Senin, 21 Mei 2012

Tolong, Garuda 5 Menggempur Saya!


Saya masih berada di bagian awal, sempat baca-baca sekilas sih tengahnya, tapi saya sudah merasakan kalau novel ini adalah cerita yang memang ingin saya baca. Novel ini adalah cerita remaja, cerita komedi, cerita fantasi dengan unsur lokal, sekaligus cerita religi…

Sejak dulu obsesi saya memang mencari cerita remaja yang beda. Bagaimana kalau teenlit dikemas secara serius, dengan diksi yang melimpah ruah, EYD dan tata bahasa yang baik tapi enak dibaca, taburan humor yang cerdas, atau bercampur dengan unsur fantasi, bahkan merupakan satire… dan yang pasti adalah sarat makna…?

Dan kendati saya jarang membaca cerita fantasi, tapi melalui forum di dunia maya saya ngeh kalau jumlah orang Indonesia yang menulis cerita fantasi begitu banyak. Dan saya gemas saja ketika mitologi yang umum dijadikan landasan dalam membuat cerita tidak berasal dari negeri sendiri (*sok nasionalis tea), padahal barangkali mistisisme kita pun bisa dikemas dengan keren dan jauh dari kesan kampungan.

Terlepas dari apakah “Garuda 5 Utusan Iblis” (selanjutnya G5UI) memenuhi berbagai obsesi tersebut, secara keseluruhan saya menganggap novel ini luar biasa.

Cerita dibuka dengan latar sekitar enam abad silam. Sentika bersama empat sahabatnya: Pramesti, Anggraini, Widura, dan Rangga, yang sesama pendekar sakti mengemban tugas untuk mencegah utusan Iblis turun ke bumi. Iblis ingin hidup lebih lama, sehingga ia bermaksud memundurkan Hari Pembalasan alias kiamat. Caranya adalah dengan memusnahkan manusia sebelum hari itu terjadi. Secara kiamat berarti berakhirnya kehidupan manusia di dunia, maka kiamat tidak akan terjadi kalau manusia sudah keburu tidak ada—harus diciptakan dulu kehidupan yang baru. Ki Sangeti, seorang dukun tua, hendak menawarkan diri pada Iblis untuk menunaikan maksud keji tersebut. Namun Sentika dan para pendekarnya yang mandraguna tak akan membiarkan hal itu terjadi. Akhirnya mereka dapat membunuh Ki Sangeti, namun rupanya kakek jahat tersebut berjanji akan bangkit lagi setelah 666 tahun. Tidak mungkin Sentika cs masih hidup saat itu, sehingga mereka harus menitiskan kekuatan mereka pada keturunan mereka yang hidup pada zaman itu. Kira-kira begitulah.

Bagian selanjutnya berlatar kehidupan anak-anak SMA ibukota masa kini. Sejak awal kita akan dipertemukan dengan Jaka yang titisan Sentika, Bun yang keturunan Widura, serta Rani yang mewarisi Anggraini, dan berbagai karakter serta nama lain. Mereka adalah warga SMA Raya, Jakarta, yang tadinya hendak mengadakan jambore, tapi malah terjebak dalam situasi menegangkan bersama sekian lelembut.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan saya menyukai novel ini, tapi ada pula beberapa alasan yang menjadikan novel ini tidak begitu bagus. Saya coba jelaskan satu per satu apa yang saya dapatkan dari novel ini yak.

Bahasa

Gaya bahasa yang lincah dan spontan barangkali menjadikan semua karakter, termasuk narator, pandai melucu, dan ini sangat menghibur. Bahkan dalam situasi tegang pun masih bisa terselip celetukan yang bikin mendengus. Inilah yang bikin saya merasa “aman” dalam membaca novel ini, dalam arti: semenyeramkan apapun musuhnya, semencekam apapun situasinya, cerita ini tidak betul-betul serius. Tak ada satupun karakter dari pihak protagonis yang mati. Kalaupun ada yang cedera parah, ia tetap bakal selamat akhirnya.

Perbedaan gaya bahasa antar para karakter pun relatif bisa dirasakan, misalnya Rani yang meledak-ledak, Ratih yang tegas sekaligus lembut, Bun yang sopan, Jo yang kasar, Bu Dadang yang orang Sunda, Prasti yang manja dan genit, Jaka yang kadang polos, dan seterusnya, dan ini semakin menguatkan karakter-karakter tersebut yang dari kelakuan saja barangkali sudah beda.

“Angkara”, “prana”, “mudra”, marcaprada”, adalah segelintir kata yang digunakan untuk menggambarkan kekhasan dunia persilatan, yang belum tentu dijumpai dalam cerita remaja biasa. Kekayaan diksi inilah yang membangun situasi hingga sedemikian rupa, yang saya kira selain baik untuk menambah perbendaharaan pembaca, juga menjadi estetika cerita.

Dengan demikian cerita dalam novel ini dibawakan dalam bahasa yang ngepop, sesuai dengan gaya bahasa para karakternya yang anak muda zaman sekarang, sekaligus kaya diksi khas dunia persilatan. Keduanya sama memikat, sekaligus mengurangi nilai novel ini ketika penggunaannya dicampuradukkan—dan itu dilakukan baik oleh narator maupun para karakter.

Saya tidak melewatkan satu kata pun dalam novel ini, semua terbaca, namun demikian penuturan cerita masih terasa cair dan barangkali butuh Diapet.

Karakter

Yang ditimbulkan dari kekuatan karakter barangkali adalah simpati pembaca, yang bikin pembaca ingin terus mengetahui nasib karakter tersebut. Karakter-karakter dalam G5UI berhasil menempel dalam benak saya. Saya suka Jaka yang harusnya jadi hero, tapi malah mudah dipengaruhi. Kendati pembaca lain mungkin mencerca-merca kegoblokan Jaka, tapi entah mengapa saya kira wajar saya kalau pemuda tanggung semacam Jaka begitu mudah terjerat pesona wanita (*hahai bahasanye!). Saya juga suka Bun yang doyan bercanda, Rani yang begitu ekspresif, dan seterusnya. Para karakter tampil begitu manusiawi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi yang lebih mengundang saya untuk terus membaca novel ini agaknya malah kekuatan alur.

Alur

Titisan tiga dari lima Pendekar Garuda telah terkuak sejak awal, tapi dua yang lain baru tersibak di bagian akhir. Maka sepanjang itu pulalah saya rasa ingin tahu saya berkobar. Ketika karakter-karakter lain bermunculan, kejadian-kejadian aneh berdatangan, saya menebak-nebak apakah karakter ini ternyata itu atau karakter ini ternyata itu. Kepastiannya tidak akan saya dapatkan kecuali saya terus mengikuti jalan cerita! Saya sempat tergoda untuk mengintip bagian terakhir, kiranya dugaan saya betul. Tapi saya tetap ingin membaca.

Sebetulnya bukan saya tidak pernah terpikir kalau alur dalam novel ini klise. Hampir segalanya telah dirancang oleh karakter antagonis. Permainkan karakter protagonis: kecoh tokoh utama, pecah-belah para pendukungnya, dan seterusnya, lalu hantam habis-habisan di akhir! Tapi entah mengapa agaknya malah itu yang bikin semangat saya menggebu-gebu, mungkin karena saya tak sabar menanti tebakan saya benar apa tidak. Saya malah jadi menyadari pentingnya menata alur. Meski saya pikir sayang juga jika alur sudah dibikin sedemikian berpilin, ternyata di akhir diungkapkan begitu saja secara gamblang oleh karakter antagonis.

SMA Raya

Saya suka dengan gambaran SMA Raya sebagai SMA swasta di Jakarta yang tidak terlalu ngetop. Biarpun terkesan underdog, tapi SMA Raya menjadi istimewa karena keterlibatannya dalam peristiwa yang menentukan nasib dunia.

Para siswa SMA Raya gemar tawuran pula, dan ternyata itu malah ada gunanya dalam pertarungan melawan musuh. Namun saya kira bagian tawuran ini kurang dieksplorasi. Kendati dikatakan gemar tawuran, hanya bagian di mana Jaka dan Rani jadi hero saja yang ditampilkan, padahal agaknya bukan dua anak itu yang biasa tawuran, melainkan para siswa Geng Brimobs—yang malah baru dimunculkan belakangan. Kalau aksi para berandalan itu dalam tawuran sudah disuguhkan sejak awal, maka aksi berikutnya dalam melawan musuh yang berbeda wujud akan terasa lebih wajar.

Islam

Inilah hal yang paling saya soroti sepanjang membaca novel ini. Sejak dibikin takjub di prolog karena konsep Islam yang melandasi cerita ini, saya menggarisbawahi (dalam benak doang sih) setiap hal terkait Islam yang saya temukan. Mulai dari kalimat-kalimat toyyibah yang dilontarkan para karakternya, si Jaka yang salat Subuhnya tepat waktu, bapaknya Jaka yang mewanti-wanti sang anak agar tidak terjerumus dalam kesyirikan, salat Subuh berjamaah di tenda peleton, Ratih dan Rani yang habis salat Subuh, sajadah yang digunakan Pak Tris untuk mengusir monster-monster, sampai kekuatan ayat Quran yang dapat melemahkan sihir musuh. Subhanallah.

Tapi bertaburannya hal-hal Islami itu tak lantas menjadi fanatisme. Pengarang tetap memberi ruang bagi kepercayaan lain, sebagai contoh, kelima Pendekar Garuda adalah muslim namun salah satu titisannya ternyata bukan. Saya juga tidak mendapati adanya kesan yang “memihak”, melainkan ya memang begitu adanya yang terjadi di dunia G5UI. Selain itu, adegan-adegan romantika remaja disajikan sebagaimana lazimnya, kata “org*sm*” dilontarkan salah satu karakter, penamaan jurus-jurus juga agaknya masih didasarkan pada kepercayaan akan dewa-dewi. Tapi kalau dipikir lebih jauh, semuanya bisa diterima. Bagaimanapun unsur Islam lebih dominan.

Fantasi lokal agaknya tak bisa dilepaskan dari metafisika, yang acap dipersepsi mengarah pada kesyirikan. Saya awam sih dalam hal ini, tapi waktu SMA saya sempat ikut ekskul bela diri dengan tenaga dalam. Sejak itu saya memahami kalau metafisika itu tak mesti berarti syirik. Ini adalah bagaimana kita memahami sunatullah yang berlaku di alam lain, juga bagaimana kita mengenali dan mengendalikan energi dengan kekuatan dari dalam tubuh kita sendiri. Dan novel ini justru menunjukkan kalau pemahaman akan metafisika memperkuat keimanan.

Sebagaimana Jaka cs dalam novel ini, adalah tugas dari setiap manusia untuk menolak serangan iblis. Jika umumnya kita memaknai serangan iblis sebagai godaan untuk melakukan perbuatan maksiat, maka serangan iblis dalam novel ini diterjemahkan menjadi serangan yang sesungguhnya: makhluk-makhluk yang dapat memporak-porandakan dan melukai secara fisik; yang harus ditangkis dengan jurus-jurus silat. Kita di dunia nyata tak harus menguasai jurus-jurus silat agar bisa menahan godaan maksiat, tapi baik di dunia nyata maupun dunia fiktif G5UI, ada kepercayaan bahwa segala daya dan upaya akan berhasil jika ditunjang dengan doa.

Sebagai muslim, apa yang dikandung G5U1 barangkali cocok dengan kepercayaan saya. Mungkin karena itu, mungkin juga karena pengemasan yang populer dan toleran, maka saya merasa bahwa kendati menyiarkan ajaran Islam, G5UI tidak terasa sebagai novel dakwah. Entah juga kalau pembaca lain ada yang berpendapat sebaliknya hehehe…

Kok saya sepertinya sangat terpikat

Saya tidak mengerti ajian apa yang telah ditanamkan pengarang dalam novelnya ini hehehe… bahkan adegan yang barangkali bakal dianggap norak oleh sebagian orang saya lahap saja. Entah bagaimana cara pengarang menyusun kata-kata, saya begitu hanyut dalam cerita sampai saya merasa tersiksa. Saya tidak ingin berhenti membaca, tapi mata saya sudah tidak kuat!

Mungkin ini karena pengalaman baca saya yang masih kurang, sehingga saya menganggap novel ini luar biasa. Mungkin juga karena saya sendiri ingin menggarap cerita remaja, cerita remaja yang unik—baik ceritanya maupun remajanya. Dan sejak awal saya sudah menganggap novel ini unik, lalu kelucuan tersebar di mana-mana sehingga menyenangkan yang baca, narasinya enak dilahap, suspense­­­-nya pun kena, karakter-karakternya berkesan, dan seterusnya sebagaimana saya sudah jabarkan, meski saya tidak memungkiri kalau ada juga hal-hal yang menurunkan nilai novel ini, serta apa-apa yang saya sukai belum tentu orang lain juga suka.

Saya ber”adeuh… adeuh…” sendiri pas baca bagian yang judulnya saja sudah “Rahasia Hati” atau “Romansa Tenda”. Saya menyengir pas Jaka dan Prasti berlagak sedang syuting film Bollywood. Saya tergelitik ketika Neo Pendekar Garuda mencanangkan nama baru untuk kelompok mereka: G-Five (kalau saya jadi salah satu dari mereka, saya tidak akan memusingkan nama, langsung serbu saja!). Belum lagi adegan-adegan yang menimbulkan visualisasi bak sinetron dalam benak saya, entah itu adegan silat atau adegan adu mulut antar karakter. Adegan-adegan pertarungan di antara pepohonan pada bagian awal juga terasa bak sedang membaca komik Naruto, belum saat Ki Sangeti memperbanyak diri (kalau tak salah jurus Naruto yang serupa ini adalah kagebunshin kamehameha *ngaco), tapi saya larut saja. Semuanya sensasional.

Sementara para pendekar tengah bertarung dengan para dedemit, pikiran yang bertanya-tanya: bagaimana keadaan empat ratusan orang ‘awam’ yang menyaksikan itu; bagaimana kalau dalam situasi mencekam itu mereka ingin buang air tapi takut ke mana-mana, bisi dihadang setan; bagaimana kalau ada yang mendadak histeris lalu lari-lari keluar tempat perlindungan; dan seterusnya. Tapi saya abaikan kemungkinan-kemungkinan itu, pun barangkali ada bagian yang mengingkari logika, ikutin ajalah!

Dan begitu halaman 699 saya tuntaskan, saya terkulai di kasur. Capek, sekaligus puas. Saya tidak mengindahkan lagi kriteria “karya sastra yang baik” dan "karya sastra yang buruk” ala Eyang Budi Darma (lihat “Ceramah Eyang”), melainkan karya yang rame atau tidak.***

3 komentar:

  1. Pertamax!!

    Wow, ini review yg sejauh ini terlengkap menangkap pesan islami yg saya sembunyikan dalam teks. Untung saja ternyata takarannya dirasakan pas untuk kang Dayeuh, dan moga-moga oleh pembaca lainnya.

    Terima kasih telah mengapresiasi G-5 dengan baik :) mohon ijin dan perkenan melink blog ini dan mengkopi review di Group Facebook G-Fivers. Dan dimohon kesediqqnnya bergabung juga, bila berkenan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mangga, Kang :) Maaf kalau review-nya kurang menyeluruh, saya suka kurang konsentrasi kalau baca hehe :p
      Saya juga sudah bergabung dg grup G-Fivers di FB kok :D
      *menanti G5 jilid 2

      Hapus
  2. --sorry entah kenapa typonya ga bisa diedit.

    PS: soal kenapa empat ratus anak-anak itu ngga bereaksi histeris etc. ada penjelasannya koq... Botol kecil sang ratu :). Ntar keluar lagi si G-5.2. Tunggu aja!

    Salam,
    FA Purawan

    BalasHapus

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain