Madie
mendukungku untuk mengadopsi Jasmine. Jadi keputusanku sudah bulat. Ada suatu
hal yang mengganjalku semasih memikirkannya, yaitu ingatan tentang kejadian
sesudah pemakaman ayahku dua puluhan tahun yang lalu.
Sore
itu, saudara laki-lakiku mengajakku dan adik perempuan kami bicara bertiga saja
di sudut yang sepi di rumah duka. Mataku masih berat, tapi aku berlagak siap
mendengarkan apapun yang ingin dikatakannya.
Saudara
laki-lakiku bilang, sesaat sebelum jenazah Ayah diberangkatkan ke pemakaman,
ada dua perempuan datang. Perempuan yang lebih tua mengenalkan diri sebagai
mantan istri Ayah. Perempuan yang lebih muda tidak berkata apa-apa, selain
menangis sambil memandangi jenazah Ayah, dan dari mulutnya keluar suara meratap
yang kedengarannya seperti, “Ay… ah….”
Adik
perempuan kami malah marah mendengar itu. Bilangnya, bisa-bisanya saudara
laki-laki kami itu mengungkapkan hal yang seperti itu saat masih masa
berkabung. Ia mulai menangis lagi.
Tapi
saudara laki-lakiku bergeming saja. Menurutnya, cepat atau lambat kami semua
akan (atau mesti) mengetahuinya. Meski rasanya seperti ada yang menyumbat
tenggorokanku, kupikir memang sebaiknya begitu, dan mengikhlaskannya supaya Ayah
lapang di kuburnya.
Aku
dan saudara laki-lakiku memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah perempuan itu,
sekadar memenuhi rasa penasaran kami. Perempuan itu tidak memberi tahu
alamatnya pada kesempatan bertemu yang lalu. Jadi kami melacaknya dari
saudara-saudara Ayah. Mereka sepertinya maklum bahwa hal yang selama ini
ditutupi itu akhirnya tersingkap juga.
Perempuan
itu tinggal di kota yang sama dengan kami. Rumahnya menyempil di pelosok
perkampungan padat. Rumah Enin—ibunya Ayah—juga berada di kawasan yang persis
seperti itu. Ayah pernah bercerita, sewaktu ia dan adiknya masih kecil, Enin
membawa anak-anaknya itu ke gelanggang dan mencari orang yang bisa membina
mereka menjadi atlet. Enin berharap anak-anaknya kelak mendapat santunan
pemerintah. Enin tidak akan sanggup membiayai sendiri hidup mereka.
Sewaktu
memasuki ruang tamunya yang mungil, namun cukup apik dan terawat, aku semakin
merasa memahami hubungan di antara Ayah dan perempuan itu—selain karena dulunya
mereka seprofesi. Apalagi ketika melihat fotonya terpajang di lemari yang
menyekat ruangan itu dengan ruangan di baliknya. Dalam foto yang sudah mulai
buram itu Ayah merangkul seorang gadis kecil dengan latar semacam danau—ada
perahu-perahu bebek di sisinya. Gadis kecil itu berseri dan sama sekali bukan
adik perempuan kami. Kapan foto itu diambil? Diam-diam aku menyenggol saudara
laki-lakiku dan memberikan isyarat. Ia mulai memandangi foto itu. Hanya satu
itu foto yang memuat ayah kami yang terlihat di ruangan itu.
Seorang
perempuan muda lalu datang dari dalam, membawakan minuman. Ia tidak mengarahkan
matanya pada kami, atau tidak mau. Ibunya yang sedari awal duduk di hadapan
kami menyentuhnya dan memberi tahunya agar ikut menemani “saudara-saudara”nya
di ruang tamu. Tapi ia berlalu saja dan tidak muncul lagi. Lalu aku menyadari
kalau ia gadis kecil dalam foto itu.
Perempuan
yang menua itu tidak secantik ibu kami, meski rautnya lembut dan meneduhkan. Mungkin
aku beranggapan begitu karena kelewat meninggikan Ibu. Atau karena Ibu yang
selama ini meninggikan dirinya sendiri? Perempuan itu bilang, ia dan Ayah
bercerai beberapa tahun setelah menikah, sewaktu gadis mereka masih balita. Ia
tidak menjelaskan penyebab perceraiannya, dan entah kenapa kami juga merasa
segan mengoreknya. (Baru lama setelahnya, sewaktu sedang berhubungan lagi
dengan mantan pacarku sewaktu SMA yang sudah bercerai, aku bisa memahami kalau
dua orang bisa bercerai karena apa saja.)
Beberapa tahun setelah perceraian itu, Ayah bertemu dengan Ibu, lalu keduanya
menikah. Ibu meminta Ayah untuk tidak pernah mengungkit masa lalunya. Ibu tidak
pernah mau menganggap keluarga kecil
Ayah yang sebelumnya. Sampai di situ aku mencoba menangkap kalau-kalau ada
emosi tertentu pada raut perempuan itu.
Ibu
mungkin tidak senang kalau Ayah mempertemukan kami dengan keluarga kecilnya
yang dulu. Tapi samar-samar aku merasa sepertinya gadis itu bukannya asing sama
sekali. Aku mungkin pernah bertemu dengannya di rumah Enin, sekali-dua. Aku
lupa yang dilakukannya. Sepertinya ia menempel terus pada Enin. Ia sangat
pemalu. Tidak mau diajak berkumpul bersama. Aku kira ia anak tetangga atau
keponakan Ayah. Mungkin ia sempat memanggil “Ayah” pada Ayah. Aku membiarkannya
karena pada waktu itu kupikir ayahku sangat baik sehingga wajar kalau semua
anak ingin memanggilnya begitu. Mungkin adik perempuanku yang agak tidak senang
ada anak lain yang mengakui ayahnya. Tapi pada waktu itu kami sama-sama masih
kecil. Dengan cepat persoalan itu terlupakan.
Pulang
dari rumah perempuan itu, rumah yang kutinggali sampai aku lulus dari SMA jadi
terasa sangat lapang, dan aku terus memenungkannya sampai beberapa lama.
Kalau
kuingat-ingat cekcok di antara kedua orangtuaku yang kadang-kadang terjadi, dan
semakin intens saja menjelang aku pergi jauh untuk kuliah, persoalannya
barangkali memang bukan sekadar soal nilai-nilai raporku yang jelek, atau
apa-apa yang dilakukan kedua saudaraku yang lain. Tapi lebih daripada itu,
apapun itu.
Di
sela-sela kesibukan dalam pekerjaannya yang sering kali membuatnya tidak pulang
sampai lama, Ayah selalu menyempatkan diri untuk menelepon kami, anak-anaknya,
satu per satu, dan barangkali anaknya yang satu itu juga… meskipun perempuan
itu katanya tidak bisa berbicara dengan lancar karena pendengarannya yang
terbatas sejak lahir. Tapi lidahnya jadi sangat peka. Sewaktu masih di rumah
itu tadi, ibunya bilang, hampir semua makanan di rumah itu dibuat sendiri
olehnya, atau mungkin aku seharusnya menyebutnya, “Kakak”.
Aku
mencoba membayangkan sekiranya aku dan kedua saudaraku mengetahui hal ini dari
awal. Apakah kami akan akur dengan “kakak” kami itu? Meski berbeda ibu, tapi
toh kami sedarah. Apakah kami akan bermain bersama sewaktu kecil, saling
menanyakan kabar sewaktu besar?
Aku
dan saudara laki-lakiku itu sama sekali tidak menyinggung pertemuan kami dengan
keluarga lama Ayah pada Ibu. Ada perasaan enggan, atau lebih tepatnya, sungkan.
Ibu lebih banyak menyendiri selama masa berkabung.
Lalu
aku kembali ke kota tempat kampusku berada dan semakin jarang pulang.
Sesekali,
ketika mengontak saudara laki-lakiku, aku bertanya apakah ia masih mengunjungi
perempuan itu dan “kakak” kami. Tapi rupanya ia sudah tidak acuh, di samping
kesibukannya kuliah, jalan-jalan, dan entah apa lagi. Memang di antara kami
bertiga, ia yang paling tidak dekat dengan Ayah dan Ibu. Sulit mengharapkan
perhatiannya pada urusan keluarga dan semacamnya. Soal itu pun semakin jarang
tercetus di antara kami. Apalagi dengan adik perempuanku, yang sepertinya lebih
suka tidak menganggapnya, seperti ibu kami.
Baru
beberapa belas tahun setelahnya, ketika aku kembali tinggal bersama Ibu, aku
menanyakan soal itu padanya. Ia tidak langsung menjawab, diam sebentar sebelum
menyatakan pikirannya dengan balik bertanya, buat apa membicarakan soal itu
sekarang? Ayah sudah lama tiada. Ibu dan perempuan itu sama sekali tidak pernah
berurusan.
Tapi
keberadaan “kakak”ku masih mengiang dalam kepalaku.
Aku
mencoba mencarinya lagi, bertanya sekalian bersilaturahmi pada saudara-saudara
Ayah yang tersisa. Mereka semua masih mengenalnya, bahkan ada yang masih
menjalin hubungan dengannya. Mereka justru heran dengan kedatanganku sebab aku
satu-satunya dari keluarga “kedua” ayahku yang masih ingat untuk mengunjungi
mereka setelah begitu lamanya. Aku beralasan kalau kini saudara laki-lakiku
tinggal di luar negeri, adik perempuanku sibuk mengurus keluarganya, sedangkan
ibuku sudah tidak kuat bepergian jauh (meski kenyataannya ia memang seorang ratu
yang lebih senang berdiam dalam istananya).
Lalu,
pastinya, aku berangkat ke rumah “kakak”ku itu. Taraf hidupnya tidak banyak
meningkat sejak terakhir kali kami bertemu. Mobil yang kubawa jelas tidak bisa
diparkir tepat di dekat rumahnya. Aku mesti bertanya beberapa kali pada orang
di jalan sebelum akhirnya sampai di tujuanku.
Ia
sudah berkeluarga. Aku sempat bertemu dengan suaminya. Lelaki itu berjalan menggunakan
tongkat dan bekerja di sebuah panti di daerah itu. Sesaat kupikir mereka pasangan
yang saling melengkapi. Mereka punya dua anak yang sama-sama sudah lulus dari
sekolah menengah. Yang satu menjadi atlet, yang lainnya bekerja di pabrik.
Aku
merasa ia agak menjaga diri. Aku mesti banyak-banyak berbasa-basi. Misalnya
saja, dengan menyinggung kemampuannya memasak, menebak-nebak kalau sederet
toples berisi kudapan di meja itu bikinannya semua, dan mencicipinya dengan
nikmat.
Aku
hanya ingin membuatnya senang dengan kehadiranku, keberadaanku, sebagai anak
lainnya yang barangkali telah banyak menyita perhatian ayahnya, lebih
banyak daripada yang diberikan untuknya.
Bagaimanapun
juga, rasa masakannya memang selezat rasa masakan Enin, dan seperti Enin, ia
menyambung hidup keluarganya dengan memasak untuk orang lain.
Aku
mengamati juga penampilannya, mencari-cari jejak Ayah pada dirinya.
Aku
seperti sedang berusaha untuk membuktikan bahwa ikatan darah itu memang nyata.
Mungkin saudara laki-lakiku terlalu cuek, sementara adik perempuanku terlalu
sensitif untuk hal seperti itu. Tapi aku harus.
Aku
mengunjungi perempuan itu sampai beberapa kali lagi. Sedikit demi sedikit aku
mengerti bahasa yang digunakannya. Mengingat bahasa yang sama digunakannya juga
untuk suaminya, aku merasa komunikasi di antara mereka pastinya sangat mendalam,
lebih mendalam daripada yang bisa diperbuat kebanyakan orang yang segala
indranya terbuka tapi sering kali tidak menyadari nikmatnya. Sedikit demi
sedikit juga, ingatan kami terbuka. Bahkan sewaktu baru mengetahui kenyataan
bahwa Ayah sudah pernah berkeluarga sebelum dengan Ibu, aku, dan kedua
saudaraku, aku tidak merasa dikhianati. Tidak sama sekali. Meskipun Ayah tidak
menyatakannya demi menjaga perasaan Ibu, tapi aku dan kakakku itu tahu sama tahu bahwa kami pernah
dipertemukan bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali, kapanpun ada
kesempatan, dalam setiap acara-acara keluarga besar Ayah (yang tidak pernah
disertai oleh Ibu). Biarpun kami tidak saling mendekat karena malu-malu, atau
karena jarak apapun yang ditanamkan ibu kami masing-masing dalam pikiran kami
sedari kecil.
Lalu
ibuku meninggal. Aku kembali pergi dari kota itu.
Pertama
kali aku bertemu dengan Jasmine saat aku sedang menemani seorang anak yang
sudah seperti kerabatku sendiri menjenguk kakeknya di panti jompo di luar
negara bagian. Bibinya Jasmine bekerja di sana, dan sepulang sekolah anak itu
sering datang, memainkan piano di ruang bersama dan disenangi para orang tua.
Begitu
juga yang ingin kulakukan pada Jasmine: mencari-cari jejakku padanya, mulai
dari matanya, dagunya, sampai ikal rambutnya. Orang-orang bilang kami berdua
sangat mirip. Dan meski mereka menambahkan kalau ia bisu, tapi pendengarannya
bagus sekali—ia toh pintar main piano—jadi kurasa ia cuma sedang tidak ingin
bicara… setidaknya ia bisa memanggilku, “Ay… ah….” Aku berjanji akan mengenalkan
lebih banyak kata dalam bahasa orangtuaku kepadanya nanti.
Lagipula
keterhubungan yang kurasakan padanya lebih daripada itu. Juga lebih daripada
dokumen dari institusi yang menyatakan anak itu berasal dari spermaku, yang
dipilih seorang perempuan yang tidak akan pernah bisa kuajak bercengkerama
sampai kapanpun—kecuali mungkin nanti, saat kami sudah berada di alam yang
sama.
Madie
sangat senang mengetahui soal Jasmine—meskipun aku bisa melihat ia berusaha
menyembunyikannya—sebab sarannya supaya aku menyumbangkan spermaku akhirnya
membuahkan hasil. Sejujurnya, aku heran kenapa bukan ia sendiri yang membiarkan
rahimnya untuk menampung dan membesarkan benihku. Tapi ia selalu bersikeras
tidak ingin punya anak—jangankan pernikahan. Jadi aku diam saja. Ia sudah
seperti kakakku dan banyak membantuku sejak masa awal kedewasaanku di negeri
yang asing bagiku dan juga jauh dari keluarga. Aku menghormatinya apapun
pandangan dan pendapatnya.
Aku
tidak pernah tertarik melacak anak biologisku dari sesuatu semacam bank sperma
itu. Tapi sepertinya pertemuanku dengan Jasmine memang sudah takdir. Tidak ada
yang kusesali. Dan ibunya memberinya nama itu, Jasmine. Aku merasa perempuan
itu memang diam-diam sangat mengenalku.
Dan,
biarpun pada suatu waktu Esmé tidak mau mengakui dirinya mengandung bayi siapa,
serta ingin melahirkan dan membesarkan anak itu sendirian saja, dalam
kegelisahanku aku tahu. Saat itu aku sedang melanjutkan studi di negaranya dan
ia ikut tinggal di kamar sewaanku yang sempit dan panas, supaya sewaktu-waktu
kami bisa menyatu, menggeliat dan basah seperti cacing tanah dirajam matahari. Awalnya
aku sama sekali tidak mau tahu. Apalagi karena reputasi Esmé di kalangan
teman-temanku. Bisa saja itu hasil perbuatan salah satu dari mereka. Tapi lama
kelamaan, sambil berulang-ulang mengenang setiap ucapan dan gelagat Esmé padaku
selama kebersamaan kami yang singkat itu, setiap kali aku mengunjunginya dan
mendapati Étienne yang terus bertumbuh, dalam keharuanku aku tahu. Aku tahu.
Aku hanya berharap saat aku meninggal nanti, mereka akan datang, dan Esmé akan
menyampaikannya pada Étienne.[]
credit
to “Me and My Arrow” – Harry Nilsson
Tidak ada komentar:
Posting Komentar