Sabtu, 31 Desember 2011

Deadline

Decak. Desah. Aku tak bisa menahan diri untuk tak melampiaskannya. Suara cempreng itu sudah menggangguku lagi sepagi ini—argh! Aku berlagak seolah tak punya kuping. Namun rentetan namaku tetap melayang-layang melintasi jalan raya. Tetap jua menggetarkan rumah keong dalam kepalaku!  

Sudah kubilang sedari tadi, “DEADLINE-NYA UDAH LEWAT!” Lagi, decak dan desahku bergumpal menyatu dengan uap air ke luar dari mulutku. Aku jadi tak ingin berjalan santai lagi. Semakin gegas langkahku. Aku lupa, dia lebih berpengalaman jalan kaki. Hilir mudik angkutan kota dan kendaraan pribadi tak cukup jadi penghalangnya untuk dapat menjejeri langkahku dari seberang sana.

“AYOLAAAAAH…!” Dia merajuk lagi. “PALING JUGA KAMU BARU NGERJAINNYA HABIS INI KAN? ARTIKELKU MASIH BISA MASUK KAN?”

“HAH? APA? NGGAK KEDENGERAN NIH!” Balasku, seakan polusi suara jalanan ini benar-benar mengganggu. Aku tersenyum puas. Kupalingkan sekalian badanku memasuki halaman universitas. Biar tahu rasa cewek itu!

Dia tak pernah mengerti arti “deadline”. Seolah kedekatan kami selama ini bisa jadi tiketnya untuk melalui itu. Beberapa kali memang aku terlalaikan, berkat sikap manisnya, hal-hal dari dirinya yang membuatku terpikat, bujuk rayunya… Hah, itu semua tak lagi berguna! Akibat kelenaanku selama itu, teguran-teguran pinum kuabaikan. Kusadari, kebandelan cewek itu sudah menulariku. Aku jadi sering berkilah, mengundur-undurkan tanggal terbit buletin kami, menyisakan ruang di sana agar tulisan cewek itu bisa muat—padahal ada tulisan-tulisan lainnya yang lebih layak! Cewek itu benar-benar memanfaatkan posisiku sebagai redaktur untuk eksistensinya! Sampai ultimatum pinum menyadarkanku.

Kuharap kali ini dia bisa mengerti apa itu “deadline”!

“BINSAAAAAAAAAAAR…!” Teriaknya lagi, memantul di punggungku. Semoga ini desahku yang terakhir kali. Semoga akhirnya dia mengerti bahwa aku tak lagi bisa dia pengaruhi.

Langkahku kian menjauhi keramaian lalu lintas. Kucoba menafikannya. Setidaknya rencana mendekam di sekre persma seharian untuk mengedit materi buletin cukup dapat menggusahnya dari pikiranku—sekaligus menerbitkan gairahku.

Namun dalam sepersekian detik kemudian, aku tak dapat menahan kepalaku agar tak menoleh lagi ke belakang. Ada bunyi keras dari arah jalan raya yang menimba jerit terkejut dari para pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Yang menghentikan laju kendaran dari kedua lajur. Yang membungkam suara cempreng yang sedari tadi menyerukan namaku.

Mataku hanya menangkap warna-warni ranselnya, hitam aspal, dan merah… Kupalingkan kepalaku ke bawah. Lekas kuangkat kakiku yang ternyata menginjak kodok—semoga isi tubuhnya terburai begitu karena terlindas mobil, bukan karena terinjak Doc Mart-ku! Ah. Aku mendesah lagi melihat alas kakiku berbercak merah. Desah dan desah lagi, napasku kian tak teratur. Nanar…

Dia yang biasa membawa berita untukku kini bakal jadi berita. Mungkin tidak akan ada lagi deadline untuknya.

Selasa, 27 Desember 2011

Epilog

Mulai hari ini, umurku telah berganti jadi 19. Statusku juga sudah ganti, dari pelajar SMA menjadi mahasiswa manajemen di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Papa belum membelikanku motor, tapi ia berjanji. Sebentar lagi, katanya. Biar hari itu lewat dulu.

Yang terang dalam rumah hanya cahaya dari layar laptopku saja. Sudah hampir setengah jam ini Om Yan menemaniku di Skype. Ia memainkan lagu ulang tahun yang indah untukku dengan piano. Ia masih diterangi cahaya matahari di kantornya di sebuah college khusus musik di Boston. Ia memang suka berpakaian formal.

Cuti panjangnya sebetulnya belum habis. Tapi ia sudah rindu untuk kembali bekerja.

“Ha ha… Kerja terus sih… Makanya enggak dapet-dapet istri,” ledekku.

Ia tersenyum saja, tanpa tersirat sama sekali kalau ia tersinggung atau apa. Itu memang bukan pilihannya. Sesuatu yang masih kerap bikin aku sendu. Dan bingung. Ah entahlah. Tidak mungkin aku mengorek pribadi orang sampai sebegitu jauh bukan?

“Papaku telepon Om.” Aku menunjukkan ponselku yang menyala.

“Oke Bibe.”

Kami menyudahi percakapan kami malam itu. Ia masih tetap seorang ayah yang baik bagiku. Aku belum bisa lekang darinya.

Aku benar-benar menyayanginya.

Dan menyayangkan perbedaan di antara kami.

“Assalamualaikum Bibe…”

“Waalaikum salam Papa…”

“Belum tidur?”

“Iya nih, masih nunggu dibeliin motor…”

Papa terkekeh. “Di mana?”

“Di rumahlah…”

Lagipula sedang ada Om Pir di rumah Tante As. Tuh. Aku langsung ingat wajah sepupu mungilku nan cantik. Bagaimanapun juga, akhir minggu ini aku harus ke sana!

 “Be, Papa belum sempat ngoreksi, maaf ya Bibe.”

Memoarku.

“Iya Papa…”

Memang sudah dua hari ini papaku ditugaskan ke luar kota. 

“Tapi ini udah Papa cetak. Ini lagi dicoret-coret… “

“Menurut Papa gimana?”

“Ini yang utuh baru prakatanya doang ya Be?”

“Hehehe…”

Satu dari enam puluh tujuh halaman. Kuakui, memoarku itu memang belum utuh. Mungkin aku butuh puluhan tahun lagi untuk menyelesaikannya.

“Baik kok, prakatanya…”

Papa membacakannya.

 

Aku ingin tahu apakah Papa pernah baca “Dunia Sophie”. Seandainya saja novel tersebut adalah hadiah buatan Papa untukku, dan bukannya buatan siapa itu untuk anaknya, aku ingin membuat karya balasan yang tidak kalah menakjubkan. Tapi kemudian aku berpikir lagi kalau yang Papa butuhkan bukan lagi pelajaran filsafat atau ucapan selamat ulang tahun yang bertebaran di mana-mana dan sesuai selera Papa, dibawakan oleh para tokoh politik dunia—bukannya para tokoh Disney, maka aku hanya akan membuat sesuatu yang lain. Sesuatu yang aku ingin bagi. Sayang sekali, sebagaimana Papa selalu menulis untuk kebutuhan orang banyak, maka aku menulis ini bukan hanya untuk Papa. Aku juga ingin belajar menulis bagi orang banyak. Semoga aku bisa menulis sebaik Papa. Aku mohon Papa sudi mengoreksi.

 

            “…tapi Papa udah nyiapin hadiah lain…”

Aku disuruh mencarinya sendiri.

“Di mana sih?” tanyaku, langsung penasaran sekaligus tak sabaran.

“Ah, carilah sendiri di kamar…”

“Beuh, entar kalau aku nemu barang yang aneh-aneh gimana?”

“Barang yang aneh macam apa? Ya udah itu cari di sekitar lemari!”

Sambungan kami tidak serta-merta putus. Aku menyalakan lampu kamar orangtuaku, langsung mengarah ke lemari, dan mengobrak-abrik isinya. Papa cerita mengenai petualangannya di Samarinda.

Di laci lemari, aku menemukan sebuah plastik putih. Ada kotak di dalamnya. Bon yang menyerta kotak tersebut menunjukkan bahwa pembelian dilakukan sebulan lalu. Kotak itu berisi test pack. Ada dua garis merah tertera di sana.

Saking terperangah, kontan aku menutup mulut.

“Masih di sana Be?” tegur papaku.

“Ma—masih Pa. Udah ketemu hadiahnya…”

“Gimana?”

“Positif Pa.”

“Ha? Apanya yang positif? Coba dipakai dulu!”

Yang benar saja. Pasti bukan ini kadonya!

Ketika aku menutup lemari, sebuah buntalan menjatuhiku. Buntalan tersebut dibungkus kertas kado. Aku melaporkannya pada Papa. Kata Papa, “Oh ya, itu, coba buka.”

Aku menurutinya. Tersenyum. Laporku lagi, “Pa, aku kejatuhan jilbab.”

Tinggal menunggu Mama pulang. Aku mencoba-coba jilbab pemberian Papa sambil membayangkan reaksi Om Yan melihatku berjilbab. Apa Om Yan bakal berani menciumku lagi? He he he.

Sambungan telepon dari Papa sudah terputus. Aku masih mematut-matut diriku di cermin. Karakter wajahku lebih menonjol ketika rambutku tertutup jilbab. Aku tidak usah selalu mencemaskan rambutku apakah masih enak dilihat atau tidak. Karena yang utama hanya senyumku.

 Namun terhibur oleh penampilanku sendiri tidak berarti gundahku tergusah. Aku bukannya tidak ingin adik lagi—apalagi dari orangtuaku sendiri. Aku juga tidak ingin meragukan kekuatan Mama, tapi tahun ini usianya akan 43 tahun. Sudah rawan untuk melahirkan. Aku ingin mamaku hidup sampai renta dan merasakan nikmatnya merawat anak-anakku—cucu-cucunya—kelak.

Suara-suara yang muncul dari depan rumah menandakan kepulangan Mama. Kusampirkan jilbab di pundak. Pintu memang tidak aku kunci, namun aku hanya ingin menyongsong Mama.

“Selamat ulang tahun Bibe!” kata Mama begitu wajah kami bertemu. Ah… Perut sudah berisi, masih pulang selarut ini. Bandel. Namun aku sudah berpengalaman menangani yang semacam dia sebelumnya. Kali ini aku akan memperlakukannya dengan lebih baik.

Lantas kupeluk dirinya. Dan kukatakan, “Enggak, Ma. Seharusnya aku yang harusnya ngasih selamat ke Mama, atas perjuangan hidup dan mati Mama sembilan belas tahun lalu supaya aku bisa lahir ke dunia ini.”

Aku memeluknya semakin erat. Aku merasa nyaman sekali saat perut kami bersentuhan. Perutnya yang mulai membuncit.

 

-akhir-

Senin, 26 Desember 2011

Selamat Tinggal

Mama menyarankanku untuk berkonsultasi dengan Pakde Iim. Putra tertua Kakek Burhan itu selalu merupakan figur abang baginya. Maka aku melakukannya, sekalian melepas kangen dengan Mbak An dan adik-adiknya. Saran Pakde Iim malah bikin aku tambah rempong. Sudah persiapan BMC mulai menggeliat lagi, aku harus mempelajari ilmu-ilmu sosial. Jadi, keputusannya, aku akan ikut jalur IPC.

Sore berhujan itu, pertemuan sukarelawan BMC akan diadakan di salah satu kantin di kampus Manda. Aku datang agak telat karena baru dari bimbel. Semakin mendekati lokasi, semakin pasti penglihatanku akan sosok Manda yang sedang mengepul asap rokok. Ia tidak menguncir rambutnya. Di sampingnya, Teh Icih duduk dengan mengapit puntung rokok juga. Sepertinya perbincangan tentang BMC belum dimulai, ini masih kumpul-kumpul para perokok.

Selain mereka berdua, sudah ada tiga orang lagi yang datang. Kantin itu tidak bisa dibilang sepi, tapi tidak terlampau ramai juga. Sebagian berada di sini sepertinya hanya untuk berteduh atau asyik-asyikan dengan gerombolannya saja.

Manda sepertinya sadar kalau aku agak kaget melihatnya merokok. Ia matikan ujung puntungnya.

Setelah aku benar-benar menyimak apa yang sedang orang-orang ini bicarakan, rupanya Teh Icih sedang cerita soal para pengisi acara besok—terutama dari kalangan musisi tenar. Sesekali ada gumaman heboh dari kami ketika band atau penyanyi yang digemari telah dipastikan dapat tampil.

Selain mengisi berbagai ruang publik dengan musik, BMC memiliki acara sampingan yang akan dihelat di Sabuga. Jika acara lain merupakan pesta rakyat, alias gratis, acara satu ini agak eksklusif karena harus bayar. Sengaja diadakan agar dana tertalangi.

Teh Icih sedang bingung karena ada beberapa musisi yang sukar dihubungi. Salah satunya Ardian Hayyra.

Tersengat aku mendengar nama itu.

“Teh, Ardian Hayyra kenapa Teh?” tanya Manda.

“Kalau untuk Kang Hayyra, ini juga lagi saya tanyakan sama Abah,” kata Teh Icih.

Manda memandangku.

            Kami tidak membicarakan itu lagi ketika rapat sungguh-sungguh dimulai. Kami membicarakan langkah-langkah teknis untuk mematangkan acara yang akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.

            Bubar. Manda menyenggolku. “Om Yan kenapa Be?”

            Aku mengangkat bahu. Aku sendiri menyadari bahwa beberapa bulan telah berlalu sejak takziah ibunya. Itulah kali terakhir aku melihatnya. Setelah tidak berhasil menghubunginya ketika tanteku habis melahirkan, aku coba meneleponnya sesekali. Namun jawabannya selalu sama, sampai wanita di seberang sana bilang kalau nomor itu sudah tidak aktif. Beritanya sebagai pendatang baru dalam belantika musik Indonesia pun sudah tidak muncul lagi. Berita terakhir yang memuat namanya di media adalah berita kematian ibunya.

Ia seperti menghilang.

Seakan aku juga telah lupa kalau ia pernah mewarnai hidupku, menghangatkan hari-hariku.

Apakah ia masih bertemu dengan anak-anak Tante Ri? Dengan Tante Ri? Ah. Tidak patut aku bertanya seperti itu. Aku sudah tidak pernah mampir ke Kedai Buncong lagi. Sesekali aku masih bertukar sms dengan Vira. Aku katakan padanya kalau aku sibuk menemani tanteku yang baru melahirkan. Juga persiapan ujian. Aku tidak sekadar cari-cari alasan, itu memang benar.

Padahal mereka pernah begitu baik padaku, sekarang terlupa begitu saja. Betapa tidak tahu diri aku ini.

Dalam perjalanan pulang, aku terkenang. Pada saat-saat di mana ia mengantarku pulang, saat-saat di mana kami menghabiskan waktu di kafe ini, atau tempat anu, pada cerita-cerita yang kami tukar, pada senyumnya, pada keinginannya yang diam-diam… untuk jadi ayah.

Lalu aku coba melacak beberapa media sosialnya. Tidak ada yang baru. Barangkali bukan ia yang mengisi, bahkan.

Yah, aku kangen, Yah… tulisku. Kirim.

Lain kali, aku coba mengetik surel untuknya. Aku kirimkan beberapa paragraf yang berisi kabarku, minta ditukar dengan kabarnya.

Beberapa hari kemudian, aku mengecek apakah ada balasan darinya atau tidak.

Aku seperti melakukan hal bodoh.

“Ma, ke mana Om Yan?” tanyaku akhirnya pada Mama.

“Lo, kan Bibe yang suka ketemuan sama Om Yan?”

“Om Yan bukannya selalu bilang sama Mama kalau mau ketemu aku?”

Mama mengerjap-ngerjap. “Mungkin Om Yan udah balik Bibe.”

“Masak… Kan dia bukannya mau ikut BMC Ma…”

“Aduh, Mama enggak tahu… Mau ditanyain ke temen Mama?”

Mamaku benar-benar menanyakannya pada Om Dedi. Om Dedi tidak tahu-menahu. Mamaku menyarankanku untuk tanya pada Tante Zahra. Ah sudahlah, aku jadi malu. Sepertinya hanya aku yang sungguh-sungguh merasa kehilangan. Lainnya biasa saja. Mereka tidak bertemu Om Yan sesering aku.

Di sela-sela jadwal bimbel yang memadat, kontras dengan jadwal sekolah yang melonggar, aku sisihkan waktu dari mengasuh Kiran dan menemani tanteku. Aku ingin menapaki jalan itu lagi. Jalan kelabu dalam benakku. Di mana aku menuju rumah itu, yang dua kali dalam kunjunganku pintu sampingnya menyisakan celah. Kini tertutup rapat. Bunga-bunga di halaman tampak menyambutku dalam dingin. Daun-daun kering berbaring di teras bersaputkan debu-debu. Tak berpenghuni. Mati.

Aku pulang ke rumah lalu mendengarkan ragam musik Ardian Hayyra. Aku masih tidak bisa memahami mereka. Di mana penggubahnya sekarang? Sedang apa? Apakah ia masih menemui kekasihnya? Jadi hubunganku dengannya hanya sampai yang kemarin itu saja?

“Jadi kamu udah enggak pernah kontak-kontakan sama Ardian Hayyra lagi Be?” tanya Manda. Aku memboncengnya pulang setelah kami mengurus logistik untuk keperluan BMC. Kami masih jadi tim. Dan kami netral satu sama lain, setidaknya begitulah yang aku rasa.

“Enggak.”

“Di acara yang di Sabuga entar dia katanya bisa hadir lo.”

“O ya?” Punggungku mendadak tegak.

“Mau tanya langsung sama Teh Icih?”

Aku menggeleng. Tidak. Tidak perlu. Karena Om Yan sendiri yang meneleponku malam itu. Aku penasaran apakah ia bisa membaca pikiranku dari kejauhan. Ia tidak menggunakan nomor yang biasanya tidak bisa dihubungi itu.

“Om Yan, ke mana aja?” tanyaku menahan harus sekaligus isak. Aku berkata begitu pelan di tepi tempat tidur dengan pintu kamar tertutup. Aku tidak mau papaku dengar.

Tawanya masih renyah.

“Saya di rumah keponakannya Abah Bibe… Di sini tenang sekali…” Ia menyebut sebuah daerah di pinggiran Bandung. “Bambunya masih banyak… Kalau pagi saya suka jalan-jalan ke sawah, liat airnya masih jernih sekali. Kali juga masih ada airnya. Kadang-kadang saya main ke rumah penduduk, cuman buat minum teh aja… Kalau bisa telepon Bibe pagi-pagi mah, bisa kedengaran suara burung pagi-pagi ramai sekali…”

Sekarang saja sudah terdengar derik jangkrik mengawang-awang sebagai latar suara Om Yan.

“Ngapain di sana?” tanyaku.

“Persiapan Bibe…”

Biar diembeli “sampingan”, acara di Sabuga akan berlangsung meriah. Para musisi Sunda akan jadi poros. Sebagai musisi pendamping, yang sekaligus menjadikan ini sebagai proyek, Om Yan tampak menghadapinya dengan serius. Ia cerita, di desa tersebut para musisi yang akan berkolaborasi dengannya berkumpul untuk menerjemahkan orkestra alam jadi harmoni calung serta kacapi suling. Ini seperti perlawatan yang biasa Om Yan lakukan ketika ingin menghayati ragam musik langsung dari sumbernya. Tapi kali ini pakai acara gotong piano segala.

“Om susah banget dihubungin..” masih aku mengeluh. “Jadi sekarang Om udah ganti nomor jadi yang ini?”

“Enggak Bibe, ini bukan nomor saya.”

“Aku juga kirim e-mail ke Om Yan…”

Tapi ia tidak dengar. Ucapanku tadi tertimpa ucapannya, yang langsung kusimak begitu aku selesai berkata-kata. “Bibe, maaf, saya boleh minta tolong Bibe?”

“Iya Om?”

“Begini… Bibe masih suka main ke rumah Tante Ri?”

Seperti ada yang berdentum di dalam dadaku. “Udah jarang Om…”

Aku tidak segera mendengar jawaban. Agak lama, sampai ia berkata lagi dengan lembut, “Bibe mau ketemu Tante Ri lagi?”

Aku terpana. “..i… ya… Kenapa Om?”

“Ah, iya, kalau boleh… Bibe bisa ajak Tante Ri ke acara BMC yang di Sabuga itu?”

“Oh…”

“Tolong….” Suaranya tertahan sejenak. “…dipastikan Tante Ri bisa datang ya Bibe. Bibe bisa kasih langsung ke Tante Ri?”

“Insya Allah Om, saya usahakan.”

“Nanti saya pesankan ke Teh Icih. Nanti Bibe tolong ambil ke Teh Icih ya…”

“Iya Om.”

“Terima kasih Bibe. Kita ketemu di Sabuga besok ya?”

“Kapan?”

“Iya, besok, pas acara. Bibe masih jadi panitia kan?”

“Iya Om.”

“Terima kasih ya Bibe.”

“Iya Om.”

Otakku berpikir cepat bagaimana menyampaikan titipan itu pada Tante Ri dengan aman, tanpa harus diketahui anak-anak Tante Ri atau siapapun.

“Baik Bibe…”

“Om.”

“Ya?”

“Ada nomornya Tante Ri?”

“Ah. Sebentar saya cari dulu.”

***

Tante Ri mengajakku bertemu di suatu mal, di Bandung tentu saja, pada akhir minggu, tepatnya di suatu gerai makan yang tenang dan relatif sepi. Ia datang lebih dulu dari aku. Ia mengambil tempat di pinggir jendela, semakin terpencil, sendirian.

Ia menjaga senyumnya, tapi matanya tidak. Aku tidak bisa membaca apa yang tersirat di sana. Jelas suasana hatinya tidak baik, aku menduga-duga.

“Gimana kabar Ari sama Vira, Tante?”

“Baik.” Sorot sendu itu jadi agak kabur.

“Ari mau ngelanjutin ke mana Tante?” Aku tidak berbasa-basi. Aku memang sungguh ingin tahu nasib bocah tampan, cerdas, soleh, dan humoris tapi asosial, arogan, dan daya motoriknya hanya canggih di jemari itu.

“Pinginnya dimasukin pesantren.”

“Hah?”

“Dari kecil emang anak itu rada istimewa…”

“Pesantren mana Tante?”

Ada sebuah pondok pesantren modern terkenal di pelosok Jawa Timur.

Serius, anak manja itu bisa tahan hidup keras ala santri begitu? Apakah ia bisa hidup sehari saja tanpa pegang joystick?

“Vira juga mau masuk SMP ya Tan?”

“Iya. Paling ngelanjutin ke yayasan yang sama aja…”

Aku mau menghabiskan malam dengan gadis kecil itu lagi kalau kakaknya benar-benar jadi mondok di pesantren.

Kami diam beberapa lama.

“Jadi… Gimana kabarnya Yan?” tanyanya.

Sebetulnya aku agak kaget juga mendengar jawaban itu.

“Aku… udah jarang ketemu sama Om Yan lagi, Tante. Kemarin cuman lewat telepon aja. Sekali.”

“Oh…”

“Terakhir kali ketemu pas… ke takziah ibunya.” Dan aku melihatmu menangis.

Ia menunduk sebentar. Kepalanya naik lagi dengan pandang menerawang. “Ya.” Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Ini memang berat buat dia.”  Tante Ri mencoba tersenyum lebih lebar. “Yan itu… dekat sekali dengan ibunya.”

Ia masih menyimpan foto ibunya waktu muda di dalam dompet. Ia menurut ketika ibunya ingin ia sekolah di luar negeri. Setelah gemilang, ia ambil cuti panjang untuk menemani hari tua sang ibu.

Dan tidakkah sekilas Tante Ri tampak mirip dengan ibunya Om Yan?

Tante Ri kira Om Yan sudah tidak di Indonesia lagi.

“Enggak, Tante. Kan ada… itu… Bandung Musical City.” Aku jelaskan padanya ihwal helatan warga musisi Bandung tersebut.

“Iya… Aku kira itu sudah selesai. Dia sering bolak-balik ke… “ Ia menyebut nama desa yang kemarin Om Yan sebut di telepon.

“Belum Tante.”

Ia tidak berkata-kata lagi. Senyumnya tidak mampu memudarkan gundah. Aku benar-benar penasaran bagaimana hubungan di antara kedua orang ini. Akhirnya aku menyerahkan amplop berisi tiket itu padanya. Ia mengintip isinya. Ia hanya mengambil satu. “Saya datang sendiri aja,” katanya. Ia mengembalikan lainnya.

Kami tidak bercengkerama lebih lama lagi.

Sejujurnya, aku agak iba melihatnya.

Setelah itu, hari-hariku berlalu bagai angin ribut. Sekolah sudah tidak lagi mengusikku, namun jadwal bimbel tidak lagi bisa kulewatkan. Aku masih harus belajar tambahan agar sukses di jalur IPC. Belum lagi persiapan BMC dan kecenderunganku untuk mengambil alih pekerjaan orang lain. Ketika aku sudah diberi tugas untuk menyiapkan satu tempat saja, aku mencampuri persiapan di tempat lain.  Yang mengingatkanku bahwa itu bukan bagianku adalah ketidakhadiran Manda. Kami kan satu tim. Ya. Dan Manda bukan orang yang suka mengambil banyak peran. Ia beda denganku.

Yang aku sedihkan adalah ujian masuk perguruan tinggi terselip di antara serangkaian acara BMC. Mama mewanti-wanti agar acara BMC tidak sampai menggagalkan kesempatan yang menentukan masa depanku ini. Aku jadi tidak bisa lihat penampilan Om Yan secara cuma-cuma di salah satu ruang publik. Katanya ia bakal memainkan pianika bersama beberapa musisi muda.

Tapi untungnya, acara yang di Sabuga dihelat sesudah ujianku.

Malam itu, aku jadi petugas pengarah. Aku menggunakan kaos BMC dan mengalungkan tanda pengenal di leher. Aku mondar-mandir di dalam gedung pertunjukan untuk membantu orang-orang menemukan tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiketnya. Sekilas aku melihat sosok jangkung nan necis mengintip dari pintu di sisi panggung. Aku menoleh beberapa kali untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat. Langsung kutinggalkan tugasku.

“Om Yan!” teriakku.

“Hei Bibe…” Ia merunduk.

Aku terbenam dalam pelukannya. Tersesap harum yang kurindu.

“Om… Aku kangen…” kataku. Aku sungguh-sungguh.

Ia mengelus kepalaku. Aku merasa kenyamanan kembali merengkuhku.

“Kapan kita jalan-jalan lagi Om?” tanyaku. Bukan basa-basi.

Ia sudah berdiri lagi. Beberapa lama kami hanya berpandangan saja. “Kapan-kapan Bibe, main ke rumah Om ya?”

“Rumah Om yang…” Aku tidak yakin rumah itu masih berpenghuni.

“Bukan. Rumah yang satu lagi.”

“Di mana?”

“Boston.”

“Jauh.”

“Pokoknya Om tunggu Bibe di sana.”

Serasa ada harapan yang ia jatuhkan padaku.

“Aku belum lihat Tante Ri, Om.”

“Enggak apa-apa. Nanti juga datang.”

Aku tahu ia sendiri tidak pasti.

“Sekalian saya juga mau pamit sama Bibe.”

Besok ia tidak lagi di menjejakkan kaki di tanah ini.

Keluarga adiknya juga datang ke mari untuk menyaksikan. Aku dikenalkan pada mereka. Namun para anak lelaki terlalu bandel untuk diam dan mengulurkan tangan.

Tante Ri datang ketika lampu-lampu sudah digelapkan. Dengan sigap aku menyambutnya. Memang mataku sedari tadi mengawasi setiap paras yang masuk ke mari. Sudah was-was saja aku kalau-kalau ia tidak memanfaatkan tiket gratisannya.

Sembari membimbingnya menuju bangku di deretan terdepan, aku sampaikan amanat Om Yan. “Tante, entar setelah Om Yan penampilan yang pertama, ditunggu di….”

Setelah penampilan Om Yan yang pertama, aku menyelinap lewat pintu lainnya—yang jelas tidak sama dengan Tante Ri. Beberapa kali survei, gladi bersih, dan menyiapkan tempat ini untuk pertunjukan, aku sudah menentukan beberapa sudut di mana aku bisa mengintip tanpa terlihat dari titik mereka bertemu.

            Tidak banyak. Tidak lama. Aku hanya lihat sang pria bicara pada sang wanita. Sang wanita mengusap matanya. Tidak dengar apa yang ia katakan. Aku tidak bisa menyimak lebih lama. Seseorang memanggilku dan aku tidak ingin orang tersebut mengetahui ini. Jadi aku segera pergi.

            Di tengah malam sehabis pertunjukan itu, Om Yan pergi dari Sabuga bersama keluarga adiknya kok, tidak dengan Tante Ri.

Minggu, 25 Desember 2011

ketika kucing tidak lagi dalam karung


JANGAN BELI KUCING DI ATAS KARUNG!
kucing satu ini, biar ekornya kayak kemoceng, tapi buang air besarnya suka sembarangan. 

Sabtu, 24 Desember 2011

Kenalkan: ITC Kebon Kalapa dan SD Istiqamah Bandung

Ingin ke Bandung tapi belum kesampaian? Mari, saya kenalkan kamu dengan dua lokasi terkenal di Bandung. Kenalan sedikit saja. Kalau mau kenalan lebih jauh, silahkan datang sendiri he he. :)


1
ITC Kebon Kalapa

Kebon Kalapa di Bandung bukanlah kebon kalapa dalam arti sebenarnya. Seperti kata Wilson Nadeak dalam puisinya, "Kebun Kelapa: Terminal Kita", kebun kelapa/ di tengah kota/ telah tiada kebunnya/ telah tiada kelapanya

Waktu saya SMP, sekitar awal tahun 2000-an, sebuah pusat perbelanjaan dibangun di daerah ini. ITC namanya. Benda pertama yang saya beli di sini adalah jaket parasut kuning yang ada mata mendelik di bagian dadanya.

ITC Kebon Kalapa tampak samping
Sebenarnya bukan tidak ada tumbuhan kelapa sama sekali di daerah ini. 
Nih, ada. Tapi ini tidak bisa disebut kebun bukan?
Bagian dalam ITC

Sudah puas lihat-lihat? He he. ITC jadi alternatif bagi mereka yang ingin mendapatkan sandang dengan harga murah. Karena tidak semua orang konsumtif, termasuk saya, maka saya akan langsung mengajak kamu ke elemen tervital dari sebuah pusat perbelanjaan, yaitu, TOILET!

Lebih spesifik lagi, terutama bagi kamu yang kritis, akan langsung saya tunjukkan ketidakberesan dari toilet yang ada di ITC.

Air tidak bisa berhenti mengucur. Perhatikan arah keran.

Idem

Sudah kerannya tidak bisa ditutup, pintu bilik yang saya masuki ini rupanya tidak bisa dikancing pula. Akhirnya saya gunakan pulpen sebagai pengait. Ketika saya mau keluar, ternyata tidak mudah untuk menarik pulpen saya kembali. Ia pun harus dikorbankan. :'(


Bokong pulpen yang tertinggal...



Di bilik lain, kendati kerannya menutup namun tetap ada pancuran air ke arah atas. Dari foto di bawah ini sih tidak kelihatan, tapi coba deh berdiri di pinggir jamban. Baru kerasa ada yang bikin basah.



Padahal, ada himbauan tertulis seperti ini. 


Ketika pengelola minta kita untuk bayar, dan kita pun membayar. Memang sedikit yang kita bayar. Tapi yang bayar kan bukan kita saja, melainkan banyak pengunjung lainnya. Lalu yang sedikit tapi dari banyak itu dialokasikan untuk menambah anggaran pemeliharaan. Tapi apa yang kita temukan? Kondisi sarana dan prasarana yang terbengkalai. Apa harusnya kita membayar lebih? Apa hanya sedikit yang sadar bayar? Apa yang dibayar tidak sadar? Apa... apaan?

Kondisi serupa saya temukan di Taman Tegallega. Jadi mau toilet apa taman kota, biaya masuknya tetap seribu rupiah. Kalau di taman kota, mungkin kita perlu seribu rupiah lagi untuk masuk toilet di dalamnya.

Mungkin harusnya yang kita bayarkan itu bukan seribu rupiah, melainkan kita datangkan langsung cleaning service dan tukang untuk memperbaiki keadaan.


2
Kompleks Yayasan Istiqamah

Kompleks ini terdiri dari masjid, SD, TK, klinik, kantin, hingga KBIH. Berlokasi di Jalan Citarum, kompleks berukuran luas ini dikeliling pohon-pohon besar yang tampak megah. Anak-anak yang bersekolah di sini umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas, tapi banyak juga yang dari kalangan menengah biasa. Selama enam tahun, kompleks ini menjadi wilayah jelajah saya. Mari ikuti saya menapak-tilasi masa SD saya. 

Aula. Di sini kami biasa solat zuhur. Waktu kelas 6, saya dan teman-teman suka main jetkoster-jetkosteran di sini. Bahaya sih. Alhamdulillah tidak ada yang pernah kena kecelakaan serius.

Bayi kucing disiram fanta. Dulu ini tidak ada tanamannya. Hanya tanah. Waktu masih di tingkat bawah, saya dan teman-teman menemukan seekor bayi kucing. Bulunya saja belum tumbuh. Badannya basah merah-merah. Katanya itu karena ada yang menyiramnya dengan fanta.
Dapur di belakang kantor kepala sekolah. Dulu ada seorang wanita bekerja di sini. Kami memanggilnya "Teteh". Saya dan Teteh cukup dekat. Begitu bel berdering, tanda jam istirahat mulai, saya langsung menghampiri Teteh di sini. Dia memegang kunci perpustakaan sekaligus menjadi penjaganya. Sesekali saya menjadi asisten Teteh. Saya melayani murid lainnya yang hendak meminjam buku, misal. Ketika Teteh tahu-tahu tidak bekerja lagi tanpa diketahui sebabnya, saya jadi tidak mudah mengakses perpustakaan lagi. Kalau teringat padanya, saya jadi merindukannya dan kedekatan kami. Teteh, kau ada di mana?
Para guru masih bertahan. Saya takjub mendapati muka-muka mereka masih eksis dalam kegiatan SD baru-baru ini. Mulai dari kiri: Pak Hadi - Pak Asep - Pak (entah) - Pak Abu - Pak Eko. Pak Hadi adalah guru favorit siswa. Ia suka bercerita dan selalu memulai ceritanya dengan "aya nini-nini". Pak Asep juga mau menceritakan yang horor kalau diminta. Pak Abu ternyata uwaknya teman saya waktu SMP. Selain di SD, Pak Eko juga mengajar di SMP Istiqamah.
Kantin. Saya jarang makan di sini. Untuk ukuran kantong siswa SD, harga makanan di sini tergolong mahal. Kami kan tahunya jajan yang ringan-ringan macam batagor, cakue, dan lain-lain. Kantin ini juga menjual makanan berat.
Lapangan kasti. Entah apa fungsi area ini sebenarnya. Waktu saya kelas 4, saya dan teman-teman sedang getol-getolnya main kasti di sini. Biasanya pagi sebelum masuk atau istirahat. Kalau lapangan di bawahnya sudah penuh terisi saat momen SKJ-Sabtu-pagi, siswa yang tidak kebagian tempat di bawah akan bergoyang di sini.
Lapangan upacara sekaligus lapangan olahraga dan SKJ-Sabtu pagi. Sekarang area ini jadi tempat parkir juga. Kalau tidak berolahraga di sini, maka kami akan berolahraga di lapangan satunya yaitu lapangan merah. Sekarang area ini jadi berasa rada sempit, padahal dulu lumayan besar. Maklum, sekarang kan sudah gede...

Salah satu lorong kelas. Selain deretan kelas untuk kelas bawah dan kelas atas (dulu), terdapat MCK putri, tangga, mading, aula, dan (dulu) koperasi juga di sini. Area ini berdampingan dengan area TK (tidak terfoto).
Mading. Kelas 6 saya (maklum, lokasi kelas berganti-ganti tiap tahunnya) terletak di seberang MCK putri yang terletak di samping mading ini. Kami, kelas 6, mengurus mading ini. Kami tempelkan karya kami, saya dengan komik saya. Kami juga menyertakan kotak untuk komentar. Sejak ada komentar mengenai komik saya yang garing, saya melanjutkan bikin komik di buku tulis saja. Kelas 5 iri dengan mading kami. Mereka merusaknya. 
Lorong ruang guru. Ruang guru letaknya di sebelah kiri. Di seberangnya adalah aula. Saya pernah diam beberapa lama di ruang guru untuk mengerjakan ujian susulan. Tangga di ujung sana adalah tempat kami mengintip teman-teman kami yang bolos solat zuhur berjamaah dan malah pacaran di dalam kelas. Ada lubang-lubang untuk mengintip pada dinding di samping tangga tersebut.
Menara. Sewaktu masih di kelas bawah, saya dan teman-teman suka menghabiskan waktu istirahat atau pulang sekolah di sini. Letaknya dekat dengan kelas kami. Saya suka penasaran dengan besi-besi yang menempel di bagian tengah, yang tentu digunakan untuk memanjat sampai ke puncak menara. Saya dan teman-teman segeng saya waktu kelas 6 berfoto di bawah menara ini saat kelulusan.
Tangga menuju perpustakaan. Waktu itu ada dua macam perpustakaan. Jika lurus terus lalu belok sedikit, di sebelah kanan adalah perpustakaan. Dulu perpustakaan untuk siswa merupakan ruangan kecil yang merupakan bagian dari perpustakaan untuk umum. Namun perpustakaan untuk siswa kemudian dipindah ke ruangan di seberangnya. Lebih luas dan nyaman, malahan. Di sana saya sering menghabiskan waktu saya. Benar-benar menyenangkan! Lantainya berkarpet, ada bantal-bantal, saya bisa membaca buku sambil leyeh-leyeh. Entah masih ada perpustakaan untuk umum di lantai ini atau tidak, yang jelas saya tidak bisa mengintip keadaan perpustakaan yang dulu pernah dicinta.
Gerbang. Dulu gerbang tersebut biasanya terbuka. Di luar menanti banyak pedagang makanan. Biasanya kami menunggu angkot sambil beli batagor. Pernah juga ada yang menjajakan komik-komik bekas. Kalau Jumatan, peminta-mintalah yang banyak mengisi. Sempat ada wartel dipajang di samping gerbang ini.
Klinik. Di sinilah dulu kami mengantri untuk periksa gigi. Ternyata klinik ini juga diperuntukkan bagi umum.
Plaza. Di sinilah kami biasa menghabiskan waktu untuk bermain atau menunggu jemputan atau sekadar mengobrol dengan teman. Memang asyik nongkrong di sini,. Kita bisa mengamati pohon-pohon besar dan lalu lintas di bawahnya yang sedang-sedang saja. Kalau aula sedang tidak bisa dipakai untuk solat zuhur berjamaah, kami melakukannya di sini. Plaza ini terletak di atas, di luar masjid. Biasanya kotor dan lengket, jadi sebaiknya gunakan alas kotor untuk berjalan di sini.
Prestasi sekolah. Wah, selamat ya SD Istiqamah termasuk tiga besar sekolah terhijau di Bandung! Salah satu bukti pendukung mengapa SD ini dicanangkan demikian bisa dilihat di bawah.
Rumah tanaman. Ini baru lo. Saya lupa kapan terakhir kali saya ke mari sebelum ini. Tahun ini apa tahun lalu ya? Apa dua tahun lalu? Yang jelas baru kali ini saya melihat benda ini. Saya juga tidak tahu bagaimana pengelolaannya, semoga para siswa dibimbing guru atau pegawai lain yang melakukannya. :D
Serodotan. Letak bebatuan ini dekat kelas saya waktu saya masih kelas bawah. Saya dan teman-teman suka ke mari saat istirahat atau pulang sekolah. Kami akan naik ke atas, lalu meluncur turun ke bawah. Mungkin sekarang ditanam tanaman di atasnya adalah untuk mencegah para siswa agar tidak melanjutkan permainan ini. Memang dulu kami sudah diberitahu kalau ini dapat berbahaya. Berseluncur di sini juga bikin celana olahraga biru kami bolong-bolong di bagian pantat.
Pramuka. Rupanya pramuka sudah eksis di sekolah ini. Zaman saya, susah sekali mendisiplinkan anak-anak untuk ikut kegiatan pramuka. Yang jalan paling hanya baris-berbaris. Tidak ada yang namanya persami. Saya sendiri pernah ikut bolos, hujan-hujanan bersama beberapa teman, sementara di atas sana, di plaza, banyak siswa lain sedang dilatih entah apa. Pramuka hanya sekadar seragam. Namun kini SD Istiqamah memiliki seragam pramukanya sendiri. Lucu deh, saya juga ingin punya.
Lapangan merah dan SMAN 20 Bandung. Inilah yang dinamakan lapangan merah. Lapangan ini sebenarnya masuk ke area TK. Ada banyak sarana bermain di bawahnya, bahkan kini sudah ada pula di sisi satunya. Kami yang sudah SD suka nebeng main ke sini hingga akhirnya penggunaan sarana di sini dibatasi. Sesekali kami berolahraga di lapangan ini. Dulu lantainya hanya kotak-kotak, tidak diberi warna lain seperti sekarang. Kalau main kasti misalnya, sesekali bola kami melambung sampai ke jalan raya. Kalau sudah begitu, jeda lama. Nah, di seberang adalah bangunan SMA 20. 
Tempat cuci tangan. Sebenarnya ini masuk ke area TK. Dulu bagian atas keran tidak ditutupi bebatuan melainkan akuarium kaca sehingga kita bisa mengamati ikan-ikan di dalamnya. Kalau kebetulan lewat dan merasa tangan kotor, kami suka menumpang cuci tangan di sini.
Tempat jualan Bu Amel. Anak-anak Bu Amel dulu bersekolah di sini. Mungkin pada mulanya ia jualan hanya untuk mengisi waktu sambil menunggui anak-anaknya saja. Namun lama kelamaan jualannya makin laris. Ia berjualan aneka jajanan untuk anak-anak--tentu bukan jajanan ala mang-mang. Ibu-ibu pun suka berkerumun di dekatnya. Bu Amel mulai aktif jualan sejak saya kelas 3 atau 4 sampai saya lulus. Mulanya dulu bukan di tempat ini, tapi di tempat lain. Baru di tempat ini ia mulai pakai meja karena yang ia jual makin banyak. Entah Bu Amel masih jualan apa tidak dan di mana anak-anaknya bersekolah kini setelah lulus dari sekolah ini.

Wah... Sudah cukup ya putar-putarnya. Bikin saya ingin balik ke masa SD lagi nih he he. Sebetulnya masih ada sisi-sisi maupun sudut-sudut lain yang berisi kenangan. Belum lagi cerita-cerita di baliknya. Namun karena berbagai keterbatasan, saya tak sampai menjamah semuanya. Cukuplah ini yang mewakili nostalgia saya. 

Sampai jumpa.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain