Malam itu seperti biasa Zahra hendak mengerjakan PR sambil
mendengarkan radio. Ia menyetel frekuensi ke radio anak muda yang sedang
menyiarkan acara request.
Saat itulah ia mendengar,
“Request selanjutnya dari OSIS SMANSON untuk Deraz dan Zahra XI IPA
9, ‘Love Song’ dari 311. Pesannya, semoga sang bunga selalu mekar mewangi dan
awet sampai mati. Jangan lupa dikocor dengan pupuk organik seminggu sekali.
Jika berhama, cukup disemprot dengan cairan bawang putih. Aduh, ini request apa petunjuk penanaman cengek,
yaaa.”
Zahra menjadi beku. Benarkah yang
barusan didengarnya tadi? Deraz dan Zahra
XI IPA 9, suara penyiar itu terngiang-ngiang di benaknya. OSIS SMANSON, apa urusan dia dengan
mereka? “Love Song” dari 311, “Lagu
Cinta”?!
“Ya, berikutnya kita puterin deh request-nya dari OSIS SMANSON: 311,
‘Love Song’, untuk Deraz dan Zahra XI IPA 9,” ulang si penyiar sebelum lagu
mengalun.
Zahra berkeringat dingin.
Kenapa?
Kemudian datang SMS dari Deraz menanyakan
kabar di kelas. Memang hari itu ia absen.
Haruskah Zahra mengatakannya pada
Deraz?
“Kamu barusan dengerin Ardan,
enggak?” Zahra mengirim SMS.
“Kenapa?” balas Deraz. Radio yang
didengarnya cuma Karang Layung Citra Bandung Station 100.4 FM yang seharian
memutarkan musik jaz dengan sisipan rohani.
“Ada yang request lagu buat kita.”
“Maksudnya?”
“Barusan ada request dari OSIS SMANSON buat kita. Judul lagunya ‘Love Song’.”
OSIS SMANSON. Bibir Deraz tertarik ke bawah.
Deraz mengetik balasan yang
menjelaskan tentang kejahilan anak-anak OSIS. Tetapi kemudian ia menyadari
bahwa ini jadinya akan terlalu panjang lebar, sampai-sampai jika dituliskan
dalam novel dapat makan beberapa bab.
Lalu terpikir olehnya: Bagaimana
kalau lewat telepon?
Ia tidak pernah menelepon Zahra
sebelumnya.
Mungkinkah ini saatnya untuk
memulai, membawa hubungan mereka ke tahap baru?
Ia menatap layar ponsel sembari
menggigiti jempol.
Ia mengetik, “Boleh telepon?”
tetapi menghapusnya lagi. Ia berdesah, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia
mencari nomor Zahra, lalu menekannya. Tut tut tut ….
“… halo?” terdengar suara Zahra.
Pelan sekali.
“Hai.”
“Hei.”
Beberapa lama mereka terdiam.
“So …. Kenapa … request-nya?”
akhirnya Deraz menemukan kata.
Terdengar desah keresahan Zahra.
“Mmm …. Takut …. Takut ….”
“Kamu takut … kenapa?”
“Pasti banyak yang denger.”
Deraz bergumam.
Kata Zahra lagi, “entar pada ngira
kita pacaran,” dengan suara sangat pelan.
Deraz bergumam lagi.
“Uuuh …. Pasti gara-gara waktu ke
balkot itu,” Zahra seperti mau menangis.
Deraz jadi kaget. “Hei, hei,
Zahra,” panggilnya.
“… iya?” suara Zahra parau.
“Itu wajar.”
“Apa?”
“Jalan berdua, cowok-cewek, enggak
mesti pacaran.” Deraz kadang melakukannya dengan Renata, walaupun cuma untuk
membahas soal debat di restoran fast food.
“Tapi …. Kenapa request-nya ‘Love Song’?”
“Anak-anak OSIS memang begitu.
Mereka suka iseng dan berlebihan.” Deraz merasa jadi harus mempersiapkan Zahra
untuk kemungkinan terburuk apa pun dalam menghadapi komplotan pemakan bangkai
yang lebih kejam daripada tukang jagal itu. “Jangan dipedulikan.”
“Tapi kalau mereka nyangka yang
bukan-bukan, gimana?”
“Bukan-bukan apa?”
“Kayak … kayak kalau kita pacaran,
gitu?”
“Memang kenapa kalau disangka
pacaran?” Deraz malah tertarik.
Zahra bergumam gelisah. “Aku enggak
mau kita disangka pacaran.”
“Kenapa?”
“Aku enggak mau pacaran.”
“Kenapa?”
“Soalnya …. Aku kan jilbaban.”
“Memang kenapa kalau pakai jilbab?
Banyak yang berjilbab tapi pacaran.”
Deraz tidak bisa melihat Zahra
menggeleng.
“Enggak pantas aja, kalau buat aku
mah …” terang Zahra. “Ya, terserah kalau orang lain, tapi aku enggak mau.
Lagian, aku kan mau ikut DKM.”
Deraz maklum.
“Aku juga,” Deraz tidak sadar telah
ikut-ikutan pakai ‘aku’, padahal biasanya konsisten dengan ‘saya’ walaupun
terhadap orang tua sendiri. “Maksudnya, bukan aku juga pakai jilbab terus mau
ikut DKM,” Deraz tidak tahu dirinya bicara apa. “Maksudnya, aku juga enggak mau
pacaran. Aku mau fokus dulu sama cita-cita aku.”
“Oh …” Zahra juga membaca di
majalah sekolah bahwa Deraz tidak pacaran, tetapi mendengar sendiri dari
orangnya rasanya bikin terkesima. “Memang cita-cita kamu apa?”
“Aku mau jadi dokter.”
“Aku juga sih. Cita-cita aku jadi
dokter.”
Deraz tersenyum, walaupun Zahra
tidak bisa melihat. Mereka memang sehati.
“Ya, kita fokus aja sama cita-cita
kita. Lagian kalau cita-cita kita sama, kita kan bisa berjuang sama-sama.”
Deraz melihat harapan, walaupun matanya membentur rak meja belajar.
“Tapi kalau terus orang-orang pada
ngira kita pacaran, gimana?” Zahra masih terdengar ragu.
“Memangnya kita ngapain?”
“Mmm ….”
“Kita sebangku, tapi kan itu karena
enggak ada bangku lain di kelas, yang strategis. Anak-anak pada udah nyaman
sama teman sebangkunya masing-masing. Kita belajar bareng, tapi kan cuma di
kelas. Orang-orang juga pada suka belajar bareng, kan? Kita jalan bareng, tapi
baru sekali itu aja, kan? Dan, cuma ke Gramedia terus jajan di taman. Sebentar
doang.”
“… iya sih.”
Kita juga sempat berpegangan
tangan, tetapi cuma satu-dua menit. Itu juga Deraz tidak sengaja. Benar kok.
Sumpah. Namun tidak ada yang berani mengangkat soal itu.
“Daripada pacaran, kita tuh lebih
tepat disebut …” Deraz terdiam, “… disebut ….” Teman sebangku? Itu jelas. Teman
saja? Rasanya lebih daripada itu. Setidaknya, yang ia rasakan pada Zahra tidak
seperti yang ia rasakan pada Ipong, Yoga, Bram, Adip, Renata—orang-orang yang
selama ini disebutnya teman. “Mmm … sahabat …?”
“Sahabat?” ulang Zahra.
Deraz jadi merasa seperti dalam manga 20th Century Boys yang dibawa Alf ke sekolah tiap kali
ada nomor baru.
“Ya,” tegas Deraz. Setidaknya,
“sahabat” terasa lebih akrab daripada “teman” namun tidak seintim “pacar”. Aw,
intim.
“Oh … Iya, ya. Kita … sahabat.”
Deraz tersenyum dengan dada
berdebar, walaupun sejenak kemudian mengerutkan kening. Tunggu. Benarkah
“sahabat”?
Teringat oleh Deraz, Ipong pernah
mengatakan, “Buat sohib mah, apa sih
yang enggak?” ketika Deraz berterima kasih atas bimbingannya dalam
mempersiapkan pertunjukan bakat untuk AFS.
Teringat juga oleh Deraz, ketika
Ipong menceritakan tentang abangnya yang meninggal sewaktu ia masih bayi.
Menurut mamanya, bahkan setelah meninggal almarhum abangnya itu masih suka
mengajak Ipong bermain. Ipong menyudahi ceritanya dengan berkata, “Baru kali
ini gue cerita ke orang. Lu memang sohib
gue, Raz. Malah, gue ngerasa lu udah kayak abang gue sendiri, padahal gue
enggak ingat dia kayak gimana.”
Bukankah sohib itu artinya “sahabat” juga? Selain itu, kalau Ipong bahkan
menganggap Deraz sudah seperti abang
sendiri, apakah itu artinya hubungannya dengan Zahra masih kurang berarti
dibandingkan dengan hubungannya dengan Ipong? Jadi, apa seharusnya? Apakah
semestinya ia mengatakan bahwa Zahra sudah seperti saudaranya sendiri juga?
Lalu terlintas di ingatan Deraz
pertemuannya dengan Renata setelah cewek itu pulang dari Wales dan hendak
berangkat ke Brasil. Renata menyemangatinya, “You know what, you’re just like my soul brother. I know you can make
it. Both for WSDC and AFS, just like me.”
Kalau begitu, posisi Zahra sama
saja dengan Ipong dan Renata padahal Deraz merasakannya berbeda. Jadi, apa seharusnya?
“Ich mag dich,” ucap Deraz serta-merta.
“Hah?”
“Ich finde dich süβ. Ich mag dich. Ich hab mich in dich verliebt.”
Zahra bengong. “Itu apa?”
Deraz ingin mengguyur kepalanya
dengan air bak.
“Cari tahu sendiri,” ujarnya.
“Enggak ketangkep …. Itu bahasa
asing, ya?”
Deraz bergumam mengiyakan.
“Ulangin dong.”
“Enggak. Cuma sekali.”
“Kamu mah—“
Tut tut tut ….
Deraz menatap layar ponselnya. Ia baru
menyadari bahwa provider nomornya
dengan nomor Zahra berbeda. Ia mengecek pulsa. Nol rupiah. Deraz berdesah.
Keesokan harinya di sekolah Deraz
menyuruh Zahra ganti nomor, sembari menjelaskan keunggulan provider yang sudah ia gunakan. Mendadak Deraz menjadi juru bicara
perusahaan telekomunikasi. “Kebanyakan anak di sekolah kita pakainya provider itu, jadi lebih murah kalau mau
jarkom,” alasan terkuat Deraz dengan menggunakan sampel anak-anak OSIS dan para
kenalannya di DKM. “Coba deh tanya sama teman-teman kamu di DKM. Kamu jadi mau
gabung sama mereka, kan?” Deraz begitu yakin.
Tentu saja ia tidak mengungkapkan
maksudnya untuk dapat menelepon Zahra sering-sering.