Senin, 14 Mei 2012

Keliling Dunia Lewat Jalur Bawah: Tak Kalah Menakjubkan!


Judul : 60000 Mil di Bawah Laut
Pengarang : Jules Verne
Penerjemah : Noviatri
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010

Sesuatu yang diduga cetacean menghebohkan dunia pelayaran. Banyak kapal menjadi korban. Monsieur Aronnax beserta pendampingnya yang setia, Conseil, mengikuti misi Kapten Farragut untuk menguak misteri tersebut. Mereka menumpang kapal Abraham Lincoln dan bertemu sobat baru dari Kanada, Ned Land.

Pertemuan dengan makhluk asing itu malah menghempaskan Aronnax, Conseil, dan Ned dari kapal. Mereka terombang-ambing di lautan sebelum akhirnya terdampar di punggung benda misterius yang diburu-buru, ternyata itu adalah sebuah kapal selam!

Saat itu tahun 1866, kapal selam Nautilus yang dikomandani Kapten Nemo merupakan penemuan yang luar biasa. Panjangnya mencapai puluhan meter sedangkan lebarnya sekitar delapan meter. Di dalamnya terdapat perpustakaan dan museum dengan koleksi dari sumber daya laut yang menakjubkan. Selain itu sumber daya laut juga dapat diolah menjadi bahan untuk menggerakkan kapal, berbagai hidangan yang lezat, dan sebagainya. Aronnax beserta kedua sahabatnya dijamu dengan sangat baik oleh Kapten Nemo.

Edisi bahasa Indonesia novel ini terdiri dari 404 halaman, dan saya hampir tidak bosan membaca dikarenakan deskripsi akan kehidupan bawah laut yang begitu semarak. Secara tidak langsung saya telah dibawa keliling dunia oleh pengarang, lewat jalur bawah! Tak hanya keindahan biotanya yang kerap mencengangkan, melainkan juga bentukan alam yang bervariasi. Dari yang “biasa” saja, hingga area super panas di bawah Gunung Santorin, lalu ciptaan Tuhan yang saking indahnya hingga dapat membutakan mata di bawah gunung es. Belum lagi gelimpangan harta, bahkan jasad manusia, dari kapal-kapal yang karam.

Sesekali Kapten Nemo mengajak para tamunya bertualang, mulai dari menyambangi daratan Papua, berburu berang-berang laut di Pulau Crespo, menyusuri lorong bawah laut yang menghubungkan Laut Merah dengan Laut Tengah, bertarung melawan cumi-cumi raksasa, mencicipi susu paus, hingga membalas serangan dari kapal lain.

Kendati begitu beragam yang bisa disaksikan di dunia bawah laut, kebosanan tetap dapat melanda. Satu setengah jam dalam pesawat saja sudah bikin saya merasa rada mengidap klaustrofobia, apalagi berbulan-bulan di kapal selam! Begitupun yang dialami dengan Aronnax dan para sobatnya. Beberapa kali Ned mengajak Aronnax dan Conseil untuk melarikan diri, akankah mereka berhasil?

Meskipun Kapten Nemo memberi para tamunya kebebasan untuk berkelana di penjuru Nautilus, misteri tetap terpendam. Sepuluh bulan mengembara dunia bawah laut bersama, identitas Kapten Nemo tidak terkuak, pun sekian puluh awaknya. Kematian salah satu awak di bagian tengah novel juga tidak diketahui sebabnya hingga akhir. Hanya penjelasan bagaimana kapal selam itu dibangun saja yang diungkapkan, agaknya ini sebab mengapa novel ini dikategorikan sebagai fiksi ilmiah. Jika novel ini adalah novel psikologis, agaknya sebab Kapten Nemo mengasingkan diri dari dunia luar dengan kapal selamnya itu akan dibeberkan. Alih-alih mengusut latar belakang para manusia dalam cerita ini, pengarang lebih suka mengeksplorasi kekayaan dunia bawah laut. Sentuhan kepribadian diberikan secukupnya: Kapten Nemo yang moody, Conseil yang setia, Ned yang temperamen, serta Aronnax yang berkepala dingin.

Namun dengan taburan deskripsi bawah laut di berbagai lokasi yang membumbungkan imajinasi, plus pengetahuan akan situasi bawah laut yang menakjubkan, saya kira novel ini merupakan bacaan yang baik bagi anak-anak, tentunya dari spesies kutu buku yang sudah kuat melahap novel tebal dengan ukuran font relatif kecil.

Bahasa terjemahan dalam novel ini sebetulnya mudah dicerna, tetapi beberapa kali saya menemukan adanya cetakan yang kurang enak dilihat, seperti “dsb” dan bukannya “dan sebagainya”, atau “asked” mendampingi “tanya”, “with” setelah “dengan”, juga “and” yang membarengi “dan”.

Bagaimanapun melalui novel ini pembaca dapat menyadari bahwa sumber daya laut begitu kaya, dengan potensi pemanfaatan yang amat besar, sekaligus rentan akan kepunahan. Ketika Ned meminta izin dari Kapten Nemo untuk membunuh paus, beginilah jawab sang kapten,

“…Tapi kali ini kita akan membunuh hanya untuk memenuhi kepuasan membunuh saja. Saya sadar itu hak istimewa yang diberikan kepada manusia, tapi saya tidak bisa menyetujui hobi membunuh sepeti itu. …. Populasi mereka sekarang sudah jarang ditemui di seluruh Teluk Baffin, dan nantinya kelompok binatang berguna ini lama-lama juga akan punah sendiri. Jangan ganggu paus-paus malang itu. Mereka sudah punya banyak musuh. Sebut saja cachalot, ikan pedang, dan ikan gergaji, tanpa anda sekarang mengusik mereka.” (halaman 299)

Saya jarang membaca fiksi ilmiah. Setelah membaca sekilas beberapa publikasi ilmiah mengenai genre satu ini, saya menyadari kontribusi fiksi ilmiah dalam perkembangan teknologi.

Berlandaskan pengetahuan mengenai teknologi yang telah ada, manusia memimpikan bagaimana teknologi tersebut jika dikembangkan lebih jauh lagi… Bagaimana jika teknologi kloning yang ada dapat menghadirkan lagi dinosaurus di muka bumi? Maka jadilah “Jurassic Park” oleh Michael Crichton. Dalam “60000 Mil di Bawah Laut” pun, setelah Nautilus dapat membuktikan kecanggihannya, terselip impian untuk membuat kota kapal selam.

Dan fiksi ilmiah tidak hanya menyajikan mimpi, melainkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari teknologi tersebut. Dalam “Jurassic Park”: spesies dinosaurus terganas akhirnya memporak-porandakan eksistensi manusia di Isla Sorna. Dalam “60000 Mil di Bawah Laut”: Nautilus terjebak di gunung es sehingga seluruh penumpang kapal harus bahu-membahu menjebol es, sekaligus berbagi oksigen.

Jika selama ini fiksi ilmiah acap berlandaskan science yang bersifat eksak, apakah social science juga bisa menjadi bahan untuk membuat fiksi ilmiah?*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain