Tak pernah Zia bergegas ke markas LEMPERs sebersemangat ini—sejak era
dimuatnya artikelnya di majalah semesteran berlalu. Apakah macam ini
kebahagiaan seorang wartawan yang pulang ke kantor redaksinya dengan membawa
berita eksklusif? Zia menerka-nerka. Ia tidak bisa duduk tenang selagi menunggu
jam istirahat tadi. Ketimbang minta nomor pemred yang baru pada kenalan
LEMPERs-nya, Zia merasa lebih baik ia bicara tatap muka. Katanya kepengurusan
inti LEMPERs sekarang dipegang anak kelas X—termasuk pemrednya, yang katanya
cowok. Tapi Zia tidak ingat persis siapa namanya. Karena pengalamannya bergaul
dengan para berondong selama ini, bertambah kepercayaan diri Zia untuk
menghadap pemred baru. Serahkan saja pada Zia, pakar berondong!
Baruan Zia berpapasan dengan Bang Ali. Ia masih terkesima. Sehabis dari
markas LEMPERs, Zia sudah tak sabar hendak mengajukan pikirannya untuk
mengganti kembali kata “cakep”, bukan dengan “ganteng”, melainkan “tampan”.
Benar kata Epay, sejak demisioner dari jabatan pemred LEMPERs, Bang Ali jadi
terlihat mirip Ezra—Zia baru ngeh kalau sebetulnya Bang Ali itu masuk tipenya.
Embel-embel “Bang” untuk Ali terasa tepat kini. “Bang...” lalu, “Apa, Dik?” Zia
terkikik senang, membayangkan kemungkinan terjadinya percakapan dengan intonasi
mesra demikian antara ia dan Bang Ali. Akhirnya ia bisa menemukan seseorang
yang bisa dengan sungguh-sungguh ia kecengi lagi.
Anak-anak kelas X lebih rajin menongkrongi markas juga rupanya, tidak
seperti dulu, saat Zia menemukan Bang Ali sendirian di tengah sampah mading
yang berserakkan. O, mereka juga merapikan markas! Ampun, Zia ingin menjadi
bagian dari anak-anak kelas X... mengapa ia tidak dilahirkan setahun lebih
muda?
“Boleh ketemu pemrednya?” Hanya setengah tubuh Zia yang terlihat di ambang
pintu. Anak-anak kelas X itu terpaku padanya.
“Ya? Saya?”
Zia terpana melihat siapa yang mengangkat tangan. Berbeda dengan Bang Ali,
Gio—akhirnya Zia ingat namanya—berpipi gembil, berponi lebih pendek, berwarna
kulit lebih terang, bertubuh lebih berisi, dan sepertinya agak sedikit lebih
tinggi juga. Namun ada suatu kesamaan mereka. Apakah sekarang sudah terbit
suatu konvensi di LEMPERs untuk memilih cowok dengan kacamata dan poni sebagai
pemred? Jangan-jangan Mas Imin juga sebetulnya hendak dijadikan
pemred—seandainya ia tidak keburu hengkang dari LEMPERs? Tapi gaya rambut Mas
Imin tidak pernah berponi.
“Gio, ya?” Zia menunjuk cowok yang tengah melaju ke arahnya.
“Iya?” sahut cowok itu, tampak heran. Zia mengulurkan tangan. “Zia, XI IPA
4. LEMPERs juga, anggota siluman.”
“Ooh...” Gio menyambut uluran tangan Zia. Alih-alih menjabat, Zia malah
menarik tangan cowok itu ke luar ruangan. Ia memelankan suara, mengira tidak
ada yang bakal ngeh dengan apa yang ia ucapkan, “Aku punya berita eksklusif.
Bagus buat masuk majalah semesteran.”
Keheranan Gio semakin menjadi-jadi. “Maaf, Teh?”
Zia menggiring Gio lagi ke tempat yang lebih tidak dilalu-lalangi orang.
“Kamu percaya, kalau UN di sekolah kita kemarin nggak jujur?”
Gio terperangah. “Beneran, Teh? Tau dari mana?”
“Aku nggak bisa nyebutin langsung siapa narasumbernya. Off record. Tapi
ini bisa jadi kritik yang bagus buat sekolah kita, dan mungkin juga buat
pendidikan di Indonesia—“
Gio menyela semangat Zia. Tegasnya, “Harus jelas, Teh, siapa
narasumbernya. Itu kode etiknya kan?”
Zia menggaruk-garuk pelipisnya. Tidak menyangka, kritis juga anak di
hadapannya ini. “Oke. Kamu tau, aku punya sepupu yang seangkatan aku di sini,
yang punya kakak anak kelas XII...”
“...nggak, Teh.”
Kritis, tapi nggak gaul! maki Zia dalam hati. Zia mengangkat satu tangannya. “Sumpah, aku nggak
boong. Kalau kamu generasi muda yang ngakunya idealis dan ingin memperbaiki
kebrobrokan di negri ini, kamu harus memerhatikan ucapan orang lain. Inget,
bekal yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis adalah skeptis, tapi nggak
lantas jadi apatis. Kamu mestinya udah dapet ini di training kan?” Zia menarik
nafas, berharap usahanya membuktikan bahwa ia memang pernah terlibat di LEMPERs
membuahkan hasil.
Gio masih tampak termenung. Zia mengandaikan yang menjadi pemred baru
adalah anak kelas X yang ia kenal, macam Dean, Salman, atau Acil begitu.
Tinggal dikasih kacamata dan poni saja mereka, sudah layak jadi pemred LEMPERs!
“Dengerin cerita aku dulu kalo gitu ya?”
Tanpa menunggu Gio mengangguk atau mengiyakan, Zia langsung bercuap lagi.
Ia keluarkan segala ingatannya mengenai percakapannya dengan Ardi, lengkap
dengan polah Mas Imin dan kawan-kawan. Tidak lupa ia tunjukkan juga notes hasil
wawancaranya dengan Ardi. “Menurut kamu, dengan tulisan acak-acakan gini, aku
lagi ngarang cerita?”
Gio melempar pandang ke arah barisan anak-anak yang menuju Kabita. Alisnya
bertaut. Bingung hendak mengatakan apa. Masih terendam dalam skeptisme yang
mulai runtuh perlahan. Atau mungkin menyesal karena telah memasuki SMANSON dan
menjalani kehidupan di dalamnya selama hampir setahun.
“Masih ada kesempatan untuk memperbaiki SMANSON dari dalam. Karena itu,
oknum-oknum yang terlibat harus kita sentil supaya angkatan kita nggak ikutan
tercemar. Itulah gunanya media, Gio. Apalagi LEMPERs gitu loh. Kayaknya belum
ada deh SMA yang punya organisasi pers seprestisius kita. Dari sinilah kita
mulai jejak kita sebagai jurnalis yang sebenar-benarnya!” kata Zia lagi,
seolah-olah ia sendiri sudah memantapkan diri sebagai jurnalis.
“...saya... nggak berani, Teh,” desah Gio. “Selama ini yang muncul di
majalah semesteran kan bukan hal-hal yang kayak gini.”
“Karena itu, Gio, dari sekarang kita rintis media yang bisa menampung
kritik. Mentang-mentang favorit, kamu kira SMANSON udah jadi sekolah yang baik?
Kritik itu perlu, demi kebaikan sekolah kita juga. Masak majalah semesteran
isinya cuman gitu-gitu aja? Nggak ada nendang-nendangnya?”
Gio menatap Zia lama. Hendak menangkis atau menghimpun pengaruh yang
dikerahkan Zia, ia gundah. Akhirnnya, “Kalo gitu saya coba tanya Dewan
Penasihat dulu ya, Teh.”
Mulut Zia menganga. “Hah? Ada dewan-dewan penasihatnya juga sekarang?”
“Dari dulu ada kali, Teh...” Gio melengkapi ucapannya dengan tatapan yang
menanyakan kebenaran identitas Zia sebagai awak LEMPERs. Zia menggali-gali
ingatannya akan isi AD/ART LEMPERs yang pernah ia baca sekilas. Kalau tidak
salah, memang ada yang Gio katakan itu. Namun sepertinya pada jaman Zia aktif,
peranan Dewan Penasihat tidak begitu terasa. Betapa LEMPERs adalah suatu wahana
yang ia anggap secara angin-anginan, sesal kembali menyesapi Zia.
“Trus kapan aku bisa dapet kepastian?” Zia ingin bilang juga bahwa ia
sudah tidak sabar untuk mengemban tugas membuat artikel tersebut. Kalau tidak
pakai ditugasi seperti itu, tangannya serasa semakin susah digerakkan. Gumaman
Gio lekas dipotong desahan tak sabar Zia. Meskipun aura Bang Ali menyuramkan,
namun setidaknya cowok tersebut dapat lebih cepat mengambil keputusan. Lebih
baik Zia sendiri yang langsung menghadap Dewan Penasihat. Semestinya Dewan
Penasihat beranggotakan anak kelas XI—kalau dengan mereka Zia berani. “Dewan
Penasihatnya siapa?”
“Mmm... Kang Ali...” ...akh, orang
itu lagi! “...Teh Cibluk, Teh Oki...”
“Oke, makasih! Aku sendiri yang bakal langsung ke mereka. Kamu
tenang-tenang aja di markasmu, ya, Dik...” Zia menepuk-nepuk bahu Gio sebelum
berlagak memberikan penghormatan terakhir. Zia berniat untuk memberitahu Oki
saja—penghuni kelas di sebelahnya. Namun seratus meter sebelum kelas Oki,
adalah Bang Ali yang ia temui. Zia berubah pikiran. Dengan status Bang Ali
sebagai kecengannya kini, mengapa tidak menyelam sambil minum air saja?
=====
Seakan ingin membalas sikap Zia terhadap LEMPERs selama ini, Bang Ali
menanggapi dengan ogah-ogahan. Kacamatanya melorot, seiring dengan turun
kepalanya mengarah pada Zia. Ia berharap seandainya saja ada seseorang yang
menemaninya berjalan tadi, ia jadi punya alasan untuk melakukan pelarian.
“Berita eksklusif?” Ia berusaha untuk tak tampak terkesan. Setelah dedikasinya
kepada LEMPERs selama hampir dua tahun ini, berita paling eksklusif yang pernah
ia garap hanyalah perkara aksi BASTARD—komunitas anak bengal SMANSON—dalam
melakukan pemalakan dan bully terselubung.
“Ya!” Zia berkacak pinggang sembari mengangguk-angguk. “Kayaknya kita
mesti menepi deh. Ini top secret punya, Bang!”
“Euh, malas ah...”
“Ayooo...” Zia menarik-narik lengan seragam atasan Bang Ali. Risihlah Bang
Ali dibuatnya.
“Saya kan udah demisioner dari LEMPERs...”
“Tapi kan masih jadi Dewan Penasihat.”
“Ah, sial.” Bang Ali jadi malas betulan, termasuk untuk mengelak.
“Gitu aja kok susah. Perlancar urusanku kek...” gerutu Zia sembari
menyeret Bang Ali ke kanopi terdekat.
Bang Ali diam saja sewaktu Zia membawakan pengantar. Ia sudah kadung
memasang stigma tidak baik pada Zia. Ia kira keterampilan Zia hanya menggunting
dan menempel—satu hal agak baik dari sekian hal tidak baik yang cewek itu
miliki seperti tidak disiplin, suka terlambat, angin-anginan, pemalas, urakan,
dan—Bang Ali malas meneruskan. Bang Ali menyaksikan sendiri adu mulut antara
Zia dan pemred sebelumnya. Bang Ali kira Zia hanya ingin menjadi bagian dari
kaum cewek centil sok eksis. Menurutnya, Zia adalah orang yang hanya mau
bekerja kalau keinginannya dituruti dulu, itu pun lebih banyak bicaranya.
Namun raut muka Bang Ali lambat laun berubah, apalagi setelah Zia masuk ke
bagian inti. Ia mencoba untuk tidak tercengang—setidaknya jangan sampai
mulutnya mangap. Seandainya Zia adalah cowok, ia tidak akan sungkan untuk
menjabat tangan Zia erat-erat, kalau perlu menepuk punggungnya keras-keras
sekalian. Namun ia masih bisa menahan diri untuk tidak kelepasan. Jadi ia hanya
mengucap pelan, tanpa kuasa menahan keterkesimaan, “Kamu ternyata bisa
subversif juga ya, Zia.”
Akhirnya ada yang subversif juga di LEMPERs, lanjut Bang Ali dalam hati.
Sosok macam itu yang selama ini ia cari-cari di LEMPERs. Cita-cita Bang Ali
adalah menjadi jurnalis subversif. Masuk penjara untuk menulis buku yang
mengubah dunia. Ia terobsesi dengan kata subversif sejak membaca banyak tentang
Nelson Mandela, W. S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan para tokoh besar
lainnya. Di tahun pertamanya di SMA, Bang Ali sudah bertekad masuk IPS agar
lebih memahami gejolak permasalahan sosial di negerinya tercinta. Madam SMANSON
mendorong kepercayaan dirinya untuk masuk LEMPERs—juga mengingatkannya bahwa
sekarang adalah jamannya Reformasi, bukannya Orde Baru. Kini ia telah menjadi
seorang yang tegas, meski masih terlalu suram untuk menjadi subversif.
Namun, berkat LEMPERs, masih tersisa sejumput kekritisannya untuk
menanyakan keotentikan narasumber. “Apa narasumbernya bisa dipercaya?”
Pertanyaannya itu disambut anggukan semangat Zia. Bang Ali bertanya lagi dengan
suara lebih pelan. “Siapa? Saya janji nggak bakal ngasih tau siapa-siapa. Ini
di antara kita aja. Saya harus bisa mempercayai kamu.”
Zia mendesah. “Kayak nggak tau aja kamu nih, aku kan punya sepupu kelas
XII di sini...”
Bang Ali tertegun. Kali ini ia kelepasan—sedikit. Untungnya ia tidak
sampai berteriak, hanya tercekat, “Madam SMANSON nan legendaris itu?” Zia mengernyit. Ia mungkin tak tahu seberapa
besar hutang budi Bang Ali pada Kang Lutung. Bang Ali mendeham beberapa kali
untuk mendapatkan suara rendahnya kembali. “Serius?”
“Jadi gini, awalnya kan aku sempet denger Kang Lutung sama si Kang Hilman
dan sebagainya ngobrol-ngobrol di rumah kakek kita kan... Ngobrolin itu! Tapi
pas aku dateng mereka udah nggak ngobrolin itu lagi. Tapi si Ardi tau apa yang
mereka obrolin barusan itu. Jadi aku wawancara si Ardi deh. Kamu percaya si
Ardi kan?”
Tidak ada alasan bagi Bang Ali untuk memungkiri. Ia sudah terlanjur tersengat
ruh subversif. Memang masih tersisa sedikit keskeptisannya. Namun melihat
keseriusan Zia dan penyebutan sumber-sumber yang meyakinkan, intuisi Bang Ali
mengatakan bahwa ini mungkin terjadi. Ia sendiri akan coba mengorek langsung
informasi dari anak-anak kelas XII yang ia kenal.
Berkat LEMPERs pula, sedikit wibawa dapat ia sampaikan saat mengucap,
“Tulis aja dulu, Zia.” Bang Ali berusaha keras menahan ledakan antusiasmenya.
Suatu hal yang tidak pantas baginya, karena ia tak biasa terlihat begitu—setidaknya
jangan di depan Zia.
“Buat majalah semesteran?” Zia tampak tak percaya.
“Ya.”
Zia bersorak. “Haa... Aku jadi nyesel, kenapa sewaktu Bang Ali jadi pemred
dulu aku nggak aktif aja di LEMPERs...”
Bagus sekali cewek itu menyesal, pikir Bang Ali. Ia menatap Zia, sok
sinis. “Bulan Mei ini udah mulai pengumpulan bahan lo. Kita cuman punya waktu
seminggu di akhir bulan buat layouting dan masukin ke percetakan, soalnya
gantian sama buku tahunan. Trus biar kitanya bisa konsen buat UAS juga. Kalau
kamu sampai minta perpanjangan deadline lagi kayak kemarin itu, space buat kamu
bakal kita isi sama bonus pin up.”
“Ih, kayak tabloid apaan aja, ada bonus pin up...” Zia tampak jijik. “Pin
up apaan? Foto artis?”
“Bukan. Gambarnya si Kamal paling.”
Kali ini Zia tercengang. Makanya Bang Ali tidak mau berekspresi lepas, ia
takut bakal terlihat seperti Zia. “Ka—Kamal? Di LEMPERs?” Zia tergagap.
“Masuknya bareng anak-anak kelas X sih. Lumayanlah, buat bantu-bantu apa
gitu di tim mading, secara stafnya pada ngacir...” Bang Ali sempat menangkap
salah satu ujung bibir Zia tertarik sedikit. Tampaknya cewek itu jadi ogah
melanjutkan percakapan. Lagipula sekitar mereka sudah tampak lengang. Bel tanda
istirahat berakhir sudah berhenti bunyi sejak tadi.
Kelas mereka berlainan arah. Bang Ali baru saja hendak berbalik arah
ketika Zia menyebut namanya lagi. Tanya Zia, “Eh, Bang, apa bener ya, sekarang
pemred LEMPERs harus cowok yang berkacamata dan berponi?”
“Ya. Kang Lutung itu tadinya bakal pemred loh, kalau nggak keburu ke luar
dari LEMPERs, dan mau ponian,”
“Yah... Entar aku malah jadi pingin ngeceng dia juga dong?!”
“Heh?” Bang Ali mengerutkan dahi. Tidak peduli ucapan spontan Zia, ia
mengompensasi ucapan asalnya tadi dengan klarifikasi. “Becanda... Pemred
sebelum saya kan Teh Ida.” Dan cewek, dan tidak berkacamata lagi berponi, dan
mau bersusah payah menghantam ego Zia.
“Hm. Kok nggak lucu yah, becandanya?”
Bang Ali terhenyak. Subversif boleh jadi obsesinya, tapi entah mengapa ia
tidak bisa terima jika kata tersebut dibarengi frasa “kurang ajar”.
=====
Mood Zia turun drastis berkat mengetahui kehadiran Kamal di LEMPERs. Ia
bergidik setiap kali mengingat itu. Kalau begitu, ini akan menjadi kontribusi
terakhirnya di LEMPERs!—kendati sudah sewajarnya begitu karena sebentar lagi ia
kelas XII. Zia berusaha untuk tidak GR, tapi tetap saja tidak bisa hilang
prasangka bahwa Kamal masuk LEMPERs karena dirinya. Ia juga tidak bisa terima
cowok itu memiliki kesempatan menampilkan karya di majalah semesteran—ia akan
melibasnya. Kali ini tidak boleh terulang lagi yang seperti dulu. Zia akan
lekas menggarap artikelnya dan tidak ada lagi yang namanya perpanjangan
deadline!
Selain itu, sebertemunya Zia dengan Oki saat pergantian mata pelajaran,
baru tahulah ia kalau belum lama rombongan awak LEMPERs kelas XI diundang ke
pesta ulang tahun seorang awak LEMPERs kelas X. “Kok aku nggak diajak?” protes
Zia. Mana pesta ulang tahunnya diadakan di Berry’s Latte pula—kafe baru yang
mengundang kepenasaranan Zia untuk berkunjung. Oki malah balik tanya, “Emang
kamu masih di LEMPERs?” Huh, liat saja
tulisanku entar! Zia bersungut-sungut dalam hati. Namun tak urung ia
dengarkan juga laporan Oki mengenai pesta tersebut.
“...trus ada anak kelas X yang tiba-tiba main kibor di panggung... Kirain
teh siapa, nggak taunya kembarannya si Arderaz tea...”
“Hah, si Dean?”
“Oh. Iya, kalo nggak salah namanya Dian-Dian gitu da... Trus pada heboh we
anak-anak kelas X-nya teh. Kita mah nggak ngerti apaan. Ikut-ikutan aja
nyorakin, hahaha...”
“Eh... Tunggu, tunggu... Si Dean? Main kibor? Main apa? Ibu kita Kartini?”
Oki menggaruk-garuk belakang telinganya. “Nggak tau sih, lagu apaan...
Tapi enak-enakeun aja da... Da pinter mainnya juga,” jawab Oki seolah ia paham
benar akan musik.
Zia tidak bisa mempercayai perkataan Oki. Anak se-humble Dean, ternyata
bisa memainkan kibor? Bilangnya nggak
bisa apa-apa! Zia sakit hati. Padahal tadinya ia kira ia hampir senasib
dengan Dean. Tidak bisa apa-apa. Sukanya hanya main. Malas belajar dan
olahraga. Dan Dean tidak sadar akan pemberdayaan diri—itu yang membuat Zia
merasa sedikit lebih unggul. Ditambah, aku
juga suka dapet ranking di kelas dan nggak pernah minta orang lain buat
ngerjain PR-ku, nggak kayak Dean! Zia harap ia tidak bertemu Dean di rumah
Kakek. Kalau tidak, ia tidak tahu bagaimana harus menyembunyikan perasaannya.
Perasaan buruk yang melanda Zia berangsur-angsur padam karena diredam
materi pelajaran. Saat pulang sekolah, ia sudah hampir tak kepikiran akan apa
yang sempat meresahkan jiwanya. Sepanjang jalan ke rumah Kakek, Zia mengarang-ngarang
sebuah lagu dalam kepala. Ia ingin tahu bagaimana chord-nya sehingga lain kali
ia bisa memainkan lagu tersebut dengan gitar. Minta dibikinkan Kakek saja,
pikirnya. Ia akan memaksa Kakek meminjamkan salah satu gitarnya. Ia akan
berhati-hati.
Langsung Zia mengarah ke paviliun Kakek, tanpa ke bangunan utama untuk
menaruh ransel terlebih dulu. Akhir-akhir ini ia jadi suka menemukan Dean di
bangunan utama. Belajar bersama Zahra, katanya. Menyadari Dean jadi rajin
begitu, Zia pikir seharusnya ia tidak boleh kalah juga.
“Kakek, aku pingin belajar gitar lagi!” sahut Zia begitu bertemu muka
Kakek di ruang tengah paviliun. Kakek sedang di hadapan TV, seperti biasa. “Aku
pinjem gitar Kakek dong...”
“Ya, boleh...” kata Kakek. Zia bersorak pelan. “Tapi hati-hati ya
megangnya. Jangan dijatuhin...” Zia sudah menduga Kakek akan berkata seperti
itu. Ia masuk ke dalam studio Kakek dan ke luar lagi dengan menyandang sebuah
gitar. Duduk ia di samping Kakek.
“Kek, Kek...” katanya. “Aku punya lagu kayak gini...” Ia bersenandung.
“Kuncinya kayak gimana yak?”
“Hah, apa?” Kakek memalingkan kepalanya dari TV. Mengarahkan telinganya
pada Zia. Zia mengulangi senandungnya. Kepala Kakek mengangguk-angguk. Ia
mengulangi sepenggal senandung Zia. “...itu pake kunci D aja... trus gimana
lagi?” Zia melanjutkan senandungnya, Kakek menyela, “...itu bisa G...” Zia
terus bersenandung. Ia tidak akan memberitahu Kakek bahwa lagu tersebut
memiliki lirik, “He, Kakek botak, jangan kau banyak lagak, nanti rasa gondokku
makin bengkak...” Kakek memalingkan kepala lagi ke arah TV. “...terusin sendiri
yah...”
“Iiiih... Kakek mah...!”
Kakek terkekeh. Setelah tayangan favoritnya diganti iklan, Kakek
mengecilkan volume TV sembari memutar tubuhnya menghadap Zia. Meminta alih
gitarnya. “Sini, Kakek ajarin satu melodi...” Zia menyerahkan gitar ke pangkuan
Kakek. “Perhatiin baik-baik, ya...” ujar Kakek. Zia mengangguk. Kakek mulai
memetiki senar. Zia merasa tahu lagu tersebut. “Ah, ‘I Don’t Wanna Talk About
It’ yah?” Kakek mengangguk sembari terus memetiki senar. “Pinter...” pujinya.
“Nah, yang nyanyi siapa?”
“Lupa!” sahut Zia.
“Mana ada itu, penyanyi namanya Lupa?”
Ada kok, Lupe Fiasco! “Ah... Kakek!”
Kakek terkekeh lagi. Ia menyerahkan gitar ke pangkuan Zia kembali. “Ayo
ulangi,” katanya. Zia menempelkan jemari kiri di fret dan menggantungkan
setengah lengan kanannya pada lekukan gitar. Mengingat-ingat. Menyerahkan gitar
lagi pada Kakek. “Ah, lupa, Kek. Ulangin, Kek, pelan-pelan...”
Kakek menurut. Zia memerhatikan petikan jemari Kakek dengan saksama. Kakek
menyerahkan gitar lagi pada Zia. Zia memangkunya. Coba menirukan apa yang tadi
Kakek lakukan. Satu nada. Dua nada. Tiga nada. Empat nada. Putus ingatan. Zia
menyerahkan lagi gitar pada Kakek. Kakek menolaknya. “Ayo, diinget-inget...”
Dan demikianlah yang terjadi hingga jarum jam hampir menempuh satu
putaran. Sudah tidak ada lagi adegan perpindahan gitar dari pangku ke pangku.
Kakek sudah mengambil gitarnya sendiri. Zia coba langsung menirukan begitu
jemari Kakek menyentuh senar. Lagi-lagi ia kalah cepat. Begitu ia berhasil
menghapal nada, dan beranjak ke untaian nada berikutnya, ingatan akan yang
sebelumnya jadi buyar. Ia sendiri jemu meminta Kakek mengulanginya lagi,
lebih-lebih Kakek. Sampai-sampai Kakek berkata dengan nada mengintimidasi,
“Kayak temennya si Zahra tuh, si... Dean! Denger sekali aja udah bisa langsung
niruin!”
“Kok Kakek bisa tahu sih?”
“Iya! Itu makanya si Dean suka ke mari, dia kan suka main kibor di tempat
Kakek... Kadang di sebelah juga, kalau Kakek nggak ada.” Kakek merujuk pada persewaan
studio musik di samping paviliun.
“Tapi aku kan bukan Dean? Aku juga bukan Mama!” Zia jadi kesal karena
diingatkan tentang Dean lagi. Padahal itu yang dihindarinya dengan langsung ke
paviliun Kakek. Dan kini jadi terkuak pula kebenaran cerita Oki.
“Loh, loh, Kakek juga nggak langsung bisa kok. Kakek juga lama
belajarnya!” Kakek berusaha menyurutkan amarah Zia yang mulai terbit.
“Lama-lama juga bisa...”
“Trus kenapa Kakek pake ngebanding-bandingin aku sih?” Zia menurunkan
gitarnya. Ketimbang meledak benar amarahnya pada Kakek, lalu Kakek lapor Papa,
dan Papa akan balas memarahinya, lebih baik Zia meredakannya segera. Lagipula
ia belum solat zuhur. “Aku numpang solat di sini, Kek!” serunya. Kalau solat di
bangunan utama, ia khawatir sedang ada Dean di sana, siapa tahu? Kakek diam
saja sewaktu Zia beranjak dari sofa.
Zia merasa sedikit tenang saat ia memulai solat, meskipun keadaan di
sekitarnya kacau balau—ia solat di kamar Kakek. Namun di rakaat kedua, batinnya
terusik lagi karena mendengar suara-suara di luar kamar. Alih-alih
berkonsentrasi pada bacaan solat, Zia malah menajamkan pendengaran pada
suara-suara tersebut. Terasa jauh. Mungkin sedang di dalam studio Kakek. Suara
parau itu jelas milik Kakek. Sedang suara serak nan ringan yang satunya, tidak
usah lama-lama Zia memindai siapa saja kenalan Kakek yang ia tahu, itu pasti
suara Dean!
Dean lekas ngeh saat Zia sudah berada di ambang pintu studio. Dengan
keceriaannya yang biasa, ia menyapa Zia. Apa yang sempat Zia khawatirkan
terjadi. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya pada Dean. "Kamu nggak
bilang kamu bisa main musik!” ujarnya ketus, lantas cepat-cepat ia berbalik
sebelum keterusan membentak-bentak Dean tanpa alasan. Ia mulai menduga
jangan-jangan dirinya sedang kena PMS.
=====
Zia membawa laptop Papa ke kamar. Ia ingin mencoba metode kerja Zaha:
mengunci diri dalam keadaan kamar yang rapi dan tidak ada berisik—termasuk
musik. Sunyi mendera. Hanya terdengar samar-samar orang bicara dalam kotak TV.
Denting senar gitar. Suara-suara malam. Zia jadi merasa sendirian. Tidak punya
keluarga. Mungkin seperti ini pula yang Asnah rasa di pojok bawah sana,
menggurat kebosanan dalam buku tulis yang dibeli di warung.
Berkat metode Zaha pula, otaknya jadi terasa bersih kini, bebas dari
kecamuk pelbagai pikiran. Saking bersihnya, Zia sampai tidak kunjung menemukan
kata pertama untuk artikelnya. Tergugu ia beberapa lama di laptop. Beberapa
jemarinya pada beberapa tuts kibor. Tak
ada satu pun tuts yang terpencet. Nulis
apa? Nulis apa? Nulis apa?
Ia melirik notes di samping laptop. Penuh dengan coretan-coretan yang tak
sembarang orang dapat mencerna. Bagaimana merangkai penggalan-penggalan
informasi ini menjadi sebuah gugatan? Gugatan agar ditegakkannya kebenaran
dalam dunia pendidikan Indonesia. Apa yang hendak ditulisnya terasa bagai
sesuatu yang bakal jadi hebat. Orang bilang, jika kita dapat
memvisualisasikannya, kita dapat pula menggapainya. Tapi jika tak bisa melalui
prosesnya, maka visualisasi tetaplah visualisasi. Dan harus sekonkrit apakah
visualisasi itu? Apakah hingga kata per kata? Jika Zia tidak dapat
memvisualisasikan kata-kata untuk bakal artikelnya, apakah ia tak akan dapat
menggapai majalah semesteren berisi artikelnya?
Masih ada hari esok... sebuah suara menggoda.
Tidak. Tidak ada nanti-nanti. Zia telah belajar bahwa penundaan merupakan
bagian dari kemalasan. Zia ingin buktikan bahwa pelabelan orang-orang selama
ini padanya adalah salah. Bahwa ia malas. Tidak, ia tidak malas. Ia akan
buktikan sekarang juga, memulainya dengan membuka sebuah file berjudul ‘i just
make my own teenlit’. Proyek teenlit-nya yang tak pernah selesai.
Ide ceritanya yang amat simpel membuat Zia kerap minder dari Zaha. Jangan
pernah sampai Zaha tahu bahwa Zia pernah membuat cerita semacam ini—yang sudah
terketik sampai halaman kelima puluh. Cerita yang hampir semua tokohnya diambil
dari dunia nyata, dinamai sama pula, dengan kadar fiksi 99%. Cerita di mana Zia
menjadi tokoh utama, dan ada Bagas—satu-satunya kecengannya yang tak
berkacamata dan tak berponi, Ezra, Epay, Regi, Tata... Bisa dikatakan pula
bahwa ceritanya adalah sebuah catatan harian fiktif. Tapi Zia dalam kehidupan
fiktif lebih bahagia. Bisa main gitar betulan. Bisa menarik perhatian cowok.
Bisa bernyanyi riang tanpa harus dirisaukan oleh masalah keluarga. Bisa punya
kakak cowok yang lucu. Bisa punya orangtua lengkap yang kooperatif. Dengan
kehidupan seperti itu, yang perlu Zia fiktif urusi hanyalah persoalan bagaimana
menggaet Bagas atau Ezra.
Zia berhenti membaca sampai halaman dua puluh. Sebuah rekor. Biasanya ia
sudah menutup file tersebut pada halaman kelima. Berhentinya ia membaca pun
karena datang sms dari Ega, yang isinya, “...di belakangmu...”
Zia memutar tubuh ke belakang. Tidak ada apa-apa selain perabotan
kamarnya. Balasnya, “Nggak ada siapa-siapa, weee...”
Ega membalas lagi, “...di sampingmu...”
Zia menaruh ponsel di atas meja seraya berdecak. Kebiasaan buruk Ega
kambuh lagi. Dan berhasil membuatnya merinding. Zia sadar lagi akan
kesendiriannya.
Kembali Zia menatap layar laptop. Ia menekan Ctrl + F. Mengetik “Ega”.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Haha...
Rasakan kamu, Ega, kamu cuman dapet porsi dikit dalam teenlit-ku!
Sebuah sms datang lagi. Zia sudah malas saja sekiranya itu berasal dari
Ega lagi. Ternyata Bang Ali. Memberikannya sebuah informasi lagi. Ternyata pada
doa bersama sebelum UN, kepala sekolah sempat menyinggung perkara
kongkalingkong satu angkatan. Bukannya pencegahan, kata-katanya malah berisi
harapan agar Yang Maha Esa melancarkan aksi kerja sama massal ini. Wow!
Menarik, menarik... Zia menyalin isi sms Bang Ali ke atas kertas notes. Tak
lupa ia menyampaikan sms terima kasih pada Bang Ali setelahnya.
Zia tak menyangka Bang Ali akan sesuportif ini. Ardi saja sudah tak dapat
memberikannya informasi baru lagi—kendati ia sudah coba merongrong Mas Imin
atas pinta Zia. Padahal sudah cukup jasa Bang Ali dalam membuat Gio menyisakan
space untuk tulisan Zia. Juga kesepakatan untuk merahasiakan ini bersama sampai
majalah semesteran sendiri yang menyampaikannya pada khalayak SMANSON. Ini
bakal jadi kejutan yang menyenangkan, pikir Zia. Ia tak bisa membayangkan
bagaimana reaksi para pelaku dan oknum-oknum pendukungnya nanti setelah
keburukan mereka ditelanjangi.
Zia juga sudah mewanti-wanti Kang Detol untuk membeli majalah semesteran
edisi besok. Inilah yang kau nanti-nanti,
Kang! Zia tak sabar menunggu komentar Kang Detol—lebih kepada bagaimana
cara ia menulis, ketimbang isi tulisan itu sendiri. Kang Detol pasti akan
terkagum-kagum padanya. Terkejut akan isi, sekaligus salut pada sang penyaji.
Sesalut ia pada Bang Ali yang telah membantunya mengorek informasi. Zia
sempat khawatir Bang Ali akan terang-terangan menanyai narasumbernya, “Apakah
Anda terlibat dalam proyek manipulasi hasil UN SMANSON?”, namun ternyata
pendekatan Bang Ali lebih halus dari itu. Kedekatan personal amat berperan,
ungkap Bang Ali—yang merasa beruntung karena cukup bergaul dengan para siswa
yang potensial menjadi korban. Mereka akhirnya mau mengaku. Tapi mereka tidak
tahu bahwa curhatan mereka akan digunakan untuk menyerang almamater.
“Wah, Bang Ali curang,” kata Zia via sms. Tapi tak urung ia terkikik.
Balas Bang Ali, “Kebenaran harus ditegakkan! Anak LEMPERs aja nggak ada
yang keliatan ngerasa bersalah dengan itu. Mana idealisme mereka sebagai
jurnalis? Bahwa kejujuran adalah yang utama?”
“Idealisme! Aku suka kata itu!”
“Saya juga suka. Suka juga sama kata subversif.”
Zia memikirkan kata apa lagi yang ia sukai. “Potensi,” ketiknya kemudian.
Balas Bang Ali, “Skeptis.” Balas Zia lagi, “Semangat”. Tangguh. “Bakat.” Radikal.
“Anarki?” Masif. “Coklat!” Kritis. “Komik.” Disiplin. “Wahana terselubung!” Haha,
Kang Lutung yah? “Cie, Bang Ali naksir sama Kang Lutung nih?” LEMPERs. “U2!” Rendra. “Nasib....” Sosial.
“Gitar” Aktif. “Retro.” Gigih. “Super power girl!” Gie.
Zia ingin mengetik “Bang Ali”. Iya. Tidak. Iya. Tidak. Keburu datang lagi
sms Bang Ali. “Udah dibikin tulisannya?”
Zia bingung harus membalas apa. Harus jawaban yang oke! “Lagi
brainstorming, hehe.”
“Jangan straight news yah. Nggak nendang entar. Bikin yang bernyawa!”
“Iya, aku mau bikin yang kayak artikelku dulu itu loh,” ketik Zia, tak
lupa menekankan, “yang pernah masuk majalah semesteran.”
“Sip! Entar kalo udah selesai, saya pingin cepet baca.”
“Oke!”
...keinginan hatimu, kawan, tiada nyata
tanpa kerja... Mendadak nyanyian Ipong yang kapan itu
mengiang di kepala Zia. Zia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia
mengepalkan kedua tangan ke tangan ke udara. “BISA!” teriaknya, seperti akhir
dari salam PATIN seusai latihan. Semangat sudah merambah ke sekujur
tubuhnya—disertai debar jantung karena sms-sms Bang Ali—dan kini merambat pula
ke sepasang tangannya. Waktunya untuk bekerja!