Sudah lewat tengah
malam saat ia pulang. Ia memutuskan mobilnya ditaruh di carport saja, tidak usah dimasukkan ke dalam garasi. Sekali ia
memencet bel di balik pagar, naik ke teras, bersandar pada dinding, nyaris
tertidur sambil mendongak, sebelum terkesiap menyadari bahwa tidak seorangpun
membukakan pintu. Ia kembali ke dekat pagar, memencet bel berkali-kali, dan
mempertimbangkan untuk tidur di jok mobil ketika pintu depan akhirnya dibuka
pembantunya. Ia memaksakan senyum saat melewati wanita yang sudah hampir
sesepuh ibunya itu, tapi diucapkannya juga, “Makasih, Bik.” Kekesalannya
dengan segera teralihkan pada kaki-kakinya, yang tidak mampu membawanya
lebih cepat ke kamar walau akhirnya sampai juga. Serta-merta ia ambruk ke kasur.
Mungkin gara-gara Côtes du Rhône di jamuan tadi… ya… pasti… apalagi?
…sebagian, tapi… ia memang mengantuk… tadi cuma seicip-dua icip lah… masak? …bukannya
ada Bombay juga tadi? …terus…. Kepalanya dibenamkan semakin dalam ke bantal.
Tapi napasnya lalu sesak. Maka ia mengalihkan mukanya. Pikirkan sebuah akor,
pikirnya, sambil tersengal karena mendadak kata itu terasa begitu lucu. Akor. A-kor. Aa-koor. Kor. Kor. Kor kor kor
kooorrr… petok petok tok tok….
Malah diraupnya guling, dipeluknya erat, dibelainya puncaknya seakan benda
itu berambut, dan dikecupnya pula seakan di situ ada mulut, pipi, dahi, lalu
dipejamkannya mata dan dirasakannya damai sejenak hingga dalam kepalanya
muncul hutan belantara.
Seekor kelinci melintas, melompat-lompat serupa tarian,
sambil menebarkan bunga ke segala penjuru, tanpa menyadari seekor serigala
mengintip dari balik pohon…. Tapi kelinci itu tidak tahu! Setiap pijakan
kakinya yang empuk pada lantai bumi yang diselimuti serasah menimbulkan
dentang-denting yang syahdu sekalian jenaka, dan ia, yang membayangkan makhluk
lucu itu di dalam kepalanya, tidak sabar menjelmakan bebunyian alamiah nan
imajiner yang didengarnya ke dalam bentuk yang dipahaminya. Namun ia hanya
menggerak-gerakkan jemarinya pada kasur, seakan merupakan langkah-langkah si
kelinci yang lugu, yang tidak awas akan bahaya yang mengintainya dari belakang….
Ia membayangkan akan memperdengarkannya pada seseorang. Ia akan meminta
gadis itu mendengarkannya sambil memejamkan mata, dan menceritakan gambaran
yang hadir di dalam benaknya, yang ternyata persis sama! Gadis itu juga
melihat kelinci yang melompat-lompat dengan riangnya di dalam hutan yang
lebat tanpa menyadari adanya serigala yang mengincar di balik pohon di
belakangnya. Lalu serigala itu memintas jalan menuju rumah yang dituju kelinci
itu. Ia memakan nenek si kelinci yang sedang sakit yang tadinya hendak
dijenguk, dan menggantikan betina tua itu di kasur dengan menyamar….
Lambat laun bayangan itu menghitam, digantikan wujud seorang
lelaki yang menendang perahu supaya terbang lalu terbalik menjadi gunung tapi
benda itu bergeming saja sementara ia malah mengaduh-aduh kesakitan sambil
memegangi kakinya… lalu ada seorang ibu-ibu yang mengutuk anaknya yang durhaka
menjadi batu—akik—agar bisa dipotong-potong, diasah, dan dijual demi
kesejahteraan hari tua… lalu muncul masing-masing sebutir bawang merah dan
bawang putih dengan mata dan mulut yang menjerit-jerit histeris sebelum dicincang
secara brutal oleh pisau besar yang datang entah dari mana… lalu dari terminal
kedatangan yang menyerupai bangunan keong emas di Taman Mini Indonesia Indah
ia keluar sambil memanggul tas, dan di seberang jalan ada gadis yang seakan
sudah menunggu-nunggu kehadirannya, menyambutnya dengan menyanyikan lagu
lawas berjudul “Kau Datang” yang dibawakan salah seorang juri Akademi
Fantasi Indosiar[1]
beserta kawan-kawannya tempo dulu… kau
datang… demi kebahagiaanku… yang kucari… hoo… dan mereka pun bergandengan
tangan menjauhi tempat itu….
Ia membuka mata seraya tersadar bahwa ia sedang tersenyum dan
ada azan yang kesepian di luar sana. Azan yang sendirian saja
melesat-tembus-usiki malam, tanpa kawan bersahut-sahutan sebagaimana pada lima
waktu lainnya seakan sedang berlomba mengeroyok langit dan segala yang
dinaunginya. Azan yang membangkitkan nyeri di sekujur kepala, merayapkan
gerah ke sekujur tubuh sehingga ia membukai pakaiannya selain celana dalam,
dan ia tidak ingat apakah memang ia yang mematikan lampu kamar sebelum
serangkaian ilham acak tadi, dan apakah sewaktu memasuki kamar semalam ia
memang sempat menyalakan lampu. Kembali ia ambruk di kasur dalam harap akan
terpejam lagi. Tapi tidak.
Hingga azan yang ramai menyerbu malam separuh purnama,
sekalian menyelipkan ke dalam benaknya perkataan ibunya belum lama itu:
“Laki-laki itu salatnya di masjid.”
Ia menyiram tubuhnya di
pancuran sekaligus menggosok giginya dengan tergesa-gesa, mengenakan baju
koko yang pertama dilihatnya di lemari sambil menyempatkan sebelah tangan
mencomot tabung apapun di meja dan menyemprotkannya ke ketiak, leher, dada,
dan memasukkan kaki ke celana jin yang semalam, menyampirkan sajadah ke bahu,
dan keluar dari rumah.
Sembari berjalan disadarinya kalau mandi air dingin pada pagi
buta membuat udara terasa semakin menggigit, dan baju yang dikenakannya
ternyata berlengan pendek. Ia hendak melilitkan sajadahnya yang tipis itu di
lehernya serupa syal, tapi batal begitu seorang lelaki tua yang juga hendak
menuju masjid melewatinya. Ia mempercepat lajunya seperti lelaki itu.
Sesampainya di masjid, jemaah sudah rukuk. Buru-buru ia
menggelar sajadah dan mengikuti, dan setelah tahiyatul akhir lupa mengganti
Al-Fatihah yang terlewat. Setelah bersalaman dengan baik yang dikenalnya
maupun tidak, ia mengamati orang-orang yang berzikir atau menunaikan salat
entah apa. Maka ia memanfaatkan setiap denyut yang kembali mencubiti
kepalanya sebagai pengganti biji tasbih. Saat pengurus masjid mengumumkan
khatib subuh hari itu, ia menyadari bahwa memang sudah terlambat untuk
angkat kaki. Maka sembari menyangga kepalanya yang terasa semakin berat dengan
kedua tangan agar tidak jatuh, petuah demi petuah untuk memuliakan ibu yang
telah sepuh mendekam di dalam benaknya. Merah tembaga yang mewarnai bajunya
pun ambyar di matanya.
Di luar gelap telah
memudar saat jemaah mengenakan alas kaki masing-masing. Mereka berjalan
berdua-dua atau bertiga-tiga menjauhi masjid, namun ada pula yang sendiri,
termasuk dirinya. Hangat yang merangkulnya di masjid tadi telah lalu bersama
orang-orang berpeci dan bersarung, digantikan oleh dorongan untuk meraba-raba
kantung celana jin hingga ditemukannya sebungkus A Mild dan pemantik.
Dengan khidmat diisapnya dan diembusnya panas yang
meliak-liuk memutihkan udara bersama petuah sang khatib melayang-layang ke
langit biru muda, yang ditatapnya sembari membatin, Ibu, karena dirimu mulia, aku ingin jadi orang pertama yang melihatmu
tiada….
Karena itu aku pulang.
Sepulangnya di rumah,
ibunya tengah menyeduh teh di pantri.
“Lho, udah bangun?” suara ibunya yang lebih dari sekadar
teguran saat melihatnya masuk.
“Udah,” sahutnya seraya mendekat dan mengecup pipi wanita
itu. “Selamat pagi, Ibu,” sambil tangannya menggamit cuping cangkir dan
menelan isinya berteguk-teguk, meresapi sensasi rempah yang memadamkan
gelora mual yang tadi hampir mencapai mulutnya. “Teh buatan Ibu emang paling
enak.”
Tersungging di bibir ibunya lebih dari sekadar senyuman.[]
buat om-om di Jalan Kliningan yang habis dari subuh di masjid
credit to: Claude Bolling & Jean-Pierre Rampal – “Baroque
and Blue”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar