Rabu, 29 Februari 2012

Menulis secara Ilmiah Populer - Tinjauan Umum



Menulis adalah pekerjaan mulia apabila tulisan yang dihasilkan dapat mencerdaskan, menggugah minat, maupun membuka cakrawala baru bagi pembacanya. Sebagai jembatan antara laporan ilmiah yang ditujukan pada para ilmuwan dan bacaan sederhana yang ditujukan pada awam, idealisme tersebut dapat diwujudkan dengan membuat lalu mempublikasikan tulisan ilmiah populer.

Melalui buku Teknik Penulisan Ilmiah-Populer (Jakarta: PT Gramedia, 1980), Slamet Soeseno memberikan panduan bagi mereka yang berminat mendalami jenis tulisan ini. Mengingat buku ini diterbitkan pada lebih dari tiga dekade lampau, memang ada hal yang perlu disesuaikan dengan kemajuan teknologi kini. Namun selebihnya masih amat relevan untuk diterapkan.

Pengertian

Jika sebagian orang menganggap penulis sama dengan pengarang, Slamet Soeseno tidak berpendapat demikian. Penulis pun bukan sekadar orang yang menulis. Apa yang pengarang tuliskan merupakan hasil ciptaannya sendiri, sedang penulis adalah orang yang meringkas dan menggabungkan berbagai informasi sedemikian rupa sehingga tersusun menjadi tulisan yang baru lagi utuh.

Ilmiah dalam tulisan ilmiah populer tidak selalu berarti tulisan itu berupa hasil penelitian ilmiah, melainkan bisa pula pengalaman nyata dan pengamatan biasa, yang disajikan dengan metode ilmiah.

Ciri khas tulisan yang disusun dengan metode ilmiah, atau “dirasa” bersifat ilmiah, adalah objektif dan mendalam. Objektif berarti tulisan tersebut didukung informasi yang sudah teruji kebenarannya dengan data pengamatan yang tidak subjektif. Mendalam berarti informasi dalam tulisan tersebut dinalar dan dianalisis sehingga dapat menjelaskan “mengapa” dan “bagaimana” dari hal yang dikaji. Tiap kalimat hendaknya menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” yang dituai kalimat sebelumnya. Penalaran juga harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai kita asal mengambil kesimpulan.

Populer berarti mengatakan sesuatu yang akrab atau disukai orang kebanyakan karena menarik dan mudah dipahami. Tulisan ilmiah populer enak dibaca karena bahasanya teratur, lancar, tepat, santun, serta menyederhanakan persoalan. Suatu persoalan dapat disederhanakan apabila penulis sudah memiliki pengertian yang jernih terhadap bacaan yang hendak ia tulis ulang. Karena itu, ia harus memahami betul bahkan membaca berulang kali sumbernya.

Persiapan

Ada sejumlah hal yang perlu disiapkan sebelum membuat tulisan ilmiah populer seperti penelaahan tema, penentuan pola penggarapan dan jenis penuturan, serta pencarian dan pengumpulan informasi.

Tema merupakan arah bagi penulis untuk merumuskan pikiran, mengumpulkan bahan, hingga mengerjakan penulisan. Tema penting untuk dipatuhi. Dalam sayembara penulisan misalnya, tulisan akan disisihkan apabila tidak sesuai dengan tema. Tema juga membatasi persoalan yang hendak dibahas. Ini tidak hanya memudahkan penulis, namun penulis juga dapat membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam.

Tema dapat diolah melalui pola-pola tertentu, yaitu pemecahan topik, masalah dan pemecahannya, kronologi, pendapat dan alasan pemikiran, serta pembandingan. Dalam pemecahan topik, topik yang berada dalam lingkup tema dibagi menjadi subtopik-subtopik. Masing-masing subtopik lalu dianalisis. Dalam masalah dan pemecahannya, masalah dikemukakan terlebih dulu lalu dianalisis pemecahannya. Kronologi berarti menceritakan sesuatu berdasarkan urutan kejadian lalu dijelaskan salah satu aspeknya secara lebih mendalam. Pendapat dan alasan pemikiran berarti mengemukakan pendapat dengan disertai bukti yang mendukungnya. Sedang pembandingan berarti mengemukakan persamaan dan perbedaan antara dua hal atau lebih.

Dari macam-macam pola penggarapan tersebut, ada beberapa cara untuk menuturkannya yaitu deskripsi (gambaran tertulis), narasi (kisah), eksposisi (penjabaran), dan argumentasi (penyajian alasan).

Berdasarkan pengertian dari “penulis” sebagaimana yang telah diungkapkan di awal, literatur dan informasi yang dikandungnya merupakan elemen paling esensial dalam tulisan. Jika pada masa buku ini diterbitkan, informasi ditelusuri dengan penunjuk literatur (berupa kartu indeks, katalog, dan semacamnya) atau melanggan servis informasi yang disediakan badan tertentu, di zaman sekarang kita sudah sangat dimudahkan oleh internet. Sudah jadi rahasia umum bahwa teknologi ini memungkinkan tugas-tugas akademis, yang notabene tulisan “ilmiah”, bisa dihasilkan hanya dengan menekan Ctrl+C lalu Ctrl+V.

Lupakan rumus rendahan itu, Kawan, mari kita teladani kearifan orang zaman dulu menelusuri juga sumber noninternet serta membiasakan diri membuat catatan. Sari dari apa yang kita baca dapat dituliskan kembali dengan berbagai cara. Kita dapat mengutipnya langsung, menuliskannya kembali dengan kata-kata kita sendiri (parafrase), mencantumkan pokok dan atau subpokoknya saja (outlining), atau membuat ringkasan.

Membuat kutipan langsung memang paling mudah, sekaligus bikin kentara kalau itu hasil jiplakan begitu kita mencantumkannya dalam tulisan kita. Menurut Slamet Soeseno, cara paling ideal adalah parafrase. Jika kita belum mahir, kita dapat melatih diri dengan membuat ringkasan dulu. Ringkasan juga dibuat dengan menggunakan kata-kata kita sendiri, namun pokok informasi yang dimuat lebih banyak dari parafrase yang hanya berasal dari gagasan atau suatu pernyataan saja.

Membaca efektif dan efisien

Seringnya kita membaca karena sekadar tertarik dengan suatu bacaan dan ingin tahu apa yang terkandung dalam bacaan tersebut. Ini jelas memperluas wawasan dan membentuk pemikiran kita. Pun ketika kita ingin mengungkapkan sesuatu, kita bisa merujuk pada sesuatu yang pernah kita baca yang relevan.

Begitupun ketika kita hendak mengungkapkan sesuatu dalam bentuk tulisan yang resmi, tulisan ilmiah populer misalnya. Jika peneliti harus mengkaji kebenaran sesuatu dengan seperangkat metode penelitian, maka penulis cukup melakukannya dengan mengumpulkan banyak bacaan.  Namun jika kita membaca setumpuk bahan tersebut dengan cara biasa, itu akan menghabiskan waktu, atau bahkan kita tidak akan punya cukup waktu. Apalagi jika ada tenggat penyelesaian tulisan. Karena itu, membaca secara efektif dan efisien merupakan teknik yang harus dikuasai oleh penulis.

Secara umum, membaca secara efektif dan efisien berarti membaca secara selektif. Kita tidak membaca kata per kata, melainkan berusaha menemukan kelompok kata yang dapat membentuk konsep atau gambaran tertentu dalam kepala kita. Dengan demikian, kita mengetahui apakah bacaan tersebut akan berguna bagi kita atau tidak. Dalam artikel koran contohnya, kita cukup membaca judul dan beberapa alinea pertama saja untuk dapat menerka keseluruhan isi tulisan. Dalam ilmu jurnalistik, ini dikenal dengan prinsip piramida terbalik. Kalau dalam buku, kita cukup memindai daftar isi, pendahuluan atau kata pengantar (bukan kata sambutan), maupun indeks.

Untuk itu, tentu saja kita mesti tahu terlebih dulu apa yang hendak kita tulis. Ini yang menjadi petunjuk agar kita mengambil sumber yang betul-betul kita perlukan dalam menunjang gagasan kita.

Lainnya

Tulisan ilmiah populer berarti menyajikan informasi ilmiah secara ringan. Feature merupakan bentuk yang tepat untuk itu. Ada empat elemen penting dalam feature yang harus diperhatikan agar tulisan tersebut menarik yaitu judul (harus mencerminkan tema), pendahuluan (harus memancing minat), tubuh utama (harus dinamis), serta penutup (bergaya pamit). Dalam bab tentang kajian ini, Slamet Soeseno memberi contoh untuk tiap-tiap elemen tersebut, mulai dari yang agak menipu, kedodoran, biasa saja, hingga dibubuhi humor di sana-sini.

Bab-bab selanjutnya dalam buku setebal 116 halaman ini menjurus pada hal-hal yang semakin teknis seperti bagaimana menata bahasa (kata, kalimat, hingga alinea) agar ringkas tapi jelas serta lengkap dan teliti lagi memikat, tata krama dalam penulisan, memilih ilustrasi yang signifikan beserta uraian yang “mengundang”, hingga menyerut tulisan.

Tulisan ilmiah populer bisa saja mengandung kritik, namun kritik mengenai apa yang salah dan bukan siapa yang salah. Dan jangan sampai kritik, maupun dukungan apalagi pemaksaan kehendak, memakan porsi hingga tiga per empat bagian tulisan sehingga tulisan jadi tidak berasa ilmiah lagi.

Spekulasi haruslah dihindari, begitupun terlalu banyak seloroh, karena unsur ini lebih cocok dimasukkan dalam kolom ketimbang tulisan ilmiah populer. Meski demikian, humor ala komedian tetap merupakan unsur yang hendaknya dimiliki penulis dalam kadar yang tepat. Justru inilah yang menjadi salah satu daya tarik tulisan.


dari Teknik Penulisan Ilmiah-Populer oleh Slamet Soeseno (Jakarta: PT Gramedia, 1980)

Selasa, 28 Februari 2012

Dalam Memorabilia Masa Anak-anak bersama Aleut

Cihapit sudah familier bagi saya. Di sini ada SDN Sabang, yang masuk dalam rute sopir jemputan saya waktu SD, sedang saya sendiri sekolah di SD Istiqamah yang lokasinya tak jauh dari situ. Seingat saya di dekat SDN Sabang ada toko MM, yang mana berkali-kali saya pernah dibawa ibu saya belanja di situ. Tidak tahu apakah toko tersebut masih ada, Aleut (26/02/12) tidak menggiring kami sampai sana.

Pintu masuk yang nyempil di antara dua bangunan

Di Pasar Cihapit kami berpencar. Pintu masuknya berupa lorong yang diapit dua dinding bangunan yang lumayan tinggi. Bagian dalamnya seperti pasar pada lazimnya. Beragam barang didagangkan di sini, mulai dari makanan tradisional, buah-buahan, lauk-pauk, bumbu masak, hingga pakaian dan elektronik. Namun yang menjadikannya demikian terkenal sebagai salah satu tujuan wisata kuliner di Bandung adalah kehadiran beberapa tempat makan khas seperti warung makan Bu Eha, Surabi Cihapit, dan Kupat Tahu Galunggung.

Surabi Cihapit campur telor

Saat kami melintasi los Bu Eha, warung makan tersebut tidak buka. Saya sendiri belum pernah makan di sana. Konon warung makan tersebut menjual masakan khas Sunda biasa—masakan rumahan—yang saking maknyusnya, Bondan Winarno pernah bertandang ke sana. Pasar Cihapit konon sudah berdiri sejak lama, meski mungkin tidak selama Nyonya Meneer, begitupun warung makan Bu Eha.

Penyambung nyawa para survivor

Di sini pula menjadi ajang reuni saya dengan honje. Bagian buahnya yang berwarna merah muda itu dikupas hingga tersisa bagian berwarna putih dengan rasa agak sepet. Buah inilah yang menjadi salah satu penyambung saya dan kawan-kawan yang melakukan survival di Situ Lembang dalam rangka Diksar Jamadagni. 

Belajar nama-nama lalapan yuk... Dari atas: gandaria (penyedap), belimbing wuluh, eceng gondok, dan kembang pepaya.

Masih di kawasan Cihapit, terdapat Taman Cibeunying. Taman ini terbagi karena dipisahkan jalan. Salah satu pulau taman menjadi sentra penjualan tanaman hias. Saya pernah ikut bapak saya belanja ke situ. Sudah begitu, pohon-pohon besar masih anteng merindangi sehingga kawasan ini menjadi salah satu kawasan terhijau di Bandung.

Di mana ada kawasan hijau di Bandung, itu rupanya memiliki keterkaitan dengan sejarah pembangunan kota pada masa pendudukan Belanda. Taman merupakan elemen yang wajib ada pada pemukiman orang Belanda saat itu sebagai ruang aktivitas warga. Merupakan tradisi pula bagi warga Eropa untuk menghabiskan waktu dengan mengaso di halaman rumah sambil minum teh, makan kue, mengobrol dengan tetangga, dan sebagainya.

Sebagian taman memang telah raib, namun sebagian taman masih ada dan menawarkan kenyamanan bagi penduduk Kota Bandung kini. Contohnya ya taman-taman yang dilalui dalam lawatan Aleut kali ini. Taman Cibeunying sendiri dulu merupakan pusat pembibitan tanaman (Tjibeunjingplantsoen).

Bank yang terletak di seberang Taman Cibeunying ini ternyata warisan Belanda. Cek di sini.

Siapa sangka, Cihapit ternyata pernah mengalami masa kelam. Pada masa pendudukan Jepang, Cihapit yang merupakan kawasan pemukiman orang Belanda notabene menjadi kamp interniran terbesar bagi kaum wanita, orang tua, dan anak-anak, sedang para pria ditempatkan di kamp interniran di daerah lain. Sekeliling kawasan diberi pagar berduri. Para interniran pun memanfaatkan gorong-gorong di bawah tanah sebagai sarana berkomunikasi. Dalam masa itu, warga hanya bisa beraktivitas di taman-taman. Hiburan datang dari simpatisan Belanda atau Jerman yang melawat ke Asia Tenggara. Salah satunya adalah Corry Vonk.

Dari Cihapit, kami memasuki jalan demi jalan di pemukiman sekitarnya. Kami bertemu beberapa bangunan tua seperti Gereja Maranatha yang dibangun sekitar 1925 dengan gaya arsitektur khas kolonial, rumah khas Belanda dengan nama anak perempuan pertama di bawah atapnya (Helena dan Leonie), rumah pribumi, dan toko-toko (pertokoan China dan Toko Cairo). 

Gereja Maranatha yang antara lain terkenal karena loncengnya

Salah satu rumah pribumi yang tersisa di jalan buah-buahan

Dengan jam buka dari 1 PM – 3 AM, Toko Cairo masih mengikuti tradisi tidur siang dari Eropa yang disebut siesta

Rumah bernama Leonie (haha enggak kelihatan yah namanya) di seberang Taman Cempaka

Melewati SDN Priangan, lagi-lagi saya merasa familier. Beberapa orang yang saya kenal di masa awal SD saya merupakan murid SD tersebut. Saya bertemu mereka dalam mobil jemputan setiap pagi dan siang selama enam hari sekolah, sebanyak itu pula saya melintasi daerah ini kala itu. Di sekitar SDN Priangan itulah terdapat bangunan pertokoan khas China dengan lima pintu yang mempengaruhi bentuk rumah khas Betawi.

Di pinggir lapangan ini mobil jemputan saya biasa nongkrong. Di seberang sana adalah deretan toko China, namun ternyata sudah ada yang bersalin rupa.

Tidak jauh dari SDN Priangan, terdapat SDN Ciujung. Lapangan yang rada becek berada di seberangnya, dilingkari jalan, dulunya bernama Houtmanplein. Masih dua taman lagi di depan yang kami jumpai. Konon dua taman tersebut berpasangan. Taman yang dinamai dengan nama raja dari Belanda berukuran lebih kecil dan tampak tidak terawat bila dibandingkan dengan taman satunya, yang dinamai dengan nama ratu dari Belanda namun kini lebih dikenal sebagai Taman Cempaka. 

Lapangan Ciujung alias Houtmanplein yang tertutup semak-semak... :9

Sisi taman (aslinya plein atau lapangan) raja Belanda:  sampah apa lemarinya tuna wisma?

Kondisi taman raja Belanda

Pemukim di Taman Cempaka

Beginilah sebaiknya taman dimanfaatkan :D

Empat pohon ki hujan alias trembesi (Samanea saman) berdiameter sekitar 1,5 m cukup untuk menaungi taman yang cukup luas bagi warga untuk melakukan beberapa aktivitas itu. Beberapa sarana bermain anak menancap di rumputnya yang sebagian telah tergerus. Di sana kami memakan bekal yang kami beli di Pasar Cihapit lalu mendemonstrasikan beberapa permainan di masa lampau.

Gambar kotak-kotak di paving block, lempar batu atau potongan genting, lalu loncat-loncat deh (#lupanamapermainannya)

Permainan congklak konon mengandung filosofi menabung

Entah apakah anak-anak zaman sekarang masih ada yang merasakan kesenangan dari permainan-permainan ini, sebut saja congklak, gatrik, dan benteng-bentengan atau pris-prisan. Saya termasuk generasi yang cukup beruntung dapat merasakannya. Melalui permainan yang sekaligus tampak melelahkan dan sadis inilah anak-anak belajar berstrategi, bersosialisasi, sekaligus mengasah daya motorik seluruh tubuh—tidak hanya jari. 

Gatrik, belum pernah saya mencoba permainan satu ini

Kini kemajuan teknologi yang dibarengi penyempitan lahan telah membuat anak-anak lebih memilih untuk jadi anak rumahan. Permainan individualis tapi aman, misalnya bunuh-bunuhan dengan teman tapi cuman dalam layar, lebih menyita minat mereka. 

Mana nih yang lagi main benteng-bentengan?

Bang Ridwan—salah satu narasumber Aleut—tidak sependapat bahwa permainan zadul secara persis membentuk karakter. Para "pembesar" negeri ini, yang notabene besar-besaran dalam KKN, juga besar dengan melakukan permainan-permainan zadul.

Tan hana nguni, tan hana mangke, pepatah Sunda kunoyang berarti tidak ada masa lalu, tidak ada pula sekarang, demikian jargon Aleut. Minggu itu, bersama Aleut dan kru Metro TV yang hendak meliput kegiatan komunitas-komunitas di Bandung, saya menapaktilasi bagian dari masa silam yang ikut membentuk saya yang sekarang. Seperti apa saya yang sekarang hanyalah masa lalu bagi saya di masa yang akan datang. Jika masa lalu demikian nikmat dikenang, maka seyogyanya masa yang dijalani kini bisa menjadi sesuatu yang berharga pula untuk dikenang nanti. Persoalannya, bagaimana caranya?***  

Minggu, 26 Februari 2012

When inner beauty is trully inner beauty (and modest-look)


Perkenalkan duo pengacara ajib, Peter Bash dan Jared Franklin!
sumber: http://www.nypost.com/rw/nypost/2011/05/29/tv/web_photos/tvw_franklin_bash--300x300.jpg

Seorang wanita tidak terima dikeluarkan dari pekerjaannya untuk majalah Stirred sehingga ia mengajukan tuntutan. Ia menganggap dirinya dikeluarkan karena ia terlalu seksi. Jelas dua pengacara nyeleneh, Jared Franklin dan Peter Bash, bersemangat untuk menangani kasus ini.

Keluar dari ruang penugasan, mereka bertemu seorang wanita dengan penampilan sederhana. Wanita itu berambut pirang, tidak kurus tapi tidak bisa dibilang gendut juga, serta memakai atasan lengan panjang yang dipadu rompi rajut dan rok selutut bernuansa kalem. Wanita inilah klien mereka. Franklin dan Bash kaget.

Stirred sendiri merupakan majalah sekelas Playboy. Sampul-sampulnya mempertontonkan wanita nyaris bugil atau bugil sama sekali. Ketika meninjau langsung kantor majalah tersebut, wanita-wanita seksi yang sesuai persepsi mereka berseliweran. Jennifer Putnam, klien mereka, tidak seperti itu. Namun ia mengaku bahwa pria-pria suka mendatangi mejanya, membukakan pintu untuknya, dan menunjukkan berbagai bentuk perhatian lainnya.

Franklin dan Bash bertemu Katherine Mack, petinggi Stirred yang memecat Jennifer. Katherine menyerahkan laporan kinerja Jennifer yang menjadi alasan baginya untuk memecat wanita itu. Ketika Franklin dan Bash menunjukkannya pada yang bersangkutan, ia menyangkalnya. Ia pun menjelaskan bahwa alasan ia dikeluarkan lebih karena ia menolak tunjangan untuk melakukan operasi plastik. Menurutnya, ketika seorang wanita yakin bahwa dirinya cantik, orang lain pun akan melihatnya demikian. Jennifer merasa dirinya sudah cantik apa adanya.

Franklin dan Bash mengira Jennifer hanya terlalu percaya diri. Namun sudah jelas bagi mereka kalau Jennifer telah mendapat diskriminasi.

Sementara itu, kepribadian Jennifer telah menarik simpati Stanton Infield (pemilik Infield Daniels, firma tempat Franklin dan Bash bekerja), Hanna Linden (rekan Franklin dan Bash di Infield Daniels), serta para juri wanita di persidangan awal. Hanna pun mengintervensi upaya Franklin dan Bash agar mereka bisa memenangkan kasus tersebut. Menurut Hanna, para juri wanita bersimpati pada Jennifer karena Jennifer merepresentasikan mereka. Maka di persidangan berikutnya, Bash berlagak sangat terpesona pada pembawaan Jennifer sampai-sampai ia mencium bibir wanita itu—cium biasa, bukan french kiss. Namun selanjutnya tampak bahwa Bash pun sudah menaruh simpati pada Jennifer.

Kemudian Franklin, Bash, Jennifer, dan Carmen (anak buah Franklin dan Bash di firma mereka sebelumnya) mendatangi pesta untuk penggalangan dana majalah. Katherine menolak kehadiran Jennifer, meski Jennifer sebetulnya juga punya andil dalam persiapan pesta tersebut.

Di tengah pesta kolam di mana wanita-wanita berbikini lalu lalang, Jennifer lain sendiri. Pakaian yang ia gunakan hanya kaos dan celana pendek selutut. Namun tanpa canggung ia bergaul dengan orang-orang, bahkan ia loncat ke kolam. Ia kelihatan sangat akrab dengan Big Mack, ayah Katherine, sang pemilik Stirred.

Sementara itu, Carmen berhasil menggiring mantan asisten Big Mack pada Franklin dan Bash. Pria itu memiliki kesan baik terhadap Jennifer. Ketika ia mendapat pekerjaan lain sehingga tidak bisa menjadi asisten Big Mack lagi, Big Mack ingin Jennifer yang menggantikan posisinya.

Dalam kesempatan sebelumnya, kembali ke adegan di kantor Stirred, Franklin dan Bash tidak dapat berbincang dengan Big Mack karena Katherine telah menggiring pria itu menjauh. Dalam kesempatan kali ini, Bash berhasil mendekati Big Mack dan membicarakan Jennifer dengannya. Big Mack menyebut Jennifer dengan panggilan khusus. Kesannya terhadap Jennifer juga amat baik. Ia ingin Jennifer menjadi asistennya, namun putrinya mengatakan bahwa kinerja wanita itu jelek. Jadi Big Mack menurut saja. Perbincangan itu terputus karena Jennifer mengajak Big Mack untuk mengikuti lomba tiga kaki.

Di persidangan terakhir, Hanna berhasil membuat Big Mack mengatakan secara tidak langsung kalau ia sudah menganggap Jennifer sebagai anaknya sendiri. Keakraban Jennifer padanya bahkan melebihi putrinya sendiri. Sampai sini pemirsa dapat menyimpulkan bahwa kasus ini merupakan konflik pribadi antara seorang putri yang cemburu dengan bawahannya yang seakan lebih disayangi sang ayah.

Di akhir cerita, Big Mack ingin agar kasus itu segera diselesaikan. Apapun yang Jennifer minta, ia akan berikan agar hal buruk tidak menimpa putrinya. Jennifer rupanya hanya ingin pekerjaannya kembali—Big Mack pun langsung mengangkatnya jadi asisten—serta menghibahkan dana tunjangan operasi plastik untuk Operation Smile, yaitu suatu program untuk penyandang bibir sumbing agar mereka bisa mengoptimalkan potensi mereka sebagaimana Joaquin Phoenix.

Sebagaimana Stanton Infield, Hanna Linden, dan para juri wanita di tiap persidangan, saya juga sangat terkesan akan kepribadian Jennifer Putnam. Sejak awal, saya menganggap penampilan Jennifer tidaklah buruk. Ia manis dan cantik, namun tidak dalam kriteria yang acap diharapkan. Ia tidak menonjolkan lekuk fisiknya maupun memiliki wajah memikat, memang. Daya pikatnya justru terletak pada bagaimana ia memperlakukan orang lain. Ia wanita yang gemar memuji dan itu terdengar tulus bagi orang yang mendengarnya. Ia juga berpikiran positif dan suka tersenyum. Dengan demikian ketika ia mengatakan bahwa para pria suka mendekatinya, itu bukanlah suatu ada-ada. Sikapnya membuat orang lain pun ingin memperlakukannya dengan baik. Sampai-sampai, Franklin dan Bash sukar untuk mengatakan apa yang mereka pikirkan terhadapnya—bukan hal yang cukup mengenakkan—dan ini jadi adegan yang begitu menggelikan. 

Jennifer mengakui bahwa wanita-wanita lain yang bekerja untuk Stirred memang cantik secara tradisional. Mereka sudah berkorban untuk itu sehingga mereka patut dikagumi. Namun kecantikannya tidak sama dengan kecantikan mereka. Sebagaimana argumen yang ditujukan Bash pada seorang juri wanita, “Hanya karena kau tidak ditampilkan dalam majalah, bukan berarti kau tidak cantik.”

Jika Miund dalam stand up comedy edisi Valentine lalu di Metro TV mengatakan bahwa inner beauty itu omong kosong tanpa ditunjang high maintenance, maka episode Franklin & Bash kali ini menunjukkan bahwa inner beauty does make sense. Namun tentu saja di samping pembawaannya yang ceria, positif, tulus, dan menyenangkan, Jennifer juga berpenampilan rapi, bersih, sopan, sekaligus sederhana. Ia tidak khawatir untuk berburkini (istilah Franklin untuk pakaian yang dikenakan Jennifer saat terjun ke kolam), sementara wanita-wanita lainnya berbikini. Ia mengedepankan perspektif baru yang membuat Franklin dan Bash jadi bingung akan wanita sementara deretan para wanita berbikini berjemur di hadapan mereka.

Menurut saya episode ini sangat bagus dan menginspirasi, baik bagi laki-laki dan perempuan, meski saya bertanya-tanya juga mengapa Jennifer bekerja untuk majalah sekelas Stirred dan bukannya majalah lain yang lebih low profile sebagaimana dirinya.

“Jennifer of Troy”, judul cerita ini, merupakan episode ketiga dari serial Franklin & Bash Episode ini mendapat rating 7,6 dalam skala 10 dari 50 pengguna situs Internet Movie Database, begitulah yang saya cek pada malam saya mengetik ini. Tinjauan lain terhadap episode ini bisa dilihat di sini.

OOT: Mark-Paul Gosselaar alias Peter Bash

“Jennifer” telah tayang di FOX beberapa kali dalam minggu ini. Sebetulnya Franklin & Bash telah memasuki musim kedua, namun saluran yang disuguhkan operator langganan keluarga saya baru menayangkan musim pertama.

Serial Franklin & Bash sendiri secara umum mengisahkan tentang sepasang pengacara yang lain daripada yang lain. Saya belum pernah mengikuti serial hukum apapun sebelumnya, namun sepertinya sosok pengacara kocak, konyol, dan seenaknya—tak hanya dalam kehidupan sehari-hari namun juga di persidangan—baru dimunculkan melalui serial ini. Kemasannya yang beda membuat serial ini memiliki penggemarnya tersendiri.

Franklin dan Bash semula memiliki firma sendiri dengan dua orang karyawan, Carmen Phillips dan Pindar Singh, hingga suatu ketika Stanton Infield merekrut mereka untuk bekerja di firmanya yang sudah jauh lebih mapan dan ternama, Infield Daniels. Tingkah duo tersebut mengingatkannya akan ia dan rekannya saat mereka baru memulai usaha firma tersebut. Meski sudah bekerja untuk firma lain, Franklin dan Bash tetap mempekerjakan Carmen dan Pindar. Keduanya terbukti memiliki peran penting dalam membantu Franklin dan Bash memecahkan kasus-kasus yang sedang dihadapi.

Yang menarik saya untuk mengikuti serial ini sebetulnya adalah sosok “om ganteng” Mark-Paul Gosselaar yang memerankan Peter Bash. Kendati Franklin tak kalah nyeleneh darinya, saya merasa Bash lebih emosional. Saya suka ketika ia menunjukkan ekspresi polos dengan mulut membulat.

Namun yang paling bikin takjub adalah, Mark-Paul Gosselaar ternyata seperempat Indonesia! Ibunya, Paula Gosselaar, setengah Belanda dan setengah Indonesia. Dalam sebuah wawancara lawas, Mark-Paul Gosselaar mengaku tertarik untuk mengkaji latar belakangnya. Ia bahkan mengoleksi banyak benda dari Indonesia meski ia belum pernah ke sana. Ia berencana untuk melawat kampung halaman ibunya, alias Indonesia, suatu saat nanti. Entah apakah ia sudah mewujudkan hal tersebut apa belum. Potret Mark-Paul Gosselaar muda dan ibunya bisa dilihat di sini.

halo om!
sumber: http://images4.fanpop.com/image/photos/16300000/Mark-Paul-Gosselaar-mark-paul-gosselaar-16348965-2560-1922.jpg

Tidak seperti Matt Bomer nan menawan dalam serial kriminal “White Collar”, kendati digemari oleh kaum belok Mark-Paul Gosselaar heteroseksual kok. Ia memiliki sepasang putra-putri yang merupakan buah pernikahannya dengan seorang model, Lisa Ann Russell. Namun mereka telah bercerai. Mantan istrinya sudah menikah lagi sedang ia sendiri bertunangan dengan Catriona McGinn tidak lama setelah mereka dinyatakan resmi bercerai. (#mulaigosip)

Sebelum membintangi Franklin & Bash, Mark-Paul Gosselaar telah bermain dalam beberapa film dan serial. Namun yang membuatnya amat tenar adalah kemunculannya sebagai pemeran utama, Zack Morris, dalam serial populer “Saved by the Bell” (1989 – 1993). Ah jadi penasaran nih menyaksikan Mark-Paul Gosselaar remaja… X9***

Jumat, 24 Februari 2012

Dari Museum ke Museum (Bagian 2 - Tamat)

...sebelumnya ada Museum Mandala Wangsit Siliwangi, sekilas Museum Dharma Wiratama, dan Museum Konperensi Asia Afrika...

Museum Pos Indonesia

Didirikan pada tahun 1931, museum ini semula bernama Museum PTT (Pos Telepon Telegrap) dan koleksinya baru sebatas perangko. Setelah direnovasi, museum ini diresmikan dengan nama Museum Pos dan Giro oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada tanggal 27 September 1983, bertepatan dengan Hari Bhakti Postel. Koleksinya pun bertambah hingga tidak sebatas benda pos, melainkan hingga sejarah, diorama kegiatan pos, dan lain-lain. Ketika status Perusahaan Umum (Perum) Pos dan Giro berubah menjadi PT Pos Indonesia pada tanggal 20 Juni 1995, museum ini ganti nama lagi menjadi Museum Pos Indonesia.  Koleksinya meliputi koleksi sejarah, koleksi filateli, dan koleksi peralatan.

Museum ini kiranya museum yang paling sering saya kunjungi sepanjang hidup saya. Letaknya strategis; dekat SD Istiqamah (SD saya) dan Taman Lansia (tempat saya sesekali menghabiskan waktu) serta satu komplek dengan Gedung Sate yang merupakan ikon Kota Bandung. 

Cara memasukinya pun mudah. Tidak ada petugas menyambut, meski kantornya—dengan pintu terbuka—tepat menghadap titik di mana pengunjung mengisi identitas dan mengambil tiga macam panduan cetak yang tersedia. Saat saya masih SD, teman-teman saya yang berkunjung ke sana malah diberikan notes. Dan pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali.

Setelah membaca panduan cetak, barulah saya menyadari kalau selama ini saya hanya ngeh sama bagian basement saja dari museum ini. Rupanya museum ini meliputi lantai di atasnya yang berupa ruang galeri dan ruang social center. Ruang yang pertama dimaksudkan agar pengunjung dapat memperoleh gambaran tentang perusahaan secara sekilas. Sedang pada ruang yang kedua, selain mendapat informasi pengunjung juga dapat melakukan praktik langsung yang berkaitan dengan kegiatan pos. Ruang ini dipadukan dengan kantor pos dan loket filateli.

Kemurah-hatian Museum Pos Indonesia :D

Museum ini tampak sangat terbuka sekaligus kurang begitu terurus. Namun sepertinya peminatnya akan selalu ada. Betapa pos telah menjadi demikian klasik di era teknologi komunikasi yang kian canggih ini.

Saya sudah pernah mengulas sedikit tentang museum ini sebelumnya di sini.

Museum Batik Pekalongan

:D

Saya mengunjungi museum ini bersama keluarga saya awal tahun ini. Museum yang menyenangkan menurut saya. Meski kita harus bayar untuk menjelajah di dalamnya, namun itu sebanding dengan pelayanan yang kita dapatkan. Setiap pengunjung (/rombongan) akan dipandu seorang petugas dari ruang satu ke ruang lain. Tidak sekadar menemani, pemandu juga menerangkan setiap koleksi yang ada di setiap ruangan. Tentu saja kita bisa balik bertanya apabila ada hal lain yang ingin diketahui.

Hayo... Ini dipakai buat apanya batik?

Koleksi batik yang dipajang umumnya berasal dari orang-orang tertentu. Sebut saja bapak-ibu presiden dan wakil presiden, bahkan ada ruang sendiri untuk memamerkan koleksi mereka. Dan tentu saja yang harus ada adalah proses pembuatan batik itu sendiri, mulai dari berbagai bahan baku yang digunakan hingga varian batik nusantara.

Kalau yang ini bisa digunakan untuk pewarna, atau dibikin wedang, atau bikin baret-baret sekujur badan (#sensasihutansecangdipetak7wanagamarockforest)

Di akhir perjalanan, kita diberikan kesempatan untuk membatik, baik batik tulis maupun batik cap. Petugas akan memberi kita sehelai kain putih lalu membimbing kita mengenai cara membubuhkan batik di sana. Untuk batik cap, ada banyak pola yang bisa dipilih mulai dari kecil, besar, simpel, maupun rumit.

Pengunjung sedang dijelaskan proses pembuatan batik

Sama seperti museum-museum lainnya yang sudah saya ulas, di museum ini hanya ada satu pintu untuk masuk-keluar. Di samping pintu tersebut, ada ruangan di mana berbagai benda berbatik dijual. Jadi tidak hanya pakaian, tapi juga tas, payung, helm, bahkan pembersih khusus batik. Di seberang museum terdapat taman yang luas dengan pemandangan yang enak dilihat.

Sejarah itu bagai es krim Canary

Museum tidak harus menyajikan sejarah, bisa pula kebudayaan. Museum bahkan tidak harus berupa bangunan, seperti yang digiatkan komunitas Aleut bahwa mempelajari hal-hal tersebut dapat pula dilakukan sambil jalan-jalan di luar ruangan.

Setelah mengumpulkan uang seridlonya, lalu menyelipkannya di buku tamu (YA, tidak ada kenclengan atau apa), kami pun janjian untuk bertemu lagi di Canary. Lagi-lagi Fida yang mengusulkan ini. Pras bermotor dengan Nuhe sedang Fida yang juga bermotor tidak bawa helm selain untuk dirinya saja. Biarpun pos polisi di Kota Bandung tampak tak sebanyak pos polisi di Kota Jogja, namun saya tidak mau lagi bermotor tanpa helm sejak ditilang karena hal tersebut di perempatan Jalan Kaliurang. Maka saya pun jalan kaki. “Sedih pisan,” kata Nuhe. “Saya enggak sedih, saya kuat,” kilah saya. Ternyata malah saya yang paling cepat sampai di tujuan. Mana ada “macet” dalam kamus pedestrian, kecuali dalam antrian di loket ha-ha-ha!  

Canary bukan museum, melainkan toko roti dan kue di ujung Jalan Braga yang berlapisan batu andesit. Wangi roti biasa menguar dari toko itu sampai ke jalan. Di sana, grup payah sejarah ini memesan menu es krim yang berbeda: Vanila-lupa (16 K, Fida), Banana Split (17,5 K, saya); Coconut Royale (17,5K, Pras); dan Sleeping Beauty (17,5 K, Nuhe). Di wadah kami masing-masing (saya bak mandi mini, Pras ¾ kelapa, sedang Fida dan Nuhe sebagaimana wadah es krim lazimnya), setidaknya kami mendapat tiga tangkup es krim—oh, Nuhe dapat empat! Dengan harga sedikit lebih, milik saya, Pras, dan Nuhe sedikit lebih sehat juga dari milik Fida. Saya dapat pisang, Pras kelapa, sedang Nuhe anggur. Potongan wafer milik Fida dengan potongan wafer milik Nuhe ternyata pas bila disatukan! Pras dapat potongan wafer juga sedang saya tidak. Saya harus minta potongan wafer satu lagi ke dapur toko ini kalau begitu, supaya saya dan Pras bisa menyusul Fida dan Nuhe ke dunia lain. (#hah?)

Baru kali saya kenyang makan es krim, karena menghabiskan punya Nuhe juga sih. Fida merasa es krimnya rada pahit. Dia juga sudah kenyang sementara es krimnya masih sisa lumayan. Saya enggan menghabiskan punyanya karena sama dia sudah ditiup-tiup begitu es krimnya supaya cepat mencair sehingga dia bisa lebih menikmatinya. Fida mensinyalir es krim di sini mengandung banyak pengawet. Saya pun menceritakan pada mereka tentang toko bernama Tip Top di Kota Jogja, sudah berdiri sejak Bude saya SMP, yang mana produk es krimnya konon tidak mengandung pengawet—hanya bahan alami—sehingga lekas mencair. Tapi mana kenyang dengan satu tangkup yang mencapai 15K?

Saya juga cerita tentang Taman Tegallega di mana pengunjung harus bayar 1K untuk masuk tapi kondisi sangkar burungnya bagai pusat penelitian dinosaurus di Pulau Isla Sorna yang sudah lama ditinggalkan para pekerjanya. Tidak heran juga museum yang baru kami kunjungi hari itu kerap dianggap menyeramkan. Bagaimana tidak menyeramkan kalau tahu-tahu kita tertimpa atap saat sedang mengamati foto-foto para korban pembantaian? Di ITC Kebon Kelapa juga, kita harus membayar untuk menggunakan toilet yang tidak beres kerannya. Seandainya saja tiap museum, taman, dan toilet juga punya sahabat seperti Museum KAA punya. Kamu yang mengaku suka bersahabat, mau?

Maka melahap sejarah itu sebagaimana mengudap es krim Canary. Ketika es krim dihidangkan, seketika itu kita tertarik untuk mencicipinya. Begitupun ketika kita terlanjur masuk museum, kaki kita terus melangkah untuk mengetahui koleksi apa saja yang disajikan. Selanjutnya kita bisa memutuskan untuk menghabiskan es krim tersebut atau tidak ketika kita mulai kenyang. Begitupun dengan sejarah. Ketika kita sudah keluar dari museum tersebut, kita bisa memutuskan apakah kita hendak lebih jauh mendalami sejarah atau meninggalkannya begitu saja setelah tahu sekilas. ***

Kamis, 23 Februari 2012

Dari Museum ke Museum (Bagian 1)

Selasa (21/02/12), sekitar pukul setengah sepuluh pagi, saya duduk di Jalan Marconi yang diapit komplek Nehru Memoriam International School dan Museum Mandala Wangsit Siliwangi (selanjutnya Museum MWS). Gedung sekolah internasional di seberang saya dilapisi keramik yang telah dilumuri noda di mana-mana. Murid-murid sekolah ini bermain di sebidang lahan yang mengingatkan saya akan masa SMP saya di SMP Istiqamah Bandung. Kemudian Fida datang bermotor. Menyusul tidak lama, pasangan Nuhe dan Pras. 

Kami semua belum pernah ke Museum MWS sebelumnya. Yang saya pernah dengar beberapa kali, museum tersebut memiliki kesan menyeramkan. Fida tertarik untuk mengunjungi museum tersebut sejak singgahnya komunitas Aleut sejenak di sana pada Minggu (19/02/12) di mana Fida mulai gabung dengan komunitas tersebut. Menurut keterangan seorang pria berpakaian loreng-loreng yang tengah berjaga saat itu, Museum MWS buka hanya pada waktu kerja—setidaknya itu waktu “aman” untuk mengunjungi apapun bukan?

Kami dipersilahkan memasuki museum dari belakang sebab bagian depan sedang direnovasi. Sebelum pintu masuk bagian belakang tersebut, terdapat kantin dan tempat parkir mobil. Salah satu mobil yang bertengger di situ adalah sebuah ambulan yang digunakan pada sekitar tahun 1950-an untuk menolong para pejuang. Ambulan tersebut dikenal juga dengan “Si Gajah” atau “Si Dukun”. Siliwangi sendiri tampaknya merupakan sebutan bagi pasukan loreng-loreng di daerah Jawa Barat pada masa itu—berdasarkan legenda Prabu Siliwangi yang dianggap sebagai leluhur orang Sunda.

Di ruang belakang, kami disambut oleh seorang bapak berpakaian training yang cukup ramah. Di buku tamu, cukup perwakilan saja yang mengisi identitas dan sebagainya. Barang bawaan harus ditinggalkan di ruangan itu kecuali ponsel dan dompet. Bapak tersebut juga menuturkan sejumlah ketentuan lain. Bagi yang muslim, ucapkan basmalah sebelum memasuki ruangan, ucapkan basmalah tiga kali lagi ketika hendak memotret, keluar melalui pintu yang sama karena pintu satunya terletak di bagian depan yang sedang direnovasi, serta meninggalkan uang ala kadarnya untuk biaya perawatan.

Setelah menaiki tangga, sampailah kami di ruangan pertama yang memamerkan benda-benda peninggalan prajurit Siliwangi. Ada sekitar belasan ruangan dalam museum tersebut. Atap kecokelatan karena rembesan air. Ada satu ruangan yang dibatasi garis kuning karena atap di atasnya berpotensi runtuh sewaktu-waktu.

Yang lihat foto ini harus mengucap basmalah tiga kali 

Setiap lukisan diberi kertas di bawahnya dengan tulisan yang meminta pengunjung agar tidak memotret lukisan tersebut. Saya mewanti-wanti Fida agar tidak lupa mengucap basmalah tiga kali saat hendak memotret sesuatu—dia hanya mengucap sekali. 

Tiap daerah ada benderanya masing-masing

Kami terkesima dengan kesuraman atmosfer museum dan menggapai-gapai kesan angker yang konon katanya. Foto-foto yang memudar, diorama nan berdebu, serta berbagai perkakas perang tampak menjadi bagian dari kekusaman tersebut. Beberapa jenis koleksi dipajang dalam kotak kaca dengan ditemani bola(-bola) kamper yang kalau di rumah saya digeletakkan begitu saja dalam kamar mandi.

Eh ada Inspektur Vijay! Aca... Aca...

Berbagai pangkat dalam ketentaraan—baik dalam batalyon Siliwangi maupun DI/TII, bendera-bendera (tiap daerah beda), meja-kursi yang digunakan dalam peristiwa di Rengasdengklok, peta pergerakan tentara Siliwangi, sampai potret Jenderal Sudirman pun ada di sini. Liputan peristiwa G30SPKI juga tersedia. Dalam bangunan rapuh ini, setidaknya berbagai pajangan yang mengepung masih bisa melayangkan imajinasi pengunjung ke suasana saat itu.

Senjata-senjata hasil rampasan

Hal menarik juga melihat-lihat berbagai rupa senjata yang berhasil dirampas dari penjajah. Ada yang bentuknya seperti samurai, ada berbagai model pistol, dan lain-lain. Tidak ketinggalan dipamerkan juga senjata khas Indonesia berupa pedang-pedangan yang sayang sekali saya tidak ingat dan sengaja hapalkan namanya. Saya kira bambu runcing itu hanya sekadar bambu dipotong dari rumpunnya, dihaluskan, lalu diruncingkan ujungnya. Ternyata ada juga bambu yang memang diraut sampai bentuknya menyerupai pedang. Bakal lebih mengerikan lagi kalau ujungnya masih berlumuran darah. Salah satu kotak kaca memamerkan pedang yang digunakan seorang pejuang wanita bernama Susilowati untuk memenggal kepala musuh, luar biasa.


Pedang yang digunakan Susilowati ada di urutan pertama atau kedua (#lupa)

Pada ruangan yang bertemakan penumpasan DI/TII, foto-foto jasad dalam kondisi mengenaskan disajikan. Ada mayat gosong, hilang kepala, atau masih utuh tapi beberapa bagian tubuhnya kena gorok. Kesan superior yang hendak ditampilkan pihak di balik museum ini kuat terasa. Oknum DI/TII digambarkan begitu keji. Selain itu, ditampilkan juga tabel yang menunjukkan untung-rugi antara pihak “kita” dengan pihak DI/TII.

Sebagai orang yang sebetulnya tidak begitu meminati sejarah, saya bisa merasa miris juga melihat bagaimana sejarah diperlakukan. Demikian pun teman-teman saya. Fida tak ingat apa itu Perjanjian Renville (begitupun kami semua). Pras yang ayahnya tentara malah tidak berdaya saat kami menodongnya untuk jadi pemandu. Latar pembubuhan “Irianto” sebagai nama belakangnya adalah karena ayahnya pernah bertugas di Irian. “Zamannya udah beda,” kata Pras. Seharusnya kami ke museum ini dengan membawa buku pelajaran Sejarah.

Toh museum pun tidak menyediakan leaflet/booklet/apapun untuk kami bawa. Kalaupun ada biaya untuk itu, seyogyanya digunakan dulu untuk perbaikan fisik museum. Ketika saya berkunjung ke museum serupa di Kota Jogja beberapa bulan lalu, tepatnya Museum Dharma Wiratama milik TNI AD yang letaknya di Jalan Sudirman, kertas-kertas semacam juga tidak disediakan. Namun keadaan bangunan di sana lebih baik, tanpa kesan kumuh, bahkan ada ruangan ber-AC. Namun pengunjung hanya dapat menikmati museum tersebut sampai jam dua siang. Pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali untuk memasukinya, bahkan sukarela sekalipun. Namun kami tetap harus mengisi identitas dan menitipkan tas.

Sang Museum Dharma Wiratama

Ah saya jadi teringat museum-museum lainnya yang juga saya kunjungi belakangan ini.

Museum Konperensi Asia Afrika (KAA)

Museum yang saya kunjungi Minggu (19/02/12) ini sangat terawat, nyaman, luas, ber-AC, serta memiliki perpustakaan, sahabat (maksudnya relawan yang mau bantu mengurusnya), juga suka menghelat acara lain. Ketika tahun lalu (bertepatan dengan festival budaya MInang di jalan di sebelahnya), saya ke sana dengan beberapa teman SMA, kami bisa menonton film-film, ketemu cowok ganteng yang ingat solat, dan saya sendiri dapat majalah gratis. Sedang ketika kemarin saya datang ke sana lagi dengan teman-teman SMP, Pameran 50 Tahun Gerakan Non Blok (GNB) sedang diselenggarakan.

Pameran tersebut berlangsung dari tanggal 14 Desember 2011 – 24 April 2012. Pintu masuk pameran ini berupa uang di mana kita bisa menonton sekilas tentang GNB sambil tidur-tiduran. Penjaganya seorang bapak-bapak yang sangat ramah. Keluar dari ruangan tersebut, kita memasuki lorong yang pada dindingnya terdapat kronologi mengenai gerakan ini disertai berbagai propaganda perang dingin, profil para presiden negara-negara non blok, hingga situasi di negara-negara tersebut saat ini.

Kita juga bisa berpose di sebuah panggung kecil dengan perabot zaman dulu. Silahkan duduk di kursi, mengangkat telepon klasik di atas meja, dan mendengarkan rekaman pembicaraan tokoh dunia. Di samping panggung ada wastafel dengan keran yang dapat mengucurkan air—lengkap dengan handuk dan sabun! Di sudut luar panggung, sebuah gantungan pakaian berdiri. Kita boleh mencoba mantel dan topi yang tersangkut di sana.

Tidak hanya itu, kita bisa berlagak bak jurnalis pada masa itu dengan mesin tik kuno yang boleh dicoba. Mesin fotokopi klasik berada di samping kanan meja namun sayangnya tidak berfungsi dengan baik.

Di ruangan dekat pintu keluar, ada sebuah TV besar dan beberapa deret bangku empuk di hadapannya di mana kami mengaso dan mengobrol dengan Sahabat Museum dan ibu pengelola pameran tersebut.

Pada ruangan itu pula terdapat peta dunia. Sahabat Museum memberi kami sticky note untuk ditempelkan pada negara-negara yang telah ditandai, yaitu negara-negara yang bergabung dalam GNB. Pilih salah satu negara yang ingin kita kunjungi dan tulis bagaimana kita terhadap negara itu. Saya pilih Arab Saudi karena saya ingin menunaikan ibadah haji apabila saya mampu. Seorang anak SD menulis begini di sticky note-nya: “Saya ingin Indonesia tidak ada. Penjajahan.”

Sahabat Museum yang kami tanya mengaku sebagai siswa SMK. Ia mengetahui ada lowongan untuk jadi relawan di Museum KAA dari koran. Ada juga pelajar dari berbagai instansi lain yang umumnya memang mengambil jurusan sosial. Tugas Sahabat Museum antara lain menemani pengunjung, barangkali ada yang perlu dijelaskan.

Selain TV besar dengan tempat duduk di hadapannya, ada juga beberapa TV lain dengan ukuran lebih kecil yang ditempel di dinding. Ketika kami minta dimainkan film yang ada di salah satunya, sayang sekali Sahabat Museum tidak tahu cara mengoperasikannya karena setekernya bermasalah atau apa.

Ini antara lain yang bisa diambil dari Pameran 50 Tahun GNB di Museum KAA hehehe

Kecuali di pameran, Museum KAA tidak menyediakan panduan baik dalam bentuk cetak maupun wujud manusia. Kita tidak dipungut bayaran sama sekali. Namun tentu saja kita harus mengisi buku tamu dulu.
  
Kita diperbolehkan menengok ruangan yang biasa digunakan untuk acara-acara besar—perabotannya asli dari zaman dulu. Selain kami, ada beberapa kelompok lain yang memanfaatkan ruangan luas tersebut sebagai ruang mengaso. Tinggal dirikan kafe kcil saja di pojok ruangan, sempurna. Mendekati jam dua belas siang, kami diminta keluar ruangan karena museum akan tutup. Entah karena istirahat atau karena hari itu Minggu. Selama di sana, kami bertemu tiga rombongan dengan orang berbahasa asing di dalamnya—semua orang Asia.


…selanjutnya: Museum Pos Indonesia, Museum Batik Pekalongan, dan Sejarah itu bagai es krim Canary…

Minggu, 19 Februari 2012

Alina

 

Pagi.

Alina menyambutku dengan matanya yang sayu. Kubelai rambutnya yang tinggal titik-titik di kepala. Bagian-bagian yang pernah tersayat pisau bedah kuhindari, tentu saja. Jemariku lanjut ke pelipisnya, wajahnya. Kujawil pipinya pelan, takut mengusik selang oksigen yang melintang di sana.

“…Ma…ma…” senyumnya.

Senyumku untuknya.

“Mama enggak…” suaranya mengecil, “…kerja?” nyaris tak terdengar.

Aku menggeleng.

Ini hari kelimaku di rumah sakit. Beranjak darinya hanya ketika aku perlu ke kamar mandi, membeli makanan dan minuman, menyambut pembesuk, atau memanggil petugas. Sudah sewajarnya ia heran. Tidak apa-apa.

 

Siang.

Biasanya sepi. Tapi sejak beberapa hari lalu Alina mendapatkan teman sekamar, seorang anak SMP yang mengalami kecelakaan hingga sebelah kakinya harus diamputasi. Anak-anak SMP pun meriuhkan ruangan saat jam besuk, sementara aku dan Alina tersingkir dan tergugu. Alina terbaring ke arahku, sementara aku duduk di kursi menghadapnya. Bibirnya bergerak-gerak. Kudekatkan telinga.

“Ma… ma…” ucapnya dengan payah. “Temen-temen.. Ali…na… enggak… nengok.”

Mulutku bungkam. Sudah berminggu-minggu Alina opname. Yang membesuknya bisa dihitung dengan sebelah tangan—keluarga dan kolega dariku atau suami. Kutunggu Alina melanjutkan.

“Ali… na… enggak punya… temen…”

Gadisku merajuk. Kuhadapkan wajahku pada wajahnya.

“Temen-temen Alina juga nanti dateng…” kuharap begitu, “kan kemarin juga udah ditengok sama bu guru?”

Sejenak ia meresponsku dengan kosong.

Begitu ia menarik napas, kudekatkan lagi telinga.

“Ali…na… enggak ada… temen…”

 

Sore.

Alina di ruang operasi. Aku terkulai di bangku tak jauh dari ruangan tersebut. Tak sendiri, Bik Surti segera ke mari begitu menyelesaikan tugas-tugas di rumah.

Berkali-kali Bik Surti menawarkan diri untuk ganti menjaga Alina. Berkali-kali suami menyuruhku untuk membiarkan Bik Surti ganti menjaga Alina. Tidak apa-apa.

Bik Surti melulu yang menjaga Alina.

Kini bukan hanya Bik Surti yang tahu bagaimana Alina. Kini akupun tahu apa saja kesukaan Alina, mulai dari makanan, acara TV, pelajaran di sekolah, sampai buku bacaan. Wanita paruh baya itu menceritakannya selama menemaniku.

Begitu banyak yang Bik Surti tahu tentang Alina.

 

Malam.

Alina pernah mengatakannya padaku. Saat pipinya masih tembam, dan rambutnya lurus panjang. Deretan gigi mungilnya yang seputih susu membuat senyumnya makin berseri. “Mama… Alina mau terbang.”

“Terbang? Terbang ke mana?”

Kutemukan jawabannya pada panorama yang sedang ia gambar. Sebuah roket menembus malam. Betapa senang hati, cita-cita anakku begitu tinggi.

Kini Alina mengatakannya padaku lagi. Saat pipinya telah cekung, dan sorot matanya redup. Napasnya terseret-seret, mulutnya terbuka untuk bantu menimba udara. “Ma…ma… Alina mau… terbang.”

“Terbang? Terbang ke mana?”

“…i…kut… malam…”

Pandangannya menerawang ke jendela. Akupun turut menatap gelap yang membentang di atas lelampu perkotaan. Kegundahan sekonyong-konyong menguasaiku. Alina sudah begitu lelah. Tangannya lemas dalam genggamanku.

“Alina…” ucapku, “jangan terbang dulu… ya? Ikut Mama pulang ke rumah aja ya?”

Karena kini Mama akan selalu di rumah untuk Alina, sampai Alina kembali menjadi gadis Mama yang ceria. Mama tidak akan ke kantor lagi meninggalkan Alina. Mama sudah berhenti demi Alina. Alina…

“Ma… ma…” ucapnya, “Mama… sayang… Alina…”

“Iya… Mama sayang Alina.”

Hening ditimpa desahnya yang berat, matanya terpejam lamat-lamat.

Lama aku tidak beranjak dari duduk di tepinya. Akhirnya aku melepas genggaman dari nadinya yang tidak lagi berdenyut.

Kebersamaan yang singkat, Alina, dan telah berakhir. Kenapa kamu tidak memberikan Mama lebih banyak kesempatan, Alina, untuk membuktikan kalau Mama sungguh sayang kamu…

Aku kecup kedua belah pipinya. Aku rebah di sisinya. Aku lekatkan pipiku dengan sebelah pipinya, sebelah tanganku mengusap sebelah pipinya yang lain.

 

#cobainterpretasi

Randy Crawford – One Day I’ll Fly Away

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain