Ini cerita tentang
seorang cowok ketemu cewek, tapi tidak tepat 500 hari. Ali tidak pernah
menghitung hari di mana langkahnya terhenti begitu melihat cewek itu. Ia tidak
ingat sejak kapan. Dan seterusnya ia tertegun. Di balik pilar kantin,
hangat-hangat dalam dadanya, sehangat-hangat seplastik cilok dalam
genggamannya. Cewek berkuda ekor kuda—kuda Sumbawa—dengan gerak-gerik yang
seakan atraktif, kebetulan ia lagi energik, yang lagi asyik cengkerama dengan
kawanannya.
Bahu belakang Ali
terdorong. Ketan mengajak adu bahu rupanya. Ali berlagak termangu. Di belakang
Ketan ada pula Jongil, Mahmud, dan Kehed. Semua oknum 4KANGSON, sebuah forum di
SMAN Selonongan yang keanggotaannya eksklusif: hanya senior yang sudah cowok.
Tiap minggu kembang-kembang sekolah ditaburkan dalam forum untuk dikaji
bersama, di mana Ali berpartisipasi secara pasif di dalamnya. Ia setia
mendengar lagi bungkam. Ia bertahan dalam forum itu demi hiburan, demi apa lagi
yang menarik untuk dibahas dari seorang cewek bernama Zia. Zia tidak layak
disebut kembang sebetulnya, juga tidak berusaha untuk jadi kembang, tapi ada
saja aspek dari cewek itu yang menarik bagi para partisipan aktif untuk
membahasnya: celotehannya, sikapnya, gerak-geriknya, apa saja!, tapi malah bikin
hati Ali jadi nyut-nyutan.
“Ali, nyanyi dong!”
seruan Ketan membikin Ali bingung.
“Iya Li, kalo lagi
terpesona, nyanyi dong!” tambah Kehed.
“Maaf ya, salah
orang…” Ali hendak mengeloyor, tapi Ketan, Jongil, Mahmud, dan Kehed
mengepungnya.
“…enggak apa-apa Li,
kita tahu kok kamu enggak doyan nyanyi,” kata Ketan.
“Bukannya enggak
doyan, emang enggak bisa,” tanggap Ali.
“Tapi keterpesonaan
itu harus diungkapkan,” sahut Mahmud. “Jangan dipendam aja.”
“Iya, kamu harus
lebih ekspresif, Ali. Makanya… kita bisa tahu kalo cuman kamu yang enggak
ketawa pas kita lagi ngomongin cewek…”
“…argh,” usir Ali.
Ia berusaha melepaskan diri. Ia kan berusaha menghormati para cewek itu dengan
tidak ikut menertawakan mereka, meski ia tidak bisa berhenti menyimak juga.
“…cewek yang lagi
beli bubur ayam,” sambung Mahmud.
Sontak Ali menoleh.
O benar, dalam tangkupan tangan Zia ada semangkuk bubur ayam.
“Kalau kamu enggak
bisa nyanyi, kita aja yang nyanyiin…” Ketan menepuk bahu Ali dari belakang,
lalu melangkah pelan ke depan Ali. Kedua telunjuknya mengarah ke kepalanya
sendiri, berputar-putar.
Pikir-pikir, apanya, apanya… a… panyaa dong… Yang
sebelah maa…na? Sesuatu yang sangat menarik…
Ganti Mahmud yang
berputar ke depan Ali.
Pikir-pikir, apanya, apanya… aaaaapanyaaa dooong… Geramannya memecah riuh kantin, sehingga orang-orang mulai
mengalihkan perhatian. Dia punya apaa…?
Sungguh matii aku tertarik…
Ali terlonjak ketika
tahu-tahu Kehed dan Jongil menggiring Zia. Cewek itu sempat menjerit kaget.
Salah satu tangannya masih memegang sendok dengan lumuran bubur di ujung. Di
hadapan Ketan, yang berdiri di samping Ali, mereka berhenti. Kedua belah tangan
Kehed dan Jongil memegang-megang wajah Zia.
Mungkin itu rambutnya? Jongil mengacak rambut Zia. Zia sontak mengangkat
kedua tangan untuk melindungi rambutnya itu.
Sebelah tangan Ketan
mengelus dagu. Ia menggeleng.
Dahinya?
Kehed menyibak poni Zia. Zia langsung memukul tangan cowok itu, tapi tangan
Kehed segera terangkat sehingga Zia mengenai dahinya sendiri.
Semuanya biasa saja. Coba aku lihat lagi, yang mana
yang menarik… Muka Ketan mendekat ke
arah Zia, yang kontan beringsut mundur, sembari tubuhnya berputar pelan
mengitari cewek itu.
Mungkin itu matanya? Telunjuk dan jari tengah Jongil berusaha membuat mata Zia terbuka lebih
lebar, Zia panik.
Hidungnya? Kali
ini Zia berhasil menepis tangan Kehed yang berusaha menoel pucuk hidungnya.
Semuanya biasa saja. Ketan akhirnya mundur juga. Sejajar Ali, ia berhenti. Dengan lirikan yang
menggoda pada Ali, ia melanjutkan, makin
aku memandangnya makin aku jatuh hatiiii… Kedua tangan Jongil dan Kehed
tertangkup di bawah dagu, memandang Zia dari bawah seakan cewek itu telah bikin
mereka meleleh.
Ali dan Zia sama
tersentak. Ketan, Jongil, Mahmud, dan Ketan kompak beringsut menjauh dari
keduanya, lalu menyerbu orang-orang yang menyaksikan, bertanya dari satu orang
ke lain orang.
Aapa apa apanyaa dong,
Apanyaa dong,
Apanya dong, dang ding dong…
Aapa apa apanyaa dong,
Apanyaa dong,
Apanya dong, dang ding dong daaang ding dong!
Mahmud mendekati
Ali. Lama-lama, kupikir, kupikir, apa kuu..aat…
Ali berusaha menghalau bocah itu, tapi gerakan Mahmud lebih cepat. Tahu-tahu
Ketan yang berada di belakang Ali. Sebelah tangannya memegang-megang sebelah
dada Ali hingga Ali bergidik, sebelah
hatiku mauu… Ganti sebelah tangannya yang lain meraba sebelah dada Ali yang
lain lagi, sebelah hatiku maluuuu…! O
Ali jadi lemas digerayangi begitu.
Coba kulihat lagi, dari balik lingkaran kaca pembesar mata Mahmud terlihat makin besar
juga, tak adalah… Akupun harus lihat
benar. Jongil memberikan mikroskop pada Mahmud. Zia berhasil berlalu, tapi
Kehed menghadangnya di sisi lain. Zia menjerit.
Ah. Ali sudah kadung
malu! Panas merajah mukanya, dan gerah bergelenyar-gelenyar di penjuru bagian
dalam tubuhnya. Jadi ia pun berbalik. Ingat bahwa sebagai senior ia sudah tidak
leluasa mengongkang kaki di sekre ekskulnya dulu, batinnya makin kalut. Tahu
deh mau ke mana, pokoknya tinggalkan kantin, dan laksanakan!
Tapi Mahmud mengaum
makin keras, hingga menerjang rongga telinga Ali. Walaupun kalau kupergi… Ali menoleh, lebih untuk membalas Mahmud
dengan tatapan sangar, meski secara tak diduga yang ia dapati malah tatapan Zia
yang sama nanar. …dia pun mencuri
pandang..
Lorong menuju
koridor sekolah membenamkan tubuh Ali dalam kesejukan. Masih terdengar was wes
wos di situ dan di mari, namun ketenangan Ali merayap seiring dengan keheningan
yang merambat. Aja-aja ada si Ketan cs
itu, tapi dalam hati masih saja ada sungutan Ali. Sekaligus ia malu karena
ia malah kabur dalam situasi tersebut, ketimbang menanggapi dengan santai dan
renyah. Ia merasa dirinya sangat kekanak-kanakkan, aduh, Ali tidak tahu lagi
bagaimana harus menghadapi orang-orang… menghadapi cewek yang kerap bercokol
dalam benak tanpa ia sendiri kehendaki… Ia berjalan sambil menunduk, sampai
menabrak orang. Untung teman. Selagi bercakap seraya cengar-cengir sembunyikan
malu, cewek itu melintas. Arah yang sama. Lagi mereka saling pandang, sama
grogi. Ali langsung memalingkan kepala dari senyum tipis yang terulas di wajah
itu.
COBA KULIHAT LAGI… teriak Ketan serta-merta. Raungannya lebih menggelegar ketimbang Mahmud… DIA
MULAI… BERANI SENYUM DAN MENANTANG… Tepat di telinga Ali, suara Ketan bagai
membelai, enggak tahunya memang dia, lalu
mengaum, KEKASIHKU YANG KUSAYAAANG…
Di belakang Ketan, tidak
hanya Mahmud, Jongil, dan Kehed yang membentuk formasi. Ali menyadari
siswa-siswa yang beserta mereka adalah yang ia lihat sewaktu di kantin tadi.
Siswa-siswa lain yang semula nongkrong di tepi koridor ikut bergabung, bahkan
teman yang tadi berbincang dengan Ali. Hanya Ali dan Zia, terpaku, ketika dalam
gerakan yang serempak formasi itu mendekati mereka dan menggeru-geru,
APA APA APA APANYAAA DONG,
APANYA DONG,
APANYA DONG, DANG DING DONG
APA APA APA APANYAAA DONG,
APANYAAA DONG
APANYAAA DONG,
APANYA…
Apanya? Desis
Ali.
Telapak tangan Ali berair.
Ciloknya sudah tak begitu hangat. Ketan, Jongil, Mahmud, dan Kehed telah lama
berlalu setelah menyapa Ali sekilas tadi. Kembali Ali leluasa untuk sekali lagi
melihat cewek berkuncir kuda itu. Zia dan kawanannya telah mendapatkan tempat
duduk di sisi kantin.
Tiba-tiba Zia itu
berdiri, lalu berjalan ke arah Ali. Gerobak bubur ayam terletak beberapa meter
di depan Ali. Buru-buru Ali memagut cilok, biar benda kenyal itu tertelan
bersama ludahnya. Begitu mata cewek itu terarah padanya, Ali berbalik. Bahkan
dalam bayangannya sendiri, ia tak mampu bernyanyi.
terinspirasi dari mendengarkan “Apanya Dong” oleh
Serieus. kadang aku berpikir, cita-citaku seharusnya jadi sutradara video klip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar