Sabtu, 25 Desember 2010

epilog

(selama ini slalu kusangsikan/ akan kemampuan diriku/ percaya pada diriku sendiri/ adalah yang kucari/ tibalah hari yang kunanti/ kau datang bagai angin, oh, angin/ melanda meniup hari yang indah ini/ dengan dikau di sampingku, sayang/ berartilah hidupku ini/ waktu ini akan kusaksikan/ sampai di mana bertahan/ chaseiro – hari yang indah)

.

Halaman itu seharusnya memuat tulisannya. Penuh. Sebuah kritik akan kebusukan-kebusukan terselubung dalam dunia sekolah. Baris demi baris paduan kalimat yang menyerang, memancing gerah jiwa. Menusuk tajam. Tapi tidak ada. Hanya gambar seorang cewek dengan mata besar, wajah sok sendu, rambut panjang menjalar, pakaian bak bidadari yang berkibar-kibar. Tentu akan membutuhkan banyak bantuan dari Toko Foto Adobe untuk menghasilkan gambar semacam ini. Zia jadi ingin memperlihatkannya pada Zaha. Ingin tahu apa komentarnya. Semoga saja Zaha tak sampai tanya-tanya siapa yang membuatnya. Zia bergidik. Jangan sampai ia menemukan kacamata bertengger di atas hidung cowok kucel itu!

“Heh, mana kejutan teh?” Seseorang menepuk bahunya dengan majalah semesteran LEMPERs yang terlipat, yang kemudian disodorkan padanya. Namun ditarik lagi karena Zia sudah memegang barang yang sama.

Zia memperlihatkan gambar Kamal. “Nih, aku pingin liatin bonus pin up. Bagus kan buat sampul binder?”

Kang Detol berdecak, tak mengacuhkan ucapan Zia. “Kirain, bakal ada tulisan kamu lagi... Kalau udah kelas XII masih bisa ngisi majalah semesteran kan?”

Zia merasa tersentuh. Betapa Kang Detol telah coba memotivasinya selama ini. Dasar warbunger, andai saja ada banyak oknum-oknum seperti itu di sekolah! Maaf, Kang, aku mengecewakanmu lagi... “Ngapain, Kang, masih keliaran di sekolah?” Zia mengamati pakaian bebas yang Kang Detol kenakan. Kang Lutung saja sudah siap-siap menghuni kampus ITB. Kang Hilman dan Kang CP juga. Empat sekawan yang begitu kerap terlihat bersama.

“Nganterin adik saya liat-liat sekolah...” Kang Detol memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Mereka saling diam untuk beberapa lama, sampai Kang Detol melihat sesosok anak muncul dari balik tikungan menuju koridor. “Udah?” tanyanya pada anak itu. Zia melihat sekilas rupa adik Kang Detol. Sembari menggiring anak tersebut, Kang Detol melambai padanya. “Duluan, ceu Zia!”

“Ya, Kang!” Zia balas melambai. Papa juga pasti sudah menunggunya sedari tadi. Sehabis mengambil rapot Zia, Papa langsung balik ke mobil sementara Zia ingin membeli majalah semesteran dulu. Lalu mereka akan ziarah ke makam Mama lagi. Zia mendengus malas. Ia jadi ingin menyarankan Papa agar sekalian alih profesi jadi juru kunci di pemakaman Mama saja.

Sepanjang menapaki jalan menuju gerbang sekolah, Zia merasa aneh. Meskipun sekolah ini ternyata menyembunyikan sekian hal tak dibenarkan, ia masih merasa biasa-biasa saja saat berjalan-jalan di dalamnya. Memang sudah lain pandangannya terhadap para oknum yang diperkirakan terlibat dalam persekongkolan UN. Namun masih ada satu tahun ia di sini. Dan tahun depan, ada sebuah tugas menanti. Jika ia tak berhasil melakukan apa-apa sekarang, maka ia harus mencegahnya agar jangan sampai terulang lagi. Semoga tidak ada halangan berarti pula bagi Bang Ali. Harus ia galang kesatuan orang-orang jujur dari sekarang—baik yang berpotensi menentang segala bentuk kejahatan akademis macam Epay, maupun yang apatis layaknya Ardi.

Zia mendongak ke angkasa. Pada dua tajuk pohon yang tak sampai bertaut, daun-daun yang bertebaran di bawah mendung. Berandai-andai ia menjadi bagian dari mereka, dalam peraduan di atas sana. Tinggi menjulang bak, Zia menoleh ke sampingnya, seseorang yang sepertinya hendak menyeberang jalan juga. Sekali melihat Zia sudah tahu itu bukan Dean, tapi sengaja ia ingin bilang, “Dean?”

Cowok itu menoleh, sedikit terkejut. Lantas tersenyum. “Deraz, Teh.”

“Ho ho, sori... Habis mirip sih.” Zia menggaruk-garuk belakang kepala.

Deraz tersenyum lagi. Untuk beberapa lama Zia tak dapat berpaling. Pantas saja sampai ada lagu yang dijuduli “Wajahmu Memalingkan Duniaku”, pikir Zia. Rupanya untuk paras-paras rupawan macam Derazlah lagu tersebut diciptakan. Senyum Deraz memang merawankan hati. Membuat debar jantung Zia sesaat tak keruan. Belum pernah ia berada dalam jarak sedekat ini dengan cowok tersebut. Ia jadi paham mengapa Epay, Regi, juga beberapa teman lainnya sampai bergabung dengan DFC—Deraz Fans Club. Ia jadi ingin gabung juga, untuk iseng-iseng. Namun ada satu yang ia herankan, mengapa Dean tak sampai seberkharisma kembarannya?

Zia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan pamer pada Epay, Regi, dan lain-lainnya. Ia mengulurkan tangan pada Deraz. “Zia. Sekarang eks XI IPA 4.”

Deraz menyambut tangannya. “Deraz, Teh. Eks X-1.” Senyum Zia sudah tak bisa lebih lebar lagi. Ia merasa beruntung saat Deraz berinisiatif untuk melanjutkan percakapan. Lagipula lalu lintas di depan mereka belum juga cukup lengang untuk menyeberang santai. “Teh Zia temannya Dean?” tanya Deraz, dengan nada yang menunjukkan bahwa ia bukannya ragu Zia benar-benar teman Dean, melainkan karena ia seakan sudah familiar mendengar nama Zia.

Zia mengangguk, sekaligus terperangah. Penasaran apa saja yang sudah Dean ceritakan pada Deraz tentang dirinya. Jadi malu. “Mau ke mana?” tegurnya, baru itu yang kepikiran dalam kepalanya.

“Ke Kurochan, Teh,” Deraz menyebut nama sebuah persewaan studio musik dekat sekolah. Zia sudah dengar dari Dean bahwa Deraz juga main band. Seandainya lokasi rumah Kakek—dengan persewaan studio musiknya—lebih dekat ke sekolah, tentu Zia dapat menikmati kehadiran Deraz lebih sering. Zia tersentak karena tahu-tahu Deraz melangkah ke jalan. Lekas ia berusaha mengiringi langkah-langkah panjang Deraz. Belum cukup ia mengumpulkan bahan untuk dipamerkan!

Aduh... ngomongin apa ya?!  panik Zia dalam pikiran. Jelas Deraz tampak heran karena Zia mengikutinya. Bahkan sampai menegur. “Mau ke sana juga, Teh?”

“Eh—iya, rumah temen saya deket sana...” terpaksa Zia bohong, sampai kelepasan menyebut dirinya dengan ‘saya’. Memunguti ceceran memori dalam rongga kepala, akhirnya Zia menemukan sesuatu untuk dikeluarkan mulutnya, “Eh, katanya kamu suka bikin novel ya?”

“Iya, Teh.” Tidak jadi hilang heran di raut muka Deraz. “Dean cerita sama Teteh ya?”

“He he,” cengir Zia. Tidak tahu apakah setelah ini harus minta maaf pada Dean atau tidak. Dicari-carinya lagi kalimat untuk lekas menyambung sebelum kecanggungan menerpa. “Aku juga... lagi bikin novel...”

“Hm. Tentang apa Teh?”

Zia mengerutkan dahi. Pandangannya berlari ke lain arah, asal bukan ke arah Deraz. “Mmm, tentang sebuah konspirasi terselubung... di sekolahan...” Setidaknya ia tidak bohong total. Tulisannya sudah jadi malahan, meski hanya sepanjang sepersekianratus halaman novel pada umumnya. Dan bukan fiksi sama sekali. Terdengar gumam kagum Deraz. Zia jadi merasa bersalah. Apalagi ketika ia ditanya, “Suka baca Tom Clancy ya, Teh?”

Mengingat seberapa tebal buku karangan Tom Clancy saja sudah membuat Zia ngeri. “Baca koran sih, sukanya...”

“Hm...”

“Kamu suka Tom Clancy emangnya?”

Deraz mengangguk. “Ya. Seru aja ngikutin kisah tokohnya, dari sejak dia jadi mata-mata sampai jadi presiden Amerika. Banyak wawasan terkait dunia internasional juga di sana, terus...”

Sebelum Deraz mulai menceritakan dunia yang tak akan ia mengerti, Zia buru-buru menyela, “Ooo... Selain Tom Clancy, suka apalagi?” Siapa tahu kita ada kesamaan minat! Dengan begitu Zia akan semakin puas menyombong pada Epay cs.

“Michael Crichton,” lewat, “John Grisham,” eugh, dan serangkaian nama penulis Barat yang sama sekali tidak menarik minat Zia, “...tapi sekarang-sekarang ini saya lagi suka sama A. A. Navis.” Zia menghela nafas. Kalau yang ini ia ngeh.

“Iya... Aku udah baca kumpulan cerpennya yang ‘Robohnya Surau Kami’...”

“...kritik beliau terhadap Islam menurut saya mengena banget. Kita jadi bisa lebih paham sama agama kita sendiri, tanpa harus kehilangan keimanan kita. Malah semakin memperkuat.”

Zia termangu. Ia tidak pernah kepikiran sampai situ. Daripada semakin terkuak kebodohannya, Zia lekas mengalihkan topik pembicaraan lagi. “Eh, emang kamu bikin novel tentang apa sih?”

“Tentang kehidupan petinju, Teh. Sebagian orang masih menaruh stigma buruk pada petinju.” Deraz menunduk. Suaranya melirih.

“Kamu suka tinju ya?”

“Ya.”

Zia jadi ingat saat beberapa bulan lalu Deraz muncul di sekolah, setelah beberapa lama absen, dengan bekas lebam di muka. Teman-temannya yang DFC mania heboh membicarakan. Zia ikut-ikutan saja, namun ia tidak pernah merasa ada urusan dengan Deraz. Sebagaimana sekarang. Mungkin ada sesuatu yang Zia tak patut tahu. Deraz buru-buru melanjutkan sembari tersengal, “Gara-gara denger lagunya Morrissey, Kaiser Chiefs, sama baca syairnya Taufik Ismail.”

“Ha, pasti yang judulnya ‘Boxer’ sama ‘Boxing Champ’ yah?”

Dean mengangkat muka lagi, tampak terkejut. “Kok tahu Teh?”

Zia menepuk-nepuk dada. “Katalog lagu berjalan!” Tapi kalau yang syair Taufik Ismail terkait, ia belum pernah baca. “Udah sampai mana novelnya?”

“Udah. Udah selesai kok, Teh.”

“Wah, mau dong baca!”

Senyum Deraz tertahan. “Udah nggak ada lagi, Teh.”

“Loh, kenapa?”

“Sejak laptop saya diservis, saya nggak bisa menemukan file-nya lagi.”

“Hilang, maksud kamu?”

Tatapan Deraz jatuh lagi ke jalan. Tiba-tiba Zia jadi ikut diliputi kesedihan. Sealay apapun teenlit-nya, ia akan menjadi sangat lemas kalau file tersebut sampai hilang. Ia amat menghargai lima puluh halaman kerja kerasnya. “Aku mah pasti udah nangis-nangis da...” Zia menunjukkan raut simpatik. Ia bisa paham bagaimana perasaan Deraz. Tapi raut muka Deraz terlihat biasa-biasa saja.

“Ya. Saya lagi bikin ulang kok.”

“Bikin ulang?!”

Deraz mengangguk. “Ya. Kerja yang kemarin rasanya sia-sia, tapi saya anggap saja yang kemarin itu sebagai latihan. Hasilnya memang nggak bisa dilihat mata, tapi saya merasa kemampuan menulis saya jadi lebih meningkat. Kalau begitu hasil yang berikut harus lebih baik. Kalau yang punya Teteh gimana?”

Langkah Zia terhenti, langkah Deraz melambat. Ia menatap Zia dengan tanda tanya.

“Oke, aku terima tantanganmu!” seru Zia. Ia melempar senyum yang menyiratkan terima kasih, sebelum arah langkahnya berputar 1800. Deraz melepasnya dengan penuh heran. Zia bergegas menuju Ceria Papa yang sengaja ia lewati tadi. Cerah dalam pikirannya. Sejak era teenlit-nya yang terabaikan, mestinya sudah ada peningkatan pula pada kemampuan menulis fiksinya. Ia akan menulis novel lagi, dengan tema yang diangkat dari suatu fenomena juga, dan bakal sarat dengan kritik! Apa itu namanya? Satir? Zia membayangkan karya yang sebanding dengan “Kematian Paman Gober”-nya Seno Gumira Ajidarma atau “1984” dan “Animal Farm”-nya George Orwell. Ia akan membuat para orang yang harus “dijaga perasaan”-nya itu tak sadar bahwa mereka tengah menertawakan diri mereka sendiri, melalui fiksinya!”

Papa dan Zaha kompak menoleh saat pintu belakang mobil dibuka dengan penuh energi.

“Lama amat sih!” tegur Zaha. Ia berbagi koran dengan Papa di jok depan. Papa melipat koran, memperbaiki posisi duduk, lantas menyalakan gas. Mengintip dari spion atas, Zia tengah mengobrak-abrik isi ranselnya.

“Ngapain kamu, Us?”

Muka Zia tak terlihat lagi dari spion. Ia sedang membungkuk. Menulis sesuatu di atas notesnya, sembari menjawab dengan penuh semangat, “Menggurat aksara perdana untuk bakal masterpiece!”

Dahi Papa berkerut. Ia mengintip spion lagi.

“Maksudnya nulis kata-kata pertama buat novelnya,” Zaha menerjemahkan. Sebagian tubuhnya berputar ke belakang, meminta pembenaran dari Zia. Zia menjulurkan lidah. Zaha membalas dengan ekspresi mencemooh, namun menyertainya dengan seulas senyum yang menyirat arti.

“Jadi potensimu sekarang bikin novel?”

Sedikit berguncang, mobil tengah melintasi polisi tidur. Setelah berlalunya erangan Zia karena tak sengaja mencoret tulisannya sendiri, Papa berkata lagi, “Sekolah jangan sampai kelupaan, Us. Kalau bisa dua-duanya bagus...”

Padahal sudah naik sedikit nilai rata-rata rapot Zia dari semester lalu, meski ia belum bisa mengungguli Epay lagi. Zia menggerutu, “Uh, emangnya aku Hannah Montana...” dan jadi ingin menyanyikan “Best of Both Worlds” keras-keras. Papa tak mengerti ucapan Zia. Ia juga tidak melihat guratan senyum Zia untuknya.

...terima kasih, telah memberi kepercayaan pada diriku...

Zia kembali berusaha menulis di tengah goncangan akibat permukaan jalan yang berlubang. Mumpung ada aliran deras ide dalam kepalanya.

...dan sekarang waktunya mengerjakan!

Selalu ada waktu bagi keoptimisan untuk kembali.

 

(dalam sisa hari ini/ kembali gambaran lain/ kenangan dalam bayangan/ kepahitan selama ini/ terulang dan terulang lagi/ di saat yang nanti/ kesalahan yang sama/ manusia dan kebimbangan/ selalu terpadu satu/ tak yakin akan usaha/ putuslah landasan asa/ tak kunjung tampak serasi/ nada dan irama/ kesalahan yang sama/ mengingatkan kegagalan/ mana hasilnya/ menyesal tiada habisnya/ semua tak guna/ adakah akan berganti/ karam dalam impian/ jangkauan pun tak kuasa, mencapai.../ lupakan semua yang lalu/ indahkanlah kenangan/ sambutlah hari di muka/ yang cerah/ ciptakan/ suasana/ semangat/ manusia jiwa muda!/ chaseiro – semangat jiwa muda)

 

Jumat, 24 Desember 2010

dua puluh lima

Banyak yang ingin Bang Ali katakan padanya selain maaf. Tentang hutang budinya pada Pak Bowo yang telah membinanya selama di LEMPERs. Tentang harapan untuk bisa benar-benar subversif lain kali. Tentang menyampaikan kebenaran dengan cara yang bakal bisa diterima. Tentang apapun, yang tidak berhasil menghantarkan kembali semangat dalam jiwa Zia.

“Ngapain sih anak SMA idealis?” pungkas Zia. Mendadak ia jadi ilfil pada Bang Ali. Orangtua Bang Ali pasti tidak pernah mengata-ngatai anaknya, apalagi memukulnya, prasangka Zia. Tapi Zia sendiri merasa sudah tidak ingin berbuat apa-apa lagi. Kembali pada pertanyaannya semula, yang ia lanjutkan pada diri sendiri, bahwa masa SMA seharusya diisi dengan kegembiraan. Kegembiraan yang seperti apa...?

Bagi Zia, kegembiraan sejati akan muncul setelah melakukan sesuatu yang berarti. Dan keadaan memaksanya untuk tidak jati melakukan sesuatu yang berarti. Zia batal gembira.

O, Zia tak tahu. Ia hendak mencari kawan saja. Dan ia tak akrab dengan Bang Ali. Jadi, tanpa lambaian tangan, ia meninggalkannya. Tidak terpikir bahwa yang ia punggungi itu adalah pengganti Ezra, kecengan yang paling mempengaruhinya. Nanti lagi aja ngecengnya, kalau udah berenti ilfil.

Maka pergilah ia mencari kawan. Koridor sekolah ia susuri, jalan di depan sekolah ia seberangi, undakan semen di tikungan ia daki, sampailah ia pada yang ia cari. Hanya sebuah rumah Kakek. Zia tak kepikiran lagi hendak ke mana. Pulang ke rumahnya sendiri tiada guna, tak ia temukan keluarga. Mengajak kawan yang dianggap asik untuk jalan-jalan, pada sibuk semua, entah karena ekskul, bimbel, atau acara lainnya. Entah di rumah Kakek nanti akan ia temukan siapa. Seperti biasa, siang begini yang terdengar bersuara hanya dari arah persewaan studio musik saja.

Ke bangunan utama atau ke paviliun Kakek, Zia menimbang-nimbang. Kalau ke bangunan utama, paling-paling ia hanya akan bertemu para sepupu asosialnya—Ardi dan Zahra. Ia tak minat. Kalau ke paviliun Kakek, Land Rover-nya saja tidak ada—Kakek pasti sedang pergi. Zia memutar lagi kepalanya ke belakang, ke arah persewaan studio musik. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya dari sana. Sepasang sepatu di muka pintu, di antara ceceran alas kaki lainnya, jejak-jejak berlumpur, bentangan kardus yang basah di beberapa bagian. Zia baru sadar kalau sepagian itu hujan lewat. Merintiki hatinya, menggelayutinya dengan mendung dan awan tebal. Hujan di penghujung bulan Mei. Dan sepatu model lars itu pasti milik Dean. Sepatu hari Selasa, sebagaimana yang pernah bocah itu tunjukkan padanya kala mereka berkelana ke Kota Fantasi BSM. Bukannya selama ini ia mencari-cari Dean? Masihkah ia hendak bersua Dean kini? Masih ajalah!

Dingin lantai lorong bagian dalam tempat tersebut serasa menggigit kulitnya. Zia celingukan. Ia jarang memasuki tempat ini, kendati cukup sering main ke sebelahnya. Ia melihat seorang aa-aa duduk di balik meja tinggi di sampingnya. Dengan kejumawaan seorang cucu bos, Zia menegur, “A, tadi ada...” Zia menyebutkan ciri-ciri fisik Dean, ”...nggak ke sini?”

“Oh, si Dean?” Zia termenung. Padahal ia cucu bos di sini, kok sepertinya malah Dean yang lebih dikenal? Memangnya siapa Dean? Mengingat Kakek pernah bilang bahwa Dean memang suka menumpang main kibor di persewaan studio musik ini, sirna perlahan heran Zia. Setahu Zia, ikut ekskul saja tidak bocah itu, kok bisa-bisanya eksis di mana-mana. Mentang-mentang saudara kembar Arderaz! Tapi memangnya Kakek dan aa-aa yang tadi itu kenal Arderaz?

Dari dalam sebuah ruang yang pintunya tak ditutup, Zia mendengar sebuah alunan nada. Sepertinya suara piano. Memang ruang satu itulah yang ia tuju, sebagaimana diberitahukan oleh aa resepsionis. Gaya benar Kakek punya piano di studio persewaannya, pikir Zia. Ia termangu kala yang didapatinya bukanlah piano, melainkan kibor, dengan jemari Dean menari di atas barisan tutsnya. Asik benar kelihatannya bocah itu. Baru ngeh setelah sekian lama Zia mengamati. Zia bersyukur, Dean memperlakukannya seolah tidak pernah ada kejadian tak mengenakkan di antara mereka. Diam-diam, ia kagum pada permainan Dean yang begitu bebas.

Mendadak Zia jadi ingin bernyanyi. Ia penasaran Dean bisa memainkan apa saja. Ia meminta Dean memainkan beberapa nada untuknya, namun Dean malah mengajaknya menyanyikan lagu Belle & Sebastian bersama-sama. Selama menyanyi, Zia merasa geli karena paduan suara mereka sama sekali tidak ada indah-indahnya. Kalah jauh dengan duet Salman dan Ipong pada kapan itu.

Lalu tahu-tahu Dean memintanya membuatkan sebuah lirik lagu romantis—mentang-mentang ia suka membaca buku sastra klasik di perpustakaan sekolah. Dean ternyata sedang kasmaran! Zia jadi teringat laporan Oki mengenai pesta ulang tahun seorang awak LEMPERs. Ternyata yang Dean suka adalah si pemilik acara. Zia terperangah. Sepertinya ia pernah melihat cewek tersebut di markas LEMPERs, tapi entah kapan. Zia jadi tertarik lebih lanjut untuk mendengar cerita Dean, hingga terjerat lebih dalam, dan susah untuk mengeluarkan diri. Selama ini Zia kira, untuk ukuran cowok Mas Imin sudah cukup cerewet, namun ternyata, untuk ukuran cewek pun Dean bisa dibilang amat cerewet. Ia tidak sungkan menceritakan apa pun, dari kisah kasih tak sampainya sampai pengalaman sehari-hari keluarganya.

“...Ayah saya mah da kebiasaan yang murah sih, jadi aja kalo saya diajak jalan sama ayah saya, ibu saya suka ngasih jajan banyak, Teh. Katanya mah, bolehlah diajak jalan ke mana juga, tapi kalau makan di tempat yang wajar, hahaha... Kayak Tegallega tempat apaan aja... Tapi saya juga suka nggak berani makan di sana sih, Teh...” Dean berhenti sejenak. Tentulah Dean butuh waktu untuk mengambil nafas dan membasahi tenggorokan. Zia jadi ingin menawarkannya minum. Sekarang ia bisa paham mengapa Dean menggemari teenlit. Kehidupan Dean memang seperti teenlit di beberapa bagian. Kaya raya. Keturunan bule. (Niat) menembak cewek pakai lagu. Berkarakter kontras dengan kembarannya. Dan sepertinya yang ada di pikiran Dean hanya urusan main dan cewek. Entah mengapa Zia sudah tidak ingin merasa iri lagi. Capek ternyata, iri terus. Menelusup ingatan akan dendang Salman di suatu kala, “...dunia penuh beda, ternyata...

“Eh, Teteh, mana teenlit-nya?” tegur Dean karena Zia diam saja. Zia sedang menimbang-nimbang apakah ia perlu balas membagi cerita tentang keluarganya juga. Tapi keluarganya si Dean kan nggak bermasalah, kamu iya...

“Aku nggak bikin teenlit kok...” sangkal Zia setelah menyuruh Dean memanggilnya tanpa embel-embel yang menunjukkan kelebih-tuaannya, lantas sadar untuk meralat, “...nggak akan kuselesein...”

“Ih, kenapa, Zia? Deraz juga bikin novel kok.”

Hah? Sempet-sempetnya?! Nggak kurang sibuk apa itu orang? “Sempet ya? Kirain dia orang sibuk...”

Dean membuang pandangannya ke langit-langit. “Ng... Sempet mah yaa... sempet ajalah! Yah, kirain teh Zia masih suka bikin novel. Kan asik Teh, entar bisa tuker-tukeran?”

Zia malah jadi kepikiran untuk menyuruh Epay dan Regi agar lekas membuat novel. Mereka pasti bakal senang setengah mati kalau bisa tukar-tukaran novel dengan Arderaz. Zia geli membayangkannya. “Eh, ngomong-ngomong, Yan, kamu bisa main kibor dari kapan sih?”

“Main kibor mah baru sekarang-sekarang ini aja...” Jemari Dean menekan-nekan tuts kibor, mendentingkan nada asal-asalan, kekagetan Zia menimpa. Dean buru-buru menyanggah. “...maksudnya, biasanya mah saya main piano, Teteh, eh, Zia. Cuman kan di sini nemunya cuman kibor...”

...piano... wow... “Trus dari kapan kamu bisa main piano?”

“Udah dari kecil sih Zia...” Dean mendentingkan sebuah melodi. Tubuhnya bergerak-gerak mengikuti irama. Sesekali ia menoleh pada Zia. Zia tersenyum. Memang Dean tidak terlihat seperti yang baru belajar.

“Kamu ngerasa diri kamu berbakat nggak sih?”

Dean tersipu. “Ada yang bilang gitu sih.”

“Kalau menurut kamu sendiri?”

“Yah, saya mah suka maininnya aja sih, Teh, eh, Zia. Seneng aja, nggak tau kenapa.”

Zia mendengus lagi. Ia senang dengan sikap rendah hati yang Dean tunjukkan. Pantas juga Dean tidak pernah memamerkan kebisaannya yang satu ini. “Kamu nggak kepikiran jadi musisi, Yan?”

Dean menggeleng. “Nggak tau, Zia. Gua mah belum kepikiran da mu jadi apa.”

“Tapi tujuan hidup punya kan?”

“Aduh... Jangan yang berat-berat ah, ngomongnya...”

“Ih, masak gitu aja berat?” Zia tersengal. “Wajib kali, orang punya tujuan hidup tuh...”

“Kalau gitu... belum punya gua, hehe...” Dean terkekeh. Jemarinya semakin lincah melangkahi tuts demi tuts. Zia diam mendengarkan, sampai Dean puas sendiri dan menutup permainannya dengan menyeret jemari pada barisan tuts. Dean menoleh pada Zia. Menawarkannya menyanyi lagi. Zia menggeleng. Ia memperbaiki posisi duduknya. Ada hal penting yang ingin ia katakan.

“Bagus, Dean, kalau kamu belum punya tujuan hidup. Karena sekarang kakakmu tersayang ini akan memberimu sebuah petuah.”

“Apa Teh?” Dean menggaruk-garuk punggung, menatap dengan bingung. Senyum Zia semakin mengembang. Satu kalimat yang sejak lama ingin ia katakan pada setiap orang adalah, “Jadikan kekuatan bakatmu sebagai tujuan hidup, Dean.”

Kamis, 23 Desember 2010

dua puluh empat

Sejak mengumpulkan tulisannya mengenai kritik UN SMANSON pada Bang Ali, hidup Zia terasa lebih ringan. Ia merasa telah melakukan sesuatu yang berarti dalam statusnya sebagai siswi kelas 2 SMA, meskipun itu bukan menghukum musuh dengan kekuatan bulan. Tidak ada perpanjangan deadline, Zia hanya butuh dua malam untuk menyelesaikannya. Tidak ada bonus pin up gambar Kamal, yes! Bang Ali mengapresiasi dengan baik tulisannya itu. Apalagi karena bahasan Zia tidak hanya berpusar pada perkara UN dan SMANSON saja. Zia juga menyangkutpautkannya dengan lingkup yang lebih luas. Bang Ali bahkan tidak pernah ngeh selama ini akan adanya perlakuan istimewa terhadap anak guru, jual beli LKS terselubung, kondisi perpustakaan yang ternyata jauh dari layak, dan masalah terkait pendidikan lainnya yang ada di SMANSON. Ia jadi sadar bahwa selama ini ia sendiri tak cukup kritis sebagai wartawan sekolah. Ia jadi ingin mengubah konsep media LEMPERs, dari ajang kreasi menjadi ajang kritik siswa.

Tak ada gading yang tak retak. Zia berusaha lapang dada saat Bang Ali menunjukkan kesalahan-kesalahannya, terutama pada ejaan. Jadi selama ini caraku ngerjain PR Bahasa Indonesianya Dean tuh salah ya? Untuk menebus rasa bersalahnya, juga karena perlakuan ketusnya tempo hari, Zia ingin mengompensasi dengan keramahan seramah-ramahnya saat bersua Dean. Tapi kesempatan yang dinanti tak kunjung datang. Ya sudahlah, Dean ini...

Dengan demikian, Zia merasa lebih tenang dalam menjalani kehidupan akademisnya. Plong sudah bebannya. Kini ia bisa memfokuskan pikiran pada perbaikan prestasi akademisnya. Ia harus bisa masuk sepuluh besar lagi semester ini!—atau setidaknya bertahan di dua puluh besar. Epay mengerjap-ngerjapkan mata saat Zia tahu-tahu mendatanginya dan berseru, “Pay, sebutkan hukum kekekalan massa dari Lavoisier sama hukum Boyle-Gay Lussac apaan?!”

Selama masa gencar-gencarnya ia bertanya jawab materi pelajaran bersama Epay, kadang bersama teman-teman lain juga, ia tak sabar menanti penghujung Juni. Hari pembagian rapot semester dua. Hari diedarkannya majalah semesteran yang akan memuat tulisannya. Hari tertunaikannya tantangan dari Kang Detol. Hari di mana ia terbukti telah melakukan sesuatu yang berarti. Hari di mana kegemparan mungkin akan terjadi. Ha ha ha.

Ponsel Zia berbunyi pada suatu sore. Zia menghentikan aktivitas aerobiknya. Bando warna warni terpasang di kepala, kaos ekstra gombrong sebagai atasan, dan legging berwarna norak sebagai bawahan—semua peninggalan Mama. Mini compo ia pause. Rinai hujan yang menimpa atap jadi terdengar. Nomor yang ia kenali sebagai milik Gio—mereka sempat smsan beberapa kali terkait pengumpulan tulisan. Tapi yang datang kali ini adalah telepon, bukan sms. Dentum jantung Zia membesar. Entah mengapa. Lekas ia terima panggilan tersebut. Tak seringan biasa, ada beban yang menghimpit suara Gio.

“Maaf, Teh, kita nggak bisa muat punya Teteh.”                                      

Zia tak tahan untuk menghempaskan “haaaah?!” keras-keras, dilanjutkan dengan, “Kenapa...?”

Ingin marah rasanya. Zia membayangkan di samping Gio kini ada Kamal. Cowok kucel itu memegang sepucuk pistol yang ditempelkan pada pelipis Gio. Berbisik dengan nada mengancam pada Gio yang ketakutan dan mulai gemetar, “Katakan padanya, jangan coba-coba rebut kesempatanku tampil di majalah semesteran, atau nyawamu akan melayang!”

Tapi senyatanya adalah Bang Ali yang menempati posisi Kamal. Tidak dengan sepucuk pistol, melainkan tangan yang mengambil alih ponsel Gio. “Zia, maaf... Maaf banget...” Suara Bang Ali terdengar lebih sarat beban. Zia melipat sebelah lengannya di bawah dada. Mulai melangkah tanpa arah. “Apa sih, ada apa sih, Bang? Kok tiba-tiba?”

Terdengar batuk Bang Ali beberapa kali sebelum ucapnya dengan suara yang hilang kuasa, “Jadi gini, Zia. Majalah kita itu, sebelum masuk percetakan, harus lewat guru pembina dulu kan,” Bang Ali menekankan, “biasanya emang gitu,” lalu melirih lagi suaranya, “Saya lupa, Zia, maaf, maaf...”

“Iya, terus kenapa?” Zia duduk di atas kasur. Melintas kata itu dalam kepalanya, guru.

“Ya. Itu. Kita udah coba mempertahankan tulisan kamu... tapi... LEMPERs mungkin bakal dibredel...”

“Hah, dibredel?!”

“Nggak didanain lagi, Kang!” terdengar celetukan Gio di kejauhan.

“...ah, lebih keren dibredel...” Bang Ali seperti berkata hanya untuk Gio. Suaranya mendekat lagi. Tarikan nafasnya yang berat, sebelum terhempas dalam kata, “Maaf, Zia.”

Zia merasa sekujur tubuhnya lemas. Bingung hendak menanggapi dengan apa, hingga Bang Ali berkata lagi, “Trus Pak Bowo pingin ketemu kamu di ruang guru. Besok pas jam istirahat.”

Dentuman keras lagi di dalam dadanya. “Saya bakal temenin kamu, Zia.” Suara Bang Ali menjauh. Tubuh Zia terhempas ke kasur. Ponsel jauh sudah dari telinganya, dengan samar-samar suara Bang Ali masih di dalamnya, dalam genggamannya.

Dan di sinilah esok harinya Zia berada, ruang guru. Pada waktu yang telah disepakati. Berseragam putih abu.

Coklat lemari. Hitam sofa. Kuning bunga dalam vas. Ungu jilbab guru. Mata Zia berlari-lari, mengikuti pikirannya, yang tak tahan lagi. Padahal Pak Bowo belum bicara apa-apa. Kakinya juga hendak berlari dari ruangan ini. Kehadiran para guru itu, yang tengah mengobrol dengan sesamanya atau melakukan aktivitas sendiri-sendiri, ia rasa mencekamnya. Mungkinkah sewaktu-waktu mereka akan mengeroyoknya? Siapa yang akan memberi aba-aba? Apa Pak Acep yang tengah duduk santai di sofa? Atau Pak Ndun yang sedang mengamati TV? Atau malah Bu Elly?—hyaaa, Zia pernah dimarah Bu Elly! Dalam hati Zia merutuki kepengecutannya yang tiba-tiba mendekam.

Disadarinya, mata Bang Ali meliriknya. Lalu pindah lagi ke depan. Pada Pak Bowo yang menyeret kursi ke hadapan mereka. Kedua tangannya bertaut di atas meja. Kumis Pak Bowo lebih tebal daripada kumis Papa, tapi tetap membuatnya terlihat bagai Papa. Papa yang hendak menerkamnya, Zia takut. Zia melirik lagi pada Bang Ali, yang juga sedang menatapnya. Bang Ali tersenyum canggung. Berusaha menyembulkan selalu ketenangan pada air mukanya. Persitegangannya dengan Pak Bowo sudah ia alami kemarin. 0-1.

Zia meneguk ludah. Berusaha juga agar sorot matanya tidak terlalu memancarkan ketakutan. Ia harus tampak tenang. Dan berani. Apa yang hendak ia usung adalah kebenaran. Tidak boleh ada alasan untuk takut! Berangsur-angsur kecemasannya mereda, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda Pak Bowo akan menerkamnya bagai Papa. Pak Bowo juga tampak tenang, ditunjukkan oleh nada suaranya saat bicara untuk Zia.

Katanya, “Saya sengaja menyimpan tulisan Anda. Saya nggak bakal bilang sama guru-guru lainnya. Ini di antara kita saja, cuma kalangan LEMPERs yang tahu.”

Baik Zia maupun Bang Ali diam, menunggu kalimat Pak Bowo selanjutnya.

“Anda tahu apa yang Anda tulis?”

Zia merasa tidak enak disebut ‘Anda’ begitu. Kesannya seperti Pak Bowo ingin menjaga jarak dengannya. Zia lebih suka disebut ‘kamu’, atau nama sekalian. Mengindahkan ketidaknyamanan, Zia berusaha menyembulkan keberaniannya untuk menjawab tegas, “Tau, Pak.” Sebelum Pak Bowo kembali angkat suara, Zia lekas menyambung—keburu keberaniannya surut lagi. “Saya nggak ngarang, Pak. Itu saya denger langsung dari... eng.. dari yang diceritain sama yang ngalamin... yah, gitu deh, Pak. Ali juga ngebantuin saya nyari informasi langsung dari anak kelas XII kok, Pak.”

“Iya, saya tau...”

“Tapi itu nggak mengada-ngada kan, Pak?”

“Oke, oke... Saya mau ngomong, jangan dipotong dulu...” Zia menyandarkan lagi punggungnya. Lanjut Pak Bowo, “Bukan masalah tulisan ini isinya bohong apa nggak. Saya bisa paham apa yang ingin kamu sampaikan... Tapi, Nak Fauzia...” Pak Bowo merendahkan suaranya, menjaga agar tak sampai tertangkap telinga orang lain di ruangan itu. Sengaja ia membawa mereka ke pojok ruangan. Cukup berjarak dari jangkauan kuping-kuping nakal, ia kira. “Kita punya etika.”

Zia mengerutkan dahi. Siap melibas lagi. “Apa berbuat kecurangan massal pas UN itu nggak ngelanggar etika, Pak?” Zia buru-buru bungkam saat beberapa guru meliriknya, tepat pada saat ia mengucap kata ‘UN’. Ia kembali menempelkan punggung pada sandaran kursi lagi. Tubuhnya semakin membungkuk. Ia jadi urung untuk bicara lagi. Tak tahan untuk mengucap dalam bisik, “Ini permainan kotor, Pak, merusak moral generasi bangsa!”

Sesaat, Pak Bowo masih tampak terpana. Melihat Zia yang kembali masuk dalam cangkang, ia menguasai dirinya lagi. Air mukanya kembali tenang. Kali ini ganti tubuhnya yang condong. Dengan intonasi sejelas dan sepelan mungkin, agar tak perlu diulang, berkata Pak Bowo, nyaris berupa bisikan,

“Oke, Nak Fauzia, Ali juga, saya hargai perhatian kalian sama sekolah ini. Saya juga menyesal dengan apa yang kemarin terjadi. Meskipun ini untuk kebaikan kalian juga, sekolah kita harus mempertahankan kelulusan di atas 90%.” Zia hendak menyela lagi, Pak Bowo buru-buru melanjutkan kalimatnya, “Tapi sekarang begini. Ada sekitar hampir empat ratusan kakak kelas Anda yang sudah dinyatakan lulus UN. Lalu bagaimana seandainya, tulisan Anda tiba-tiba muncul di majalah LEMPERs, dan dibaca para orangtua murid, dan akhirnya beredar juga sampai ke luar? Bisa Anda bayangkan bagaimana perasaan kakak-kakak Anda dan orangtua mereka? Dan apabila kelulusan mereka sampai dinyatakan batal? Juga teman-teman seangkatan Anda, adik-adik Anda di kelas X, dengan orangtua mereka masing-masing? Apa Anda sudah memperkirakan bagaimana nanti masyarakat akan memandang sekolah kita?”

Zia terperangah. Mengapa ia harus memikirkan itu? Apakah itu penting? Adakah yang lebih penting dari kebenaran yang harus disampaikan—meskipun itu menyakitkan? Mengapa harus ada penghalang yang bernama etika?!

Para guru sudah mulai mencuri pandang ke arah mereka. Pak Bowo mengehela nafas. “Saya harap kalian bisa cukup dewasa, dan majalah kalian akan aman-aman saja. Dan saya nggak mau tahu kalau-kalau ada aksi sabotase. Coba pikirkan juga bagaimana perasaan orang lain.”

Rabu, 22 Desember 2010

dua puluh tiga

Tak pernah Zia bergegas ke markas LEMPERs sebersemangat ini—sejak era dimuatnya artikelnya di majalah semesteran berlalu. Apakah macam ini kebahagiaan seorang wartawan yang pulang ke kantor redaksinya dengan membawa berita eksklusif? Zia menerka-nerka. Ia tidak bisa duduk tenang selagi menunggu jam istirahat tadi. Ketimbang minta nomor pemred yang baru pada kenalan LEMPERs-nya, Zia merasa lebih baik ia bicara tatap muka. Katanya kepengurusan inti LEMPERs sekarang dipegang anak kelas X—termasuk pemrednya, yang katanya cowok. Tapi Zia tidak ingat persis siapa namanya. Karena pengalamannya bergaul dengan para berondong selama ini, bertambah kepercayaan diri Zia untuk menghadap pemred baru. Serahkan saja pada Zia, pakar berondong!

Baruan Zia berpapasan dengan Bang Ali. Ia masih terkesima. Sehabis dari markas LEMPERs, Zia sudah tak sabar hendak mengajukan pikirannya untuk mengganti kembali kata “cakep”, bukan dengan “ganteng”, melainkan “tampan”. Benar kata Epay, sejak demisioner dari jabatan pemred LEMPERs, Bang Ali jadi terlihat mirip Ezra—Zia baru ngeh kalau sebetulnya Bang Ali itu masuk tipenya. Embel-embel “Bang” untuk Ali terasa tepat kini. “Bang...” lalu, “Apa, Dik?” Zia terkikik senang, membayangkan kemungkinan terjadinya percakapan dengan intonasi mesra demikian antara ia dan Bang Ali. Akhirnya ia bisa menemukan seseorang yang bisa dengan sungguh-sungguh ia kecengi lagi.

Anak-anak kelas X lebih rajin menongkrongi markas juga rupanya, tidak seperti dulu, saat Zia menemukan Bang Ali sendirian di tengah sampah mading yang berserakkan. O, mereka juga merapikan markas! Ampun, Zia ingin menjadi bagian dari anak-anak kelas X... mengapa ia tidak dilahirkan setahun lebih muda?

“Boleh ketemu pemrednya?” Hanya setengah tubuh Zia yang terlihat di ambang pintu. Anak-anak kelas X itu terpaku padanya.

“Ya? Saya?”

Zia terpana melihat siapa yang mengangkat tangan. Berbeda dengan Bang Ali, Gio—akhirnya Zia ingat namanya—berpipi gembil, berponi lebih pendek, berwarna kulit lebih terang, bertubuh lebih berisi, dan sepertinya agak sedikit lebih tinggi juga. Namun ada suatu kesamaan mereka. Apakah sekarang sudah terbit suatu konvensi di LEMPERs untuk memilih cowok dengan kacamata dan poni sebagai pemred? Jangan-jangan Mas Imin juga sebetulnya hendak dijadikan pemred—seandainya ia tidak keburu hengkang dari LEMPERs? Tapi gaya rambut Mas Imin tidak pernah berponi.

“Gio, ya?” Zia menunjuk cowok yang tengah melaju ke arahnya.

“Iya?” sahut cowok itu, tampak heran. Zia mengulurkan tangan. “Zia, XI IPA 4. LEMPERs juga, anggota siluman.”

“Ooh...” Gio menyambut uluran tangan Zia. Alih-alih menjabat, Zia malah menarik tangan cowok itu ke luar ruangan. Ia memelankan suara, mengira tidak ada yang bakal ngeh dengan apa yang ia ucapkan, “Aku punya berita eksklusif. Bagus buat masuk majalah semesteran.”

Keheranan Gio semakin menjadi-jadi. “Maaf, Teh?”

Zia menggiring Gio lagi ke tempat yang lebih tidak dilalu-lalangi orang. “Kamu percaya, kalau UN di sekolah kita kemarin nggak jujur?”

Gio terperangah. “Beneran, Teh? Tau dari mana?”

“Aku nggak bisa nyebutin langsung siapa narasumbernya. Off record. Tapi ini bisa jadi kritik yang bagus buat sekolah kita, dan mungkin juga buat pendidikan di Indonesia—“

Gio menyela semangat Zia. Tegasnya, “Harus jelas, Teh, siapa narasumbernya. Itu kode etiknya kan?”

Zia menggaruk-garuk pelipisnya. Tidak menyangka, kritis juga anak di hadapannya ini. “Oke. Kamu tau, aku punya sepupu yang seangkatan aku di sini, yang punya kakak anak kelas XII...”

“...nggak, Teh.”

Kritis, tapi nggak gaul! maki Zia dalam hati. Zia mengangkat satu tangannya. “Sumpah, aku nggak boong. Kalau kamu generasi muda yang ngakunya idealis dan ingin memperbaiki kebrobrokan di negri ini, kamu harus memerhatikan ucapan orang lain. Inget, bekal yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis adalah skeptis, tapi nggak lantas jadi apatis. Kamu mestinya udah dapet ini di training kan?” Zia menarik nafas, berharap usahanya membuktikan bahwa ia memang pernah terlibat di LEMPERs membuahkan hasil.

Gio masih tampak termenung. Zia mengandaikan yang menjadi pemred baru adalah anak kelas X yang ia kenal, macam Dean, Salman, atau Acil begitu. Tinggal dikasih kacamata dan poni saja mereka, sudah layak jadi pemred LEMPERs! “Dengerin cerita aku dulu kalo gitu ya?”

Tanpa menunggu Gio mengangguk atau mengiyakan, Zia langsung bercuap lagi. Ia keluarkan segala ingatannya mengenai percakapannya dengan Ardi, lengkap dengan polah Mas Imin dan kawan-kawan. Tidak lupa ia tunjukkan juga notes hasil wawancaranya dengan Ardi. “Menurut kamu, dengan tulisan acak-acakan gini, aku lagi ngarang cerita?”

Gio melempar pandang ke arah barisan anak-anak yang menuju Kabita. Alisnya bertaut. Bingung hendak mengatakan apa. Masih terendam dalam skeptisme yang mulai runtuh perlahan. Atau mungkin menyesal karena telah memasuki SMANSON dan menjalani kehidupan di dalamnya selama hampir setahun.

“Masih ada kesempatan untuk memperbaiki SMANSON dari dalam. Karena itu, oknum-oknum yang terlibat harus kita sentil supaya angkatan kita nggak ikutan tercemar. Itulah gunanya media, Gio. Apalagi LEMPERs gitu loh. Kayaknya belum ada deh SMA yang punya organisasi pers seprestisius kita. Dari sinilah kita mulai jejak kita sebagai jurnalis yang sebenar-benarnya!” kata Zia lagi, seolah-olah ia sendiri sudah memantapkan diri sebagai jurnalis.

“...saya... nggak berani, Teh,” desah Gio. “Selama ini yang muncul di majalah semesteran kan bukan hal-hal yang kayak gini.”

“Karena itu, Gio, dari sekarang kita rintis media yang bisa menampung kritik. Mentang-mentang favorit, kamu kira SMANSON udah jadi sekolah yang baik? Kritik itu perlu, demi kebaikan sekolah kita juga. Masak majalah semesteran isinya cuman gitu-gitu aja? Nggak ada nendang-nendangnya?”

Gio menatap Zia lama. Hendak menangkis atau menghimpun pengaruh yang dikerahkan Zia, ia gundah. Akhirnnya, “Kalo gitu saya coba tanya Dewan Penasihat dulu ya, Teh.”

Mulut Zia menganga. “Hah? Ada dewan-dewan penasihatnya juga sekarang?”

“Dari dulu ada kali, Teh...” Gio melengkapi ucapannya dengan tatapan yang menanyakan kebenaran identitas Zia sebagai awak LEMPERs. Zia menggali-gali ingatannya akan isi AD/ART LEMPERs yang pernah ia baca sekilas. Kalau tidak salah, memang ada yang Gio katakan itu. Namun sepertinya pada jaman Zia aktif, peranan Dewan Penasihat tidak begitu terasa. Betapa LEMPERs adalah suatu wahana yang ia anggap secara angin-anginan, sesal kembali menyesapi Zia.

“Trus kapan aku bisa dapet kepastian?” Zia ingin bilang juga bahwa ia sudah tidak sabar untuk mengemban tugas membuat artikel tersebut. Kalau tidak pakai ditugasi seperti itu, tangannya serasa semakin susah digerakkan. Gumaman Gio lekas dipotong desahan tak sabar Zia. Meskipun aura Bang Ali menyuramkan, namun setidaknya cowok tersebut dapat lebih cepat mengambil keputusan. Lebih baik Zia sendiri yang langsung menghadap Dewan Penasihat. Semestinya Dewan Penasihat beranggotakan anak kelas XI—kalau dengan mereka Zia berani. “Dewan Penasihatnya siapa?”

“Mmm... Kang Ali...” ...akh, orang itu lagi! “...Teh Cibluk, Teh Oki...”

“Oke, makasih! Aku sendiri yang bakal langsung ke mereka. Kamu tenang-tenang aja di markasmu, ya, Dik...” Zia menepuk-nepuk bahu Gio sebelum berlagak memberikan penghormatan terakhir. Zia berniat untuk memberitahu Oki saja—penghuni kelas di sebelahnya. Namun seratus meter sebelum kelas Oki, adalah Bang Ali yang ia temui. Zia berubah pikiran. Dengan status Bang Ali sebagai kecengannya kini, mengapa tidak menyelam sambil minum air saja?

=====

Seakan ingin membalas sikap Zia terhadap LEMPERs selama ini, Bang Ali menanggapi dengan ogah-ogahan. Kacamatanya melorot, seiring dengan turun kepalanya mengarah pada Zia. Ia berharap seandainya saja ada seseorang yang menemaninya berjalan tadi, ia jadi punya alasan untuk melakukan pelarian. “Berita eksklusif?” Ia berusaha untuk tak tampak terkesan. Setelah dedikasinya kepada LEMPERs selama hampir dua tahun ini, berita paling eksklusif yang pernah ia garap hanyalah perkara aksi BASTARD—komunitas anak bengal SMANSON—dalam melakukan pemalakan dan bully terselubung.

“Ya!” Zia berkacak pinggang sembari mengangguk-angguk. “Kayaknya kita mesti menepi deh. Ini top secret punya, Bang!”

“Euh, malas ah...”

“Ayooo...” Zia menarik-narik lengan seragam atasan Bang Ali. Risihlah Bang Ali dibuatnya.

“Saya kan udah demisioner dari LEMPERs...”

“Tapi kan masih jadi Dewan Penasihat.”

“Ah, sial.” Bang Ali jadi malas betulan, termasuk untuk mengelak.

“Gitu aja kok susah. Perlancar urusanku kek...” gerutu Zia sembari menyeret Bang Ali ke kanopi terdekat.

Bang Ali diam saja sewaktu Zia membawakan pengantar. Ia sudah kadung memasang stigma tidak baik pada Zia. Ia kira keterampilan Zia hanya menggunting dan menempel—satu hal agak baik dari sekian hal tidak baik yang cewek itu miliki seperti tidak disiplin, suka terlambat, angin-anginan, pemalas, urakan, dan—Bang Ali malas meneruskan. Bang Ali menyaksikan sendiri adu mulut antara Zia dan pemred sebelumnya. Bang Ali kira Zia hanya ingin menjadi bagian dari kaum cewek centil sok eksis. Menurutnya, Zia adalah orang yang hanya mau bekerja kalau keinginannya dituruti dulu, itu pun lebih banyak bicaranya.

Namun raut muka Bang Ali lambat laun berubah, apalagi setelah Zia masuk ke bagian inti. Ia mencoba untuk tidak tercengang—setidaknya jangan sampai mulutnya mangap. Seandainya Zia adalah cowok, ia tidak akan sungkan untuk menjabat tangan Zia erat-erat, kalau perlu menepuk punggungnya keras-keras sekalian. Namun ia masih bisa menahan diri untuk tidak kelepasan. Jadi ia hanya mengucap pelan, tanpa kuasa menahan keterkesimaan, “Kamu ternyata bisa subversif juga ya, Zia.”

Akhirnya ada yang subversif juga di LEMPERs, lanjut Bang Ali dalam hati. Sosok macam itu yang selama ini ia cari-cari di LEMPERs. Cita-cita Bang Ali adalah menjadi jurnalis subversif. Masuk penjara untuk menulis buku yang mengubah dunia. Ia terobsesi dengan kata subversif sejak membaca banyak tentang Nelson Mandela, W. S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan para tokoh besar lainnya. Di tahun pertamanya di SMA, Bang Ali sudah bertekad masuk IPS agar lebih memahami gejolak permasalahan sosial di negerinya tercinta. Madam SMANSON mendorong kepercayaan dirinya untuk masuk LEMPERs—juga mengingatkannya bahwa sekarang adalah jamannya Reformasi, bukannya Orde Baru. Kini ia telah menjadi seorang yang tegas, meski masih terlalu suram untuk menjadi subversif.

Namun, berkat LEMPERs, masih tersisa sejumput kekritisannya untuk menanyakan keotentikan narasumber. “Apa narasumbernya bisa dipercaya?” Pertanyaannya itu disambut anggukan semangat Zia. Bang Ali bertanya lagi dengan suara lebih pelan. “Siapa? Saya janji nggak bakal ngasih tau siapa-siapa. Ini di antara kita aja. Saya harus bisa mempercayai kamu.”

Zia mendesah. “Kayak nggak tau aja kamu nih, aku kan punya sepupu kelas XII di sini...”

Bang Ali tertegun. Kali ini ia kelepasan—sedikit. Untungnya ia tidak sampai berteriak, hanya tercekat, “Madam SMANSON nan legendaris itu?”  Zia mengernyit. Ia mungkin tak tahu seberapa besar hutang budi Bang Ali pada Kang Lutung. Bang Ali mendeham beberapa kali untuk mendapatkan suara rendahnya kembali. “Serius?”

“Jadi gini, awalnya kan aku sempet denger Kang Lutung sama si Kang Hilman dan sebagainya ngobrol-ngobrol di rumah kakek kita kan... Ngobrolin itu! Tapi pas aku dateng mereka udah nggak ngobrolin itu lagi. Tapi si Ardi tau apa yang mereka obrolin barusan itu. Jadi aku wawancara si Ardi deh. Kamu percaya si Ardi kan?”

Tidak ada alasan bagi Bang Ali untuk memungkiri. Ia sudah terlanjur tersengat ruh subversif. Memang masih tersisa sedikit keskeptisannya. Namun melihat keseriusan Zia dan penyebutan sumber-sumber yang meyakinkan, intuisi Bang Ali mengatakan bahwa ini mungkin terjadi. Ia sendiri akan coba mengorek langsung informasi dari anak-anak kelas XII yang ia kenal.

Berkat LEMPERs pula, sedikit wibawa dapat ia sampaikan saat mengucap, “Tulis aja dulu, Zia.” Bang Ali berusaha keras menahan ledakan antusiasmenya. Suatu hal yang tidak pantas baginya, karena ia tak biasa terlihat begitu—setidaknya jangan di depan Zia.

“Buat majalah semesteran?” Zia tampak tak percaya.

“Ya.”

Zia bersorak. “Haa... Aku jadi nyesel, kenapa sewaktu Bang Ali jadi pemred dulu aku nggak aktif aja di LEMPERs...”

Bagus sekali cewek itu menyesal, pikir Bang Ali. Ia menatap Zia, sok sinis. “Bulan Mei ini udah mulai pengumpulan bahan lo. Kita cuman punya waktu seminggu di akhir bulan buat layouting dan masukin ke percetakan, soalnya gantian sama buku tahunan. Trus biar kitanya bisa konsen buat UAS juga. Kalau kamu sampai minta perpanjangan deadline lagi kayak kemarin itu, space buat kamu bakal kita isi sama bonus pin up.”

“Ih, kayak tabloid apaan aja, ada bonus pin up...” Zia tampak jijik. “Pin up apaan? Foto artis?”

“Bukan. Gambarnya si Kamal paling.”

Kali ini Zia tercengang. Makanya Bang Ali tidak mau berekspresi lepas, ia takut bakal terlihat seperti Zia. “Ka—Kamal? Di LEMPERs?” Zia tergagap.

“Masuknya bareng anak-anak kelas X sih. Lumayanlah, buat bantu-bantu apa gitu di tim mading, secara stafnya pada ngacir...” Bang Ali sempat menangkap salah satu ujung bibir Zia tertarik sedikit. Tampaknya cewek itu jadi ogah melanjutkan percakapan. Lagipula sekitar mereka sudah tampak lengang. Bel tanda istirahat berakhir sudah berhenti bunyi sejak tadi.

Kelas mereka berlainan arah. Bang Ali baru saja hendak berbalik arah ketika Zia menyebut namanya lagi. Tanya Zia, “Eh, Bang, apa bener ya, sekarang pemred LEMPERs harus cowok yang berkacamata dan berponi?”

“Ya. Kang Lutung itu tadinya bakal pemred loh, kalau nggak keburu ke luar dari LEMPERs, dan mau ponian,”

“Yah... Entar aku malah jadi pingin ngeceng dia juga dong?!”

“Heh?” Bang Ali mengerutkan dahi. Tidak peduli ucapan spontan Zia, ia mengompensasi ucapan asalnya tadi dengan klarifikasi. “Becanda... Pemred sebelum saya kan Teh Ida.” Dan cewek, dan tidak berkacamata lagi berponi, dan mau bersusah payah menghantam ego Zia.

“Hm. Kok nggak lucu yah, becandanya?”

Bang Ali terhenyak. Subversif boleh jadi obsesinya, tapi entah mengapa ia tidak bisa terima jika kata tersebut dibarengi frasa “kurang ajar”.

=====

Mood Zia turun drastis berkat mengetahui kehadiran Kamal di LEMPERs. Ia bergidik setiap kali mengingat itu. Kalau begitu, ini akan menjadi kontribusi terakhirnya di LEMPERs!—kendati sudah sewajarnya begitu karena sebentar lagi ia kelas XII. Zia berusaha untuk tidak GR, tapi tetap saja tidak bisa hilang prasangka bahwa Kamal masuk LEMPERs karena dirinya. Ia juga tidak bisa terima cowok itu memiliki kesempatan menampilkan karya di majalah semesteran—ia akan melibasnya. Kali ini tidak boleh terulang lagi yang seperti dulu. Zia akan lekas menggarap artikelnya dan tidak ada lagi yang namanya perpanjangan deadline!

Selain itu, sebertemunya Zia dengan Oki saat pergantian mata pelajaran, baru tahulah ia kalau belum lama rombongan awak LEMPERs kelas XI diundang ke pesta ulang tahun seorang awak LEMPERs kelas X. “Kok aku nggak diajak?” protes Zia. Mana pesta ulang tahunnya diadakan di Berry’s Latte pula—kafe baru yang mengundang kepenasaranan Zia untuk berkunjung. Oki malah balik tanya, “Emang kamu masih di LEMPERs?” Huh, liat saja tulisanku entar! Zia bersungut-sungut dalam hati. Namun tak urung ia dengarkan juga laporan Oki mengenai pesta tersebut.

“...trus ada anak kelas X yang tiba-tiba main kibor di panggung... Kirain teh siapa, nggak taunya kembarannya si Arderaz tea...”

“Hah, si Dean?”

“Oh. Iya, kalo nggak salah namanya Dian-Dian gitu da... Trus pada heboh we anak-anak kelas X-nya teh. Kita mah nggak ngerti apaan. Ikut-ikutan aja nyorakin, hahaha...”

“Eh... Tunggu, tunggu... Si Dean? Main kibor? Main apa? Ibu kita Kartini?”

Oki menggaruk-garuk belakang telinganya. “Nggak tau sih, lagu apaan... Tapi enak-enakeun aja da... Da pinter mainnya juga,” jawab Oki seolah ia paham benar akan musik.

Zia tidak bisa mempercayai perkataan Oki. Anak se-humble Dean, ternyata bisa memainkan kibor? Bilangnya nggak bisa apa-apa! Zia sakit hati. Padahal tadinya ia kira ia hampir senasib dengan Dean. Tidak bisa apa-apa. Sukanya hanya main. Malas belajar dan olahraga. Dan Dean tidak sadar akan pemberdayaan diri—itu yang membuat Zia merasa sedikit lebih unggul. Ditambah, aku juga suka dapet ranking di kelas dan nggak pernah minta orang lain buat ngerjain PR-ku, nggak kayak Dean! Zia harap ia tidak bertemu Dean di rumah Kakek. Kalau tidak, ia tidak tahu bagaimana harus menyembunyikan perasaannya.

Perasaan buruk yang melanda Zia berangsur-angsur padam karena diredam materi pelajaran. Saat pulang sekolah, ia sudah hampir tak kepikiran akan apa yang sempat meresahkan jiwanya. Sepanjang jalan ke rumah Kakek, Zia mengarang-ngarang sebuah lagu dalam kepala. Ia ingin tahu bagaimana chord-nya sehingga lain kali ia bisa memainkan lagu tersebut dengan gitar. Minta dibikinkan Kakek saja, pikirnya. Ia akan memaksa Kakek meminjamkan salah satu gitarnya. Ia akan berhati-hati.

Langsung Zia mengarah ke paviliun Kakek, tanpa ke bangunan utama untuk menaruh ransel terlebih dulu. Akhir-akhir ini ia jadi suka menemukan Dean di bangunan utama. Belajar bersama Zahra, katanya. Menyadari Dean jadi rajin begitu, Zia pikir seharusnya ia tidak boleh kalah juga.

“Kakek, aku pingin belajar gitar lagi!” sahut Zia begitu bertemu muka Kakek di ruang tengah paviliun. Kakek sedang di hadapan TV, seperti biasa. “Aku pinjem gitar Kakek dong...”

“Ya, boleh...” kata Kakek. Zia bersorak pelan. “Tapi hati-hati ya megangnya. Jangan dijatuhin...” Zia sudah menduga Kakek akan berkata seperti itu. Ia masuk ke dalam studio Kakek dan ke luar lagi dengan menyandang sebuah gitar. Duduk ia di samping Kakek.

“Kek, Kek...” katanya. “Aku punya lagu kayak gini...” Ia bersenandung. “Kuncinya kayak gimana yak?”

“Hah, apa?” Kakek memalingkan kepalanya dari TV. Mengarahkan telinganya pada Zia. Zia mengulangi senandungnya. Kepala Kakek mengangguk-angguk. Ia mengulangi sepenggal senandung Zia. “...itu pake kunci D aja... trus gimana lagi?” Zia melanjutkan senandungnya, Kakek menyela, “...itu bisa G...” Zia terus bersenandung. Ia tidak akan memberitahu Kakek bahwa lagu tersebut memiliki lirik, “He, Kakek botak, jangan kau banyak lagak, nanti rasa gondokku makin bengkak...” Kakek memalingkan kepala lagi ke arah TV. “...terusin sendiri yah...”

“Iiiih... Kakek mah...!”

Kakek terkekeh. Setelah tayangan favoritnya diganti iklan, Kakek mengecilkan volume TV sembari memutar tubuhnya menghadap Zia. Meminta alih gitarnya. “Sini, Kakek ajarin satu melodi...” Zia menyerahkan gitar ke pangkuan Kakek. “Perhatiin baik-baik, ya...” ujar Kakek. Zia mengangguk. Kakek mulai memetiki senar. Zia merasa tahu lagu tersebut. “Ah, ‘I Don’t Wanna Talk About It’ yah?” Kakek mengangguk sembari terus memetiki senar. “Pinter...” pujinya. “Nah, yang nyanyi siapa?”

“Lupa!” sahut Zia.

“Mana ada itu, penyanyi namanya Lupa?”

Ada kok, Lupe Fiasco!  “Ah... Kakek!”

Kakek terkekeh lagi. Ia menyerahkan gitar ke pangkuan Zia kembali. “Ayo ulangi,” katanya. Zia menempelkan jemari kiri di fret dan menggantungkan setengah lengan kanannya pada lekukan gitar. Mengingat-ingat. Menyerahkan gitar lagi pada Kakek. “Ah, lupa, Kek. Ulangin, Kek, pelan-pelan...”

Kakek menurut. Zia memerhatikan petikan jemari Kakek dengan saksama. Kakek menyerahkan gitar lagi pada Zia. Zia memangkunya. Coba menirukan apa yang tadi Kakek lakukan. Satu nada. Dua nada. Tiga nada. Empat nada. Putus ingatan. Zia menyerahkan lagi gitar pada Kakek. Kakek menolaknya. “Ayo, diinget-inget...”

Dan demikianlah yang terjadi hingga jarum jam hampir menempuh satu putaran. Sudah tidak ada lagi adegan perpindahan gitar dari pangku ke pangku. Kakek sudah mengambil gitarnya sendiri. Zia coba langsung menirukan begitu jemari Kakek menyentuh senar. Lagi-lagi ia kalah cepat. Begitu ia berhasil menghapal nada, dan beranjak ke untaian nada berikutnya, ingatan akan yang sebelumnya jadi buyar. Ia sendiri jemu meminta Kakek mengulanginya lagi, lebih-lebih Kakek. Sampai-sampai Kakek berkata dengan nada mengintimidasi, “Kayak temennya si Zahra tuh, si... Dean! Denger sekali aja udah bisa langsung niruin!”

“Kok Kakek bisa tahu sih?”

“Iya! Itu makanya si Dean suka ke mari, dia kan suka main kibor di tempat Kakek... Kadang di sebelah juga, kalau Kakek nggak ada.” Kakek merujuk pada persewaan studio musik di samping paviliun.

“Tapi aku kan bukan Dean? Aku juga bukan Mama!” Zia jadi kesal karena diingatkan tentang Dean lagi. Padahal itu yang dihindarinya dengan langsung ke paviliun Kakek. Dan kini jadi terkuak pula kebenaran cerita Oki.

“Loh, loh, Kakek juga nggak langsung bisa kok. Kakek juga lama belajarnya!” Kakek berusaha menyurutkan amarah Zia yang mulai terbit. “Lama-lama juga bisa...”

“Trus kenapa Kakek pake ngebanding-bandingin aku sih?” Zia menurunkan gitarnya. Ketimbang meledak benar amarahnya pada Kakek, lalu Kakek lapor Papa, dan Papa akan balas memarahinya, lebih baik Zia meredakannya segera. Lagipula ia belum solat zuhur. “Aku numpang solat di sini, Kek!” serunya. Kalau solat di bangunan utama, ia khawatir sedang ada Dean di sana, siapa tahu? Kakek diam saja sewaktu Zia beranjak dari sofa.

Zia merasa sedikit tenang saat ia memulai solat, meskipun keadaan di sekitarnya kacau balau—ia solat di kamar Kakek. Namun di rakaat kedua, batinnya terusik lagi karena mendengar suara-suara di luar kamar. Alih-alih berkonsentrasi pada bacaan solat, Zia malah menajamkan pendengaran pada suara-suara tersebut. Terasa jauh. Mungkin sedang di dalam studio Kakek. Suara parau itu jelas milik Kakek. Sedang suara serak nan ringan yang satunya, tidak usah lama-lama Zia memindai siapa saja kenalan Kakek yang ia tahu, itu pasti suara Dean!

Dean lekas ngeh saat Zia sudah berada di ambang pintu studio. Dengan keceriaannya yang biasa, ia menyapa Zia. Apa yang sempat Zia khawatirkan terjadi. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya pada Dean. "Kamu nggak bilang kamu bisa main musik!” ujarnya ketus, lantas cepat-cepat ia berbalik sebelum keterusan membentak-bentak Dean tanpa alasan. Ia mulai menduga jangan-jangan dirinya sedang kena PMS.

=====

Zia membawa laptop Papa ke kamar. Ia ingin mencoba metode kerja Zaha: mengunci diri dalam keadaan kamar yang rapi dan tidak ada berisik—termasuk musik. Sunyi mendera. Hanya terdengar samar-samar orang bicara dalam kotak TV. Denting senar gitar. Suara-suara malam. Zia jadi merasa sendirian. Tidak punya keluarga. Mungkin seperti ini pula yang Asnah rasa di pojok bawah sana, menggurat kebosanan dalam buku tulis yang dibeli di warung.

Berkat metode Zaha pula, otaknya jadi terasa bersih kini, bebas dari kecamuk pelbagai pikiran. Saking bersihnya, Zia sampai tidak kunjung menemukan kata pertama untuk artikelnya. Tergugu ia beberapa lama di laptop. Beberapa jemarinya pada beberapa tuts kibor. Tak ada satu pun tuts yang terpencet. Nulis apa? Nulis apa? Nulis apa?

Ia melirik notes di samping laptop. Penuh dengan coretan-coretan yang tak sembarang orang dapat mencerna. Bagaimana merangkai penggalan-penggalan informasi ini menjadi sebuah gugatan? Gugatan agar ditegakkannya kebenaran dalam dunia pendidikan Indonesia. Apa yang hendak ditulisnya terasa bagai sesuatu yang bakal jadi hebat. Orang bilang, jika kita dapat memvisualisasikannya, kita dapat pula menggapainya. Tapi jika tak bisa melalui prosesnya, maka visualisasi tetaplah visualisasi. Dan harus sekonkrit apakah visualisasi itu? Apakah hingga kata per kata? Jika Zia tidak dapat memvisualisasikan kata-kata untuk bakal artikelnya, apakah ia tak akan dapat menggapai majalah semesteren berisi artikelnya?

Masih ada hari esok... sebuah suara menggoda.

Tidak. Tidak ada nanti-nanti. Zia telah belajar bahwa penundaan merupakan bagian dari kemalasan. Zia ingin buktikan bahwa pelabelan orang-orang selama ini padanya adalah salah. Bahwa ia malas. Tidak, ia tidak malas. Ia akan buktikan sekarang juga, memulainya dengan membuka sebuah file berjudul ‘i just make my own teenlit’. Proyek teenlit-nya yang tak pernah selesai.

Ide ceritanya yang amat simpel membuat Zia kerap minder dari Zaha. Jangan pernah sampai Zaha tahu bahwa Zia pernah membuat cerita semacam ini—yang sudah terketik sampai halaman kelima puluh. Cerita yang hampir semua tokohnya diambil dari dunia nyata, dinamai sama pula, dengan kadar fiksi 99%. Cerita di mana Zia menjadi tokoh utama, dan ada Bagas—satu-satunya kecengannya yang tak berkacamata dan tak berponi, Ezra, Epay, Regi, Tata... Bisa dikatakan pula bahwa ceritanya adalah sebuah catatan harian fiktif. Tapi Zia dalam kehidupan fiktif lebih bahagia. Bisa main gitar betulan. Bisa menarik perhatian cowok. Bisa bernyanyi riang tanpa harus dirisaukan oleh masalah keluarga. Bisa punya kakak cowok yang lucu. Bisa punya orangtua lengkap yang kooperatif. Dengan kehidupan seperti itu, yang perlu Zia fiktif urusi hanyalah persoalan bagaimana menggaet Bagas atau Ezra. 

Zia berhenti membaca sampai halaman dua puluh. Sebuah rekor. Biasanya ia sudah menutup file tersebut pada halaman kelima. Berhentinya ia membaca pun karena datang sms dari Ega, yang isinya, “...di belakangmu...”

Zia memutar tubuh ke belakang. Tidak ada apa-apa selain perabotan kamarnya. Balasnya, “Nggak ada siapa-siapa, weee...”

Ega membalas lagi, “...di sampingmu...”

Zia menaruh ponsel di atas meja seraya berdecak. Kebiasaan buruk Ega kambuh lagi. Dan berhasil membuatnya merinding. Zia sadar lagi akan kesendiriannya.

Kembali Zia menatap layar laptop. Ia menekan Ctrl + F. Mengetik “Ega”. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Haha... Rasakan kamu, Ega, kamu cuman dapet porsi dikit dalam teenlit-ku!

Sebuah sms datang lagi. Zia sudah malas saja sekiranya itu berasal dari Ega lagi. Ternyata Bang Ali. Memberikannya sebuah informasi lagi. Ternyata pada doa bersama sebelum UN, kepala sekolah sempat menyinggung perkara kongkalingkong satu angkatan. Bukannya pencegahan, kata-katanya malah berisi harapan agar Yang Maha Esa melancarkan aksi kerja sama massal ini. Wow! Menarik, menarik... Zia menyalin isi sms Bang Ali ke atas kertas notes. Tak lupa ia menyampaikan sms terima kasih pada Bang Ali setelahnya.

Zia tak menyangka Bang Ali akan sesuportif ini. Ardi saja sudah tak dapat memberikannya informasi baru lagi—kendati ia sudah coba merongrong Mas Imin atas pinta Zia. Padahal sudah cukup jasa Bang Ali dalam membuat Gio menyisakan space untuk tulisan Zia. Juga kesepakatan untuk merahasiakan ini bersama sampai majalah semesteran sendiri yang menyampaikannya pada khalayak SMANSON. Ini bakal jadi kejutan yang menyenangkan, pikir Zia. Ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi para pelaku dan oknum-oknum pendukungnya nanti setelah keburukan mereka ditelanjangi.

Zia juga sudah mewanti-wanti Kang Detol untuk membeli majalah semesteran edisi besok. Inilah yang kau nanti-nanti, Kang! Zia tak sabar menunggu komentar Kang Detol—lebih kepada bagaimana cara ia menulis, ketimbang isi tulisan itu sendiri. Kang Detol pasti akan terkagum-kagum padanya. Terkejut akan isi, sekaligus salut pada sang penyaji.

Sesalut ia pada Bang Ali yang telah membantunya mengorek informasi. Zia sempat khawatir Bang Ali akan terang-terangan menanyai narasumbernya, “Apakah Anda terlibat dalam proyek manipulasi hasil UN SMANSON?”, namun ternyata pendekatan Bang Ali lebih halus dari itu. Kedekatan personal amat berperan, ungkap Bang Ali—yang merasa beruntung karena cukup bergaul dengan para siswa yang potensial menjadi korban. Mereka akhirnya mau mengaku. Tapi mereka tidak tahu bahwa curhatan mereka akan digunakan untuk menyerang almamater.

“Wah, Bang Ali curang,” kata Zia via sms. Tapi tak urung ia terkikik.

Balas Bang Ali, “Kebenaran harus ditegakkan! Anak LEMPERs aja nggak ada yang keliatan ngerasa bersalah dengan itu. Mana idealisme mereka sebagai jurnalis? Bahwa kejujuran adalah yang utama?”

“Idealisme! Aku suka kata itu!”

“Saya juga suka. Suka juga sama kata subversif.”

Zia memikirkan kata apa lagi yang ia sukai. “Potensi,” ketiknya kemudian. Balas Bang Ali, “Skeptis.” Balas Zia lagi, “Semangat”. Tangguh. “Bakat.” Radikal. “Anarki?” Masif. “Coklat!” Kritis. “Komik.” Disiplin. “Wahana terselubung!” Haha, Kang Lutung yah? “Cie, Bang Ali naksir sama Kang Lutung nih?” LEMPERs. “U2!” Rendra. “Nasib....” Sosial. “Gitar” Aktif. “Retro.” Gigih. “Super power girl!” Gie.

Zia ingin mengetik “Bang Ali”. Iya. Tidak. Iya. Tidak. Keburu datang lagi sms Bang Ali. “Udah dibikin tulisannya?”

Zia bingung harus membalas apa. Harus jawaban yang oke! “Lagi brainstorming, hehe.”

“Jangan straight news yah. Nggak nendang entar. Bikin yang bernyawa!”

“Iya, aku mau bikin yang kayak artikelku dulu itu loh,” ketik Zia, tak lupa menekankan, “yang pernah masuk majalah semesteran.”

“Sip! Entar kalo udah selesai, saya pingin cepet baca.”

“Oke!”

...keinginan hatimu, kawan, tiada nyata tanpa kerja... Mendadak nyanyian Ipong yang kapan itu mengiang di kepala Zia. Zia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia mengepalkan kedua tangan ke tangan ke udara. “BISA!” teriaknya, seperti akhir dari salam PATIN seusai latihan. Semangat sudah merambah ke sekujur tubuhnya—disertai debar jantung karena sms-sms Bang Ali—dan kini merambat pula ke sepasang tangannya. Waktunya untuk bekerja!

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain