Jumat, 31 Agustus 2012

19

Sejak kapan materi pelajaran bisa jadi pelarian? Se­jak ada pikiran yang lebih menggelisahkan. Hasil UN Ali nanti mestinya sangat memuaskan. Barangkali pi­kir­an bisa diurai melalui tulisan, tapi bagaimana dengan pe­ra­saan? Pikirkan terus perasaan itu hingga tidak terasa la­gi sebagai perasaan, melainkan sugesti pikiran. Se­nang­nya bisa menjadi orang yang rasional. Ali cuman bu­tuh waktu beberapa hari untuk itu. Lagipula selama se­minggu lebih ia bertemu Zia. Tali tambang yang sem­pat membelit dada hingga mencambuki pikirannya ber­ang­sur-angsur lepas. Hidup memang lebih lega tanpa as­mara. Tuh. Namanya saja sudah ASMA-ra, pantas saja bi­kin sesak napas.

Maka selama minggu persiapan UN, Ali bukan ha­nya mendalami pelajaran yang di-UN-kan, melainkan ju­ga pelajaran kehidupan. Ali bahkan membuat sebuah ke­rangka pikir, yang semula ia pikir baik untuk dibagi di blog. Tapi bagaimana kalau Zia baca, lalu pikiran cewek yang tengah diliputi hal-hal berhubungan lawan jenis itu me­nyerempet pada… Maka Ali simpan saja langkah-lang­kah praktisnya ini:

1. Menyukai lawan jenis adalah wajar, menandakan ka­lau ia heteroseksual—normal.

2. Ombak tidak bakal pasang di samudra hati Ali se­la­ma ia tidak bertemu—apalagi sampai  mengobrol!—de­ngan cewek itu.

3. Kalaupun Ali memang suka, apa Ali harus membuat per­nyataan pada Zia? Kalaupun Ali berhasil mem­bu­at pernyataan, selanjutnya apa?

  •      Ali—Anwar—salah sangka. Zia ternyata tidak me­miliki perasaan yang sama pada Ali. Zia akan men­jauhi Ali sebagaimana cewek itu menjauhi Ka­mal. Ali mungkin siap menanggung risiko apa­pun sebagai seorang wartawan kelak, tapi se­ba­gai cowok yang lembut hati ia tidak siap me­nang­gung risiko dihinakan Zia.
  •      Zia ternyata memang memiliki perasaan yang sa­ma pada Ali! Setelah itu apa? Apa mereka malah ja­di malu-malu satu sama lain? Ali tidak berani pe­gang tangan Zia, apa Zia yang bakal ber­ini­si­a­tif untuk memegang tangannya duluan? Apa me­re­ka bakal membuat janji bertemu, selain di XII IPS 1 dan perpustakaan, selain mem­bicarakan bu­ku dan tulisan? Lalu apa yang bakal mereka bi­ca­rakan? Lalu apa yang bakal mereka lakukan se­te­lah pegangan tangan? Ali tidak terbayang. Apa­kah ia butuh hal-hal semacam itu? Apa ia butuh ce­wek itu agar selalu di sampingnya? Apakah bu­kan­nya ia malah jadi menciptakan bentuk ke­ter­i­kat­an—ketergantungan—baru? Apakah ia harus se­lalu membayari Zia kemanapun mereka pergi, se­dang untuk biaya kuliah saja Ibu sampai me­ngor­­bankan buku-bukunya sendiri? Ali tidak pa­ham prosedur pacaran semacam itu—pa-car-an, huh, kata yang sangat jarang muncul dalam be­nak Ali, buang saja dari perbendaharaan!

4. Kesimpulan: Ali tidak butuh-butuh Zia amat. Belum. As­mara adalah suatu jenjang yang masih terlampau ja­uh untuk disentuh.

Gejolak ini bisa Ali redam. Tidak ada satu hal pun yang mesti Ali sampaikan pada cewek itu. Tidak ada yang perlu dipikirkan.

Tapi sepulang UN hari pertama, dalam per­ja­lan­an menuju gerbang sekolah, Ali berjumpa cewek itu. Ber­jalan sendiri dengan tangan kanan melipat lembaran ker­tas soal. Dekati. Jangan. Dekati. Jangan. Sembari mem­pertimbangkan itu, langkah Ali menjadi lebih cepat hing­ga dapat menjajari cewek itu. Mendadak ia jadi ingin. Ingin cewek itu datang lagi ke rumah, mengenal le­bih dalam adik-adik dan opungnya, biarpun balai ba­ca­an sudah tidak ada. Ingin cewek itu mengunjunginya se­ti­ap Minggu dan liburan di kios Mang Alwi, lalu mem­ba­has setiap buku yang ada di sana. Ingin cewek itu me­nu­kar buku-buku miliknya dengan buku-buku milik Ali, bi­arpun terbatas, lalu semakin tercengang akan per­be­da­an selera mereka. Ingin cewek itu menyodorkan tulisan-tu­lisannya secara kontinyu, memberikan Ali kepuasan da­lam mencoret dan berolok. Ingin cewek itu terus me­nyun­tikkan inspirasi padanya, untuk tetap menulis tanpa pe­duli sekacau apapun hasilnya. Ingin, ingin tahu, apa di­rinya memang pantas untuk menerima perasaan se­ma­cam itu dari seorang cewek. Setelah itu, setelah ke­pas­ti­an itu, Ali akan bilang. Selanjutnya terserah kamu, Zia, ka­rena Ali tidak tahu, barangkali Zia lebih tahu, seperti bi­asa, dan akan memberitahu Ali bagaimana caranya.

Bukankah kejujuran itu penting, Zia?

Cewek itu masih memandangi Ali. Setelah sapa, ba­sa-basi, lalu cowok ini tidak memberi gelagat kalau in­ter­aksi bakal dihentikan. Melainkan digantung.

“Kita…” Apakah ini sudah malam takbiran? Meng­apa beduk sudah digebuk bertalu-talu? “Kita…” Apa­kah ada cermin? Ali ingin melihat seberapa pucat wa­jahnya kini. “Kita…”Ali butuh alat bantu dengar, un­tuk memastikan suara yang ia keluarkan masih bernada da­tar. “Kita…” Ali juga benar-benar butuh kacamata ba­ru, karena di kacamata yang ia pakai kini masih me­nem­pel wajah Setta. “Kita…” Ali ingin menangis. Setta ha­nya tersenyum waktu itu, setelah mengandaskan nyali Ali untuk selama-lamanya, tapi Zia mungkin akan buang mu­ka, dan tidak sudi menengok Ali untuk selama-la­ma­nya.  “Habis UN kita mungkin bakal jarang ketemu.”

“Hm… Iya…?”

Sudahlah, Ali. Kamu tidak mungkin bisa. Atau co­ba lain kali saja. Lihat, cewek itu sudah jalan lagi. Mu­ka­nya tak sabaran. Mungkin ia sudah membaca mak­sud­mu, Ali, dan ia tidak mau, hahaha.

Ikut jalan lagi, Ali mengiyakan, ia tidak suka Zia—tidak sesuka itu. Tidak perlu memaksakan perasaan itu agar makin menggebu-gebu. Toh ini akan segera ber­la­lu, segera, setelah ia tidak bertemu cewek itu lagi un­tuk waktu yang lama. Ia sudah tidak sabar, ingin segera sam­pai ke masa tersebut. Tidak ada yang perlu di­sam­pai­kan, tidak penting, tidak lebih penting dari, “Terus me­nu­lis ya Zia.”

Pandangan Ali menekuri jalan. Ekor matanya me­nangkap wajah Zia terarah padanya, tapi ia tidak be­ra­ni berpaling.

“Iya. UN dulu tapinya, praktik, SNMPTN, huh…”

Hening di antara mereka terisi oleh riuh anak-anak lain. Masih saja soal-soal UN dipersoalkan, seolah ti­dak cukup yang di ruang ujian tadi.

“Kenapa… kamu bakal ngerasa kehilangan aku ya?”

…eeh…

Jawab, Ali! Katanya kejujuran itu penting, makan tuh jujur!

Gempa… gempa… 9,99 skala Richter! Asma Ali pun kambuh, jenis asma yang tak mempan diatasi in­haler, namanya ASMA RA!

“…kesepian, enggak ada tulisan-tulisan aku lagi. Hihihi… Tenang aja, baca aja di blog aku, komenin, en­tar aku update terus deh…”

Enggak usah dijawab, enggak usah dijawab. Ali te­rus-menerus bilang pada dirinya sendiri kalau ia tidak su­ka cewek itu—tidak sesuka itu.

“Kamu? Kan biasanya kamu yang nyamperin sa­ya?” Ah enaknya omong tanpa dipikir dulu! Yeah! Ba­las, langsung balas! Ali mengharapkan Zia lekas-lekas me­nampik, lalu Ali akan langsung melawannya lagi, ja­ngan beri Ali kesempatan untuk berpikir, Zia, jangan… Ta­pi Zia terdiam. Cukup lama untuk memporak-po­ran­da­kan lagi bagian dalam dada Ali. Bagaimana sekiranya ce­wek itu betulan bilang? Jadikah Ali balas me­nga­ta­kan­nya juga? Susunan katanya harus seperti apa? Cukupkah de­ngan subjek, predikat, dan objek? Perlu ditambah de­ngan kata keterangan lain tidak? Anak kalimat, ba­rang­ka­li? Bagaimana mengembangkannya hingga menjadi se­buah paragraf—perlukah?

“Jujur.” Cewek itu menatap Ali. Tinggal tiga me­ter lagi gerbang sekolah, langkah cewek itu berhenti. “Aku enggak tahu entar bisa ketemu orang kayak kamu la­gi apa enggak.”

Wah.

“Aku seneng sama kamu.”

Wah.

Bagaimana ini, bagaimana Ali balas me­nga­ta­kan­nya pada Zia? Ia tidak mungkin mengulang kata-kata Zia mes­ki memiliki maksud yang serupa, kan? Itu plagiat na­ma­nya. Larangan terbesar dalam dunia penulisan! Kalap. Ali mengobrak-abrik perbendaharaan katanya, mencari ka­ta yang tepat. Belum ketemu juga! Mungkin memang Ali harus baca teenlit sesekali, mempelajari bagaimana to­koh cowok mengungkapkan perasaannya pada tokoh ce­wek.

“Kamu baik. Enak aja gitu, pas ngejelasin, meski su­ka ngotot juga. Aku jadi lebih ngerti tentang EYD, tata ba­hasa, yang gitu-gitulah!”

Oh.

“Tapi sayang kamu enggak suka fiksi, padahal aku lebih minat ke sana.”

Oh. Oh. Oh.

“Kayaknya passion aku bukan di nulis sih, cu­man seneng baca doang… Tapi karena kamu mau nang­gep­in terus, aku jadi semangat aja.”

Terus… Terus… Terus apalagi Zia? Kenapa ka­mu malah lanjut jalan? Kamu bahkan sudah melewati ger­bang, aduh, apa kamu bakal berhenti di pinggir jalan dan menunggu Ali lagi? Biar kesannya dramatis, begitu? Ta­pi Ali keburu mengejar Zia dengan langkah-langkah pan­jang. Terus… Terus… Terus apalagi Zia? Masih Ali ber­tanya-tanya begitu dalam hati, ia harap gemanya bisa sam­pai ke benak Zia. Itu saja? Itu saja arti kehadiranmu di XII IPS 1? Itu kamuflase kan? Bukannya kamu ma­ni­pu­latif? Bukannya kamu sengaja ingin menengok Ali, ta­pi inginnya sembunyi-sembunyi? Jujur itu penting, Zia! Ka­mu yang bilang sendiri. Aku ini Ali, bukan Pak Bo­wo, kamu bisa bicara seblak-blakan apapun, semuamu, se­bebasmu, sesukamu! Katakan saja sekarang, kamu su­dah hampir!

Namun sedemikian Ali berkoar-koar, itu hanya da­lam batin, karena dalam lisan yang keluar malah, “UN ta­di gimana, Zia?”

Cewek itu sudah serong kiri. Dua kali serong ka­nan dan hinggap lagi tatapannya di muka Ali. “Hari ini pa­yah. Untung ada yang sms kunci jawaban tadi. Udah ya, aku pingin cepet pulang nih, biar banyak waktu buat be­lajar. Dah…” Ia melambaikan tangan. Ekor kudanya yang dikuncir asal-asalan itu bergoyang-goyang, saksi ke­termanguan Ali.

Kenapa? Bukankah jujur itu penting, Zia?

 

Jelang enam tahun setelah itu

Anwar menabok punggung Ali keras-keras. Me­nam­bah siksa bagi Ali, yang lagi mandi keringat di balik bes­kapnya. Wajahnya gatal dan berat. Ia masih tidak ha­bis pikir kenapa mempelai pria harus dirias juga. Ia tahu mem­pelai wanitanya juga tidak betah, sempat dengar ce­wek itu jerit-jerit di ruang sebelah tadi saat mereka se­dang sama-sama didandani. “Jangan tebel-tebel! Argh! Pa­hit!” Prosesi selesai, perempuan itu tidak mengenali la­gi wajahnya di cermin, pun Ali. Tapi memang pe­rem­pu­an itu jadi betulan cantik setelah didandani.

“Tadi bedaknya kemakan ya?” ledek Ali, meski pe­rempuan itu tetap cemberut. Biar cemberut tetap saja can­tik, kosmetiknya pasti sudah dijampi-jampi.

Kini masih ada satu jam lagi sebelum resepsi di­lang­sungkan. Kawan-kawan yang hadir langsung me­nyer­bu begitu ijab kabul rampung tadi. Kawan-kawan da­ri unit persma, kawan-kawan dari jurusan, kawan-ka­wan dari SMA… Para personil sixsweets+ sudah cantik be­tul-betul—kompak bergaun batik, riasan segar, dan ram­but yang baru ditata di salon—tapi masih lebih can­tik istri Ali, menurut Ali.

“Bos… si bos… kita-kita udah pada siap nyanyi nih buat si bos…” Tinggal Nilam dan Sheila yang masih do­yan menarik-narik tangan Ali, sedang yang lain sudah le­bih anteng. Indah kalem-kalem saja, Titew masih do­yan kipas-kipas, Fika yang tomboi telah berjilbab, Rieka ko­non sudah putus dari si Dendeng, sedang Lindung meng­gandeng seorang cewek—alhamdulillah.

“Ngomong aja tuh sama bude-budenya si Zia!” ser­gah Ali. Segala pernak-pernik perayaan beradat Jawa ini para wanita itu yang menyiapkan, sedang mama Zia su­dah tiada sejak Zia SMP, papanya cuman tahu beres agak­nya. Ali juga sudah tahu adik Zia yang cuman satu dan tidak lucu. Baru dua bulan tinggal di California un­tuk melanjutkan studi, sudah disuruh papanya pulang de­mi menghadiri pernikahan kakaknya.

 “Pengantin laki-laki, ke mobil yuk,” terdengar su­ara kakak sepupu Zia memanggil.

Akhirnya bisa beranjak juga dari teras masjid ini—dari handai tolan yang mengerubunginya terutama. Ali tidak tahu ia merasa gerah karena terbakar ke­gu­gup­an atau hawa Bandung memang makin panas. Ijab kabul su­dah lewat… sudah lewat… Ali mengulang-ulang itu da­lam batin. Degung gamelan sudah mengiang-ngiang da­lam kepala Ali, padahal pelaminan masih sekian ki­lo­me­ter lagi. Susah pula berjalan dengan kain. Aroma rang­kaian melati yang mengalunginya ini memabukkan. Se­sekali matanya memicing demi memperjelas jalan me­nu­ju mobil, awas ketabrak, Ali tidak pakai kacamata! Me­nurut salah satu bude Zia, mempelai pria terlihat lu­ma­yan tanpa kacamata. Ali malah disarankan untuk meng­ganti kacamata dengan lensa kontak, Ali ogah. Ali ingin minta dikipasi oleh Titew, mau tidak ya? Kok An­war masih mengekor di samping begini sih? Mana jarak da­ri teras ke mobil berhias pita-pita dan bunga itu masih ja­uh pula.

“Akhirnya lu berani bilang juga ke si Zia?”

“Bilang apa?”

“Alah… apa kek, ai shiteru, ich liebe dich, je t’aime, gitu dong!”

“Enggak. Enggak ada yang gitu-gitu.”

“Alah!”

“Kalau udah jodoh mah emang enggak bakal ke ma­na, An…”

Ali memang tidak pernah bilang. Bahkan ketika me­reka dipertemukan lagi di unit persma, biarpun tidak sam­pai setahun Zia sudah mangkir. Bahkan ketika me­re­ka mendapat tugas liputan bareng, sekali. Bahkan ketika me­reka bertemu sekadar untuk tukaran buku, sesekali. Bah­kan ketika mereka bisa berboncengan di motor butut Ali, lalu Zia memanfaatkan Ali untuk mengantarnya ke sa­na ke mari. Bahkan ketika Ali berhasil mengatakan, “Ka­mu manis sekali hari ini, Zia,” dalam bahasa Batak dan Zia tidak mengerti. Bahkan ketika perempuan itu mem­belikan helm mahal untuk Ali, saking prihatin de­ngan helm Ali yang sudah buluk. Bahkan ketika mereka su­dah semakin jarang bertemu, karena Ali terlalu sibuk ber­buru pengalaman dan penghasilan, sedang Zia entah te­ngah menclok ke dunia mana—tak ada lagi tulisan Zia la­gi yang mampir ke muka Ali, sedang Ali semakin giat me­nulis kacau, menatanya, lalu mengirimkannya ke me­dia. Bahkan ketika akhirnya Ali melihat Zia lagi, dan se­ke­tika rindunya meluap, Ali ke kampus hendak me­le­ga­li­sa­si ijazah, sedang Zia masih harus memperdebatkan draf skripsinya dengan dosen pembimbing.

“Kayaknya kemampuan menulis aku nurun. Dulu aku bisa nulis apa aja sampai panjang banget, sekarang di­kit-dikit mandek.”

“Bukan kemampuan nulis kamu yang nurun, Zia. Ta­pi kemampuan ngedit kamu yang ningkat. Kalau dulu cu­man kemampuan nulis kamu yang jalan, sekarang sam­bil nulis kemampuan ngedit kamu jalan juga.”

“Heh, bisa aja…”

Bahkan ketika Ali mulai sering menghentikan mo­tornya di depan rumah perempuan itu, mengetuk kaca jen­dela kamar perempuan itu dengan kerikil, lalu meng­a­jak bermotor sore-sore, sekadar untuk melipur kebuntuan Zia dalam mengerjakan skripsi. Bahkan ketika Ali sudah bi­sa membelikan sebungkus kue cubit dan sebatang es li­lin untuk perempuan itu di Tegallega—Ali sudah digaji se­buah harian nasional sekarang. Bahkan ketika pe­rem­pu­an itu menodong Ali meski dengan nada bercanda, “Kamu ngajakin jalan-jalan terus, sebenarnya mau nga­jak­in nikah ya?”

Ali tidak menjawab. Ali cuman bilang pada Ibu, se­sampainya ia di rumah, kalau ia ingin menikah. Baik pi­lihanmu itu, Ali? Insya Allah, Bu. Ibu pun bilang pada Mang Alwi. Mang Alwi bilang pada papanya Zia. Pa­pa­nya Zia bilang pada putrinya. Putrinya tidak bilang apa-apa pada Ali, hanya kepada papanya konon ia bilang, “Mau.” Setelah itu Mang Alwi dan Ibu berdiskusi de­ngan papa Zia dan saudara-saudara tua Zia lebih intens da­ripada diskusi yang biasanya antara Ali dengan Zia.

Zia hanya mengonfirmasikan, kamu teh serius mau nikah sama saya?

Daripada enggak sama sekali, kata Ali. Se­ba­gai­ma­na jawaban yang ia berikan pada keluarganya, ketika me­nanyakan keinginannya untuk menikah dini. Kelakar Opung, kalau tidak sekarang, Ali bakal sudah terlalu si­buk dengan kariernya hingga lupa menikah. Memang Ali sem­pat terpikir untuk hidup selibat. Lagipula tidak ada ala­san untuk tidak menikahi Zia, toh, ia cewek, satu iman, terhitung sebaya, tidak jelek amat, sudah cukup de­kat, asyik diajak tukar pikiran,dan sepertinya tidak ma­tre plus mau hidup ala kadarnya ala Ali. Ali tidak me­nun­tut banyak lagi dari Zia. Paling setelah menikah pun me­reka bakal masih sibuk mengejar impian masing-ma­sing, tapi setidaknya sumber semangat Ali tidak putus, ka­rena sudah ada ikatan yang pasti dengan perempuan itu.

Selanjutnya mereka lebih nyaman membicarakan apa­pun yang belum lama mereka baca. Pernikahan, bi­ar­lah yang tua-tua itu yang mengurus. Mereka tinggal men­jalankannya saja.

Akhirnya Zia diwisuda. Tak lama lagi Ali harus be­rangkat ke Palu karena tugas untuk menempati kantor bi­ro yang baru. Hingga sampailah hari ini. Ali tetap tidak bi­lang, ijab jabul tinggal mengulang ucapan penghulu. Toh Zia juga tidak bilang. Padahal sebagai pecandu fiksi ha­rusnya perempuan itu menyerap lebih banyak kata—eks­presi—ketimbang Ali. Bukankah jujur itu penting, Zia? Padahal kita selalu haus akan kata-kata, tapi ba­rang­ka­li untuk hal tertentu kita sama sekali tidak mem­bu­tuh­kan kata-kata. Begitukah, Zia?

Masih terasa kedua belah pipi perempuan itu di bi­birnya, Ali kecup seusai ijab kabul tadi. Sekarang ia ingin mengulanginya selagi berdampingan dengan pe­rem­puan itu dalam mobil, tapi malu sama yang duduk di jok depan. Lebih enak bahas buku saja ya, Zia?

“Kata Rene Suhardono di Your Job is not Your Career, passion is not what you’re good at, it’s what you enjoy the most. Kalau kamu bisa nulis sampai lupa ngang­kat jemuran, mungkin nulis emang passion kamu, Zia. Coba kirim lamaran ke tempat saya aja…”

Perempuan itu menoleh. Riasannya seperti makin te­bal saja, tapi justru itu yang membuatnya makin cantik bu­kan? Ali ingin mengatakannya, tapi ia lupa apa bahasa Ba­taknya “cantik”—harus tanya Opung lagi nih—biar Zia tidak paham.

“…mungkin juga,” perempuan itu memotong ka­li­mat terakhir Ali. “Tapi kayaknya aku bakal segera pu­nya passion baru deh.”

Passion apa lagi?”

“Aku habis baca buku How to Enhance Your Sexual Life…”

Ali tertegun. Kepalanya berputar pelan ke arah jen­dela. Pemandangan di balik sana begitu menyejukkan, se­mentara semburan angin dari AC mobil sudah tak te­ra­sa dingin.

Ini baru awal, Ali, baru awal…

 

*akhircampnanowrimoagustus2012*

Kamis, 30 Agustus 2012

18

Malang benar nasib Anwar. Delapan orang me­nu­dingnya sebagai teman Ali paling dekat—setidaknya pa­ling dekat di antara kedelapan orang itu. Anwar bisa sa­ja menunjuk orang lain yang menurutnya lebih dekat de­ngan Ali, tapi orang lain tersebut kan tidak tahu apa per­karanya. Jadi Anwar, sebagai yang paling dekat di an­ta­ra delapan lainnya yang tidak bertanggung jawab itu, di­amanatkan untuk memastikan Ali tidak marah pada me­reka karena kejadian tempo hari.

“Susah banget emang itu orang. Enggak tahu di­ka­sih perhatian!” apalagi Nilam yang misah-misuh be­gi­tu. Duh suasana hati yang buruk dari seorang kembang ba­kal menghambat proses pendekatan nih.

Maka Anwar mengirim sms pada Ali. Li, Lebaran emang masih jauh, tapi maafin kita-kitanya dari se­ka­rang aja yah.

Sms balasan datang. Anwar disuruh ikut main bo­la pingpong di stadion sekolah besok.

Kekhawatiran anak-anak yang berlebihan. Sikap Ali biasa saja. Ali masih merespons kalau diajak meng­ob­rol, ditepuk-tepuk. Tidak ketus. Biasanya nada Ali me­mang sedatar itu, pun raut mukanya. Kata-katanya, agak­nya dipertimbangkan dulu apa memang perlu, se­be­lum dikeluarkan.      

Semakin siang tinggal mereka berdua yang meng­isi stadion.Tak tok tak tok bergema di seantero ru­ang­an. Sungguh Anwar masih penasaran. Lagipula untuk orang sepertinya tidak enak kalau terlalu lama bungkam. Nah orang seperti Ali malah doyan. Lebih senang ber­te­le­pati dengan bola pingpong tampaknya orang itu. An­war tidak tahan dijadikan kacang lebih lama.

“Jadi sebenarnya kamu suka Zia enggak sih?”

Tuh Ali masih diam. Sok cuek, pikir Anwar, tak sa­dar telah merebus lagi air di dalam hati Ali. Anwar mau bikin mi rupanya. Tunggu sampai mendidih dulu, An, kalau perlu sampai beruap. Meletup-letup. Tidak ja­di mi nanti kalau tidak sampai bergejolak.

“Biasa ajalah,” kata Anwar lagi. “Suka juga eng­gak apa-apa. Enak diliat juga kan si Zia itu...”

Ali kok masih diam. Wah betulan ada yang tidak bi­asa ini.

“Ya biar kitanya jelas aja. Namanya ngeliat orang su­ka berdua-dua kan, ya, kalau enggak jelas kan jadinya malah fitnah.”

Tak.

Tok.

Tak.

Tok.

“Kenapa sih kamu teh parno banget sama ce­wek?”

“Maaf aja deh An, saya belum ada prioritas ke hal-hal kayak gitu.” Akhirnya Ali bicara juga. Nadanya su­dah terdengar rada senewen.

“Tapi mikirin juga kan?” ucap Anwar. Dibalas Ali dengan servis doang. “Enggak mungkin enggak! Ti­pe lu tuh…”

“Tipe saya apa?” sungut Ali.

“Malu-malu tapi mau gitu…” Sekaligus yang ti­dak mungkin pacaran, selama tidak kunjung menjajal ke­be­ranian.

Tak.

Tok.

Tak.

Tok.

“Sekarang truth atau dare aja deh…”

“Macam anak cewek aja kamu ini.”   

“Kalemlah… Saya enggak bakal nanya kamu su­ka sama Zia apa enggak…”

Tak.

Tok.

Truth-nya, kamu pernah nembak cewek enggak sih?”

Berat sekali amanat yang harus disandang oleh An­war ini. Puas kalian cewek-cewek sixsweets! Sehabis ini pizza Domino, jangan lupa!

“Kalau enggak dijawab, dare-nya, kamu nembak Zia!”

Hembusan napas nan senewen, disertai geraman pelan.

“Ya udah, tinggal jawab truth-nya aja apa su­sye­nye sih. Dengan lu bersikap kayak gitu tuh makin keciri ta­hu kalau—“

“Pernah,” kata Ali.

Tak.

Tok.

Tak.

“Berapa kali?”

“Kok pertanyaannya beranak sih? Kayak ulangan Se­jarah aja…”

“Soalnya fertil, jadi bisa beranak.” Tentu saja An­war masih ingat materi pelajaran Biologi, biarpun su­dah tahun kedua ini tidak buka-buka buku itu lagi. “Be­ra­pa kali? Sekali? Lima kali?”

“Ck.”

Tok.

“Kapan?”

Tak.

Tok.

“SMP.”

“Diterima atau ditolak?”

Anwar tidak merasa. Hawa pembunuh mulai me­man­car dari tubuh Ali.

Namanya Setta. Cinta pertama Ali. Setta itu na­ma cewek loh, lagipula ia suka cowok. Ali memang co­wok, tapi cowok itu bukan Ali. Begitu. Anwar tidak ta­hu. Asmara yang kandas tidak boleh terulang lagi.

“Lagian kalau sekarang kamu mau nembak Zia ju­ga, bukannya kemungkinannya gede ya? Secara, dia ju­ga suka nyamperin kamu. Jangan-jangan dia juga emang suka kamu. Tuh dia udah inisiatif. Dari kamunya yang kita enggak tahu.”

Tak.

Tok.

Tak!

Bola di Ali.

…suka sama kamu yang nasionalis, ehe…

Bagaimana cara memikat cowok dalam dua puluh hari?

…seseorang perlu orang lain…

“Dulu pas SMP berani nembak cewek, se­ka­rang… trauma apa nyali kamu udah melempem?”

Bola melesat. Anwar mengumpat. Semoga pipi ki­rinya tak sampai melesak ke dalam. Panas dan perih be­tul di sana. Ludahnya muncrat ke lantai stadion.

Di ujung meja Ali mengarahkan bet kepadanya. Ma­ta mendelik.

.

Jam istirahat yang biasa. Ketika bel tanda jam is­ti­rahat dimulai, sudah bisa diduga bagaimana Ali akan meng­habiskan jam istirahat. Antara kelas, stadion, dan kan­tin. Ali memilih yang pertama, karena kemarin ia su­dah ke stadion, dan pada hari sebelumnya lagi ia ke kan­tin. Balai bacaan saja sudah sampai tergadaikan, Ali ma­lah jadi doyan memanfaatkan uang jajan. Kadang Ali ti­dak tahu apa yang harus dilakukan di kelas tanpa bacaan, kan­tin pun jadi pilihan. Setelah menukar selembar uang­nya dengan sebungkus lumpia basah, Ali baru menyadari apa makna pepatah: “sedikit-sedikit lama-lama jadi bu­kit.” Sedikit-sedikit ia simpan saja uang jajannya, ba­rang­kali suatu saat ia dapat membangun kembali balai ba­caan yang serupa. Dinding jendela yang serupa hingga ko­sen-kacanya—sudah dirobohkan. Ubin hitam yang se­ru­pa hingga cacat-cacatnya—sudah dikelupas tanpa sisa. Bu­ku-buku yang serupa hingga coretan-coretan Bapak di da­lamnya—sudah kian menguap isinya dalam ingatan. Be­rapa sih, berapa uang yang dibutuhkan untuk me­ngem­balikan semua itu? Berapa dekade yang diperlukan un­tuk mengumpulkan uang sebanyak itu?

Dua puluh menit menuju akhir jam istirahat. Ali su­dah bisa mengatasi kejemuan yang kian terakumulasi. Ka­li ini ia punya hobi baru. Menclok ke dekat siapa saja yang tak punya cukup modal, baik sosial maupun fi­nan­si­al, untuk meninggalkan kelas. Kadang ia berhasil men­de­kati seorang cewek, atau cewek-cewek, tapi segera ca­ri peralihan begitu terpikir bahwa ia kemungkinan bakal di­anggap kegenitan.

Lebih enak menempel di bangku sendiri. Di­ham­piri. Oleh cewek itu lagi.

Silahkan kalau mau meledek. Ledek saja! Belum ta­hu rasanya dihantam smash sama Ali ya? Selain itu Ali ter­nyata seorang pembelajar yang cepat. Dalam beberapa ha­ri ia sudah tahu bagaimana caranya tertawa apabila ada yang menyinggung-nyinggungnya dengan cewek itu, mu­lai dari seberapa lebar ia harus membuka mulut, me­la­gukan intonasi yang tepat, hingga besar volume yang wa­jar untuk dikeluarkan. Biar mereka capek sendiri, biar su­ara Ali sampai serak, hingga cengirannya lebih tampak se­bagai kernyitan. Kenapa hubungannya dengan seorang ce­wek mesti menjadi suatu isu yang penting? Padahal ni­lai isu semacam ini sama sekali tak layak muat di ma­ding huh!

Lagipula itu cuman sekadar isu, bukan fakta. Ali ti­dak punya perasaan khusus dengan cewek itu, saat ini sih tidak ada, saat lagi tidak bertemu. Ali sudah tahu kun­cinya. Tapi menghindar merupakan sikap yang ber­le­bih­an. Maka sesekali Ali perlu berdiam saja di kelas, agar tampak sebagaimana jam istirahatnya yang wajar, de­ngan potensi cewek itu tahu-tahu mampir. Gosip lagi. Ti­dak usah dipedulikan ya Zia? Mereka itu tidak tahu ba­gaimana cara yang lebih baik untuk mendayagunakan otak mereka. Lebih baik seperti kita bukan, mem­bi­ca­ra­kan buku, meski tidak nyambung, membahas tulisan, mes­ki sambil mencak-mencak pada satu sama lain. Se­ti­dak­nya obrolan kita lebih berintelektual. Sedang mereka, di­sekolahkan sampai tinggi, tapi esensi obrolan mereka ti­dak mencerminkan tingkat pendidikan mereka. Bi­ca­ra­kan­lah buku, bukannya dua orang lawan jenis yang ke­be­tulan senang saat membicarakan buku!

Betul kan Zia?

Tapi cewek itu tidak mendengar monolog—ka­dang-kadang dialog kalau Ali ingin tahu apa kira-kira pen­dapat Zia—dalam kepala Ali. Cewek itu meng­o­ceh­kan hal lain setelah menyetor sebuah bundelan tipis ke me­ja Ali, pada jam istirahat itu, apalagi kalau bukan rang­kuman tulisan terbarunya.

“…setahuku kitab suci yang pertama bilang kalau ce­wek itu dibuat dari tulang rusuknya cowok—tulang sul­bi, dan kemudian para cowok sibuk mencari tulang ru­suknya yang hilang. Kenapa kita enggak sekali-kali li­hat dari perspektifnya cewek? Bukan cowok, yang nyari-nya­ri tulang rusuknya, tapi cewek, yang nyari-nyari dia ini sebenarnya tulang rusuk milik siapa? Nah. Kalau udah gitu gimana cara nyocokkinnya coba? Gimana satu sa­ma lain, si cewek dan cowok yang kemudian jadi, ni­kah, dan sebagainya itu, bisa tahu kalau mereka cocok sa­tu sama lain? Gimana si cowok bisa mastiin kalau ce­wek itu emang tulang rusuknya yang hilang, sementara si cewek sendiri juga pasti kalau dia emang tulang rusuk yang tepat buat cowok itu…”

“…dibelek dulu kali dada yang cowok…” …te­rus yang cewek… masuk ke sana? Ali geli dengan pi­kir­an­nya sendiri—yang sekadar menyambung pikiran Zia se­betulnya—sembari memindai baris-baris dalam tulisan itu. Dasar anak IPA, yang dibicarakan ya tulang rusuk, tu­lang iga, tulang kering, tulang ikan… Ali sih, tak per­nah sampai mengibaratkan cewek sebagai tulang rusuk se­gala. Yang Ali lihat kan cuman cewek yang punya per­pus­takaan di dalam kepalanya. Seperti cewek di de­pan­mu ini ya, Li? Pikiran Ali pun kelu, bahkan untuk se­ka­dar mencerna tulisan yang tangannya pegang pun… Ia le­takkan tulisan itu. Sampai di mana tadi cewek itu bi­ca­ra? Sebaiknya Ali fokus menyimak dengan pendengaran sa­ja.

“…kenapa sih kesannya kayak cewek itu enggak ba­kal laku kalau enggak bisa ngerawat diri? Kalau eng­gak bisa dandan, bau dikit, enggak bisa mempercantik di­rilah, siapa yang mau? Tapi cowok, enggak mesti jadi gan­teng-ganteng amat kan. Yang penting, kaya, macho. Co­wok, mau segimanapun enggak bisa ngurus dirinya sen­diri, belum tentu dipermasalahkan. Kan ada ce­wek­nya, yang bisa ngurusin, yang mes-ti-nya ngurusin. Tapi ada enggak sih yang sebaliknya? Ada enggak sih ce­ri­ta­nya cowok yang ngurusin cewek?”

Pandangan Ali kembali surut ke dalam tulisan. Ce­wek itu ternyata hanya meracau. Dari mulutnya pe­mi­kir­an yang semrawut itu kian melingkar-lingkar, sampai ak­hirnya membentuk simpul mati. Cewek itu berusaha meng­urai lagi, tapi malah menciptakan simpul mati yang ba­ru. Pemikiran itu sama semrawut ketika sudah di­tu­ang­kan dalam tulisan, tapi setidaknya Ali bisa me­nin­jau­nya ulang lalu berupaya mengurai simpul mati-simpul ma­ti itu dengan jari-jari pikirannya sendiri. Pensil. Ini la­tih­an yang bagus untuk persiapan UN Bahasa Indonesia. Ayo Zia, lebih banyak tulisan lagi…

“Mau UN itu belajar, bukannya curhat,” ledek Ali. Jadi ingat petuah Pak Bowo kapan itu, haha, cewek itu masih ingat tidak ya? Ali menundukkan lagi ke­pa­la­nya, semata-mata demi menghindari lirikan-lirikan meng­goda dari beberapa teman sekelas yang baru da­tang.

“Aku enggak bisa. Harus keluarin yang ngeganjel du­lu, baru bisa konsen.” Zia bersedekap. “Eh lagian itu bu­kan sekadar curhat loh. Itu e-sai. Bukannya esai boleh per­sonal?”

“Ini curhat…” sanggah Ali geli. “Kenapa? Lagi ga­lau mikirin jodoh?” Ali memperbaiki posisi duduknya.

Baru menyadari. Sekitar setahun kebersamaan de­ngan sixsweets telah melatihnya untuk menanggapi cu­rahan hati cewek. Dulu memang, saat sedang bersama sa­tu-dua anak buahnya saja di dalam sekre, tahu-tahu me­reka menceritakannya ini-itu. Seringnya soal cowok, se­akan Ali sebagai sesama cowok bisa memberikan opi­ni bermutu, sayangnya yang mereka limpahi masalah ada­lah cowok yang salah. Ali tidak berpengalaman da­lam hubungan lawan jenis. Maka respons Ali hanya “oh”, “hm”, “ya”, lalu tahu-tahu tangan mereka me­me­cut­nya atau ia dilempari suatu barang. “Baca aja banyak, ta­pi enggak punya kata-kata buat nanggapin orang, huu!”, Ali ingat betul Nilam yang bicara begitu, setelah me­layangkan wadah pensil ke lengan Ali. Seiring de­ngan banyaknya pecutan dan barang yang memantul di tu­buh Ali, perbendaharan kata Ali yang bisa diterapkan pun bertambah. Sekurang-kurangnya tanggapan tersebut ha­rus berisi satu kalimat kesimpulan dan satu kalimat ta­nya sebagai umpan balik.

Baru menyadari juga. Kenapa tahu-tahu Zia mem­bicarakan hal semacam ini? Bukankah ini telah me­len­ceng dari TOR yang biasa mereka jajaki? Ini bukan se­kadar membicarakan budaya literasi lagi, melainkan soal… hati?

“Enggak. Aku cuman lagi mikirin aja soal kodrat ce­wek sama cowok.”

Zia mulai membicarakan tentang hubungan la­wan jenis. Apakah ini saatnya? Ali terperangah, meski ti­dak mangap. Ini suatu kemajuan, ini… ini… Tentu saja, ke­bersamaan mereka di SMA bakal segera berakhir kan? Be­lum tahu apakah kebersamaan ini bakal berlanjut atau ti­dak. Tapi bukankah mereka bisa mengikat janji… janji, jan­ji apa? Janji untuk meneruskan perasaan yang tidak ter­jelaskan lagi tidak tentu ini? Ali, Ali, keluar Li, jangan rusuh dengan pikiranmu sendiri. Ali kembali me­man­dang Zia.

Jangan-jangan dia juga emang suka kamu.

“Udah tahu mau nerusin ke mana, Zia?”

“Mm… Aku kepikirannya sih TL ITB, sama Sas­tra Indonesia…” oh, perguruan tinggi negeri yang sama de­ngan pilihan Ali. Seberapa besar kemungkinan mereka ba­kal sering bertemu lagi?

“IPC?”

“Yeah.”

“Semoga lolos ke ITB yah.”

“Aamiin…!”

Tentu saja, tentu saja ia mengharapkan yang ter­ba­ik bagi cewek itu. Meski kemungkinan untuk sering ber­temu lagi bakal berkurang, Ali?

“...cowok kalau jelek tetep bisa ngedapetin ce­wek cantik, asal kaya, pengertian atau apa. Tapi cewek se­kalinya jelek, ya udah, cewek kalau enggak mau dan­dan, enggak bisa bikin dirinya cantik kayak yang la­zim­nya, sampai kapanpun enggak ada cowok yang mau. Ada eng­gak cowok yang mau pengertian kalau ceweknya eng­gak mau cantik kayak gitu, cowok tuh selalu pingin yang indah-indah, enaknya aja…” … cewek itu lanjut men­dumel. “…ada apa sih dengan media? Kenapa harus me­lulu citra kayak gitu yang ditampilkan? Kenapa sih can­tiknya tuh harus cantik yang kayak gitu? Seakan kita eng­gak mensyukuri tubuh kita apa adanya? Setiap saat ha­rus dipoles, enggak boleh bau, enggak boleh gendut se­dikit, rambutnya harus terurus…”

Apa cewek ini sedang membicarakan dirinya sen­di­ri? Perhatian Ali benar-benar tertuju pada omongan Zia saja kini. Kenapa cewek itu mempermasalahkan di­ri­nya sendiri? Padahal di mata Ali segalanya tampak baik-ba­ik saja, tidakkah cewek itu tahu? Apakah cewek itu me­miliki pandangan demikian terhadap cowok? Apakah ia menganggap Ali sebagai satu di antaranya? Tidak, ka­mu tidak tepat, Zia, Ali ingin mengatakan begitu. Kamu ti­dak buruk. Kamu bukan sekadar manis, kamu juga ber­gi­zi. Seperti ikan. Ikan layur, dengan bumbu madu yang me­resap hingga ke setiap duri-durinya yang banyak tapi ha­lus itu, dengan saos nanas melumuri sekujur per­mu­ka­an kulitnya.

Kecuali kalau cowok yang dimaksud bukan Ali.

Tapi apa artinya kehadiran Zia di XII IPS 1 se­la­ma ini?

Rabu, 29 Agustus 2012

17

Menurut Zia perpustakaan merupakan tempat yang lebih nyaman untuk bertemu Ali alih-alih XII IPS 1. Zia hapal kalau buku-buku pelajaran ditempatkan di le­mari samping, buku-buku umum di sebelahnya, sedang fik­si-fiksi berderet di belakang Ali. Tidak sulit lagi ba­gi­nya untuk menemukan buku tertentu. Sebagaimana Ali de­ngan buku-buku di balai bacaan dulu. Biasanya Ali ke per­pustakaan hanya untuk mengerjakan tugas, sekarang ia mulai memanfaatkan kartu perpustakaannya. Ke­sem­pat­annya untuk melalap buku-buku di sini tinggal be­be­ra­pa bulan lagi, kenapa bukannya sejak dulu sih? Inilah hik­mah di balik lenyapnya balai bacaan di rumah. La­gi­pu­la bagi Ali buku-buku di perpustakaan tidak se­me­na­rik itu juga, minat cewek itu saja yang terlalu luas.

Di perpustakaan Zia menunjukkan pada Ali esai yang coba ia buat. Semula Ali bersemangat me­nin­jau­nya, tapi kemudian malas lanjut membaca. Masih berasa diary, menurut Ali. Zia protes karena itu adalah esai Zia ke sekian yang dikomentari demikian oleh Ali.

Di perpustakaan Zia mempersandingkan cerita Opung yang ditulis Ali dengan novel-novel revolusi kar­ya Pandir Kelana. Ali menggeleng. Ia masih ingin men­ce­ritakan Opung apa adanya, itupun sudah kepayahan ia me­ngenali mana yang fakta dan mana yang fiktif. Justru le­bih mudah kalau dijadikan fiksi sekalian, bujuk Zia. Ali tidak bisa membayangkan dirinya sebagai penulis fik­si. Lagipula ia tidak ingin membiarkan kebesaran Opung akhirnya dianggap fiktif semata.

Di perpustakaan mereka mengenang masa di ma­na kebersamaan mereka mulai terasa, jauh sebelum Zia ra­jin menyambangi XII IPS 1. Masa di mana Zia men­de­ngar sepupunya yang saat itu kelas XII, beserta teman-te­mannya yang satu angkatan, terjebak dalam jaringan kong­kalikong UN. Amat menarik untuk diinvestigasi lan­jut, dan bagaimana peran LEMPERs sebagai media SMAN­SON? Pengurus LEMPERs yang saat itu baru di­ang­kat malah mengangkat tangan. Zia belum menyerah. De­wan Penasihat barangkali lebih punya kepedulian, ya, ka­lau orang yang ditemui adalah Ali. Cibluk dan Oki mung­kin akan membiarkan saja hal semacam itu, kapan sih ada kejadian UN 100% jujur? Zia menyediakan ba­han, Ali melengkapinya. Zia menyusun, Ali meng­e­dit­nya. Zia menyerahkannya pada LEMPERs, Ali yang ke­na tegur guru pembina. Zia cepat surut semangat, Ali ter­la­lu menurut Pak Bowo. Rasanya lucu mengingat me­re­ka pernah begitu menggebu-gebu untuk me­m­ublikasikan tu­lisan itu. Tulisan Zia yang pada waktu itu Ali anggap be­gitu wah. Ali tidak menduga selanjutnya ia malah ke­hu­janan lebih banyak lagi tulisan Zia dengan kualitas be­ra­gam rupa, sekarang ia telah mengenali bagaimana gaya ce­wek itu menulis.

“Aku udah enggak pernah lagi da buka-buka yang itu.”

“Sebenernya saya pernah coba nulis ulang itu sih Zia.”

“Oh ya? Eeh… Mau lihat dong…”

Esok lagi mereka bertemu. Zia tampak senang de­ngan tulisannya yang sudah jadi lain itu. Ia masih da­pat mengenali ciri khasnya, tapi Ali mengemasnya jadi le­bih enak dibaca.

“UN sekarang gimana ya?”

“Ya itu tergantung kita-kitanya.”

“Iya…. Aduh. Mana tinggal berapa lama lagi ini…” Zia menengok kalender di seberang ruangan. “Ku­rang dari dua bulan lagi… Menurut aku, seharusnya ki­ta lebih subversif.”

Pendengaran Ali menjadi dua kali lipat lebih pe­ka. Memoar tokoh-tokoh penumbang kekuasaan pernah men­jadi santapan sehari-harinya. Ah masa-masa itu…

“Kalau kita enggak bisa pakai media sekolah, ki­ta pakai jalur bawah tanah,” lanjut Zia. Lagaknya seperti te­ngah memerankan tokoh dalam film aksi. “Kita sebar-se­bar di kolong bangku. Kita tempel di balik pintu toi­let…” Apa yang tidak mungkin dipikirkan oleh orang yang membuat cerpen tentang orang yang membuat cer­pen lalu menempelkan cerpennya itu di balik pintu toi­let? Ali belum lupa kalau ia pernah membaca cerpen itu di blog Zia, yang ia sudah tidak ingat kapan me­la­ku­kan­nya. “Anggap aja sebagai… renungan sebelum UN gitu. Ki­ta tambahin kata-kata renungan gitu, kalau kita se­ba­ik­nya enggak ngulangin kejadian tahun lalu.”

“Ya. Mungkin bisa kita selipin juga sedikit ten­tang filsafat moral… Kejauhan, deng. Ehm. Kejujuran, in­tinya kita coba tanamkan lagi kalau kejujuran itu pen­ting.”

“Iya!” Nada Zia nyaring. “Jujur itu penting! Ma­ka­nya, aku mungkin kesannya kalau ngomong blak-blak­an gini ya, tapi aku emang sukanya terus terang sih. Apa ada­nya. Enggak ada yang perlu disembunyiin gitu. Lebih nya­man kalau kita tahu sama tahu kan…”

Pasti mau ajak melebarkan obrolan lagi deh, Ali ti­dak menggubris. Ia menarik lembaran kertas dari ta­ngan Zia. Membacanya sepintas. Mendadak tangannya ga­tal ingin mencoret sesuatu dalam tulisan itu. Padahal ia sendiri yang menyusunnya. Ali berharap menemukan pen­sil di saku, tapi receh saja tidak ada.

Pertemuan hari itu diakhiri dengan kesepakatan.

“Kamu aja deh yang nge-fix-in…” kata Zia. “En­tar aku yang ngopi-ngopi.”

Putusan yang proporsional, Zia.

Ali menyunting tulisan itu sehingga muat dalam ker­tas ukuran A5 bolak-balik. Selanjutnya ia me­nye­rah­kan instruksi pada Zia. Menanti hingga sekolah cukup se­pi, kalau perlu sampai selesai dibersihkan oleh pe­tu­gas, sembari membaca buku apa saja di perpustakaan. Sam­pai petugas perpustakaan memperingatkan bahwa li­ma menit lagi perpustakaan akan ditutup. Kadang me­re­ka tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Namun Ali me­nikmati setiap menit yang ia habiskan untuk meng­a­mati cewek itu membaca buku.

Zia mencetak banyak, tapi tidak sebanyak jumlah sis­wa kelas XII di SMANSON yang mencapai lebih dari 1000 orang. Pintu toilet bagian dalam menjadi sasaran uta­ma. Penasaran membayangkan bagaimana orang me­mi­cingkan mata agar dapat membaca tulisan itu selagi jong­kok di kloset. Ali tidak berhasil menahan Zia agar ti­dak masuk ke dalam toilet cowok, seakan bilik-bilik itu du­nia baru yang sungguh menggugah untuk dijelajahi.

“Ternyata bener, toilet cowok lebih jorok dari toil­et cewek,” ucap cewek itu dengan puas begitu keluar da­ri salah satu bilik toilet cowok. Ali geleng-geleng ke­pa­la.

Mereka memasuki kelas-kelas secara acak, hanya ke­las XII. Sempat sekali salah masuk ke kelas X. Ko­long-kolong yang mereka susupi pun sekenanya. Tahu-ta­hu sudah tidak ada lagi sehelai kertas pun di tangan.

Menjelang sore itu begitu cerah. Rasanya sudah la­ma sekali bagi Ali tidak pulang selarut ini—lebih larut la­gi saat masih aktif di LEMPERs sebetulnya. Tapi urus­an­nya kali ini berbeda. Ah begitu puasnya. Setidaknya ma­sih ada sesuatu yang bisa ia lakukan di hari tua… ha­ri-hari tuanya di SMANSON… bersama seorang cewek yang…. yang—yang… yang…

…yang…

…ketika ia memandangi wajah cewek itu sore itu, yang bersinar, sebelum berpisah jalan dari muka ger­bang sekolah, Ali ke selatan sedang cewek itu ke utara, Ali tidak tahu apa yang… yang…

…yang…

…yang harus dikatakan.

Barangkali masih ada sejuta cewek lagi semacam Zia. Ali tak perlu memikirkannya, ya kan? Cewek, hmh, pa­da saat seperti ini siapa yang butuh? Ali lebih butuh bu­ku.

.

Baru lebih dari seminggu kemudian Ali dikabari Shei­la. Pak Bowo menunggu di ruang guru. Kata Pak Bo­wo ajak yang perempuan juga, Bang. Yang pe­rem­pu­an siapa sih, Bang? Tidak perlu dijawab ah.

Ketar-ketir juga Ali. Terulang lagi kejadian tahun la­lu. Sebelumnya Ali membayangkan ia bakal didakwa men­cemarkan nama baik sekolah oleh seluruh guru. Na­mun hubungan baik dengan Pak Bowo yang guru pem­bi­na LEMPERs membuat Ali masih dilindungi. Sekarang? Se­karang ia mencoba untuk menghindari tatapan si­a­pa­pun saat memasuki ruangan itu pada jam istirahat. Zia ber­samanya, tentu, sebagaimana yang Pak Bowo pe­san­kan. Begitu sampai di ruang guru, mereka malah diajak ma­suk ruang diskusi. Tutup pintunya, Ali. Tulisan ini su­dah beredar di ruang guru. Sempat geger. Saya tahu ini ka­lian, walaupun ini tidak ada nama penulisnya di sini. Be­nar, kan?

Iya, Pak, kata Ali. Waduh Zia kok malah bung­kam begini. Padahal punggung Ali sudah bak disetrika.

Kalian ini gigih ya…

Tujuh menit kemudian diisi oleh Pak Bowo de­ngan mencak-mencak.

Semua yang ditulis di situ berdasarkan fakta, Ba­pak, tapi kan kami enggak mungkin…

Pak Bowo seperti Godzilla di tengah kota. Me­nan­ti Ultraman untuk menerbangkannya ke luar angkasa.

Apa saya perlu konfirmasi sama alumni lagi, Pak? Walaupun sesungguhnya Ali tidak yakin. Zia kamu kok jadi pendiam begini sih. Apa memang kamu lebih fa­sih mengemukakan yang fiktif ketimbang yang faktual?

Maksud kalian apa sih? Cari sensasi?!

Kita cuman pingin jujur, Pak…

Jujur, jujur… Jujur tapi ya bertanggungjawab! Ka­lian mau tanggung jawab kalau sampai ada wartawan ke sini, menjelek-jelekkan sekolah kalian sendiri? Atau ka­lian yang mau jadi wartawan, ha?!

Apa yang cewek itu pikirkan dalam situasi ini? Ali melihat Zia mengatur napas, tanpa minat untuk me­nen­tang mata Pak Bowo. Ali bayangkan dirinya yang men­jadi Pak Bowo. Apa yang bakal Zia katakan kalau yang dihadapinya adalah Ali—Pak Bowo dalam wujud Ali?

Kejujuran kita tanggung jawab siapa, Bapak?

Daripada mengurus yang begini, mending kalian urus saja nasib UN kalian nanti bagaimana…

Justru itu Pak, ini bagian dari kami mengurus UN ka­mi supaya tidak terjadi kecurangan lagi…

…bagaimana kalian bisa fokus sama UN! Bu­kan­nya malah…

Aduh. Kenapa orang-orang suka mengalihkan pem­bicaraan?

Enggak semua kebenaran mesti disampaikan! Nan­ti kamu bakal paham sendiri, Ali!

Bel tanda jam istirahat berakhir masih ber­de­ngung. Ali lega luar biasa, setelah serasa dicekam tangan rak­sasa. Bibir Zia masih mengatup.

“Kok kamu jadi pendiam sih, Zia?” tegur Ali. Se­ben­tar lagi sampai kelas Zia, tapi cewek itu masih me­nyim­pan misteri. Sesekali kasar sedikit sama cewek itu ti­dak apalah, Ali pikir, bukankah selama ini mereka telah da­pat bicara bebas pada satu sama lain—setidaknya itu ta­hu-tahu ada dalam sangkaan Ali. “Biasanya ngomong ba­nyak. Jadi pengecut sekarang?"

“Aku pikir,” kata cewek itu dengan muram, “ka­dang seseorang perlu orang lain. Cuman buat nge­lam­pi­as­in emosi aja. Kita cuman butuh jadi pendengar yang ba­ik.”

Ali tertegun. Memang tadi pada akhirnya Pak Bo­wo bilang, daripada mengurus UN yang sudah lalu, le­bih baik Ali dan Zia mengurus UN yang akan datang—na­sib mereka sendiri.

Ikan-ikan itu… sudah dipresto rupanya.

Mereka juga sempat diinterogasi, ke mana saja me­reka menyebarkan tulisan itu. Cuman di sekolah saja, Pak. Apa kami bakal dihukum, Pak? Terus muncul berita Sis­wa SMANSON Diskors Karena Bocorkan Ke­cu­rang­an UN, begitu? Enggak, Pak. Apa guru-guru lain tahu ka­mi yang menulis, Pak? Kalian mau saya beritahukan? Eng­gak, Pak. Ya sudah kalian kumpulkan saja yang ma­sih tersebar…

“Biarin aja ah,” kata Zia begitu ia sudah sampai di muka pintu kelasnya.

Bagaimanapun makanan bagi mental pada hari itu Ali sadari sebagai sebuah awal.  Atau kalian yang mau jadi wartawan, ha?! Memang Ali mau jadi war­ta­wan kok. Zia si pecundang, cewek itu juga yang meng­gi­ring­nya sampai titik ini. Kalian ini gigih ya… belum se­gi­gih opung dan bapak saya, Pak… Setidaknya Bapak ti­dak bakal sampai memotong tangan saya atau me­neng­ge­lamkan saya ke dasar laut kan? Ini baru secuil dari ri­si­ko seorang penyampai berita, Pak, dan Ali berhasil me­ne­lannya bulat-bulat.

Zia si pecundang, entah kenapa Ali merasa se­nang, kali ini ia yang menunjukkan keberdayaannya di de­pan cewek itu. Bicara sampai ngos-ngosan tanpa pan­dang lawan bicara, sedang Zia, apa cerewet cuman sama Ali saja? Hahaha… Zia Zia Zia oh Zia. Kenapa apapun pa­da dirimu terasa baik-baik saja bagi Ali?

Sepulang sekolah Ali mencopoti kertas-kertas yang masih menempel di balik pintu toilet cowok. Toilet cewek… mestinya Zia yang melakukannya. Tapi tidak ada cewek itu sekarang, Ali memang sengaja tidak meng­ajak. Ali meyakinkan diri kalau sekolah sudah be­gi­tu sepi, tidak akan ada cewek yang beredar di dalam mau­pun sekitar toilet lagi… tidak banyak. Apa mungkin Ali minta tolong pada siapa saja cewek yang ia kenal, se­mo­ga saja ada yang kebetulan melintas!, tapi urung. Ja­ngan-jangan nanti malah menimbulkan kecurigaan… Sa­tu per satu Ali masuki bilik toilet cewek dalam deg-deg­an. Tiap kali hendak ke satu bilik, ia pastikan dulu tidak ada seorangpun yang bakal memergokinya.

Ternyata betul. Toilet cewek tidak lebih jorok da­ri toilet cowok.

.

“Ali. Sori ya. Waktu kita ngomongin Zia ke­ma­rin, kita enggak maksud buat nyinggung kamu.”

Yang dimaksud Deddy dengan kemarin adalah per­temuan kelompok mereka—pencilan 4KANGSON—dua minggu lalu.

Sontak Ali menarik pundaknya dari tangan Deddy. Ia telah dirubung. Satu per satu muka kawan-ka­wan­nya itu ia tatap.

“Kamu juga sih enggak bilang-bilang, Li,” ucap Pri­ya. “Tahu gitu kan saya enggak nyoba-nyoba deketin Zia kemarin… meski enggak jadi.”

“Kita enggak akan ngomongin Zia lagi, Li,” kata Ri­za, “enggak pas lagi ada kamu.”

“Emang kenapa saya sama Zia?” tanya Ali.

“Justru itu kita mau tanya. Kamu sama si Zia dari ka­pan. Kok enggak bilang-bilang sih, Li,” ujar Anwar.

“Iya Li. Emang kamu pikir kita apa, Li? Kita eng­gak cuman gosip, Li, kita juga siap terima curhat. Sok, sok weh maneh mau cerita apa aja mah…”

“Enggak ada yang perlu diceritain.” Seandainya sa­ja ada buku. Ia bisa pura-pura mengalihkan konsentrasi ke situ. Tapi kini ia serasa berada di suatu ruangan gelap, de­ngan cahaya yang begitu menyilaukan dari lampu me­ja disorotkan padanya, seringaian bermunculan di se­ke­li­ling­nya. Menuntut pengakuan.

“Udah. Enggak usah malu-malu, Li. Saya sering kok papasan sama Zia, pas dia keluar dari kelas kamu, eh, kita,” tukas Anwar dengan paras simpatik, “apalagi pas saya masih sebangku sama kamu. Dia suka duduk di bang­ku saya kan?”

“Maaf Li. Selama ini kita enggak ngeh. Kamu ak­hir-akhir ini deket sama si Zia ya?”

“Cuman ngobrol sesekali.”

“Iya. Tuh cewek kan sering ke kelas, nyamperin si Ali,” ulang Anwar seakan yang sebelumnya belum cu­kup direspons.

“Waaa….” Serempak sisanya buka mulut, ke­cu­a­li Ali tentu.

“Ngobrolin apa, Li?”

“Si Zia katanya doyan baca buku, Li?”

“Buku apa, Li?”

Kamasutra ya Li?”

“Si Zia doyan One Piece enggak?”

“Ck. Ya enggak tahu. Tanya aja sendiri.”

“Ketus amat.”

“Lu suka Zia ya, Li?”

“Enggak ada yang kayak gitu…”

“Ah… Maneh mah sok kitu, Li.”

“Udahlah. Ngomongin yang lain aja…”

“Banyak cewek yang lebih cantik dari Zia, Li. Yang kepribadiannya lebih baik apalagi. Kenapa Zia, Li?”

“Ck. Ah!” Ali mengibaskan tangan yang coba-co­ba menyentuhnya. “Ada lagi yang mau kalian bahas se­lain Zia, enggak?”

“Hari ini edisi spesial Zia, Li. Maneh narasumber uta­manya.”

Ali beranjak. “Kalau gitu enggak ada perlu lagi sa­ya di sini.”

“Eh—eh! Li! Li!”

“Lili!”

Tidak ada yang bisa mencegah Ali keluar dari ru­ang­an.

Belakangan ini sekolah memang jadi tempat yang ku­rang menyenangkan buat Ali.

Di XII IPS 1 misalnya. Regi lewat bangku Ali sam­bil lalu sambil menegur Ali, “Tumben enggak ngob­rol bareng si Zia lagi, Li.”

Memangnya kenapa kalau Ali tidak mengobrol ba­reng Zia? Seolah itu suatu kewajiban saja.

Lalu entah siapa yang menceletuk setelah itu, Ali tak mau repot-repot mencari tahu, “Perasaan dulu si Zia asa sering main ke sini ya?”

Ali paham sekarang kenapa menurut Zia per­pus­ta­kaan lebih nyaman ketimbang XII IPS 1. Anak-anak IPS, sesuai jurusannya yaitu ilmu-ilmu sosial, gemar ber­so­sialisasi. Dan tahulah apa yang dipercakapkan para so­si­alita SMA itu, apalagi kalau berasal dari kalangan me­re­ka sendiri. Barangkali Ali saja yang anak Sosial tapi aso­sial, sehingga kurang ngeh dengan sirkulasi gun­jing­an.

Dan jika kemudian Ali pikir perpustakaan me­ru­pa­kan area bebas-gunjing, ia salah betul.

Sisa jam istirahat itu hendak Ali manfaatkan un­tuk tukar wawasan dengan Zia, seperti biasa. Sekadar men­duga saja kalau perpustakaan merupakan salah satu tem­pat alternatif Zia untuk menghabiskan jam istirahat. Ja­di tidak kebetulan jika dugaan Ali betul. Belasan menit ti­dak terasa, kurang malahan untuk obrolan sok bernas ma­cam ini, tapi apa daya bel tanda jam istirahat berakhir me­misahkan jua. Usai bertukar kata-kata perpisahan de­ngan Zia di muka pintu perpustakaan, cewek itu berlalu, ta­hu-tahu pundak Ali diganduli dari dua arah.

“Kang, kapan jadian?” Indah dari sebelah kiri.

“Kok kita enggak dikenalin sih sama ceweknya?” Fi­ka dari sebelah kanan.

Ini lagi…

“Ngomongin apa kalian?” tanggap Ali.

“Jaim… jaim…” Fika mendorong pundak Ali.

“Masih aja gengsi ngomongin cewek.” Indah ba­las mendorong pundak Ali ke arah Fika. “Ke perpus ba­reng… Ke ruang guru bareng…”

Ali menghela napas dalam-dalam. Ia terus maju, me­ninggalkan kedua cewek itu dengan gerundelan ma­sing-masing.

Bukan hari yang baik hari ini. Semoga besok lu­ma­yan.

Tiga hari kemudian Ali melewati sekre LEM­PERs. Sudah lama tidak melakukan tinjauan men­da­dak—tindak. Sheila, seperti biasa, mangkal di ambang pin­tu sekre. Menyapanya. Awas kalau sebut-sebut tiga ka­ta itu lagi, yang diawali dengan huruf p, p lagi, dan s.

“Hai Abang.”

“Eh Sheila.” Seperti biasa, Ali berlagak baru ngeh kalau ia telah melewati sekre LEMPERs sekaligus pim­red madingnya. Kebetulan saja saya lewat sini.

“Bang, kita rencana mau bikin gede-gedean di ma­ding,” Sheila membuat sebuah persegi panjang besar di udara dengan kedua tangannya. “SELAMAT HARI JA­DI KEPADA BINSAR ALI HARAHAP DAN… En­tar kita cari nama lengkap Teh Zia. Masalahnya kita be­lum tahu kapan hari jadi Abang. Kapan sih, Bang?”

“Serius mau bikin gituan? Ini mading sekolah loh.”

“Bisa aja. Aku kan pimrednya.”

“Sebagai Dewan Penasihat, aku nasihati kau, ja­ngan main-main sama barang milik publik. Apalagi un­tuk kepentingan sendiri.”

“Kok buat kepentingan aku sendiri sih? Ini buat ke­pentingan Abanglah…”

“Sembarangan.” Ujung bibir Ali berdenyut.

“Traktirannya dong Bang!”

Minggu berganti. Baru hari Senin. Pulang dari me­meras keringat di stadion, Ali mendapati Nilam dan An­war di muka pintu XII IPS 1. Masih belum berhasil me­mikat si Nilam rupanya anak itu. Urus dulu tuh ce­wek­mu yang mana itu, baru gaet cewek lain.

“Daripada ngurus aku mending urus dulu tuh Kang, temen kamu yang satu itu. Punya cewek kok di­em-diem.”

Sial. Baru hari ini Ali mendapat giliran duduk di bang­ku dekat pintu. Suara Nilam begitu tajam me­nye­ngat lubang telinganya. Kenapa baru semester ini per­gi­lir­an bangku rutin dilakukan, kenapa tidak dari semester la­lu? Batin Ali merutuk-rutuk para pengurus XII IPS 1.

“Enggak usah diurus lagi dia mah.” Anwar me­no­leh ke arah Ali sekilas tanpa melepaskan pegangannya pa­da daun pintu. “Sekarang kan hidupnya sudah lebih ber­gairah.”

Terdengar tawa dikulum Nilam. “Dulu kita bi­ngung loh Kang. Ini orang, sama kita-kita yang cewek kok enggak doyan, sama cowok juga ternyata sama aja. Dia manusia apa bukan sih? Hetero enggak, homo juga eng­gak. Duh kita udah hampir putus asa banget waktu itu…”

“…iya, udah ke klinik Tong Fang kali dia, ma­ka­nya… Ke kita juga enggak bilang-bilang.”

“…dulu tuh ya, sampai kita kasih tutorial khusus gi­mana cara ngedeketin cewek. Gini loh Kang… Ada no­mornya enggak? Sms dong Kang, tanya apa kabar? Aduh, pusing deh, yang gitu aja enggak ngerti…!” Nada Ni­lam meninggi di akhir.

Ali menggedor-gedor daun pintu. Anwar melepas pe­gangannya.

“Oh orangnya di balik sini ya?” suara Nilam. An­war menyingkir hingga tubuhnya hampir rapat ke kosen. Ni­lam melongok ke balik daun pintu. Loh ada kepala Ti­tew juga?!—lengkap dengan kipasnya!

Belum sampai satu minggu. Ali putuskan untuk se­sekali ke kantin. Sebetulnya stadion sudah merupakan wa­hana paling aman bagi Ali untuk bersembunyi dari per­gunjingan. Mereka yang kerap ia temui di sana adalah pa­ra pria sejati, no gossip sport only. Tapi hari ini entah ke­napa Ali merasa butuh makan cilok. Bola-bola nan ke­nyal itu, ah, inikah rasanya mengidam? Sesekali ia harus me­ngeluarkan lipatan uang dari dalam sakunya, jangan di­biarkan menumpuk saja di kantong ransel. Kantin pas­ti­nya merupakan salah satu tempat alternatif Zia untuk meng­habiskan jam istirahat. Terus kenapa? Terserah orang-orang itu mau membumbui hubungannya dan Zia de­ngan rempah-rempah semaknyus apapun.

Tuh benar. Lagi khidmat mengulum aci, cewek itu muncul di sisi kantin, antara kios soto dengan kios ku­pat tahu. Diledekin kok sama Zia, huh, Ali men­de­ngus. Coba perhatikan cewek itu. Apa yang menarik dari di­rinya? Tak ada satupun dari diri cewek itu yang bakal bi­kin siapapun menengok dua kali. Rambutnya, dahinya, ma­tanya, hidungnya, pipinya, bibirnya, dagunya, semua bi­asa saja. Tinggi badannya, dadanya, pinggulnya, be­tis­nya, hm, Ali jadi tidak merasa nyaman sendiri, ia alihkan pan­dangannya, masih banyak yang lebih bahenol. Sesaat Ali mengosongkan pikirannya, baru mencari-cari cewek itu lagi dengan matanya. Cewek itu bahkan tidak ngeh ka­lau ada Ali di seberang sini, huh. Tapi kok Ali ingin me­lihatnya terus…

Ali berjengit. Sheila tahu-tahu sudah duduk di sam­ping kirinya. Nilam di hadapannya. Indah dan Fika, ah, tidak usah diduga, tahu-tahu ada juga! Mata Ali men­ca­ri-cari arah untuk membebaskan pandangannya dari kon­taminasi. Alamak. Apa-apaan itu, di pojok sana Deddy, Anwar, Joko, Priya, dan Riza berkumpul. Sejak ka­pan Komite Gosip SMANSON berafiliasi dengan 4KANG­SON?

“Kenapa, Bang?” Sepasang alis Sheila naik lalu tu­run lagi.

“Kenapa? Masih soal saya sama Zia?” Ck. Me­re­ka ini mengurangi kenikmatan makan cilok saja!

“Si Akang sensi banget sih… Orang kita ke­be­tul­an lagi bareng kok terus liat Akang…” Fika baru saja pin­dah duduk dari samping Indah ke sebelah Nilam, biar bi­sa menyerang Ali secara lebih frontal agaknya.

“Tuh, ketahuan kan lagi mikirin siapa?” ucap Ni­lam dengan nada menang.

“Ah enggak…”

“Hei! Nilam!” Anwar melambai dari pojok sana.

“Ah, orang itu lagi…” Nilam menundukkan ke­pa­la.

Anwar menghampiri. Deddy menyusul. Bagus, se­lanjutnya Priya, Joko, …

“Ih… Kok pada ke sini sih…?” sergah Nilam be­gi­tu cowok-cowok berdatangan lalu membentuk kubu ba­ru di bangku panjang itu.

“Emang kenapa sih? Kantin, kantin elo apa?” tu­kas Riza yang tidak digubris siapapun. Tapi ia pun lebih pe­duli pada semangkuk soto di hadapannya.        

“Si bos lagi mikir jadi keganggu nih…”

“Mikir apa?”

Pikir-pikir, apanya, apanya, a…panya dong, yang sebelah mana… sesuatu yang sangat menarik…?” nya­nyi Sheila, anggota paduan suara gereja HKBP, se­dang matanya mengerling pada Ali dengan sepenuh mak­sud.

Ali beranjak. Tidak. Tidak. Ali tidak mau dengar An­war ikut-ikutan bernyanyi, bersahut-sahutan dengan She­ila, hingga suara mereka pun menjelma tarian se­ka­li­gus. Diikuti teman-teman mereka, anak-anak yang saat itu sedang berada di kantin juga bahkan. Meloncat-loncat da­ri bangku kantin hingga jalanan di depannya. Ber­te­ri­ak-teriak. Berlagak bak ia dan Zia. Beringsut-ringsut men­dekat, meledeknya, bahkan sampai menyentuh-nyen­tuh tubuhnya, hih. Tidak. Tidak ada yang seperti itu di dunia Ali. Ali mau kembali ke kelas saja. Ada sebuah bu­ku di ranselnya. Ia akan menenggelamkan dirinya ke sa­na saja.

Sekilas Ali memandang ke samping dalam per­ja­lan­annya meninggalkan kantin. Terpana ia mendapati wa­jah itu. Agak di belakangnya. Ali menoleh lagi ke de­pan. Sesaat. Ia palingkan lagi kepalanya. Cewek itu ma­sih memandangnya.

...dia mulai, berani senyum dan menantang…[1]

Tidak. Ali tidak mau dengar apa bait selanjutnya da­ri lagu itu.



[1] Adegan ini seharusnya diiringi lagu “Apanya Dong” dari Seurieus

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain