Jumat, 30 November 2018

(29)

Malam itu seperti biasa Zahra hendak mengerjakan PR sambil mendengarkan radio. Ia menyetel frekuensi ke radio anak muda yang sedang menyiarkan acara request.

Saat itulah ia mendengar,

Request selanjutnya dari OSIS SMANSON untuk Deraz dan Zahra XI IPA 9, ‘Love Song’ dari 311. Pesannya, semoga sang bunga selalu mekar mewangi dan awet sampai mati. Jangan lupa dikocor dengan pupuk organik seminggu sekali. Jika berhama, cukup disemprot dengan cairan bawang putih. Aduh, ini request apa petunjuk penanaman cengek, yaaa.”

Zahra menjadi beku. Benarkah yang barusan didengarnya tadi? Deraz dan Zahra XI IPA 9, suara penyiar itu terngiang-ngiang di benaknya. OSIS SMANSON, apa urusan dia dengan mereka? “Love Song” dari 311, “Lagu Cinta”?!

“Ya, berikutnya kita puterin deh request­-nya dari OSIS SMANSON: 311, ‘Love Song’, untuk Deraz dan Zahra XI IPA 9,” ulang si penyiar sebelum lagu mengalun.

Zahra berkeringat dingin.

Kenapa?

Kemudian datang SMS dari Deraz menanyakan kabar di kelas. Memang hari itu ia absen.

Haruskah Zahra mengatakannya pada Deraz?

“Kamu barusan dengerin Ardan, enggak?” Zahra mengirim SMS.

“Kenapa?” balas Deraz. Radio yang didengarnya cuma Karang Layung Citra Bandung Station 100.4 FM yang seharian memutarkan musik jaz dengan sisipan rohani.

“Ada yang request lagu buat kita.”

“Maksudnya?”

“Barusan ada request dari OSIS SMANSON buat kita. Judul lagunya ‘Love Song’.”

OSIS SMANSON. Bibir Deraz tertarik ke bawah.

Deraz mengetik balasan yang menjelaskan tentang kejahilan anak-anak OSIS. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa ini jadinya akan terlalu panjang lebar, sampai-sampai jika dituliskan dalam novel dapat makan beberapa bab.

Lalu terpikir olehnya: Bagaimana kalau lewat telepon?

Ia tidak pernah menelepon Zahra sebelumnya.

Mungkinkah ini saatnya untuk memulai, membawa hubungan mereka ke tahap baru?

Ia menatap layar ponsel sembari menggigiti jempol.

Ia mengetik, “Boleh telepon?” tetapi menghapusnya lagi. Ia berdesah, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia mencari nomor Zahra, lalu menekannya. Tut tut tut ….

“… halo?” terdengar suara Zahra. Pelan sekali.

“Hai.”

“Hei.”

Beberapa lama mereka terdiam.

So …. Kenapa … request-nya?” akhirnya Deraz menemukan kata.

Terdengar desah keresahan Zahra.

“Mmm …. Takut …. Takut ….”

“Kamu takut … kenapa?”

“Pasti banyak yang denger.”

Deraz bergumam.

Kata Zahra lagi, “entar pada ngira kita pacaran,” dengan suara sangat pelan.

Deraz bergumam lagi.

“Uuuh …. Pasti gara-gara waktu ke balkot itu,” Zahra seperti mau menangis.

Deraz jadi kaget. “Hei, hei, Zahra,” panggilnya.

“… iya?” suara Zahra parau.

“Itu wajar.”

“Apa?”

“Jalan berdua, cowok-cewek, enggak mesti pacaran.” Deraz kadang melakukannya dengan Renata, walaupun cuma untuk membahas soal debat di restoran fast food.

“Tapi …. Kenapa request-nya ‘Love Song’?”

“Anak-anak OSIS memang begitu. Mereka suka iseng dan berlebihan.” Deraz merasa jadi harus mempersiapkan Zahra untuk kemungkinan terburuk apa pun dalam menghadapi komplotan pemakan bangkai yang lebih kejam daripada tukang jagal itu. “Jangan dipedulikan.”

“Tapi kalau mereka nyangka yang bukan-bukan, gimana?”

“Bukan-bukan apa?”

“Kayak … kayak kalau kita pacaran, gitu?”

“Memang kenapa kalau disangka pacaran?” Deraz malah tertarik.

Zahra bergumam gelisah. “Aku enggak mau kita disangka pacaran.”

“Kenapa?”

“Aku enggak mau pacaran.”

“Kenapa?”

“Soalnya …. Aku kan jilbaban.”

“Memang kenapa kalau pakai jilbab? Banyak yang berjilbab tapi pacaran.”

Deraz tidak bisa melihat Zahra menggeleng.

“Enggak pantas aja, kalau buat aku mah …” terang Zahra. “Ya, terserah kalau orang lain, tapi aku enggak mau. Lagian, aku kan mau ikut DKM.”

Deraz maklum.

“Aku juga,” Deraz tidak sadar telah ikut-ikutan pakai ‘aku’, padahal biasanya konsisten dengan ‘saya’ walaupun terhadap orang tua sendiri. “Maksudnya, bukan aku juga pakai jilbab terus mau ikut DKM,” Deraz tidak tahu dirinya bicara apa. “Maksudnya, aku juga enggak mau pacaran. Aku mau fokus dulu sama cita-cita aku.”

“Oh …” Zahra juga membaca di majalah sekolah bahwa Deraz tidak pacaran, tetapi mendengar sendiri dari orangnya rasanya bikin terkesima. “Memang cita-cita kamu apa?”

“Aku mau jadi dokter.”

“Aku juga sih. Cita-cita aku jadi dokter.”

Deraz tersenyum, walaupun Zahra tidak bisa melihat. Mereka memang sehati.

“Ya, kita fokus aja sama cita-cita kita. Lagian kalau cita-cita kita sama, kita kan bisa berjuang sama-sama.” Deraz melihat harapan, walaupun matanya membentur rak meja belajar.

“Tapi kalau terus orang-orang pada ngira kita pacaran, gimana?” Zahra masih terdengar ragu.

“Memangnya kita ngapain?”

“Mmm ….”

“Kita sebangku, tapi kan itu karena enggak ada bangku lain di kelas, yang strategis. Anak-anak pada udah nyaman sama teman sebangkunya masing-masing. Kita belajar bareng, tapi kan cuma di kelas. Orang-orang juga pada suka belajar bareng, kan? Kita jalan bareng, tapi baru sekali itu aja, kan? Dan, cuma ke Gramedia terus jajan di taman. Sebentar doang.”

“… iya sih.”

Kita juga sempat berpegangan tangan, tetapi cuma satu-dua menit. Itu juga Deraz tidak sengaja. Benar kok. Sumpah. Namun tidak ada yang berani mengangkat soal itu.

“Daripada pacaran, kita tuh lebih tepat disebut …” Deraz terdiam, “… disebut ….” Teman sebangku? Itu jelas. Teman saja? Rasanya lebih daripada itu. Setidaknya, yang ia rasakan pada Zahra tidak seperti yang ia rasakan pada Ipong, Yoga, Bram, Adip, Renata—orang-orang yang selama ini disebutnya teman. “Mmm … sahabat …?”

“Sahabat?” ulang Zahra.

Deraz jadi merasa seperti dalam manga 20th Century Boys yang dibawa Alf ke sekolah tiap kali ada nomor baru.

“Ya,” tegas Deraz. Setidaknya, “sahabat” terasa lebih akrab daripada “teman” namun tidak seintim “pacar”. Aw, intim.

“Oh … Iya, ya. Kita … sahabat.”

Deraz tersenyum dengan dada berdebar, walaupun sejenak kemudian mengerutkan kening. Tunggu. Benarkah “sahabat”?

Teringat oleh Deraz, Ipong pernah mengatakan, “Buat sohib mah, apa sih yang enggak?” ketika Deraz berterima kasih atas bimbingannya dalam mempersiapkan pertunjukan bakat untuk AFS.

Teringat juga oleh Deraz, ketika Ipong menceritakan tentang abangnya yang meninggal sewaktu ia masih bayi. Menurut mamanya, bahkan setelah meninggal almarhum abangnya itu masih suka mengajak Ipong bermain. Ipong menyudahi ceritanya dengan berkata, “Baru kali ini gue cerita ke orang. Lu memang sohib gue, Raz. Malah, gue ngerasa lu udah kayak abang gue sendiri, padahal gue enggak ingat dia kayak gimana.”

Bukankah sohib itu artinya “sahabat” juga? Selain itu, kalau Ipong bahkan menganggap Deraz sudah seperti abang sendiri, apakah itu artinya hubungannya dengan Zahra masih kurang berarti dibandingkan dengan hubungannya dengan Ipong? Jadi, apa seharusnya? Apakah semestinya ia mengatakan bahwa Zahra sudah seperti saudaranya sendiri juga?

Lalu terlintas di ingatan Deraz pertemuannya dengan Renata setelah cewek itu pulang dari Wales dan hendak berangkat ke Brasil. Renata menyemangatinya, “You know what, you’re just like my soul brother. I know you can make it. Both for WSDC and AFS, just like me.”

Kalau begitu, posisi Zahra sama saja dengan Ipong dan Renata padahal Deraz merasakannya berbeda. Jadi, apa seharusnya?

Ich mag dich,” ucap Deraz serta-merta.

“Hah?”

Ich finde dich süβ. Ich mag dich. Ich hab mich in dich verliebt.

Zahra bengong. “Itu apa?”

Deraz ingin mengguyur kepalanya dengan air bak.

“Cari tahu sendiri,” ujarnya.

“Enggak ketangkep …. Itu bahasa asing, ya?”

Deraz bergumam mengiyakan.

“Ulangin dong.”

“Enggak. Cuma sekali.”

“Kamu mah—“

Tut tut tut ….

Deraz menatap layar ponselnya. Ia baru menyadari bahwa provider nomornya dengan nomor Zahra berbeda. Ia mengecek pulsa. Nol rupiah. Deraz berdesah.

Keesokan harinya di sekolah Deraz menyuruh Zahra ganti nomor, sembari menjelaskan keunggulan provider yang sudah ia gunakan. Mendadak Deraz menjadi juru bicara perusahaan telekomunikasi. “Kebanyakan anak di sekolah kita pakainya provider itu, jadi lebih murah kalau mau jarkom,” alasan terkuat Deraz dengan menggunakan sampel anak-anak OSIS dan para kenalannya di DKM. “Coba deh tanya sama teman-teman kamu di DKM. Kamu jadi mau gabung sama mereka, kan?” Deraz begitu yakin.

Tentu saja ia tidak mengungkapkan maksudnya untuk dapat menelepon Zahra sering-sering.

Kamis, 29 November 2018

(28)

Begitu Senin sepulang sekolah tiba, waktunya rapat mingguan OSIS. Beberapa menit sebelum pukul setengah dua, Ipong masuk ke sekretariat dengan menggebu-gebu. “Eh, udah pada kumpul, kan, semua? Mulai aja sekarang, yuk!” Sebagian besar pengurus OSIS memang sudah pada berada di dalam sekretariat atau di luarnya. “Gue ada pengumuman penting!”

“Si Deraz belum ada, Pong.”

Biasanya rapat justru baru dimulai atas ajakan (atau desakan) Deraz, entah formasi sudah lengkap atau belum. Ia punya julukan lain lagi: Mister On Time.

“Si Deraz lagi ada tugas negara!” Tadi Ipong memergoki Deraz sedang berjalan bersama Zahra ke gerbang. Atau malah bisa jadi ke tempat yang lebih jauh daripada itu. “Alf, gue mulai, ya!” Ipong berdiri di depan papan tulis. Anak-anak yang sudah pada duduk mengarahkan perhatian padanya. Alf juga, yang sebelumnya menghadap layar komputer. Ipong cekikikan sendiri sembari mengeluarkan dompet dari saku celana. Lalu ia mengacungkan sebaris foto. “Lihat, kemarin gue sama Alf ketemu sama siapa!”

“Lah, terus lu sendiri sama si Alf ngapain?” tanya Jati seraya mengikuti anak-anak lain berdiri dan mengerubungi sebaris foto itu.

“Itu siapa, Pong, yang jilbaban?” gumam anak-anak.

“Ceweknya Deraz!”

Anak-anak terbelalak.

“Beneran?!”

“Tuh, si Alf juga saksinya!” Ipong menuding Alf, satu-satunya anak yang tetap duduk.

Alf yang bersidekap berujar, “Belum terkonfirmasi. Namun dari gelagat yang bersangkutan, jiga nu heu euh.”

“Lu bayangin aja deh, guys, Deraz makan tahu gejrot! Terus lumpia basah! Disuapin lagi!”

“Seriusan?!”

“Terus gandengan tangan pas nyebrang.”

“Bener kitu, Alf?”

Alf mengangguk-angguk.

“Lah, terus lu sendiri sama Alf ngapain, Pong?” Jati masih penasaran.

“Gue sama Alf tuh tadinya mau jalan bareng si Rieka juga, ke BIP. Tapi terus si Rieka ngebatalin, mau nge-date sama si Dendeng. IYA, KAN, RIEKA?” Ipong berteriak pada Rieka yang sudah menarik diri dari kerumunan.

Rieka cuma menjawab dengan raut masam.

“Terus jadinya lu nge-date sama si Alf dong,” simpul Jati.

“Eh, lu jangan mengalihkan fokus deh. Kayak Deraz jalan berdua sama cewek enggak cukup aneh aja,” balas Ipong.

“Aneh sih,” Gilang mengangguk-angguk, “kayaknya. Da gue mah memang enggak pernah lihat. Tapi mungkin aja sebenarnya di luar sekolah Deraz memang hobi jalan sama cewek. Kita kan enggak tahu.” Ia mulai berspekulasi.

“Enggak!” tegas Ipong. “Deraz tuh pas weekend kalau enggak ada acara cuman di rumah aja. Baca-baca NGI sambil dengerin jaz sama minum cokelat Belgia atau jus brokoli, tergantung cuaca!”

“Lu kok tahu sih, Pong?”

“Tahu dong! Eh, lu jangan ngalihin fokus dong!”

Seketika itu juga Deraz masuk dan terkejut mendapati anak-anak sedang berkerumun di tengah ruangan. Apakah rapat sudah dimulai tanpa dirinya? Deraz melirik arloji G-Shock di tangan kirinya. Ia hanya terlambat dua menit. Tumben anak-anak mulai tepat waktu tanpa dirinya.

“Deraz, si Ipong mencoba memfitnah lu. Katanya lu udah punya cewek,” ungkap Jati.

Gilang menjumput foto dari tangan Ipong lalu menodongkannya pada Deraz. “Lu harus jelasin foto ini, Raz.”

Deraz menatap foto itu sebentar, namun malah melanjutkan langkah tanpa respons apa-apa. Ia mencari posisi yang strategis di karpet lalu duduk. “Ayo, kita mulai rapatnya.”

“Anjir, tiis pisan, anjir!” komentar anak-anak.

Mereka pada duduk mengikuti Deraz. Foto dikembalikan pada Ipong. Namun Gilang terus memerhatikan Deraz. Ketika rapat hendak dimulai oleh Alf, tiba-tiba ia menyela, “Eh, lihat, si Deraz wajahnya merah.” Serentak anak-anak menoleh pada Deraz. Deraz diam saja.

“Lu kenapa, Raz? Habis lari?” tegur Gilang.

“Enggak,” ucap Deraz pelan.

“Habis nganterin si Zahra ke gerbang, gue bilang juga,” kata Ipong, walaupun ia belum bilang.

“Ayo, kita mulai rapatnya. Keburu asar,” tegas Deraz lagi.

Namun anak-anak bergeming.

“Mana foto tadi, Pong?” Gilang mengarahkan tangannya pada Ipong, yang dengan sigap mengeluarkan dompetnya lagi. Ketika foto sudah di tangannya, Gilang kembali menodongkan foto itu pada Deraz. “Rapat enggak akan dimulai sampai kamu menjelaskan foto ini.”

“Eh, enak aja, lu. Gue ketuanya di sini, woi,” tegur Alf, namun tidak ada yang menggubris.

“Apa yang mesti dijelaskan?” sahut Deraz.

“Cewek dalam foto ini, yang kata Ipong cewek kamu.”

“Dia Zahra, anak XI IPA 9,” terang Deraz. “Kami sekelas.”

“Kamu ngapain sama dia?”

“Cari buku di Gramedia.”

“Oh.”

“Lah, terus lu sama Alf ngapain, Pong?” Jati kembali menoleh pada Ipong.

“Kan tadi udah gue jelasin!” Ipong geregetan.

“Terus kenapa muka kamu merah ngelihat foto ini?” selidik Gilang lagi.

“Di luar tadi panas,” jawab Deraz.

“Masuk akal.” Gilang manggut-manggut.

“Udah, kan? Ayo, mulai rapatnya, yuk!” ajak Alf.

Alf membuka rapat. Setelah rapat berjalan beberapa menit, Soraya mengacung. Alf mempersilakan Soraya untuk mengutarakan pendapat.

“Ada yang masih mengganjal, Alf. Kita masih belum mengklarifikasi,” ucap Soraya dengan nada serius, “apakah benar Deraz makan tahu gejrot dan lumpia basah disuapin, udah gitu gandengan tangan—“

Seketika anak-anak bersorak sembari mengalihkan perhatian pada Deraz.

“Itu di luar konteks topik rapat kita hari ini,” Alf mengingatkan, tetapi tidak ada yang menggubris.

“Beneran, Raz?!” Wajah-wajah penuh penasaran menyerbu Deraz.

“Mmm,” Deraz bergumam.

“Anjir, Deraz, muka lu merah lagi!”

Tong jaim lah, Raz!”

“Kita mengerti kok. Semua orang pernah mengalami.”

Deraz menatap Alf, meminta Mitratama kembali mengarahkan rapat. Namun yang ditatap malah menyentuhkan telapak tangan ke dadanya sendiri. “My deepest condolescence for you, Bro,” matanya berbicara disertai senyum simpati.

 

Walaupun Deraz menegaskan bahwa itu urusannya pribadi dan memberi pidato tentang pentingnya efektivitas serta efisiensi waktu rapat, anak-anak malah teryakinkan bahwa memang ada sesuatu di antara dua insan itu. Mereka mulai menyindir Deraz. “Mau ngajak si bunga apel ke mana weekend ini?” Ketika sedang pada bersantai-santai di sekretariat OSIS dan ada Deraz di sekitar, mereka mengambil gitar dan galon kosong lalu menyanyi beramai-ramai, “Lihat kebunku, penuh dengan bunga …. Mawar, melati, semuanya indah!” Mereka mengarang, “Kemarin urang minjem catatannya si Deraz. Halamannya penuh gambar bunga, anjir!” Seperti biasa, Deraz menanggapi setiap ledekan anak-anak OSIS dengan raut datar tanpa kata, namun sekarang disertai pipi merah jambu, yang terperhatikan oleh mereka.

Malah, sebagai pemimpin yang berperhatian, Alf punya pemberian khusus untuk Deraz. Karena ia juga otaku, maka tidak afdal jika dirinya tidak pernah mencoba-coba menggambar manga walaupun levelnya tidak kunjung beranjak dari pemula. Ia menempelkan manga karyanya di papan komunikasi sekretariat OSIS. Panjangnya hanya satu halaman HVS. Isinya berupa panel-panel berukuran.

Pada panel pertama, tampak sebentuk jarum pentul dengan muka-tangan-kaki serta rambut rancung yang semestinya Deraz menyongsong dalam keceriaan dengan balon suaranya berisi: “Deaaan …!”

Pada panel kedua, tampak sebentuk jarum pentul lain dengan beberapa anggota tubuh, namun yang satu ini berponi lempar, menyambut sosok yang semestinya Deraz itu dengan tidak kalah ceria. “Deraz …!” isi balon suaranya.

Pada panel ketiga, kedua sosok serupa jarum pentul hidup itu berhadapan. Deraz berkata, “Aku jatuh cinta!” Dean membalas, “Selamat, ya!”

Pada panel keempat, kedua sosok kembar beda rambut itu berpegangan kedua tangan sembari berputar-putar dan melompat-lompat.

Pada panel kelima, muncul bunga-bunga dilatari kedua sosok yang masih berputar-putar namun jaraknya menjadi jauh itu.

Pada panel keenam, rupanya mereka sedang berada di padang bunga.

Pada panel ketujuh, kedua sosok itu semakin kecil sementara di sudut kanan atas terdapat matahari dengan muka bayi.

Adip terbahak sembari menunjuk-nunjuk gambar itu. Deraz mengernyit, lalu menjambret gambar itu dari papan, menggumalkannya, dan melemparkannya ke tempat sampah. Ulah siapa lagi ini?! batinnya geram. Padahal di pojok kanan bawah gambar itu terdapat tanda tangan Alf. With love.

Rabu, 28 November 2018

(27)

Sabtu pagi itu sejak Bandung Indah Plaza baru dibuka Alf dan Ipong sudah menongkrong di Game Master. Mereka menjadi orang pertama yang menginjak mesin Dance Dance Revolution hari itu. Namun, setelah beberapa lagu permainan menjadi tidak asyik lagi. Alf dan Ipong membiarkan mesin itu diambil alih orang lain yang sudah mengantre sejak mereka menarikan lagu kedua.

“Mana, si Rika, ceunah rek dateng?” Alf menyinggung Sekretaris Umum OSIS. “Urang teh ka dieu gara-gara maneh bilang si Rika rek dateng. Urang rek nge-date yeuh jeung manehna, terus maneh jalan sorangan we. Tapi naha jadina urang kalah nge-date jeung maneh?”

“Cuih! Kalau jadi homo juga gue pilih-pilih kali!” balas Ipong seraya mengecek ponselnya. Ia berdecak. “Si Rieka enggak jadi ceunah. Mau nge-date sama si Dendeng.”

Alf berdesah kecewa. Ia mengulang, “Si Dendeng,” alias Dean sedeng.

Para cowok masih tidak habis pikir kenapa si kembang SMANSON malah jadian dengan si Dendeng. Sewaktu Rieka masih pacaran dengan akang pentolan Siswa Keamanan SMANSON atau SAMSON atau SISKAMSON, mereka segan mendekati gadis itu. Sekarang, setelah Rieka punya pacar baru yang secara pembawaan berbalikan seratus delapan puluh derajat dibandingkan dengan pacar sebelumnya, mereka menjadi malas betulan.

Mun si Rika jadian jeung si Deraz, urang maklum keneh,” sambung Alf.

“Kenyataan memang kadang lebih aneh daripada fiksi,” tanggap Ipong, sementara mengirim SMS bujukan pada Rieka agar membatalkan acara date yang pasti tidak penting-penting amat itu.

“Seandainya si Dean beneran cewek, maneh daek, moal?”

Moal, njir. Kejangkungan buat urang mah. Engke dikira mama urang, deui,” sahut Ipong seraya memasukkan ponsel ke saku celana. “Ari maneh kumaha? Daek moal? Si Dean dititah operasi ganti kelamin we.

Geuleuh, anjir.”

Ipong cekikikan.

“Jadi fix ieu teh si Rika moal dateng?” ujar Alf lagi.

Fix-keun we lah. Hoream nungguanna ge.”

Ka mana atuh, yah? Nanggung euy kalau pulang lagi. Baru sebentar di luar,” keluh Alf.

“Ke balkot we atuh, yuk. Urang rek nonton komunitas dance anu sok latihan di dinya.”

Alf dan Ipong beranjak dari jongkok di sisi luar Game Master. Sembari jalan mereka terus menggunjingkan Rieka dan pacar barunya yang ternyata satu SD.

“Kamu deket kan sama si Rika? Satu SMP? Naon ceunah alasannana jadian jeung si Dean?” tanya Alf.

“Argh, teuing.” Ipong mengangkat bahu.

Bogoheun ti SD, kitu? Tapi gengsi meureun nya, jeung si Dean. Tapi pas SMA ketemu deui jadi menyerah.”

“Wallahualam lah pokona.” Ipong menggaruk-garuk kepala seraya memandang ke jalan.

Jiga pasangan lesbi, anjir,” Alf terus saja tidak habis pikir.

Di taman balai kota, alih-alih menemukan komunitas dance yang dimaksud Ipong, mereka malah mendapati pemandangan mengejutkan. Ipong menahan laju Alf lalu menunjuk ke salah satu bangku yang dilatari jembatan penyeberang.

“Astagfirullah,” gumam Alf.

Mereka tertegun memandangi Deraz yang sedang duduk berdua dengan seorang cewek berjilbab.

Asa pernah lihat,” kata Alf.

“Anak SMANSON jigana mah,” sambung Ipong.

Dari tempat Alf dan Ipong berdiri, tentu saja tidak terdengar yang dipercakapkan oleh Deraz dan Zahra. Deraz dan Zahra sendiri belum lama duduk di situ sehabis dari Gramedia. Mereka baru memesan sepiring tahu gejrot untuk masing-masing. Tentu saja Deraz memesan makanan itu hanya karena ikut-ikutan Zahra. Untung rasanya lumayan dan menyegarkan.

Deraz menjadi bernostalgia. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat SD tempatnya pernah bersekolah. “Dulu waktu SD suka main bola di sini,” cerita Deraz. “Terus ada om-om yang suka ngelihatin Dean.”

“Memang om-omnya kenapa?”

“Dia suka buka ritsleting celananya gitu kalau lihat Dean.”

“Ih!” Serta-merta Zahra menutup kedua belah kupingnya.

Deraz mesem sembari melahap sepotong tahu lagi. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa tidak jauh dari situ Alf menyodok lengan Ipong.

“Deraz makan tahu gejrot!” bisik Alf.

“Iya, gue lihat!” Ipong balas berbisik dengan galak, sembari mengusap-usap lengannya yang kena sodok.

Sementara itu, Zahra meletakkan piringnya yang sudah kosong dan menyadari keberadaan penjual lumpia basah.

“Deraz, aku mau beli lumpia basah dulu, ya. Deraz mau juga?” tawar Zahra sembari mengembalikan piring pada emang penjual tahu gejrot, yang sedang duduk pada dingklik di dekat mereka.

Lumpia basah? Yang mirip muntahan lalu dimasukkan ke plastik dan diaduk-aduk itu? Deraz menggeleng. Tahu gejrot di piringnya saja belum habis, dan begitu Zahra memelesat pergi selera makannya lenyap.

Alf dan Ipong buru-buru beringsut ke balik tetumbuhan.

“Pong, coba si Deraz di-SMS. Lagi apa, gitu.”

“Ah, pikeun naon.”

“Perintah dari Mitratama!” tegas Alf.

Ipong menurut juga, karena ia sendiri penasaran. Ia berjongkok dan mulai mengetik “Lagi di mana?” di ponsel. SMS terkirim. Deraz menyadari ada pesan baru di ponselnya. Alf dan Ipong terkikik-kikik mengamati ekspresi Deraz.

“Lagi di balkot,” jawab Deraz.

“Lagi apa?”

“Jalan-jalan.”

“Sama siapa?”

Zahra keburu datang membawa sebungkus lumpia basah. Deraz memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Zahra mulai menikmati kudapan barunya dengan sumpit sesuap demi sesuap, sembari sesekali meniup-niup karena masih panas. Setelah beberapa suapan, ia menawarkan pada Deraz, “Deraz mau?”

Deraz menggeleng sembari tersenyum sopan, berusaha menyembunyikan rasa jijik. Namun Zahra memerhatikannya.

“Kenapa?”

“Enggak.” Perhatian Deraz malah berfokus pada bibir Zahra yang menjadi basah. Dadanya menjadi berdebar tidak keruan. “Sebenarnya itu kayak muntahan,” Deraz bahkan tidak tahu kenapa ia malah mengungkapkan isi hatinya. Ia menundukkan pandang.

Zahra tidak jadi memasukkan suapan baru ke mulutnya.

“Tapi aku suka,” ia berucap.

“Oh … please deh,” sahut Deraz tanpa melirik.

“Kamu yang please deh,” balas Zahra. Ia lanjut melahap suapan lalu mengulum ujung sumpit seakan-akan berpikir. “Cobain deh.”

“Enggak. Saya enggak mau kena diare.” Deraz mengangkat wajah seraya menggeleng dan menatap ke arah lain.

“Enggak bakal.”

“Nanti saya keracunan.”

“Kamu mah hiperbola ih.”

Deraz tidak mesem. Ia terkejut ketika tiba-tiba gumpalan mirip muntah itu teracung ke bibirnya.

“Cobain dulu.”

Deraz menggeleng sambil mengangkat-angkat pundak. Dobel ogah.

Alf dan Ipong mengamati itu dengan penuh antusias dan ketegangan, seakan-akan sedang menyaksikan pertandingan bola. Apakah tim lawan akan berhasil mencetak gol? “Masukkin! Masukkin! Masukkin!” Mereka mengempaskan tinju ketika bola akhirnya bersarang di gawang. Mereka berteriak kegirangan tanpa suara dan menyelamati satu sama lain.

Deraz mengunyah gumpalan itu. Ia bisa merasakan taoge dan telur, lalu ada semacam jelly yang kenyal lagi lembek berasa manis. Ia menelannya dengan susah payah, tetapi senyum Zahra menjadikannya indah. Deraz berdesah ketika semuanya berhasil melewati mulut dan memulai perjalanan menuruni kerongkongan.

“Lagi?”

“Enggak.”

Deraz mengeluarkan botol minum dari ransel selempang Eiger miliknya, dan meneguk air banyak-banyak. Zahra lanjut menghabiskan lumpia basah sembari memerhatikan Deraz dengan penuh tanya.

“Njir, gue enggak tahan lagi. Samperin yuk!” kata Ipong.

“Ya, saya juga mikir kayak gitu,” Alf mengangguk-angguk. “Terus habis itu ngapain? Saya enggak kenal sama ceweknya.”

“Makanya itu kenalan!”

Ipong meloncat keluar dari semak-semak, diikuti Alf. “Hei, Deraz …!” panggilnya seraya melambaikan tangan. Serta-merta Deraz dan Zahra tampak terkejut. Ipong menghampiri mereka. Ia mengulurkan tangan pada Zahra. “Hei, gue Ipong.”

Namun Zahra membalas dengan mengatupkan kedua belah tangannya sembari menunduk dan tersipu. “Zahra,” ucap gadis itu lirih.

Ipong menarik tangan lalu mengarahkannya pada Alf yang baru tiba. “Ini Alf, ketua OSIS.”

“Hai,” ujar Alf sembari mengangkat sebelah tangan.

“Kamu anak SMANSON juga, kan?” kata Ipong lagi.

“Iya,” Zahra mengangguk sembari tetap menunduk.

“Temen di ekskul apa temen sekelas?” lanjut Ipong, sembari melirik pada Deraz juga.

“XI IPA 9,” terang Deraz.

“Oooh ….” Ipong manggut-manggut. “Tadi gue sama Alf habis DDR-an di BIP terus mau lihat yang suka nge-dance di sini. Eh, malah ketemu kalian,” jelasnya. “Kalian dari mana?” sambungnya, karena Deraz dan Zahra tidak segera menjawab. Zahra menunduk terus.

“Dari Gramedia. Beli buku.” Deraz mengangkat plastik berlogo Gramedia yang berisi buku.

Ipong manggut-manggut lagi. Setelah itu, yang terdengar seolah-olah hanya bunyi serangga padahal banyak orang lainnya yang beraktivitas di taman itu.

“Cuaca hari ini cerah, ya!” Alf memecah keheningan seraya memandang ke langit dan berkacak pinggang.

Ipong ikut-ikutan mendongak. “Iya, ya. Kayaknya sebentar lagi waktunya makan siang deh.”

“Gimana kalau kita makan bareng di BIP?” usul Alf.

“Sebentar lagi kami mau pulang,” ucap Deraz.

“Ah, jangan gitu dong! Masak lu ngebiarin gue duaan sama si Alf sih? Temeninlah!” bujuk Ipong. “Memangnya lu lagi ada acara mendesak banget, Raz?”

Deraz bergumam. “Enggak juga sih.” Ia menoleh pada Zahra. “Kamu gimana?”

“Aku mau pulang aja,” sahut Zahra tanpa mengangkat kepala.

“Ikutan ajalah,” ajak Alf. “Makin banyak kan makin rame!”

“Iya, si Alf mau bayarin ceunah,” tambah Ipong.

“Habis itu kalian bayar ke urang,” timpal Alf.

“Ikut aja,” ajak Deraz pada Zahra.

“Ya udah,” sahut Zahra lirih. Kepalanya tetap tidak terangkat.

Mereka melangkah keluar dari taman. Di dekat jembatan penyeberangan, Zahra berujar, “Enggak naik jembatan aja?” Cowok-cowok menoleh dan memandang jembatan itu, lalu serempak menggeleng.

Padahal arus Jalan Merdeka saat itu cukup deras. Deraz dan Zahra berjalan di depan Alf dan Ipong. Begitu merasa arus cukup sepi, Deraz hendak melangkah tetapi sekaligus menoleh pada Zahra. Gadis itu tampak ragu-ragu hendak menyeberang. Serta-merta ia menggaet tangan Zahra dan menariknya menembus arus.

Tentu saja Alf dan Ipong menyaksikan itu. Mereka tertahan di trotoar, berpandangan.

“Foto, ari kamu, buru!” titah Alf.

Ipong terburu-buru mengeluarkan ponsel dari saku celana sampai benda itu nyaris tergelincir dari tangannya. Namun Deraz dan Zahra keburu sampai di seberang. Selagi berjalan menuju perempatan berikutnya, Zahra menegur, “Deraz, mau dipegangin terus?”

Deraz tersadar dan segera melepaskan tangan Zahra.

Ketika Alf dan Ipong berhasil sampai ke seberang, Deraz dan Zahra sudah berjarak sekitar satu meter antara satu sama lain.

Selagi makan di BIP, Alf dan Ipong berusaha mengorek lebih jauh tentang Zahra. Tetapi gadis itu melulu menunduk, tersipu, dan bersuara lirih. Berangsur-angsur percakapan cuma diisi oleh Alf, Deraz, dan Ipong mengenai OSIS dan sebagainya.

Keluar dari restoran, mereka melewati photo box. Serta-merta Alf dan Ipong mengajak Deraz dan Zahra untuk berfoto bersama. Keduanya menurut saja diajak menjejali kotak sempit itu. Deraz masuk duluan, disusul Alf. Ipong asalnya berada di depan Deraz, sedang Zahra di sampingnya. Tetapi kemudian Deraz bertukar tempat dengan Alf sehingga ia berdiri di belakang Zahra. Jepret empat kali. Bagi-bagi foto.

Setelah salat zuhur di musala, mereka hendak berpisah di pelataran BIP. Alf dan Ipong terkejut ketika Deraz melangkah ke jalan tanpa menggandeng Zahra lagi. Jangankan digandeng, diajak saja tidak.

“Deraz, mau ke mana? Masak si Zahra ditinggal gitu aja?!”

Deraz dan Zahra sama-sama memandang Alf dan Ipong dengan heran. Bukankah mereka sudah dadah pada satu sama lain tadi?

“Sepeda diparkir di Gramedia,” kata Deraz.

“Kamu naik sepeda?! Terus si Zahra gimana?”

Mereka tidak bisa membayangkan Zahra menebeng Deraz dengan duduk di rangka bagian atas sepedanya seperti yang biasa dilakukan Ipong. Mending jika sepeda Deraz jenis onthel dengan boncengan di belakang, walau akan terlihat janggal di jalanan pada medio 2000-an. Tetapi sepeda Deraz sesungguhnya jenis balap keluaran baru Polygon yang harganya sekian juta.

“Naik angkot, kan?” Deraz menuding Zahra.

“Iya, naik angkot,” ujar Zahra malu, tidak lupa pakai menunduk.

“Idih, meni teu romantis!”

Namun Deraz keburu melangkah lagi, walau sempat melayangkan kernyit pada Alf dan Ipong. Zahra juga buru-buru pamit, walau tadi sebetulnya sudah. “Eh, saya duluan, ya,” ucap gadis itu lalu berjalan cepat-cepat ke pangkalan angkot.

Alf dan Ipong termenung.

Rek DDR-an deui?” tawar Alf.

Ipong menurut.

“Untung si Rieka teu jadi miluan,” gumam Ipong selagi berjalan kembali ke lantai atas.

Naon, Pong?”

Naon?” balas Ipong seakan-akan tadi tidak berucap apa pun.

Alf jadi kehilangan minat untuk bertanya lagi.

Selasa, 27 November 2018

(26)

Mungkin Deraz perlu meminta maaf pada Zahra karena telah menghindarinya. Mungkin Deraz perlu menegaskan bahwa sebenarnya di antara mereka tidak ada masalah. Hanya perasaan Deraz sedang tidak enak akhir-akhir ini sehingga tampak ke permukaan. Tetapi Deraz tidak perlu menjabarkan perasaan apakah itu. Deraz akan menyampaikannya pada Zahra sepulang sekolah di lahan belakang yang ditumbuhi banyak ilalang, walau berisiko kena gigitan Aedes aegypti.

Deraz tidak sabar mengajak Zahra ke lapangan DBD. Namun pagi-pagi gadis itu punya kebiasaan baru menghampiri bangku temannya yang akhwat DKM. Setelah bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi, barulah Zahra duduk di bangkunya di samping Deraz. Kalau saat jam istirahat, biasanya gadis itu keburu diajak akhwat-akhwat DKM ke masjid.

Maka Deraz mendapat kesempatan itu ketika pergantian pelajaran. Uh, ini tidak kalah menegangkan daripada ketika hendak maju ke podium debat. Setiap gerakan Zahra memasukkan buku ke ransel dan mengeluarkan buku yang lain lagi terasa begitu lambat. Keburu guru pelajaran berikutnya datang.

Nah, sekarang posisi Zahra sudah bersiap dengan buku cetak dan buku tulis pelajaran berikutnya di meja. Ketika Deraz melirik Zahra, gadis itu juga melirik padanya. Deraz merasa tersetrum. Gadis itu menundukkan pandang lagi.

“Zahra—“

“Anu—“

“Kamu dulu.”

“Deraz aja.”

Deraz memerhatikan Zahra yang menunduk dalam-dalam. Mendadak buyar yang hendak dikatakannya. Malah kemudian Deraz bersin. Serta-merta ia mengeluarkan saputangan Opa Buyut dari saku celana seragamnya.

“Yarhamukallah.”

“Hah?” gumam Deraz seraya mengusap hidungnya dengan saputangan.

“Yarhamukallah.”

Zahra tersenyum dan tersipu.

Deraz terkesima.

“Yahdikumullah,” ucapnya pelan.

Sementara Deraz tak berkutik oleh debaran di dadanya, guru pelajaran berikutnya masuk. Sepanjang pelajaran ia sungguh penasaran pada yang hendak dikatakan Zahra tadi. Namun saat jam istirahat, gadis itu keburu diajak keluar oleh akhwat-akhwat DKM. Walau begitu, ketika Deraz memberi jalan ke luar bagi Zahra yang bangkunya di samping dinding, gadis itu sempat memberi senyum tipis padanya.

Deraz duduk di bangkunya, mengudap bekal sembari meresapi bahwa Zahra telah bersikap seperti semula. Itu artinya ia tidak perlu mengajak gadis itu ke lahan belakang sepulang sekolah dan menyampaikan apa pun.

Yeah.

Ketika menyadari bahwa tidak ada orang di kelas selain dirinya, Deraz memiringkan badan hingga matanya sejajar dengan kolong bangku Zahra. Hanya ada notes kecil dengan pulpen. Setelah mengedarkan pandang untuk memastikan tidak ada orang yang bakal melihat, ia menyeret notes itu keluar dari kolong dan menyibak halaman demi halaman dengan jarinya. Isinya hanya catatan tentang PR, tugas kelompok, atau ulangan.

 

Pidato T^T

 

Deraz sempat menangkap itu sebelum mengembalikan notes Zahra ke kolong. Ia juga penasaran apakah gerangan yang mengembalikan sikap Zahra ke semula. Sepanjang sisa jam istirahat itu Deraz duduk saja di kelas membaca koran. Memang tidak sedang ada pertemuan mendesak apa pun saat itu, entahkah OSIS, ekskul, atau selainnya. Deraz menunggu Zahra kembali ke kelas. Ketika Zahra sudah kembali di kelas, Deraz menunggu sampai ia selesai dengan teman-temannya akhwat DKM. Baru ketika menjelang berakhirnya jam istirahat Deraz sempat bertanya kepada Zahra.

“Kamu mau ngomong apa tadi?”

“Mmm ... enggak jadi.” Zahra menggeleng.

“Apa sih?” desak Deraz.

Zahra terus menggeleng.

“Jadi penasaran, tahu.”

“Enggak penting, da,” Zahra tersipu.

“Ya, tapi apa?”

Karena didesak terus, Zahra malah balik bertanya, “Kalau Deraz mau ngomong apa tadi?”

“Mmm …” Deraz jadi berdebar lagi. “Enggak jadi.”

“Ih ….”

Deraz tersengal geli.

“Apa?”

“Enggak penting.”

“Ih, kamu juga kayak gitu.”

Zahra mesem yang sangat indah sekali.

 

Maka keadaan menjadi seperti semula. Oh, malah lebih baik lagi. Deraz merasa semakin akrab dengan Zahra. Ketika hasil ulangan dibagikan, ia suka berebut kertas dengan Zahra untuk melihat nilainya lebih dulu.

“Kenapa kamu bisa dapat segitu?” Seperti semula, Deraz berlagak tidak terima ketika nilai Zahra lebih besar daripada miliknya.

“Kenapa enggak boleh?”

“Enggak apa-apa sih. Tapi kan nanti saya yang ranking satu.”

Zahra terperangah.

“Kamu waktu kelas X ranking berapa?” tanya Deraz lagi.

“Semester satu ranking dua, semester dua ranking tiga.”

“Bagus. Biar saya yang ranking satunya.”

“Kenapa sih kamu ngebet banget pengin jadi ranking satu?”

“Memang kamu enggak?”

Zahra terdiam.

Dream big,” kata Deraz lagi.

Tetapi walaupun Deraz berbual ingin mendapat ranking satu, ia kerap kali ketiduran di kelas. Duduk tepat di hadapan meja guru rupanya tidak membuat lebih awas. Tentu saja Deraz menyadari masalah ini. Sewaktu di kelas X, aktivitas Deraz tidak kalah padat daripada sekarang. Ia juga sering kali kekurangan tidur, tetapi masih dapat terjaga sepanjang pelajaran. Ada beberapa asumsi yang terpikir oleh Deraz.

Yang pertama, menurut feng shui lokasi XI IPA 9 ini lebih cocok untuk kamar tidur ketimbang ruang belajar. Memang Deraz suka membaca artikel-artikel feng shui sembari merancang rumah masa depannya di The Sims.

Yang kedua, sewaktu di X-1 ada Yoga yang aktif bertanya pada guru sehingga menyulut Deraz supaya tidak kalah dari anak itu. Secara tidak langsung, Yoga memotivasi Deraz untuk selalu terjaga dan berkonsentrasi.

Yang ketiga, sepertinya karena Zahra.

Zahra mulai berani membangunkan Deraz ketika tertidur. Ia akan menyenggol Deraz dengan notes atau apa pun hingga yang bersangkutan membuka mata.

“Deraz suka ketiduran,” kata Zahra suatu kali.

“Iya. Bangunin, ya, kalau entar ketiduran lagi.” Sehabis mengatakan itu, Deraz menopang sebagian wajahnya dengan tangan. Ia menyembunyikan senyum malu karena menyadari bahwa Zahra memerhatikannya.

“Kamu tahu enggak kenapa saya suka ketiduran?” kata Deraz lagi.

“Kenapa?”

Sebetulnya Deraz ingin menjawab, “Soalnya kalau di dekat kamu rasanya sejuk, bawaannya jadi ngantuk,” tetapi malu. Bahkan dengan berpikiran seperti itu saja ia merasakan wajahnya memanas. Jadi ia hanya mengatakan, “Karena ngantuk.”

“Ya iyalah.”

Tetapi itu membuat Zahra terkikih. Ih, gingsulnya lucu.

Tetapi Zahra masih kerap berbicara sambil menunduk-nunduk. Deraz jadi gatal untuk mengangkat dagunya. Dengan perantara, tentu saja. Sempat ia kelepasan, “Kamu jangan suka nunduk-nunduk. Sayang, senyumnya enggak kelihatan.”

Dibilangi begitu, Zahra malah menutup mukanya dengan kedua belah tangan. Sembari menoleh pada Deraz, pelan-pelan Zahra menurunkan tangannya hingga yang tampak hanya mata. Sekarang malah Deraz jadi gatal untuk membuka tangan itu dengan tangannya sendiri. Tetapi ia malah menepuk pelan kepala Zahra dengan gulungan koran lalu melengos karena wajahnya memanas.

Ia kini tidak hanya suka menyentuh dagu Zahra supaya tidak menunduk terus. Ia juga gemar menowel pipi gadis itu—dengan perantara tentu saja—tanpa tujuan apa pun selain iseng belaka. Biasanya Zahra akan menyuarakan gumaman kesal. Tetapi ia sepertinya tidak kesal-kesal amat karena ada senyumnya sekilas.

Eh, iya, kan? Ada senyumnya, kan?

Zahra jadi merengek, “Jangan suka kayak gitu atuh. Kamu mah kayak Arale aja.”

“Arale?”

“Deraz enggak tahu?”

“Apa sih itu?”

“Cari tahu aja sendiri.”

“Apa sih?”

Deraz mendesak terus sampai Zahra memberi petunjuk, “Kartun di tivi.”

Kalaupun Deraz menonton televisi, itu tayangan sepak bola, atau pertandingan tinju, atau BBC Knowledge, atau Discovery Channel, atau National Geographic Channel.

“Memang kenapa Arale itu?”

“Cari tahu sendiri,” Zahra bersikeras.

Deraz mengalah. Ia menanyakannya pada cowok-cowok OSIS yang sedang menongkrong di sekretariat.

Dr. Slump? Wajah besar?” tanggap anak-anak.

Wajah Deraz semakin berkerut.

“Kartun. Kartun Jepang,” jelas mereka.

“Oh.” Lalu apa hubungannya dengan Deraz mencolek Zahra? “Tentang apa?”

“Ada penemu bikin robot namanya Arale,” jelas Yoga.

“Terus ada alien bujurnya di kepala tea geuningan. Lubang hidungnya teh di atas bujur. Jadi mun hitut langsung kaambu,” tambah Adip.

Tidak seorang pun menyebut soal Arale menemukan tahi di jalan, yang lalu dicolek-coleknya dengan ranting. Lalu tahi itu dapat berbicara.

Deraz bertambah-tambah mengernyit.

“Tah, si Odong-odong nu ngoleksi kartun Jepang mah,” ujar Jati. “Arafuru!” panggilnya pada Alf. Omae wa mou shindeiru nani watashi wa kura-kura ninja daihatsu honda moshi-moshi!”

“Ngomong naon ari sia?” tanggap Alf, yang terganggu dari keasyikannya menonton School Rumble di komputer sembari melahap cimol.

Urang ngomong basa maneh.”

Basa naon, anjir?”

Maneh boga Arale, teu?”

“Enggak ada, euy. Nonton we di tivi.”

Aya keneh kitu?” sambut Jati.

“Ini si Deraz pengin nonton ceunah,” sambung Gilang. “Cariin atuh, Alf, VCD-na, biar si Deraz bisa nonton di sini. Ah, kamu mah dasar ketua OSIS payah, mengecewakan, ngoleksi anime teh meni teu lengkap.”

Heu, teu baleg sia jadi ketua OSIS teh,” kompor Jati.

Naha urang?” Alf menoleh.

“Ketua OSIS bandar JAV!” timpal yang lain.

“Eh, ssst, jangan bilang-bilang!”

“Udah, lupain aja,” Deraz menutup percakapan. Ia sendiri lupa bahwa anak-anak OSIS kadang tidak bisa diandalkan.

Ketika hendak kembali ke kelas, Deraz melewati papan pengumuman dan membaca tentang pendaftaran Olimpiade Sains Nasional. Ia memberitahukan informasi itu kepada Zahra.

“Kamu kan pinter. Ikutan aja.”

“Kamu mau?”

“Pengin sih.”

“Ikut olimpiade apa, ya?”

“Saya mau ikut Biologi,” kata Deraz. Seketika itu juga terlintas ide di kepalanya. “Ke Gramedia yuk, cari buku latihan soal.”

“Kenapa enggak ke Palasari aja?”

“Gramedia aja.”

Deraz lebih nyaman dengan toko buku besar ber-AC berapa pun harga bukunya. Lagi pula, ini kesempatan jalan-jalan bersama Zahra. Masak cuma ke toko buku? Memangnya di sekitar Palasari ada apa? Setelah dari Gramedia di Jalan Merdeka kan mereka bisa melanjutkan ke Bandung Indah Plaza atau ke taman balai kota.

“Mau?” Tentu saja Deraz tidak membeberkannya. “Sabtu besok?”

“Mmm …. Ya udah.”

Deraz tidak sabar menantikan hari itu.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain