Sejak kapan materi
pelajaran bisa jadi pelarian? Sejak ada pikiran yang lebih menggelisahkan.
Hasil UN Ali nanti mestinya sangat memuaskan. Barangkali pikiran bisa diurai
melalui tulisan, tapi bagaimana dengan perasaan? Pikirkan terus perasaan itu
hingga tidak terasa lagi sebagai perasaan, melainkan sugesti pikiran. Senangnya
bisa menjadi orang yang rasional. Ali cuman butuh waktu beberapa hari untuk
itu. Lagipula selama seminggu lebih ia bertemu Zia. Tali tambang yang sempat
membelit dada hingga mencambuki pikirannya berangsur-angsur lepas. Hidup
memang lebih lega tanpa asmara. Tuh. Namanya saja sudah ASMA-ra, pantas saja
bikin sesak napas.
Maka selama minggu
persiapan UN, Ali bukan hanya mendalami pelajaran yang di-UN-kan, melainkan juga
pelajaran kehidupan. Ali bahkan membuat sebuah kerangka pikir, yang semula ia
pikir baik untuk dibagi di blog. Tapi
bagaimana kalau Zia baca, lalu pikiran cewek yang tengah diliputi hal-hal
berhubungan lawan jenis itu menyerempet pada… Maka Ali simpan saja
langkah-langkah praktisnya ini:
1. Menyukai lawan jenis adalah wajar, menandakan kalau ia
heteroseksual—normal.
2. Ombak tidak bakal pasang di samudra hati Ali selama ia
tidak bertemu—apalagi sampai mengobrol!—dengan cewek itu.
3. Kalaupun Ali memang suka, apa Ali harus membuat pernyataan
pada Zia? Kalaupun Ali berhasil membuat pernyataan, selanjutnya apa?
- Ali—Anwar—salah
sangka. Zia ternyata tidak memiliki perasaan yang sama pada Ali. Zia akan menjauhi
Ali sebagaimana cewek itu menjauhi Kamal. Ali mungkin siap menanggung risiko apapun
sebagai seorang wartawan kelak, tapi sebagai cowok yang lembut hati ia tidak
siap menanggung risiko dihinakan Zia.
- Zia ternyata
memang memiliki perasaan yang sama pada Ali! Setelah itu apa? Apa mereka malah
jadi malu-malu satu sama lain? Ali tidak berani pegang tangan Zia, apa Zia
yang bakal berinisiatif untuk memegang tangannya duluan? Apa mereka bakal
membuat janji bertemu, selain di XII IPS 1 dan perpustakaan, selain membicarakan
buku dan tulisan? Lalu apa yang bakal mereka bicarakan? Lalu apa yang bakal
mereka lakukan setelah pegangan tangan? Ali tidak terbayang. Apakah ia butuh
hal-hal semacam itu? Apa ia butuh cewek itu agar selalu di sampingnya? Apakah
bukannya ia malah jadi menciptakan bentuk keterikatan—ketergantungan—baru?
Apakah ia harus selalu membayari Zia kemanapun mereka pergi, sedang untuk
biaya kuliah saja Ibu sampai mengorbankan buku-bukunya sendiri? Ali tidak paham
prosedur pacaran semacam itu—pa-car-an, huh, kata yang sangat jarang muncul
dalam benak Ali, buang saja dari perbendaharaan!
4. Kesimpulan: Ali tidak butuh-butuh Zia amat. Belum. Asmara
adalah suatu jenjang yang masih terlampau jauh untuk disentuh.
Gejolak ini bisa Ali
redam. Tidak ada satu hal pun yang mesti Ali sampaikan pada cewek itu. Tidak
ada yang perlu dipikirkan.
Tapi sepulang UN hari
pertama, dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, Ali berjumpa cewek itu.
Berjalan sendiri dengan tangan kanan melipat lembaran kertas soal. Dekati.
Jangan. Dekati. Jangan. Sembari mempertimbangkan itu, langkah Ali menjadi
lebih cepat hingga dapat menjajari cewek itu. Mendadak ia jadi ingin. Ingin
cewek itu datang lagi ke rumah, mengenal lebih dalam adik-adik dan opungnya,
biarpun balai bacaan sudah tidak ada. Ingin cewek itu mengunjunginya setiap
Minggu dan liburan di kios Mang Alwi, lalu membahas setiap buku yang ada di
sana. Ingin cewek itu menukar buku-buku miliknya dengan buku-buku milik Ali,
biarpun terbatas, lalu semakin tercengang akan perbedaan selera mereka.
Ingin cewek itu menyodorkan tulisan-tulisannya secara kontinyu, memberikan Ali
kepuasan dalam mencoret dan berolok. Ingin cewek itu terus menyuntikkan
inspirasi padanya, untuk tetap menulis tanpa peduli sekacau apapun hasilnya.
Ingin, ingin tahu, apa dirinya memang pantas untuk menerima perasaan semacam
itu dari seorang cewek. Setelah itu, setelah kepastian itu, Ali akan bilang.
Selanjutnya terserah kamu, Zia, karena Ali tidak tahu, barangkali Zia lebih
tahu, seperti biasa, dan akan memberitahu Ali bagaimana caranya.
Bukankah kejujuran itu
penting, Zia?
Cewek itu masih
memandangi Ali. Setelah sapa, basa-basi, lalu cowok ini tidak memberi gelagat
kalau interaksi bakal dihentikan. Melainkan digantung.
“Kita…” Apakah ini
sudah malam takbiran? Mengapa beduk sudah digebuk bertalu-talu? “Kita…” Apakah
ada cermin? Ali ingin melihat seberapa pucat wajahnya kini. “Kita…”Ali butuh
alat bantu dengar, untuk memastikan suara yang ia keluarkan masih bernada datar.
“Kita…” Ali juga benar-benar butuh kacamata baru, karena di kacamata yang ia
pakai kini masih menempel wajah Setta. “Kita…” Ali ingin menangis. Setta hanya
tersenyum waktu itu, setelah mengandaskan nyali Ali untuk selama-lamanya, tapi
Zia mungkin akan buang muka, dan tidak sudi menengok Ali untuk selama-lamanya. “Habis UN kita mungkin bakal jarang ketemu.”
“Hm… Iya…?”
Sudahlah, Ali. Kamu
tidak mungkin bisa. Atau coba lain kali saja. Lihat, cewek itu sudah jalan
lagi. Mukanya tak sabaran. Mungkin ia sudah membaca maksudmu, Ali, dan ia
tidak mau, hahaha.
Ikut jalan lagi, Ali
mengiyakan, ia tidak suka Zia—tidak sesuka itu. Tidak perlu memaksakan perasaan
itu agar makin menggebu-gebu. Toh ini akan segera berlalu, segera, setelah ia
tidak bertemu cewek itu lagi untuk waktu yang lama. Ia sudah tidak sabar,
ingin segera sampai ke masa tersebut. Tidak ada yang perlu disampaikan,
tidak penting, tidak lebih penting dari, “Terus menulis ya Zia.”
Pandangan Ali menekuri
jalan. Ekor matanya menangkap wajah Zia terarah padanya, tapi ia tidak berani
berpaling.
“Iya. UN dulu tapinya,
praktik, SNMPTN, huh…”
Hening di antara mereka
terisi oleh riuh anak-anak lain. Masih saja soal-soal UN dipersoalkan, seolah
tidak cukup yang di ruang ujian tadi.
“Kenapa… kamu bakal
ngerasa kehilangan aku ya?”
…eeh…
Jawab, Ali! Katanya
kejujuran itu penting, makan tuh jujur!
Gempa… gempa… 9,99
skala Richter! Asma Ali pun kambuh, jenis asma yang tak mempan diatasi inhaler,
namanya ASMA RA!
“…kesepian, enggak ada
tulisan-tulisan aku lagi. Hihihi… Tenang aja, baca aja di blog aku, komenin, entar aku update
terus deh…”
Enggak usah dijawab,
enggak usah dijawab. Ali terus-menerus bilang pada dirinya sendiri kalau ia
tidak suka cewek itu—tidak sesuka itu.
“Kamu? Kan biasanya
kamu yang nyamperin saya?” Ah enaknya omong tanpa dipikir dulu! Yeah! Balas,
langsung balas! Ali mengharapkan Zia lekas-lekas menampik, lalu Ali akan
langsung melawannya lagi, jangan beri Ali kesempatan untuk berpikir, Zia,
jangan… Tapi Zia terdiam. Cukup lama untuk memporak-porandakan lagi bagian
dalam dada Ali. Bagaimana sekiranya cewek itu betulan bilang? Jadikah Ali
balas mengatakannya juga? Susunan katanya harus seperti apa? Cukupkah dengan
subjek, predikat, dan objek? Perlu ditambah dengan kata keterangan lain tidak?
Anak kalimat, barangkali? Bagaimana mengembangkannya hingga menjadi sebuah
paragraf—perlukah?
“Jujur.” Cewek itu
menatap Ali. Tinggal tiga meter lagi gerbang sekolah, langkah cewek itu
berhenti. “Aku enggak tahu entar bisa ketemu orang kayak kamu lagi apa
enggak.”
Wah.
“Aku seneng sama kamu.”
Wah.
Bagaimana ini,
bagaimana Ali balas mengatakannya pada Zia? Ia tidak mungkin mengulang
kata-kata Zia meski memiliki maksud yang serupa, kan? Itu plagiat namanya.
Larangan terbesar dalam dunia penulisan! Kalap. Ali mengobrak-abrik
perbendaharaan katanya, mencari kata yang tepat. Belum ketemu juga! Mungkin
memang Ali harus baca teenlit
sesekali, mempelajari bagaimana tokoh cowok mengungkapkan perasaannya pada
tokoh cewek.
“Kamu baik. Enak aja
gitu, pas ngejelasin, meski suka ngotot juga. Aku jadi lebih ngerti tentang
EYD, tata bahasa, yang gitu-gitulah!”
Oh.
“Tapi sayang kamu
enggak suka fiksi, padahal aku lebih minat ke sana.”
Oh. Oh. Oh.
“Kayaknya passion aku bukan di nulis sih, cuman
seneng baca doang… Tapi karena kamu mau nanggepin terus, aku jadi semangat
aja.”
Terus… Terus… Terus
apalagi Zia? Kenapa kamu malah lanjut jalan? Kamu bahkan sudah melewati gerbang,
aduh, apa kamu bakal berhenti di pinggir jalan dan menunggu Ali lagi? Biar
kesannya dramatis, begitu? Tapi Ali keburu mengejar Zia dengan langkah-langkah
panjang. Terus… Terus… Terus apalagi Zia? Masih Ali bertanya-tanya begitu
dalam hati, ia harap gemanya bisa sampai ke benak Zia. Itu saja? Itu saja arti
kehadiranmu di XII IPS 1? Itu kamuflase kan? Bukannya kamu manipulatif?
Bukannya kamu sengaja ingin menengok Ali, tapi inginnya sembunyi-sembunyi?
Jujur itu penting, Zia! Kamu yang bilang sendiri. Aku ini Ali, bukan Pak Bowo,
kamu bisa bicara seblak-blakan apapun, semuamu, sebebasmu, sesukamu! Katakan
saja sekarang, kamu sudah hampir!
Namun sedemikian Ali
berkoar-koar, itu hanya dalam batin, karena dalam lisan yang keluar malah, “UN
tadi gimana, Zia?”
Cewek itu sudah serong
kiri. Dua kali serong kanan dan hinggap lagi tatapannya di muka Ali. “Hari ini
payah. Untung ada yang sms kunci jawaban tadi. Udah ya, aku pingin cepet
pulang nih, biar banyak waktu buat belajar. Dah…” Ia melambaikan tangan. Ekor
kudanya yang dikuncir asal-asalan itu bergoyang-goyang, saksi ketermanguan
Ali.
Kenapa? Bukankah jujur
itu penting, Zia?
Jelang enam tahun setelah itu
Anwar menabok punggung
Ali keras-keras. Menambah siksa bagi Ali, yang lagi mandi keringat di balik
beskapnya. Wajahnya gatal dan berat. Ia masih tidak habis pikir kenapa
mempelai pria harus dirias juga. Ia tahu mempelai wanitanya juga tidak betah,
sempat dengar cewek itu jerit-jerit di ruang sebelah tadi saat mereka sedang
sama-sama didandani. “Jangan tebel-tebel! Argh! Pahit!” Prosesi selesai,
perempuan itu tidak mengenali lagi wajahnya di cermin, pun Ali. Tapi memang perempuan
itu jadi betulan cantik setelah didandani.
“Tadi bedaknya kemakan
ya?” ledek Ali, meski perempuan itu tetap cemberut. Biar cemberut tetap saja
cantik, kosmetiknya pasti sudah dijampi-jampi.
Kini masih ada satu jam
lagi sebelum resepsi dilangsungkan. Kawan-kawan yang hadir langsung menyerbu
begitu ijab kabul rampung tadi. Kawan-kawan dari unit persma, kawan-kawan dari
jurusan, kawan-kawan dari SMA… Para personil sixsweets+ sudah cantik betul-betul—kompak
bergaun batik, riasan segar, dan rambut yang baru ditata di salon—tapi masih
lebih cantik istri Ali, menurut Ali.
“Bos… si bos… kita-kita
udah pada siap nyanyi nih buat si bos…” Tinggal Nilam dan Sheila yang masih doyan
menarik-narik tangan Ali, sedang yang lain sudah lebih anteng. Indah
kalem-kalem saja, Titew masih doyan kipas-kipas, Fika yang tomboi telah
berjilbab, Rieka konon sudah putus dari si Dendeng, sedang Lindung menggandeng
seorang cewek—alhamdulillah.
“Ngomong aja tuh sama
bude-budenya si Zia!” sergah Ali. Segala pernak-pernik perayaan beradat Jawa
ini para wanita itu yang menyiapkan, sedang mama Zia sudah tiada sejak Zia
SMP, papanya cuman tahu beres agaknya. Ali juga sudah tahu adik Zia yang cuman
satu dan tidak lucu. Baru dua bulan tinggal di California untuk melanjutkan
studi, sudah disuruh papanya pulang demi menghadiri pernikahan kakaknya.
“Pengantin laki-laki, ke mobil yuk,” terdengar
suara kakak sepupu Zia memanggil.
Akhirnya bisa beranjak
juga dari teras masjid ini—dari handai tolan yang mengerubunginya terutama. Ali
tidak tahu ia merasa gerah karena terbakar kegugupan atau hawa Bandung
memang makin panas. Ijab kabul sudah lewat… sudah lewat… Ali mengulang-ulang
itu dalam batin. Degung gamelan sudah mengiang-ngiang dalam kepala Ali,
padahal pelaminan masih sekian kilometer lagi. Susah pula berjalan dengan
kain. Aroma rangkaian melati yang mengalunginya ini memabukkan. Sesekali
matanya memicing demi memperjelas jalan menuju mobil, awas ketabrak, Ali
tidak pakai kacamata! Menurut salah satu bude Zia, mempelai pria terlihat lumayan
tanpa kacamata. Ali malah disarankan untuk mengganti kacamata dengan lensa
kontak, Ali ogah. Ali ingin minta dikipasi oleh Titew, mau tidak ya? Kok Anwar
masih mengekor di samping begini sih? Mana jarak dari teras ke mobil berhias
pita-pita dan bunga itu masih jauh pula.
“Akhirnya lu berani
bilang juga ke si Zia?”
“Bilang apa?”
“Alah… apa kek, ai shiteru, ich liebe dich, je t’aime,
gitu dong!”
“Enggak. Enggak ada
yang gitu-gitu.”
“Alah!”
“Kalau udah jodoh mah
emang enggak bakal ke mana, An…”
Ali memang tidak pernah
bilang. Bahkan ketika mereka dipertemukan lagi di unit persma, biarpun tidak
sampai setahun Zia sudah mangkir. Bahkan ketika mereka mendapat tugas
liputan bareng, sekali. Bahkan ketika mereka bertemu sekadar untuk tukaran
buku, sesekali. Bahkan ketika mereka bisa berboncengan di motor butut Ali,
lalu Zia memanfaatkan Ali untuk mengantarnya ke sana ke mari. Bahkan ketika
Ali berhasil mengatakan, “Kamu manis sekali hari ini, Zia,” dalam bahasa Batak
dan Zia tidak mengerti. Bahkan ketika perempuan itu membelikan helm mahal
untuk Ali, saking prihatin dengan helm Ali yang sudah buluk. Bahkan ketika
mereka sudah semakin jarang bertemu, karena Ali terlalu sibuk berburu
pengalaman dan penghasilan, sedang Zia entah tengah menclok ke dunia mana—tak
ada lagi tulisan Zia lagi yang mampir ke muka Ali, sedang Ali semakin giat menulis
kacau, menatanya, lalu mengirimkannya ke media. Bahkan ketika akhirnya Ali
melihat Zia lagi, dan seketika rindunya meluap, Ali ke kampus hendak melegalisasi
ijazah, sedang Zia masih harus memperdebatkan draf skripsinya dengan dosen
pembimbing.
“Kayaknya kemampuan
menulis aku nurun. Dulu aku bisa nulis apa aja sampai panjang banget, sekarang
dikit-dikit mandek.”
“Bukan kemampuan nulis
kamu yang nurun, Zia. Tapi kemampuan ngedit kamu yang ningkat. Kalau dulu cuman
kemampuan nulis kamu yang jalan, sekarang sambil nulis kemampuan ngedit kamu
jalan juga.”
“Heh, bisa aja…”
Bahkan ketika Ali mulai
sering menghentikan motornya di depan rumah perempuan itu, mengetuk kaca jendela
kamar perempuan itu dengan kerikil, lalu mengajak bermotor sore-sore, sekadar
untuk melipur kebuntuan Zia dalam mengerjakan skripsi. Bahkan ketika Ali sudah bisa
membelikan sebungkus kue cubit dan sebatang es lilin untuk perempuan itu di
Tegallega—Ali sudah digaji sebuah harian nasional sekarang. Bahkan ketika perempuan
itu menodong Ali meski dengan nada bercanda, “Kamu ngajakin jalan-jalan terus,
sebenarnya mau ngajakin nikah ya?”
Ali tidak menjawab. Ali
cuman bilang pada Ibu, sesampainya ia di rumah, kalau ia ingin menikah. Baik
pilihanmu itu, Ali? Insya Allah, Bu. Ibu pun bilang pada Mang Alwi. Mang Alwi
bilang pada papanya Zia. Papanya Zia bilang pada putrinya. Putrinya tidak
bilang apa-apa pada Ali, hanya kepada papanya konon ia bilang, “Mau.” Setelah
itu Mang Alwi dan Ibu berdiskusi dengan papa Zia dan saudara-saudara tua Zia
lebih intens daripada diskusi yang biasanya antara Ali dengan Zia.
Zia hanya
mengonfirmasikan, kamu teh serius mau
nikah sama saya?
Daripada enggak sama
sekali, kata Ali. Sebagaimana jawaban yang ia berikan pada keluarganya,
ketika menanyakan keinginannya untuk menikah dini. Kelakar Opung, kalau tidak
sekarang, Ali bakal sudah terlalu sibuk dengan kariernya hingga lupa menikah.
Memang Ali sempat terpikir untuk hidup selibat. Lagipula tidak ada alasan
untuk tidak menikahi Zia, toh, ia cewek, satu iman, terhitung sebaya, tidak
jelek amat, sudah cukup dekat, asyik diajak tukar pikiran,dan sepertinya tidak
matre plus mau hidup ala kadarnya ala Ali. Ali tidak menuntut banyak lagi
dari Zia. Paling setelah menikah pun mereka bakal masih sibuk mengejar impian
masing-masing, tapi setidaknya sumber semangat Ali tidak putus, karena sudah
ada ikatan yang pasti dengan perempuan itu.
Selanjutnya mereka
lebih nyaman membicarakan apapun yang belum lama mereka baca. Pernikahan, biarlah
yang tua-tua itu yang mengurus. Mereka tinggal menjalankannya saja.
Akhirnya Zia diwisuda.
Tak lama lagi Ali harus berangkat ke Palu karena tugas untuk menempati kantor
biro yang baru. Hingga sampailah hari ini. Ali tetap tidak bilang, ijab jabul
tinggal mengulang ucapan penghulu. Toh Zia juga tidak bilang. Padahal sebagai
pecandu fiksi harusnya perempuan itu menyerap lebih banyak kata—ekspresi—ketimbang
Ali. Bukankah jujur itu penting, Zia? Padahal kita selalu haus akan kata-kata,
tapi barangkali untuk hal tertentu kita sama sekali tidak membutuhkan
kata-kata. Begitukah, Zia?
Masih terasa kedua
belah pipi perempuan itu di bibirnya, Ali kecup seusai ijab kabul tadi.
Sekarang ia ingin mengulanginya selagi berdampingan dengan perempuan itu
dalam mobil, tapi malu sama yang duduk di jok depan. Lebih enak bahas buku saja
ya, Zia?
“Kata Rene Suhardono di
Your Job is not Your Career, passion is not what you’re good at, it’s
what you enjoy the most. Kalau kamu bisa nulis sampai lupa ngangkat
jemuran, mungkin nulis emang passion
kamu, Zia. Coba kirim lamaran ke tempat saya aja…”
Perempuan itu menoleh.
Riasannya seperti makin tebal saja, tapi justru itu yang membuatnya makin
cantik bukan? Ali ingin mengatakannya, tapi ia lupa apa bahasa Bataknya
“cantik”—harus tanya Opung lagi nih—biar Zia tidak paham.
“…mungkin juga,”
perempuan itu memotong kalimat terakhir Ali. “Tapi kayaknya aku bakal segera
punya passion baru deh.”
“Passion apa lagi?”
“Aku habis baca buku How to Enhance Your Sexual Life…”
Ali tertegun. Kepalanya
berputar pelan ke arah jendela. Pemandangan di balik sana begitu menyejukkan,
sementara semburan angin dari AC mobil sudah tak terasa dingin.
Ini baru awal, Ali,
baru awal…
*akhircampnanowrimoagustus2012*