Rabu, 08 Desember 2010

Sensasi Mangrove Comal


Sabtu, 4 Desember 2010, menjadi suatu hari pengguyur rutinitas. Terlupa bahwa biasanya saya begitu lemas tiada gairah. Acara praktikum Ekologi Perairan kali ini luar biasa. Terima kasih kepada penyelenggara praktikum yang menginginkan agar para mahasiswa dibawa ke lapangan untuk melihat keadaan mangrove sesungguhnya. Namun rupanya tak hanya indra penglihatan yang dituntut bekerja, melainkan keseluruhan indra.

Selamat datang di kawasan mangrove!
Sekitar enam jam yang kami habiskan untuk duduk dalam bis Karya Jasa. Panorama di balik kaca jendela silih berganti. Mulai dari kawasan gerbang utara kampus menuju pukul setengah tujuh pagi, Muntilan berabu yang perlahan bangkit, hingga hijaunya Temanggung. Saya tertidur hingga memasuki Batang. Cowok-cowok angkatan 2008 gaduh ketika melewati deretan warung yang jadi remang-remang kala hari gelap. Saya penasaran akan kekayaan pengalaman hidup mereka. Zuhur tiba. Bis memasuki jalan kecil dengan kali di tepinya—mengingatkan pada Selokan Mataram—di suatu desa di daerah Comal, Pemalang.

Untuk sampai ke kawasan rehabilitasi mangrove yang dituju, rombongan kami menaiki tiga perahu. Masing-masing perahu dapat memuat 15 – 20 orang. Saya tak menghitung berapa lama perjalanan menyusuri muara kecoklatan. Dalam benak saya mereka-reka apakah begini rasanya menembus belantara sungai di pedalaman Kalimantan. Terbayang karir sebagai jurnalis yang memfasilitasi saya mendapat pengalaman serupa—namun lebih mantap—di belahan bumi lain suatu kelak.

Bersama Cah, gadis muara
Saya sempat duduk di tepi namun kecipratan air. Akhirnya saya pindah lagi ke tengah. Sempat ada sesaat di mana bosan melanda. Cah saja tiduran di pangkuan Sahir dengan handuk merahnya menutupi muka. Saya penasaran apa nama macam-macam vegetasi yang tumbuh di tepian namun tak ada yang memberi jawaban.

Penantian ada ujungnya. Laju perahu memelan. Di kejauhan terlihat bangau-bangau putih engklek mencari makan. Halim menjadi oknum pencipta pengumuman fiktif dengan redaksi kira-kira begini, “Maaf, perahu kami tidak mengantar sampai ke tepi. Silahkan melanjutkan perjalanan dengan berenang sendiri-sendiri.” Saya melanjutkan, “Silahkan turun dengan kaki di atas.” Namun kekhawatiran itu tak terbukti. Perahu dibawa menepi dan selanjutnya kami seperti tak percaya bahwa kami benar-benar harus melakukan hal ini. Bahkan Lido sampai minta tabir surya saya padahal kulitnya sudah gelap.

Kaki menancap. Awas, susah lagi diangkat!
Sepasang tungkai kaki kami menghunjam lembutnya lumpur. Tak terhindarkan tentu saja, pakaian yang lantas jadi basah kecokelatan. Menyusul kemudian: ransel, tangan, muka… Energi lebih harus dikerahkan agar bisa melangkah maju. Oh, begini rasanya mencelup dalam solokan, pikir saya saat membaui aroma lumpur yang menelan tubuh. Tak hanya saya yang berharap lumpur tersebut rasanya semanis coklat kalau dijilat.

Satu per satu kami menyeruak ke dalam rimbun Avicennia alba atau Rhizophora mucronata—saya belum bisa membedakan, he. Sesekali tangan mencengkeram dahan atau lengan orang di depan atau di belakang—apa saja asal bisa jadi tumpuan bagi tubuh untuk maju! Terdengar sahutan-sahutan agar memilih medan yang ditumbuhi akar-akar yang mencuat ke udara. Benar saja, mereka bisa jadi pijakan sehingga lumpur yang menghunjam kaki berkurang ketebalannya. Tapi tak selalu enak menginjak mereka. Beberapa kali kami kelepasan berteriak karena menginjak permukaan yang tajam. Mata di kaki seolah tak ada fungsinya. Terlalu pekat lumpur untuk dapat diketahui bagaimana rupa dahan atau apapun itu yang membuat kaki tersangkut maupun tertusuk. Tidak hanya lulur rupanya, di sini juga kami mendapat fasilitas pijat refleksi!

Bahu membahu sampai tujuan
Alangkah lihainya co ass saya. Harusnya kelompok saya membuat petak ukur di zona depan—yang sebetulnya masih amat jauh lokasinya entah di mana. Tapi belum lama berjalan, saya sudah bertemu para praktikan se-co ass. Dilarang sungkan dalam bertugas. Ada yang telah membentangkan tali kur. Ada yang sudah menyiapkan peralatan pengukuran kualitas fisik-kimia perairan. Para gadis biasanya kebagian mencatat, termasuk saya. Saya kebagian mencatat hasil pengukuran semai, sapihan, kualitas fisik-kimia perairan, dan sebagian tiang/pohon.

Di tengah pengukuran, mereka yang berada di area kami masuk tadi memberitahu dengan ributnya bahwa ada ular. Saya lihat Ratih dan Mas Agus bergelayutan di dahan pohon. Anak-anak lain menghindar—termasuk Mbak Diana, dosen kami. Mas Momo, co ass saya, mendekat ke titik TKP untuk memastikan apa yang terjadi. Kontan ia menjauh lagi karena disaksikannya sungguh-sungguh ada ular. Ia rupanya takut ular. Saya tepat di sebelah Mas Momo, padahal, namun saya tak menemukan ular dalam ranah pandang saya. Katanya ular tersebut berwarna coklat. Mana bisa jelas saya melihat jika pemandangan di depan saya didominasi warna hijau dan coklat?

Mas Momo menyuruh Dika 08 dan Yanu—yang berada di garis terluar—untuk mengawasi ular. Kami melanjutkan pengukuran. Mungkin karena tak menyaksikan ular dengan mata kepala sendiri, saya dan tim pengukur kualitas fisik-kimia perairan serta beberapa anak lain enak saja bernarsis ria dengan kamera Dika 08 dan Megah seusai mengukur. Lagipula, saya lupa siapa itu yang bilang, sang ular telah pergi ke arah laut.

Mas Momo menginstruksikan agar kami kembali ke perahu melewati jalan yang tak sama dengan jalan yang kami lalui sebelumnya—karena ular tadi muncul dari situ. Tangannya menunjuk ke arah laut. Koloni gadis pengukur tiang/pohon beserta mbak dosen sudah ke sana duluan. “Mas, bukannya tadi ularnya perginya ke arah situ ya?” kata saya. “Oh iya ya,” jawab Mas Momo. Tapi kami tetap berjalan ke sana jua dengan sesekali berhenti untuk potret diri. Sempat juga kami dibersamai anak-anak perahu yang membuat kami serasa sedang tayang live program Si Bolang.

Medan yang kami tempuh kemudian ternyata jauh lebih berat. Hanya ada sedikit vegetasi di sini. Lumpurnya lebih dalam. Nasi telah jadi bubur, apa daya sudah terlanjur. Sebagian berhasil melalui jebakan ini. Beberapa cewek tidak. Mereka tidak kuat mengangkat kaki. Tubuh terbenam hingga pinggang. Berkat tuntunan Mbak Lalik dan saya lupa siapa lagi, Hening berhasil mengarungi keadaan yang memayahkan ini dengan butiran keringat memenuhi wajah. Bala bantuan dari anak-anak perahu berupa sebidang benda yang bisa diseret-seret datang. Ratih diselamatkan. Tapi masih ada Azizah.

Satu per satu telah berlalu dengan susah payah. Halim masih di samping Azizah untuk mengajarinya kiat menembus lautan lumpur. Mereka tertawa-tawa dalam nada tragis. Mereka menyangkal tuduhan saya bahwa mereka tampak begitu asik. Saya tahu mereka benar. Kata Halim, jangan gunakan kaki, tapi lutut. Saya heran karena saya bisa saja berjalan dengan kaki saya. Rasanya bagai mengayuh sepeda di tanjakan. Atlet balap sepeda pasti dapat berjalan kaki dengan cepat di kawasan ini. Saya bingung bagaimana hendak jalan jika pakai lutut. Tapi mau pakai kaki atau lutut, Azizah sama sekali tak bisa bergerak. Dalam keadaan seperti ini, saya mengutip satu kalimatnya yang akan saya kenang selalu, “Lim, tolong cariin kakiku dong…”

Saya coba menarik kedua lengan Azizah meski cara ini amat lambat jadinya. Saya harus memutar tubuh saya menghadapnya. Beberapa kali saya jatuh terduduk. Rasanya seperti terhempas di sofa empuk. Saya menyeret tubuh saya mundur ke belakang sekitar satu meter, baru saya bisa menarik lengan Azizah. Setelah Azizah maju, saya menyeret tubuh saya lagi ke belakang. Baru saya bisa menarik lengan Azizah lagi. Saya tak bisa menyeret tubuh saya sembari menarik lengan Azizah sekaligus. Membawa tubuh sendiri saja sudah berat.

Di ujung rimbun vegetasi di kejauhan terlihat rombongan yang isinya antara lain Cah dan Ucok. Kami berteriak sembari melambaikan tangan pada mereka, “HELP! S-O-S!”, tanpa sadar bahwa mereka adalah para korban Mas Momo. Mereka seharusnya di zona belakang—tempat kami melakukan pengukuran tadi—sedang kami yang seharusnya di posisi mereka saat itu alias zona depan. Saya baru tahu kemudian bahwa mereka jadinya harus menempuh jarak yang jauh lebih jauh dari kami untuk kembali ke perahu.

Sempat terpikir untuk melalui jalan lain saja—jalan yang bervegetasi—meski itu artinya harus memutar. Tidak seperti saya, dengan caranya Halim cepat saja melaju di dalam lumpur. Ia tampaknya sudah menyerah dengan Azizah. Untung tak lama sepeninggalan Halim, datang beberapa orang cowok memberi bantuan. Mulai dari mencarikan pijakan bervegetasi terdekat (tapi gagal) hingga mengambilkan benda yang dipakai untuk membawa Ratih tadi (yang tidak lantas berhasil juga). Beberapa kali kami coba menaikkan Azizah ke sana. Begitu tali ditarik, merosotlah lagi ia ke lumpur. Kalau kami mungkin belepotan lumpur hanya sampai sekitar pinggang, ia sudah hampir sampai kepala. Setelah mencoba beberapa trik, akhirnya berhasil juga kami menyeret Azizah dengan benda itu. Lebih banyak air menyambut kami. Sebagian teman—baik sekelompok maupun tidak—sudah pada naik perahu. Mereka bersorak-sorai atas kedatangan kami. Rasa bangga menyelimuti.

Lebih mudah membersihkan pakaian dari lumpur di air yang lebih dalam. Saya menuju sisi perahu yang lain. Nah, ini baru mandi! Seusai merasa pakaian cukup bersih, barulah saya naik perahu meski kaki masih dilumuri lumpur di beberapa bagian. Setelah duduk di atas dek, barulah terlihat baretan panjang di sisi kaki.

Bagian bawah perahu ternyata berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang!
Rupanya kami masih harus menunggu rombongan lain. Rombongan berisi Ucok dan Cah yang saya lihat tadilah yang dimaksud. Di dalamnya juga ada Frita, Lido, Dian… Ekspresi Dian lucu sekali saat ke luar dari rimbun vegetasi. Ia jadi punya tompel di dekat hidung dan entah mengapa lidahnya ke luar terus. Jalannya tertatih-tatih. Setiap langkahnya diiringi sorakan teman-temannya dari atas perahu. Dea—satu-satunya praktikan cewek selain saya di perahu yang kami tumpangi dalam perjalanan pulang-pergi—bilang bahwa Cah terlihat seperti korban perkosaan. Sementara saya malah jadi ingat masa di mana saya baru usai diklatsar PA pas SMA.

Perjalanan yang bikin hati tentram
Dalam perjalanan pulang, saya duduk di ujung perahu. Bersender pada pucuk. Pucuknya sendiri diduduki anak muara. Oleh bu dosen kami diinstruksikan agar mencari tempat duduk yang menyeimbangkan perahu. Saya pas di ujung tengah jadinya. Lido pindah duduk dekat saya. Ikut-ikutan Lido, saya mencicipi kecipak air di bawah kaki kami. Benar, Lido, rasanya tidak asin ternyata. Padahal air yang saya pakai wudhu sebelum kami ke muara seperti ada rasanya.

Kami sama menyaksikan vegetasi serupa rumput di tepian. Bergantian mereka bergoyang-goyang dilanda gelombang yang dihasilkan laju perahu. Kelabu bergumul di cakrawala. Kontras dengan titik-titik putih menjelma koloni burung kuntul. Pesona alam muara ini mengilhamkan saya dan Lido untuk mencipta puisi berantai. Sebait demi sebait kami lantunkan. Sayang tak dicatat, jadi kira-kira beginilah potongan dialog puitis kami,

Saya : Gemericik ombak menerpa rerumputan
Lido : Bergoyang-goyang bak suporter sepak bola
Saya : Gubuk hitam di tepian
Lido : Betul-betul-betul!

Kembali ke daratan keras. Saya termasuk yang beruntung bisa mandi tanpa harus antri. Ini berkat sebelum ke perairan saya titip ransel isi baju ganti ke rumah penduduk. Sekembalinya dari perairan, saya lupa lokasi rumahnya di mana. Karena Nurdin pertama kali bersih dan tahu di mana letak rumah yang saya tuju, saya minta diantar olehnya. Plus ditunggui mandi, hehe. Baru kali ini saya mandi di dapur. Saya dengar di luar Nurdin bercakap dengan bapak pemilik rumah. Kelar mandi, berdatangan Mbak Diana, Mbak Lalik, Ica dan Mas Momo, dan kloter demi kloter teman-teman yang ditampung mobil bak terbuka—tapi yang ramai-ramai ini hanya lewat. Nurdin ingin beli ikan tapi tak bawa uang. Dompet saya di ransel Lido. Lido di rumah yang satu lagi, jauh, hujan. Mas Momo tidak bawa celana ganti. Ular yang ia lihat katanya warna hitam.

Juga saat saya jalan sama Dian di bawah serangan deras hujan menuju rumah dekat tempat bis kami berhenti. Dian, yang belum sempat membersihkan diri dengan air muara, membuka bungkus sabun yang baru ia beli. Lalu ia gosok-gosok kulitnya yang tak tertutupi pakaian. Mandilah ia. Komentar Dika 07, “Ndagel ki bocah. Ra beres.” Sungguh pengalaman yang tak ingin saya lupakan.

Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kami baru naik bis lagi pas maghrib. Sebagian sudah mandi sebagian lagi ternyata belum namun tak kentara. Beberapa lama dalam minimnya penerangan lampu bis, saya tak bisa berhenti tersenyum. Letih tak ada membayangi. Kembali ke alam, saya merasa mendapatkan kekuatan saya lagi.

fakta tambahan
- Seorang praktikan di zona tengah, Mbak Devi, sempat pingsan. Kata Mamal, kawan sebangku di bis, ada daratan pasir di zona tengah! Agak susah membayangkannya. Namun tanpa kehadiran daratan tersebut, akan semakin susah mengurus Mbak Devi. Saya membayangkan kesulitan para cowok yang menggotong Mbak Devi karena untuk melangkah di sela-sela akar vegetasi mangrove saja sudah jadi persoalan tersendiri!
- Berkali-kali saya bilas pakaian yang saya kenakan saat terbenam di mangrove, air bekas bilasannya selalu saja berwarna coklat.

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...