.

“Bagus! Tapi itu passing grade-nya lumayan tinggi, kan?” suara Papa.

“Ah, cucu Kakek pasti bisa!” yakin Kakek.

“Anak Mama kan pinter. Masuk mana aja bisa!” Mama tak mau kalah.

Mas Imin risi dengan polah para orang tua di hadapannya itu. Belum lagi tiba-tiba Zahra menghempaskan diri di sampingnya. Dan berkata dengan penuh emosi, “Mas Imin kan sebetulnya pingin masuk Psikologi.”

Para orang tua itu kaget.

“Lo, tapi uang kita bertiga sudah masuk rekening ITB!” protes Kakek yang kemudian dipotong Mama, “Calon insinyur kok Imin ini…”

“Tapi Mas Imin minatnya sama psikologi! Dia harusnya jadi psikolog! Mas Imin tuh bisa bikin orang yang tadinya bermasalah, jadi nggak lagi!”

“Ya bagus sih itu. Tapi Imin pilih ITB kok,” tanggap Papa.

Mas Imin menangkap lirikan Papa. Katanya kemudian, “Iya, akhir Mei besok Mas Imin mau coba dulu ikut USM ITB Terpusat, Zahra.”

“Tapi itu nggak Mas Imin banget. Mas Imin cocoknya jadi psikolog. Itu potensinya dia. Papa sama Mama harusnya ngebiarin Mas Imin milih jurusan sesuai potensinya…” Zahra tak bisa lagi membendung air mata. Ia juga tak mengerti mengapa ia harus sampai menangis hanya untuk mengungkap pendaman hati yang menyesakkannya selama ini. Para orang tua itu, anggap Zahra, tidak pernah tahu apa yang mampu Mas Imin perbuat untuk orang lain—untuk dirinya.

Para orang tua itu memandang Mas Imin dengan tanda tanya. Mas Imin membalas dengan cengiran yang menyatakan bahwa ia juga tak mengerti.

Zahra mengusap basah wajahnya dengan lengan. Sudah terlanjur. Masih menggebu-gebu inginnya untuk menentang orangtua. Suaranya mulai bergetar. “Jangan-jangan entar Zahra juga nggak boleh milih jurusan lain selain Kedokteran, padahal Zahra pinginnya masuk ke jurusan lain…”

“Lo, Zahra bukannya memang mau jadi dokter dari dulu?” suara Mama.

“Zahra mau ke mana memangnya?” tanya Papa.

“Tapi ya terserah Zahra aja deh,” suara Mama lagi.

Zahra tak tahan terus menangis sambil dilihati begitu. Tidak ada pula yang berinisiatif merangkulnya. Ia berdiri. “Nggak adil! Zahra boleh terserah tapi Mas Imin mau nggak mau harus masuk ITB!” jeritnya, sebelum menghambur ke kamarnya sendiri. Mata semua orang mengarah padanya sampai ia lenyap.

Kakek berdecak-decak. “Udah lama nggak liat dia kayak gitu.”

Papa dan Mama pura-pura tak mendengar perkataan Kakek. Memang kejadian barusan adalah suatu hal biasa yang mengiringi pelayaran bahtera rumah tangga mereka. Dari dulu Zahra sering tiba-tiba menangis tanpa sebab dan lari ke tempat sepi untuk sembunyi. Bagi mereka, hal tersebut belum jadi suatu hal serius yang harus segera ditangani karena setelahnya keadaan akan biasa-biasa lagi. Baru mereka sadari bahwa penyakit Zahra tersebut sudah lama tidak kambuh.

Namun yang terpenting sekarang adalah masa depan putra sulung mereka. Kata mereka, “Sekarang fokus belajar dulu, ya!”

Berjalan sambil terus menyeka air mata dengan lengan membuat Zahra menabrak Mas Ardi. Zahra tidak peduli. Hasrat ingin segera menangis puas-puas di kamarnya lebih besar ketimbang rasa malu. “Zahra, kenapa?” Mas Ardi terus bertanya seperti itu sampai Zahra membanting pintu kamar lalu menguncinya.

Zahra menghempaskan diri ke kasur. Membenamkan muka pada bantal. Ter­dengar usahanya menangis tanpa suara. Merutuki kecengengannya. Rasa malu kem­bali menghantam. Ia malu pada semua orang yang melihatnya menangis tadi. Ia malu karena telah mengatakan pada kawan-kawannya Mas Imin akan masuk Psi­kologi, padahal tidak. Ia malu karena telah menyemangati Mas Imin masuk Psi­kologi. Ia malu karena tidak bisa menahan rasa sebal pada Unan. Ia malu ka­re­na sudah berani menggertak Dean dan berprasangka buruk pada Arderaz. Ia malu ka­rena telah mengajukan diri sebagai presentator pada kawan-kawan sekelompok tu­gasnya. Ia malu karena telah begitu meniatkan diri untuk ke rumah Syifa ma­lam-malam. Ia malu karena telah termakan begitu saja omongan Zia. Ia juga malu pa­da Zaha dan Om Bahar, entah mengapa. Ia malu pada semua orang. Ia merasa ren­dah di hadapan mereka semua.

Dan sungguh naif ia mengharapkan Mas Imin akan sudi untuk terus me­no­long­nya—juga orang-orang seperti dirinya, suatu saat, dengan menjadi psikolog. Se­harusnya ia tidak sebegitunya mengharap pertolongan pada orang itu. Ia jadi i­ngin kembali membenci Mas Imin, sebenci-bencinya. Ia juga benci pada dirinya sen­diri. Semakin keras ia menahan tangis.

Terkuras energinya karena menangis hebat. Lambat laun ia hanya ter­seng­guk saja. Sengguk berubah jadi isak. Isak diredam kantuk. Zahra tak peduli de­ngan ketokan di pintu kamar. Suara kedua orangtuanya yang membujuk rayu. Sa­dar untuk mengambil kembali hati anaknya. Iming-iming berupa mi dog-dog atau sa­te sama sekali tidak menggugahnya untuk membuka pintu. Ia hanya ingin mem­pertahankan lelapnya kini. Pergi jauh dari dunia yang menyusahkannya.

“Tok. Tok.”

Zahra menggumam kesal. Ia jadi terbangun lagi. Ia merasa matanya sudah mem­bengkak karena begitu beratnya membuka. Ditengoknya jam dinding. Sudah ham­pir tengah malam begini. Masih terdengar samar-samar suara TV. Ia mem­be­kap kepalanya dengan bantal. Ingin kembali larut ke alam mimpi. Tapi suara “tok tok” di pintu itu terus mengganggunya.

“Zahra…” Terdengar lagi suara Mas Ardi. “Masih hidup kan?”

Dengan suntuk ia berjalan ke arah pintu. Lebih karena lagi enak-enak tidur di­bangunkan, ketimbang karena penyebab tangisnya tadi. Ia bahkan lupa tadi ia me­nangis hebat karena apa.

Tak apa-apalah, Mas Ardi ini, pikirnya. Paling-paling hanya menumpang sms untuk secara resmi menyudahi percengkeramaannya dengan Teh Tata. Zahra su­dah berkali-kali mengingatkan Mas Ardi untuk ganti provider supaya pulsanya ti­dak cepat habis.

Zahra memutar kunci. Menarik gagangnya dan membukalah pintu kurang da­ri sejengkal. Terlihat seraut wajah tirus. Dengan nada sok terganggu Zahra ber­ta­nya, “Ada apa sih?”

“Boleh masuk?” tanya Mas Ardi.

“Hmh… Apa sih? Besok ajalah!”

Mata Mas Ardi lari sebentar ke luar kamar. Lalu kembali lagi. “Kalau gitu, pin­jam HP bentar dong.”

“Ya… Ya…” Zahra sudah menduga itu yang akan diucapkan Mas Ardi pa­da akhirnya. Ia mencari-cari di mana ia menaruh ponselnya terakhir kali. Di a­tas tempat tidur. Berjalanlah ia ke sana untuk mengambil. Ketika ia berbalik lagi, di­lihatnya pintu sudah terbuka lebih lebar. Mas Ardi tidak sendiri rupanya. Ada Mas Imin di sebelahnya. Dan mereka sudah bertukar tempat.

“Makasih, Di,” Mas Imin memamerkan behelnya.

“Sama-sama.” Dan minggatlah Mas Ardi begitu saja. Sementara itu, Zahra ma­sih terpaku di tepi tempat tidur dengan ponsel dalam genggaman.

Tinggal tersisa satu bantal Zahra. Sisanya telah dilemparkan dengan kasar ke arah Mas Imin yang menangkapnya dengan tangkas. Zahra me­nangkupkan ban­tal yang ada ke mukanya, lalu terciptalah Tangkuban Zahra di atas tempat ti­dur. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terisak. Teringat lagi olehnya segala pe­nyebab tangisnya yang sebelumnya. Kini ditambah pula dengan rasa sebal ka­re­na Mas Imin berhasil menipunya. Zahra merasa dirinya bodoh sekali.

Terasa Mas Imin duduk di sampingnya. Punggungnya yang naik turun di­te­puk beberapa kali. “Tadi dibeliin mi dog-dog tuh…”

“Pergi!” jerit Zahra. Tetap telungkup, ia menggeser tubuh se­ja­uh mungkin da­­ri Mas Imin. Menangis makin kencang, meski tanpa suara. Ingin ia tumpahkan se­muanya. Biar Mas Imin tahu sekalian, pedihnya menjadi seorang Zahra.

Terdengar Mas Imin berdecak. Lalu bangkit dari tempat tidur Zahra. He­ning lama. Pintu ditutup. Hening kembali.

Zahra tidak tahu ia harus merasa lega atau makin pedih karena ternyata sampai situ saja perhatian Mas Imin padanya. Ia habiskan sisa-sisa tangis, mes­ki sudah tak ingin sekencang tadi. Masih tersengguk, ia lepas bantal dari muka, hendak melihat kekacauan yang mungkin tercipta akibat serbuan bantal tadi. Ia memekik ketika mendapati seraut wajah bengong Mas Imin.

Mas Imin lekas duduk di dekatnya dan menahan pundaknya agar tidak membuat tangkuban lagi. Disodorkannya segelas air minum. Alih-alih menerima air tersebut untuk meredam senggukannya, Zahra malah memukuli Mas Imin keras-keras. Mas Imin berusaha menyelamatkan air di tangannya agar tidak tumpah. “Eh, eh… Kalau mau gelut, entar dulu… Imin taruh dulu minumnya…”

Mas Imin menaruh gelas di meja samping tempat tidur Zahra kemudian kembali ke posisi semula. Dengan segenap emosi, Zahra menghajarnya lagi. Mas Imin mengaduh-aduh. Berusaha menangkis pukulan Zahra sambil masih sempat-sempatnya mengamankan kacamata. Zahra mengambil sebuah bantal. Dengan beberapa kali pukulan ia membuat Mas Imin jatuh. Tak berkutik. Dan kali ini suara mengaduh kesakitan Mas Imin terdengar sungguh-sungguh. Zahra menghentikan serangannya.

“Tadi denger nggak, bunyi ‘krek’ keras?” Mas Imin bangkit pelan-pelan dengan tangan kiri memegangi lengan kanan. Ia mencoba menggerakkan lengan kanannya itu. Ia mengaduh lagi. “Aduh… Kayaknya tangan Imin patah nih…”

Panik merambat pada Zahra. Lekas ia mendekati Mas Imin. “Maaf, Mas Imin, maaf…” Zahra hampir menangis lagi.

“Makanya, jangan keras-keras tadi mukulnya…”

“Maaf…” Zahra mulai terisak. Ia tidak berani melihat mata Mas Imin yang seolah-olah menyalahkan dirinya. Yang lain juga pasti akan memarahinya nanti karena mematahkan lengan Mas Imin. Zahra tersedu-sedu.

“Eh, Zahra… Zahra…” Zahra berhenti mengusap-usap matanya. Terpana dengan lengan “patah” Mas Imin yang kini bisa bergerak bebas lagi. “Liat! Lo, kok, bisa gerak-gerak lagi. Patahnya nggak jadi!”

“Aaarrgh…” Dengan sekuat tenaga Zahra menghantamkan bantal lagi pada Mas Imin. Rasanya kali ini ia ingin mematahkan lengan Mas Imin betulan. Mas Imin tertawa-tawa saja dibegitukan. Sambil bangkit lagi dari jatuhnya, ia masih terkekeh-kekeh. Zahra diam saja. Ia sudah capek marah-marah dan cemberut terus. Dan ia tetap diam saja hingga Mas Imin berhenti sama sekali. Heran karena Zahra tampak tak terusik dengan tawanya lagi.

Mas Imin berdehem beberapa kali sambil memperbaiki posisi duduknya. Zahra mengamatinya terus. Kalau ingin serius bicara, sekaranglah saatnya.

“Zahra,” kata Mas Imin, setelah mendapatkan ketenangan dirinya kembali, “Kata siapa Imin mau masuk Psikologi?”

“Kata hati Mas Imin.”

Mas Imin terbatuk pelan. “Imin emang dari dulu pinginnya masuk STEI ITB kok. Emang cuman hobi Imin aja baca buku-buku psikologi dan semacamnya itu. Banyak juga kok orang yang suka baca gituan.”

“Bohong!” tukas Zahra. “Mas masuk STEI ITB cuman karena banyak orang yang pingin masuk ke sana aja. Ngikutin tren. Huh, nggak keren!”

Mas Imin terdiam. Zahra melanjutkan lagi, “Mas Imin tuh dari dulu nga­bis­in duit Papa-Mama terus. Masuk ITB kan mahal! USM lagi! Entar kalo gi­lir­an­nya Mas Ardi, Zahra, sama Mayong masuk kuliah trus nggak ada duit, gimana?” Zah­ra jadi ingin menangis lagi. Bukan itu alasan sebetulnya. Ia takut setelah jadi ma­hasiswa ITB, Mas Imin sibuknya bukan main. Tidur hanya tiga jam sehari. Ter­ancam tewas saat osjur. Tidak punya kehidupan lain selain kehidupan a­ka­de­mis. Akhir pekan digunakan untuk pemulihan tenaga sebelum sibuk mengerjakan tu­gas-tugas lagi, dan bukannya untuk memberdayakan potensi lain. Dan hal-hal m­engerikan lain yang Zahra dengar dari cerita kawan yang kakaknya kuliah di ITB. Dengan demikian, Mas Imin tidak akan punya banyak waktu untuk dicurhati Zah­ra lagi. Juga, mengapa Mas Imin hendak tega mengubur potensinya sendiri, i­tu yang paling Zahra sesalkan.

“Nggak, Zahra. Papa udah rajin nabung buat biaya kuliah anak-a­nak­nya dari dulu. Termasuk biaya Imin di ITB, Papa udah memperkirakan juga. Mes­ki jatuhnya jauh lebih tinggi juga sih… Makanya Mama sama Kakek juga patungan…” Zahra bergeming. Lanjut Mas Imin, “Apa salahnya sih kalau Imin pingin balas budi sama mereka?”

“Mas Imin tuh gigit lidah sendiri! Nelen ludah sendiri! Mengingkari potensi sendiri!”

“Eh… Udah…” potong Mas Imin sebelum Zahra menyatakan bah­wa dirinya telah mengingkari nikmat Tuhan juga. “Bener kata Zahra, potensi itu ng­gak boleh disia-siakan. Tapi, Imin kira, kita tetep bisa ngembangin po­ten­si kita tanpa harus kehilangan yang lain. Meskipun entar Imin jadi ma­ha­sis­wa ITB—insya Allah, amin—Imin tetep bisa ngelakuin hobi Imin kok. Ngamatin o­rang lain kek. Nyemangatin mahasiswa lain yang lagi pada madesu kek. Anak ITB kan tingkat stresnya tinggi tuh. Tenang aja, Imin juga bakal berguna kok di sana.”

Zahra merasa ia tak akan pernah bisa menang melawan Mas Imin. Mung­kin memang benar ia saja yang terlalu naif. Berharap terlalu banyak.

Mas Imin bangkit lalu berjalan menuju pintu. Sebelum ditutupnya pintu ter­sebut, dibuatnya Zahra jadi ingin menangis lagi. Belum pernah Zahra men­de­ngar Mas Imin mengucap kalimat itu, “Maaf ya, udah ganggu.”

MAAF. Kata itu mengiang-ngiang dalam kepala Zahra. Mas Imin bahkan ti­dak pernah mengucap TOLONG padanya jika hendak diambilkan sesuatu, pun TE­RIMA KASIH saat sudah diambilkan. Zahra bertanya-tanya kapankah Mas Imin akan mengucap dua kata sakti lainnya.

“Doain Imin tembus USM, ya,” kata Mas Imin lagi. “Makasih.”

Zahra terkesima. Pintu ditutup. Dan terbuka lagi. “Eh, tolong entar ge­las­nya dibalikin sendiri ya.” Zahra mengangguk.

“Oh ya, salutlah. Imin nggak nyangka loh Zahra tadi berani ngomong ma Pa­pa-Mama kayak gitu. Besok-besok lagi Zahra pasti bisa berani juga ngomong di de­pan kelas.”

Pintu kembali tertutup. Air mata Zahra mengalir lagi de­ngan deras. Se­be­lum tangisnya keburu habis, lekas ia beranjak ke kamar mandi. Ia hen­dak ber­wu­du, solat tahajud, lalu berdoa dengan penuh kesungguhan agar Mas Imin tidak tem­bus USM ITB. Semoga dengan demikian, hati Mas Imin akan kembali ter­be­lok­kan pada Psikologi, dan menjadikan jurusan ter­se­but sebagai satu-satunya pi­lih­an pada SNMPTN. Amin. Masih belum terlambat un­tuk daftar SNMPTN kan? Zah­ra bertekad untuk cari tahu. Kali ini ia ti­dak mau ketinggalan informasi.

Sabtu, 17 Juli 2010

17

Orang bilang, hidup bagai rollercoaster. Zahra merasa telah mengerti makna dari perumpamaan klise tersebut. Setelah serentetan kemajuan yang menyenangkan hatinya, kini ia merasakan kesenduan lagi.

Semula ia menganggap Unan sebagai anugrah Tuhan untuknya. Namun kini terasa tidak lagi. Unan lebih suka nongkrong dengan teman-temannya yang lain. Yang lebih gaul. Yang lebih banyak memberikan keuntungan baginya. Zahra sendiri sesungguhnya lebih suka berduaan saja, ketimbang ramai-ramai. Namun ia juga sadar. Sebetulnya Unan sudah mengajaknya untuk ikut ramai-ramai, ia saja yang masih kerap menarik diri. Teman-teman Unan  tidak selalu memberikan kenyamanan baginya, sebagaimana membicarakan drama Asia tidak selalu menarik.

Pernah suatu kali Unan mengajak Zahra ke BIP sepulang sekolah bersama teman-teman lainnya. Padahal sebelumnya mereka berdua sudah janjian hendak membeli suatu benda yang mereka incar sejak lama di BSM, pada hari yang sama. Unan bilang, mereka bisa ke BSM lain kali, seolah tidak penting lagi artinya benda incaran mereka berdua itu. Maka Zahra merasa Unan lebih memilih teman-teman lainnya itu ketimbang persahabatan mereka. Pada akhirnya Unan mengalah untuk jalan berdua saja ke BSM. Tapi suasana yang tercipta kemudian jadi terasa tidak enak. Zahra merasa Unan jadi angin-anginan. Tapi Unan bilang Zahra saja yang aneh.

Bertambah lagi sakit hatinya, saat tahu bahwa Unan pergi ke Bazaar SMANSON tanpa mengajaknya. Memang ia agak menjaga jarak dengan Unan akhir-akhir ini karena rasa sebalnya itu. Tapi bagaimanapun juga, ia kan masih kawan sebangku Unan? Sebagai permintaan maaf, Unan mengajak Zahra jalan-jalan ke suatu tempat berdua saja. Namun Zahra yang kadung marah jadi makin ingin menjauhi Unan. Ia tidak percaya lagi pada Unan. Ia tidak peduli seandainya Unan berhenti jadi kawan sebangkunya sekalipun.

Untuk menciptakan interaksi sosial yang baik ternyata harus banyak makan perasaan. Zahra lelah dengan itu. Ia ingin cemberut saat perasaannya tidak enak, dan itu sering terjadi. Tapi demi menjaga perasaan orang lain agar mau berteman dengannya, ia harus sekuat mungkin menahan. Zahra tidak tahu sampai kapan ia harus menahan. Kapan ia dapat terbiasa untuk tersenyum, bahkan di kala sedang kesal sekalipun? Apakah suatu proses harus berjalan selama ini?

Kini Zahra merasakan suatu kemunduran. Ia jadi tidak ingin ke mana-mana lagi sepulang sekolah, selain ke rumahnya sendiri. Sesampainya di rumah, ia hanya ingin bergelung di tempat tidur, menunaikan pekerjaan rumah tangga yang jadi tugasnya, menonton drama Asia, atau melarikan diri ke pelajaran sekolah. Ia bahkan tidak merasakan semangat sekuat sebelumnya saat membuka buku pelajaran sosial. Ia menguat-nguatkan diri dengan memikirkan kemungkinan besar ia tidak akan bertemu Unan di kelas IPS. Unan kan ingin jadi ilmuwan Bosscha.

Zahra bahkan tidak kepikiran untuk minta motivasi dari Mas Imin. Sampai ia sadar bahwa keadaannya sekarang tidak ada bedanya dengan keadaan sebelum hubungannya dengan Mas Imin membaik. Keadaan di mana perhatian Mas Imin mulai tumbuh untuknya, dan ia malah menafikan itu. Keadaan sebelum ia ingin terberdayakan. Masak mau mundur lagi?  Pertanyaan itu terdengar seperti Mas Imin yang mengajukan.

Ke mana Mas Imin? pikirnya. Mas Imin memang makin jarang di rumah. Lagi intensif bimbel, kata Mama. Atau mungkin belajar bersama di rumah temannya. Atau entah. Tapi bukan itu yang membuat Zahra merasa ada sesuatu yang tiba-tiba hilang dari hidupnya. Sejak awal tahun, Mas Imin sudah begitu, tapi hubungan di antara mereka berdua malah kian membaik.

Zahra tersadar. Sudah berapa lama ia tidak mengobrol lagi dengan Mas Imin? Intensitas hubungan mereka berkurang drastis sejak… Apa karena Mas Imin UN? Ah, Zahra pun disibukkan dengan UTS—apalagi karena ia ingin yang terbaik untuk aneka mata pelajaran sosialnya. Namun sesudah UN dan UTS pun, tetap belum ada obrolan lagi di antaranya dan Mas Imin. Zahra mengingat-ingat.

Sebuah ingatan melayang-layang dari kejauhan dan sampailah pada pikirannya. Malam di mana ia terbangun karena suara Mama dan Mas Imin yang baru pulang dari menjemput Mayong di kantor polisi. Mayong terjaring razia balapan liar rupanya. Malam itu Zahra terlelap dengan luapan amarah Mama pada Mayong sebagai pengantar tidurnya.

Beberapa hari setelahnya, ketika sedang berjalan-jalan di suatu pusat perbelanjaan, Papa memergoki Mas Ardi berpakaian wanita. Sebetulnya saat itu Mas Ardi sedang ikutan cosplay. Namun Papa tak suka itu. Sebelum kembali ke Jakarta, Papa sempat mengobrol dengan Mas Imin. Zahra sebetulnya tidak niat menguping. Kebetulan saja terdengar dari dapur, karena ia sedang membereskan perabot bekas Mama masak.

“…apa nggak krisis gender dia nanti...”

“…nggak kok, Pa. Anak-anak sekarang banyak yang ikutan gitu juga, normal-normal aja kok. Lagian kan Papa tau sendiri Ardi udah punya pacar…”

“…nah, itu lagi, pacaran!”

Zahra lekas menjauh dari dapur agar percakapan tersebut tak terdengar jelas lagi. Kalau sudah perkara Mas Ardi dan pacarnya, Zahra malas mendengarkan. Dan Zahra  eneg membayangkan Mas Ardi dengan rambut palsu, gaun berenda, dan tongkat plastik mainan. Zahra akan bersikap sama dengan Papa seandainya ia jadi orangtua Mas Ardi. Bahkan ia akan memarahi Mas Ardi sekalian karena ikut berperan dalam mempercepat kiamat. Sudah begitu, prestasi akademis Mas Ardi tergolong biasa-biasa saja pula, dibanding dirinya dan Mas Imin.

Dan sejak itulah Mas Imin tidak pernah mendekatinya lagi untuk maksud tertentu. Interaksinya dengan Zahra seperlunya saja, misalnya minta diambilkan ini atau itu. Pun Zahra, yang terlalu larut dalam gelombang perasaannya. Itulah yang hilang dari kehidupannya yang baru, Zahra telah menemukannya. Mendadak perasaan sendunya hilang. Digantikan oleh semangat kebangkitan.

Mungkin Mas Imin juga membutuhkan perhatian, pikir Zahra. Bagaimanapun juga, Mas Imin adalah manusia—tidak ada ubahnya dengan objek yang kerap dibicarakannya. Lalu Zahra ingat bahwa seharusnya ia juga menyemangati Mas Imin. Mas Imin kan bakal menghadapi serentetan ujian yang menentukan masa depannya. Wajar juga kalau Mas Imin hendak fokus belajar dulu hingga tidak sempat banyak mengobrol dengan Zahra lagi.

Zahra masih menyimpan sisa bahan dan perkakas dari tugas prakarya semester lalu. Diturunkannya kotak berdebu tersebut dari atas lemari. Ia keluarkan segala yang mungkin dapat digunakannya untuk membuat sesuatu. Namun karena tak terbayang hendak membuat apa, akhirnya ia hanya membuat sebuah kartu dari karton biru dengan tulisan:

 

SEMANGAT! JANGAN MENYERAH!

CHAYO F. PSIKOLOGI!

 

Zahra juga akan balas memberi gambar pada Mas Imin. Tidak seperti Mas Imin yang punya kecenderungan pada dedemit, yang akan Zahra gambar adalah seorang peri cantik. Tapi berkali-kali membuat sketsa, ternyata hasilnya tidak memuaskan. Ternyata Mas Imin masih lebih pandai menggambar darinya, Zahra sebal. Akhirnya ia menambahkan berikut di bawah tulisan sebelumnya:

 

dari: peri baik hati X9

 

Zahra membayangkan Mas Imin akan tertawa terbahak-bahak saat menemukan kartu ini di meja belajarnya. Ah, tapi biarlah, Mas Imin membutuhkan penyegar di sela kesibukannya belajar.

Sejenak kemudian, Zahra sadar bahwa ia harus membuat kartu yang semacam untuk dirinya sendiri. JANGAN MENYERAH!—kata itu menggema dalam rongga kepalanya. Mengingatkannya bahwa ia sendiri masih berada dalam suatu proses, janganlah sampai itu putus di tengah jalan. Kata-kata lain mulai melayang-layang di kepalanya. Mulai dari satu per satu elemen jurus S hingga PROAKTIF.

Mengingat kata yang disukainya itu, Zahra jadi tercenung. Saking sukanya ia pada kata tersebut, ia ingin menjadikan itu sebagai bagian dari karakternya. Gara-gara gelombang perasaannya kemarin,  hampir saja hal itu tak terwujud. Maka, Zahra pun berniat untuk segera melupakan segala hal tak mengenakkan kemarin dan memperbaiki sikapnya pada Unan mulai besok. Semoga Unan masih mau berteman dengannya. Zahra kira ia akan menangis kalau Unan tidak mau jadi kawan sebangkunya lagi.

Jumat, 16 Juli 2010

16

Bukan lagi jurus S yang Mas Imin berikan padanya. Zahra merasa dirinya kini sudah seharusnya naik tingkat. Mas Imin mewariskannya sebuah kitab karangan Mpu Sean Covey. Kitab itu menjabarkan kebiasaan-kebiasaan remaja paling efektif. Ada satu di antaranya yang paling Zahra suka, yaitu: PROAKTIF.

Membaca kitab tersebut, juga beberapa bacaan dari rak buku Mas Imin lainnya (ternyata sebagiannya adalah milik Zia yang sudah lama tidak dikembalikan), mendorong Zahra untuk segera membiasakan satu hal baru dalam hidupnya: terbuka pada orang lain.

Agak bimbang ia pada mulanya. Sesungguhnya masih ada takut untuk mengungkap sesuatu tentang dirinya. Apapun berpotensi untuk menjadi bahan ejekan. Ia mengingatkan dirinya bahwa ia sudah tidak berada di masa kanak-kanak lagi. Lingkungannya pun tidak demikian. Orang-orang di sekitarnya sudah lebih tahu bagaimana caranya bersikap pada orang lain—semestinya. Mereka yang dimaksud Zahra adalah anak-anak sekelasnya, pada khususnya. Selama lima hari berturut sebagian harinya harus dilewatkan bersama mereka.

Semakin dipikir, semakin ia ragu untuk melakukan. Zahra mengingatkan dirinya untuk tidak pikir panjang lagi begitu kesempatan itu datang.

Bernuansa reuni, kelompok tugas itu akhirnya bersatu lagi untuk pertama kalinya di semester baru. Acil, Salman, dan Rani—rasanya sudah lama Zahra tidak bersama mereka, padahal setiap hari bersua di kelas. Kadang ada saja hari damai di sekolah, yaitu hari di mana Dean, si bocah sakit-sakitan, tidak masuk sekolah. Hari ini adalah hari itu. Kedamaian membuat antusiasmenya membuncah. Namun tak teraba tiga sekawan lain yang mulai larut dalam obrolan.

Kali ini mereka harus membuat penelitian sederhana tentang lingkungan hidup di sekitar mereka. Alih-alih memutuskan hendak meneliti pengaruh perubahan pH terhadap kecepatan pernafasan ikan, atau pola aliran energi pada makhluk hidup di pohon, atau eutrofikasi di perairan, diskusi tiga sekawan malah melenceng pada pengalaman hiking mereka liburan kemarin di Gunung Puntang. Selama itu, Zahra memikirkan kapan saat yang tepat untuk menyela mereka. Ia juga ingin bicara. Sekarang? Atau nanti? Zahra memutuskan untuk tidak berpikir sama sekali. “Kapan-kapan aku boleh ikut?”

“Wah! Ya bolehlah…” sambut Salman dengan lagak khasnya. Ia membuka kedua belah lengannya. “Because we are friends!”

“Boleh aja, Zahra. Kenapa nggak?” ujar Rani.

“Iya, malah kita pikir kamu yang nggak mau diajak-ajak,” imbuh Acil.

“Ho oh. Waktu itu kita kan pernah ngajakin kamu mancing di deket rumahnya Rani. Tapi kamunya nggak mau, tho?” kata Salman lagi.

Zahra nyengir. Waktu itu ia menolak ikut supaya tidak ketinggalan menonton drama Asia pada sorenya. Zahra yang sekarang tidak ingin mengulangi hal sama. Apalah artinya satu episode yang terlewat ketimbang kesempatan untuk bersosialisasi— menoreh pengalaman menyenangkan dalam memori?

“Ya… Itu kan dulu. Besok-besok insya Allah aku bisa deh.”

Mereka bertukar senyum. Baru kali ini Zahra merasa aura kelompoknya semenyenangkan ini. Katanya lagi, “Kalau boleh, besok pas ada giliran presentasi lagi, kalo aku yang jadi presentatornya gimana?”

Itu pun diucapkannya tanpa pikir panjang. Sudah lama Zahra kepikiran untuk keluar dari zona aman atau memperluas zona nyamannya. Kata Mas Imin, yang Zahra butuhkan agar lancar bicara di muka kelas adalah pembiasaan. Dan kesempatan itu harus dicari. Syukur-syukur kalau datang sendiri. “Tapi bisa habis waktu kita kalo cuman dipakai buat menanti. Akhirnya kita nggak dapet apa-apa sama sekali,” tutup Mas Imin malam itu.

Zahra menekan kuat keinginan untuk memikirkan kemungkinan apapun yang dapat mengurungkan ucapan. Bagaimana kesusahannya menjelang eksekusi nanti, perkara nantilah! Belajar susah itu memberdayakan, yakinnya.

“Ya nggak apa-apa,” ucap Acil. Menggaruk pipinya. Menoleh pada Zahra lagi. “Tumben?”

“Iya, biasanya kamu tuh suka nolak kalau disuruh ngomong. Padahal kan kamu yang paling ngerti cara ngerjainnya, Zahra,” sambung Salman, hal Zahra yang selalu menyiapkan slide presentasi untuk penampilan kelompok mereka. Zahra kerap menambahkan poin-poin pikirannya ke dalam slide. Namun saat dituding anggota kelompoknya untuk bantu menjelaskan di depan kelas, ia bergeming.

“…kalau lagi diskusi kelas juga, diem… aja.” Acil menirukan gaya Zahra saat dalam situasi yang sedang diungkitnya. Zahra terpana, ternyata Acil suka memerhatikannya.

Memang saat ada guru menunjuknya untuk bersuara, Zahra selalu menghindari bicara banyak. Semula kalimat-kalimat terkait diskusi berkecamuk dalam pikirannya, namun begitu pusat perhatian mengarah padanya, buyarlah semua. Kecemasan tak beralasan menguasainya. Ia benci saat-saat seperti itu. Saat ia harus menyuarakan sesuatu padahal ia lebih suka menyimpannya sendiri atau bahkan tidak memikirkannya sama sekali. Ia lebih suka menjadi bisu. Tak seorang pun berhak menuntutnya untuk bersuara karena ia bisu. Jadi ia tidak usah merasakan kecemasan semacam itu. Namun Tuhan tidak menghendakinya bisu. Itulah sebab mengapa ia harus mengoptimalkan ketidakbisuannya.

Zahra memainkan jemarinya. Saatnya mengaku, memberi umpan untuk memulai sesi berbagi, “Habisnya aku suka grogian sih…”

“Aku juga. Tanganku dulu masih suka gemetaran kalau harus ngomong di depan,” tanggap Salman.

Zahra menggali ingatan dan tidak menemukan kebenaran kalimat Salman. Penampilan Salman selalu setenang embun pagi. Sewaktu MOS saja ia sudah berani menyanyi di depan ratusan peserta dan panita.

“…pas SMP aku masih kayak gitu kok. Tapi lama-lama nggak lagi. Kamu juga pasti bisa kok, Zahra! Asal sering-sering aja ngomong di depan!”

Acil mengangguk-angguk saja sambil mengorek salah satu lubang telinganya. Penampilan Acil di muka kelas juga tidak kalah menarik. Ia suka mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak umum, kadang memancing tawa audiens namun lebih sering menggaring, kadang pula ia terlihat lebih seperti berorasi. Rani apalagi. Dalam kondisi apapun, air mukanya sedatar permukaan tripleks. Jadi jarang bisa diketahui apakah ia sedang senang, gugup, panik, atau frustasi.

Mendadak Zahra merasa malu. Sepertinya hanya dirinya yang bermasalah. Apakah ia harus terbuka juga mengenai ini? Diliputi kenaifan, ia nyengir lagi. “Mohon bantuannya ya teman-teman…”

Adalah senyum dan tawa mereka memulihkan lagi perasaannya.

“Nggak papa kali, nyante aja,” kata Acil.

“Justru bagus tho, yang paling ngerti kan harusnya yang ngejelasin.” Salman menatap Acil yang membalasnya dengan anggukan.

“Huu, tapi entar semua aku yang ngerjain dong?”

“Pasti aku bantu kok, Zahra.” Senyum Rani tidak pernah lebar, namun tetap dapat menguatkan.

“Dengan demikian, ketua kelompok Ragil Setyo Joharman memutuskan bahwa buat presentasi kali ini yang maju Zahra. Hal-hal yang menyangkut formasi lainnya diatur kemudian dalam tempo waktu tergantung gurunya mau kita presentasi kapan. Setuju?”

“Sah!” sahut Salman. Acil mengetokkan tempat pensilnya ke bangku tiga kali. Zahra masih diliputi rasa malu, tapi kali ini bercampur dengan haru.

Satu lagi kata yang Zahra suka, diambil dari bacaan yang disarankan Mas Imin, adalah: ASERTIF. Kata tersebut menunjukkan sifat percaya diri dan penuh kekuatan. Zahra menanti dan mencari kesempatan untuk dapat mengaplikasikan kata tersebut dalam kehidupannya. Sebetulnya kesempatan itu mengiringinya hampir setiap hari, bahkan sebelum ia menemukan kata tersebut. Namun baru pada kali ke sekian ia menyadarinya. Dan dosis yang ia gunakan terlalu besar rupanya. Ia malah kelepasan menggertak.

“NYONTEK PR TERUS! KAPAN KAMU MAU NGERJAIN SENDIRI?”

Dean terhenyak. Sontak ia memegang dadanya, seolah-olah ia punya penyakit jantung.

Berpasang mata mengarah pada mereka berdua. Zahra lekas menunduk malu. Ditambah panas dingin dan deg-degan, lemas pula ia. Ternyata menggertak orang membutuhkan energi yang tidak sedikit. Ia mengangkat kepalanya sedikit untuk mengecek apakah ada malu juga tersirat pada wajah Dean karena digertak begitu. Ternyata tampang Dean sudah biasa-biasa saja, seolah gertakan Zahra tidak berarti apa-apa untuknya. Zahra mendesah. Tentu saja Dean begitu. Sewaktu diminta guru ke luar kelas karena membuat kegaduhan pun, bocah itu masih bisa cengar-cengir.

Dan kalau bocah itu ditanya apakah ia pernah merasa malu, kemungkinan besar ia akan balik tanya, “Malu? Malu apa? Emangnya apa yang mau dipalu?”

“Ya ampun, Zahra, selamat ya, udah kesampaian cita-cita kamu jadi anak pemberani!” Dean hendak menyalaminya. Zahra buru-buru menangkis. Pandangnya menyapu sekitar. Mereka sudah tidak jadi pusat perhatian lagi, namun tetap saja ia merasa malu. Memangnya siapa yang pernah bercita-cita jadi anak pemberani?

Kendati sudah digertak Zahra, tetap saja Dean masih tebal muka untuk mengerahkan rengekan. “Ayo, Zahra… Kalo gua ampe nggak ngerjain lagi kali ini, entar Bu Elly bilang nyokap gua… Ya Zahra, ya Zahra, ya Zahra, ya? Ya?”

Kali ini Zahra ingat untuk menggunakan dosis yang tepat. Akhirnya sampai juga kesempatannya untuk dapat berkata-kata keji pada seseorang. Rasanya seperti dendam yang terbalaskan.  “Ya bagus malah kalau kamu sampai dimarahi ibu kamu. Biar kamu berubah!”

Dean tercengang. “Zahra… Zahra… Zahra…”

Zahra melemparkan tatapan pergi-jauh-jauh-kamu-dari-sini!

“…elo kok…”

Zahra tahu status Dean sebagai anak kesayangan satu sekolah—bahkan oleh para guru yang sering memintanya ke luar kelas sekalipun. Namun Zahra tidak peduli setelah ini Dean bakal sebal padanya. Bahkan jika Dean mengerahkan pasukan gaulnya untuk menindas Zahra hingga lulus SMA sekalipun. Yang penting sekarang adalah, kebenaran harus ditegakkan! Kebenaran pasti akan menang! Puas ia karena telah menerapkan ajaran Mas Imin untuk memberitahu seseorang agar berubah.

“…MIRIP BANGET SIH AMA NYOKAP GUA?!”

Ganti Zahra terperanjat. Dari mana miripnya?! Amit-amit punya anak seperti Dean!

Dean beringsut mundur dari bangku di hadapan Zahra. Ia mengambil buku PR-nya dan berkata dengan sedih, “Baiklah kalau Mamih Zahra nggak berkenan untuk kali ini, nggak apa-apa…”

Zahra merapatkan dirinya ke dinding. Tubuhnya merinding. Dilepasnya Dean yang mungkin hendak memburu mangsa baru dengan jaminan mutu serupa. Dean pergi ke luar kelas. Zahra menghembuskan nafas. Ia memperbaiki posisi duduknya. Menyeret buku pelajaran Sosiologi tepat ke hadapan untuk dibacanya lagi. Zahra telah mempertimbangkan gagasannya untuk meneruskan ke IPS. Semakin dipikirkan, semakin ia bergerak ke garis positif. Ia harus mendapat nilai yang bagus untuk mata pelajaran berbau IPS saat UTS dan UAS nanti.

Hawa di kelas mendadak berubah. Seperti ada semerbak kharisma yang merawankan hati mengawang-awang di udara. Asalnya dari pintu kelas. Telah datang sebuah selingan menawan pada jam istirahat—sesuatu yang jarang terjadi. Sesaat Zahra tak bisa bergerak. Bisa ia rasakan penghuni kelas lainnya pun terpaku. Dengungan lebah itu kini senyap, sejenak, sebelum berputar kembali dengan irama kehati-hatian.

Dean akhirnya berhasil menyeret Arderaz masuk ke dalam kelas. Agak terkesima Zahra, karena cowok itu menyandang gitar di punggungnya. Zahra bukannya tidak tahu kalau Arderaz juga anak band. Sudah beberapa kali Komunitas Band SMANSON, alias KOMBAS, menyelenggarakan gig di area sekolah. Karena tak suka keramaian, Zahra tak pernah tuntas menyaksikan penampilan Arderaz. Namun yang ada dalam pikiran Zahra kali ini adalah Arderaz yang baru selesai mengamen.

“Katanya kemarin nggak ada PR?” terdengar suara Arderaz. Cengkeraman tangan Dean masih bertengger pada pergelangan tangannya.

Zahra jadi tak bisa berkonsentrasi pada bacaannya. Diam-diam kupingnya awas, sambil sesekali kepalanya terangkat untuk mengamati.

Rengekan Dean, “Ih, gua juga baru taunya barusan tadi… Ayo dong, Yaz… Pelajarannya Bu Elly nih! Habis ini pula! Mampus gua kalo entar sampe nggak ngerjain PR-nya lagi…”

Awas aja kalo dia sampe ngungkit-ngungkit aku juga... batin Zahra.

“…temen gua yang biasa udah nggak mau bantuin lagi…” Dean menambahkan argumen untuk semakin mengenyahkan keengganan Arderaz. “Ayo, Yaz… Keburu jam istirahatnya habis…”

Meskipun Dean tidak menyebutkan namanya, tetap Zahra dongkol. Ia mencoba untuk berkonsentrasi pada bacaannya lagi, namun tidak bisa. Ia penasaran apakah Arderaz akan berhasil ditaklukan oleh Dean. Jangan, Arderaz, jangan… pintanya dalam hati, demi kebaikan saudaramu sendiri! Ia tahu Arderaz tak mungkin dapat mendengarnya, tapi siapa tahu saja kekuatan pikiran memang nyata.

Dean berhasil mendudukkan Arderaz di bangku terdekat. Ia membentangkan PR-nya di hadapan Arderaz. Beberapa orang cowok yang Zahra kenali sebagai bukan teman sekelasnya melongok dari balik pintu. Melihat Arderaz di sana, mereka masuk. Dean tertawa-tawa sebentar bersama mereka. Lalu para cowok itu berkerumun di sekitar bangku yang diduduki Arderaz. Sesekali menunjuk sesuatu di atas pekerjaan Arderaz. Arderaz mengguncang-guncangkan tipe-X yang disodorkan Dean padanya. Para penghuni kelas sesungguhnya yang baru masuk ke dalam kelas berjengit saat mendapati kerumunan Arderaz cs di bangku dekat pintu masuk. Kehadiran para tamu tersebut membuat suasana kelas terasa lebih cemerlang, entah mengapa. Mungkin karena mereka semua populer di sekolah. Suram yang kerap menggelayuti kelas paling pojok itu pun tergusah.

Sementara itu, Zahra tengah sibuk mencela-cela Arderaz dalam hati. Ia protes mengapa Arderaz mau-maunya diperbudak oleh Dean. Sudah begitu, sebelum Arderaz menyusul teman-temannya minggat karena PR Dean sudah tuntas digarap ramai-ramai, Dean masih saja mencegat. “Boleh minta goceng nggak, Yaz? Uang jajan gua kayaknya ketinggalan di mobil tadi, hehe…”

Mau-maunya dipalak…!

Zahra tak bisa terima melihat Arderaz begitu saja menyerahkan uang dari dalam saku seragamnya ke tangan Dean. Warnanya biru pula! Di matanya kini, Dean laksana setan dan Arderaz adalah abdinya yang tanpa daya. Hiish…

Zahra mendapatkan satu pelajaran baru. Untuk mengubah seseorang, ternyata tidak cukup hanya dengan memberitahu yang bersangkutan. Melainkan juga orang-orang di sekitarnya.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain