Rabu, 09 Mei 2012

Apanya Dong


Ini cerita tentang seorang cowok ketemu cewek, tapi tidak tepat 500 hari. Ali tidak pernah menghitung hari di mana langkahnya terhenti begitu melihat cewek itu. Ia tidak ingat sejak kapan. Dan seterusnya ia tertegun. Di balik pilar kantin, hangat-hangat dalam dadanya, sehangat-hangat seplastik cilok dalam genggamannya. Cewek berkuda ekor kuda—kuda Sumbawa—dengan gerak-gerik yang seakan atraktif, kebetulan ia lagi energik, yang lagi asyik cengkerama dengan kawanannya.

Bahu belakang Ali terdorong. Ketan mengajak adu bahu rupanya. Ali berlagak termangu. Di belakang Ketan ada pula Jongil, Mahmud, dan Kehed. Semua oknum 4KANGSON, sebuah forum di SMAN Selonongan yang keanggotaannya eksklusif: hanya senior yang sudah cowok. Tiap minggu kembang-kembang sekolah ditaburkan dalam forum untuk dikaji bersama, di mana Ali berpartisipasi secara pasif di dalamnya. Ia setia mendengar lagi bungkam. Ia bertahan dalam forum itu demi hiburan, demi apa lagi yang menarik untuk dibahas dari seorang cewek bernama Zia. Zia tidak layak disebut kembang sebetulnya, juga tidak berusaha untuk jadi kembang, tapi ada saja aspek dari cewek itu yang menarik bagi para partisipan aktif untuk membahasnya: celotehannya, sikapnya, gerak-geriknya, apa saja!, tapi malah bikin hati Ali jadi nyut-nyutan.

“Ali, nyanyi dong!” seruan Ketan membikin Ali bingung.

“Iya Li, kalo lagi terpesona, nyanyi dong!” tambah Kehed.

“Maaf ya, salah orang…” Ali hendak mengeloyor, tapi Ketan, Jongil, Mahmud, dan Kehed mengepungnya.

“…enggak apa-apa Li, kita tahu kok kamu enggak doyan nyanyi,” kata Ketan.

“Bukannya enggak doyan, emang enggak bisa,” tanggap Ali.

“Tapi keterpesonaan itu harus diungkapkan,” sahut Mahmud. “Jangan dipendam aja.”

“Iya, kamu harus lebih ekspresif, Ali. Makanya… kita bisa tahu kalo cuman kamu yang enggak ketawa pas kita lagi ngomongin cewek…”

“…argh,” usir Ali. Ia berusaha melepaskan diri. Ia kan berusaha menghormati para cewek itu dengan tidak ikut menertawakan mereka, meski ia tidak bisa berhenti menyimak juga.

“…cewek yang lagi beli bubur ayam,” sambung Mahmud.

Sontak Ali menoleh. O benar, dalam tangkupan tangan Zia ada semangkuk bubur ayam.

“Kalau kamu enggak bisa nyanyi, kita aja yang nyanyiin…” Ketan menepuk bahu Ali dari belakang, lalu melangkah pelan ke depan Ali. Kedua telunjuknya mengarah ke kepalanya sendiri, berputar-putar.

Pikir-pikir, apanya, apanya… a… panyaa dong… Yang sebelah maa…na? Sesuatu yang sangat menarik…

Ganti Mahmud yang berputar ke depan Ali.

Pikir-pikir, apanya, apanya… aaaaapanyaaa dooong… Geramannya memecah riuh kantin, sehingga orang-orang mulai mengalihkan perhatian. Dia punya apaa…? Sungguh matii aku tertarik…

Ali terlonjak ketika tahu-tahu Kehed dan Jongil menggiring Zia. Cewek itu sempat menjerit kaget. Salah satu tangannya masih memegang sendok dengan lumuran bubur di ujung. Di hadapan Ketan, yang berdiri di samping Ali, mereka berhenti. Kedua belah tangan Kehed dan Jongil memegang-megang wajah Zia.

Mungkin itu rambutnya? Jongil mengacak rambut Zia. Zia sontak mengangkat kedua tangan untuk melindungi rambutnya itu.

Sebelah tangan Ketan mengelus dagu. Ia menggeleng.

Dahinya? Kehed menyibak poni Zia. Zia langsung memukul tangan cowok itu, tapi tangan Kehed segera terangkat sehingga Zia mengenai dahinya sendiri.

Semuanya biasa saja. Coba aku lihat lagi, yang mana yang menarik… Muka Ketan mendekat ke arah Zia, yang kontan beringsut mundur, sembari tubuhnya berputar pelan mengitari cewek itu.

Mungkin itu matanya? Telunjuk dan jari tengah Jongil berusaha membuat mata Zia terbuka lebih lebar, Zia panik.

Hidungnya? Kali ini Zia berhasil menepis tangan Kehed yang berusaha menoel pucuk hidungnya.

Semuanya biasa saja. Ketan akhirnya mundur juga. Sejajar Ali, ia berhenti. Dengan lirikan yang menggoda pada Ali, ia melanjutkan, makin aku memandangnya makin aku jatuh hatiiii… Kedua tangan Jongil dan Kehed tertangkup di bawah dagu, memandang Zia dari bawah seakan cewek itu telah bikin mereka meleleh.

Ali dan Zia sama tersentak. Ketan, Jongil, Mahmud, dan Ketan kompak beringsut menjauh dari keduanya, lalu menyerbu orang-orang yang menyaksikan, bertanya dari satu orang ke lain orang.

Aapa apa apanyaa dong,
Apanyaa dong,
Apanya dong, dang ding dong…

Aapa apa apanyaa dong,
Apanyaa dong,
Apanya dong, dang ding dong daaang ding dong!

Mahmud mendekati Ali. Lama-lama, kupikir, kupikir, apa kuu..aat… Ali berusaha menghalau bocah itu, tapi gerakan Mahmud lebih cepat. Tahu-tahu Ketan yang berada di belakang Ali. Sebelah tangannya memegang-megang sebelah dada Ali hingga Ali bergidik, sebelah hatiku mauu… Ganti sebelah tangannya yang lain meraba sebelah dada Ali yang lain lagi, sebelah hatiku maluuuu…! O Ali jadi lemas digerayangi begitu.

Coba kulihat lagi, dari balik lingkaran kaca pembesar mata Mahmud terlihat makin besar juga, tak adalah… Akupun harus lihat benar. Jongil memberikan mikroskop pada Mahmud. Zia berhasil berlalu, tapi Kehed menghadangnya di sisi lain. Zia menjerit.

Ah. Ali sudah kadung malu! Panas merajah mukanya, dan gerah bergelenyar-gelenyar di penjuru bagian dalam tubuhnya. Jadi ia pun berbalik. Ingat bahwa sebagai senior ia sudah tidak leluasa mengongkang kaki di sekre ekskulnya dulu, batinnya makin kalut. Tahu deh mau ke mana, pokoknya tinggalkan kantin, dan laksanakan!

Tapi Mahmud mengaum makin keras, hingga menerjang rongga telinga Ali. Walaupun kalau kupergi… Ali menoleh, lebih untuk membalas Mahmud dengan tatapan sangar, meski secara tak diduga yang ia dapati malah tatapan Zia yang sama nanar. …dia pun mencuri pandang..

Lorong menuju koridor sekolah membenamkan tubuh Ali dalam kesejukan. Masih terdengar was wes wos di situ dan di mari, namun ketenangan Ali merayap seiring dengan keheningan yang merambat. Aja-aja ada si Ketan cs itu, tapi dalam hati masih saja ada sungutan Ali. Sekaligus ia malu karena ia malah kabur dalam situasi tersebut, ketimbang menanggapi dengan santai dan renyah. Ia merasa dirinya sangat kekanak-kanakkan, aduh, Ali tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi orang-orang… menghadapi cewek yang kerap bercokol dalam benak tanpa ia sendiri kehendaki… Ia berjalan sambil menunduk, sampai menabrak orang. Untung teman. Selagi bercakap seraya cengar-cengir sembunyikan malu, cewek itu melintas. Arah yang sama. Lagi mereka saling pandang, sama grogi. Ali langsung memalingkan kepala dari senyum tipis yang terulas di wajah itu.

COBA KULIHAT LAGI… teriak Ketan serta-merta. Raungannya lebih menggelegar ketimbang Mahmud…  DIA MULAI… BERANI SENYUM DAN MENANTANG… Tepat di telinga Ali, suara Ketan bagai membelai, enggak tahunya memang dia, lalu mengaum, KEKASIHKU YANG KUSAYAAANG…

Di belakang Ketan, tidak hanya Mahmud, Jongil, dan Kehed yang membentuk formasi. Ali menyadari siswa-siswa yang beserta mereka adalah yang ia lihat sewaktu di kantin tadi. Siswa-siswa lain yang semula nongkrong di tepi koridor ikut bergabung, bahkan teman yang tadi berbincang dengan Ali. Hanya Ali dan Zia, terpaku, ketika dalam gerakan yang serempak formasi itu mendekati mereka dan menggeru-geru,

APA APA APA APANYAAA DONG,
APANYA DONG,
APANYA DONG, DANG DING DONG

APA APA APA APANYAAA DONG,
APANYAAA DONG
APANYAAA DONG,
APANYA…

Apanya? Desis Ali.

Telapak tangan Ali berair. Ciloknya sudah tak begitu hangat. Ketan, Jongil, Mahmud, dan Kehed telah lama berlalu setelah menyapa Ali sekilas tadi. Kembali Ali leluasa untuk sekali lagi melihat cewek berkuncir kuda itu. Zia dan kawanannya telah mendapatkan tempat duduk di sisi kantin.

Tiba-tiba Zia itu berdiri, lalu berjalan ke arah Ali. Gerobak bubur ayam terletak beberapa meter di depan Ali. Buru-buru Ali memagut cilok, biar benda kenyal itu tertelan bersama ludahnya. Begitu mata cewek itu terarah padanya, Ali berbalik. Bahkan dalam bayangannya sendiri, ia tak mampu bernyanyi.


terinspirasi dari mendengarkan “Apanya Dong” oleh Serieus. kadang aku berpikir, cita-citaku seharusnya jadi sutradara video klip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain