Jarang-jarang
Didin mampir ke mimpiku. Dalam mimpi itu, aku beserta beberapa cowok naik mobil
ke lokasi SD-ku, menjemputnya. Kami semua
berwujud mahasiswa—kalau bukan sedikit lebih dewasa—tapi mengenakan
seragam batik SD-ku—semacam kaligrafi kotak-kotak putih berlatar merah yang
disisipi nama yayasan. Potongan rambut Didin yang ikal agak panjang itu tidak
seperti biasanya yang kuingat, mungkin karena ada jambul yang menutupi dahinya
yang lapang. Ia terlihat seperti hipster
jadinya, padahal jauh dari itu. Ia tipe cowok yang ke kampus mengenakan celana
abu-abu seragam SMA atau celana kain ngatung
semacamnya sementara bagian atasnya bisa apa saja, mukanya cerah dan bersih sekali,
dan berjenggot tipis. Supaya bayangan kalian persis dengan ingatanku—sebab aku
tidak ingin kalian mengaburkannya dengan sosok lain yang tidak kukenal sama
sekali—bayangkanlah Nicolas Saputra yang kedua belah pipinya ditarik ke
samping; cara bicara maupun tertawanya seperti Squidward. Namun dalam mimpi itu
aku menyadari kalau suara Didin seperti suara Squidward yang sudah kakek-kakek,
yang entah kenapa seketika membuatku merasa ingin jadi nenek-nenek. Lalu entah
kenapa pula ia yang mula-mula duduk di sampingku, di jok pengemudi, pindah ke
jok tengah sekalian dengan setirnya. Maka semua cowok duduk di jok tengah dan
belakang. Aku menoleh ke belakang dan memelas. Lalu salah seorang cowok pindah
ke jok pengemudi, tapi aku lupa mukanya. Didin mengemudi dari jok tengah dan
hampir menyerempet kendaraan lain (karena ini mimpi jadi kita tidak perlu
mempersoalkannya).
Lalu aku terbangun dengan kesadaran bahwa bukan cuma Didin
yang hilang, tapi juga waktu subuh. Aku menyeret tubuh ke lantai bawah,
mengudap bolu yang kubuat sendiri dengan penuh citarasa (setiap potongannya
menampilkan kadar pandan dan moka yang berbeda-beda), kembali ke kamar,
dan—seperti yang kebanyakan generasi milenal lakukan begitu bangun—mengaktifkan
internet pada ponsel, lalu termangu di balik meja. Mengenang-ngenang dirinya
dalam mimpi tadi sekalian pada masa kuliah. Kami sering menghadiri kelas yang
sama, mengikuti organisasi yang sama, dan sebagainya, tapi romansa yang sesungguhnya
mulai terjadi saat kami praktikum di hutan mangrove
pada tahun keempat. Di tempat itu bersama-sama kami melangkah ringan di
lumpur tepi laut—aku berkat kebiasaanku jalan kaki sementara ia berkat
pengalamannya di pedalaman Papua dan entah mana lagi. Sehabis menyeret adik
kelas kami (yang bobotnya memang agak berlebih) keluar dari jeratan lumpur dengan
semacam papan, kami kembali ke rumah penduduk tempat para mahasiswa menaruh
tas. Tapi tasku ditaruh di rumah penduduk yang lain, yang letaknya agak jauh.
Aku meminta dirinya yang sudah mandi dan berganti pakaian untuk menemaniku ke
sana karena aku tidak hafal jalannya. Maka, dalam naungan hujan yang merintik
lembut sore-sore, kami berjalan berdua ke rumah tersebut sambil mengobrol
sedikit-sedikit. Tidak hanya mengambil tas, di rumah itu aku juga mempraktikkan
isi pantun yang pastinya kita semua sudah tahu: Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Maka,
sementara ia menungguiku sambil mengobrol dengan empunya rumah, aku diarahkan
menuju dapur. Semua pintu di ruangan yang cukup luas itu dikunci. Aku
berjongkok di dekat keran, di permukaan tanah persegi panjang yang dibikin
lebih turun daripada sekitarnya, menggosok tubuhku dengan air dan sabun sambil
memandangi perabotan dan mengawasi kalau-kalau ada celah untuk mengintip.
Sehabis aku mandi, kami duduk-duduk di teras rumah itu sambil memandangi
gerimis dan mencandai anaknya empunya rumah yang masih kecil, dan sesekali
melambai pada teman-teman kami yang baru pulang dari lapangan dengan berjalan kaki
atau menumpang mobil bak. Tahu apa yang kubayangkan seketika itu juga? Tinggal di
pedesaan bersamanya, beranak-cucu, dan tiap petang duduk-duduk di teras mendadahi
para tetangga yang baru pulang melaut…. Khayalan apa yang lebih indah daripada
itu?
Dan berbulan-bulan setelahnya, sewaktu kami tinggal di
pelosok selama berminggu-minggu untuk praktikum… saat hendak mengunjungi lokasi
praktikum dengan bis, kami sama-sama duduk sendirian, ia di bangku tepat di
depanku, dan dalam obrolan kami yang lirih dan sepotong-sepotong itu, ia
menanyakan rencana masa depanku, yang kujawab dengan ragu-ragu, dan tanggapannya:
Kalau kamu enggak yakin sama diri kamu
sendiri, gimana aku bisa yakin sama kamu?, sementara speaker kendaraan itu memperdengarkan “Biru” dari Dian PP featuring Syaharani… lalu pada
penghujung masa praktikum kami mengadakan outbond
untuk anak-anak setempat, dan pada akhir acara ia mengomandoi mereka untuk menyerbuku
dan mencoreng mukaku dengan sekantong arang yang dibawanya…. Perhatian apa yang
lebih indah daripada itu?
Ia aktif dalam kelompok pemerhati burung, suka mengadakan
penelitian tentang burung, mengikuti acara-acara pengamatan burung, dan
skripsinya pun tentang burung-burung penebar salju busuk di wilayah kampus
kami. Ada film komedi romantis berjudul Decoy
Bride, yang kusuka karena heroinnya biarpun cantik bersahaja tapi pecundang
sementara tokoh prianya tidak ganteng amat dan agak goblok. Tokoh prianya itu
menulis novel berjudul The Ornithologist’
Wife. Setiap menonton film itu aku merasa takdir lamat-lamat menghampiriku
bahwa suatu saat aku akan menjadi istri sang ilmuwan burung.
Sekarang, aku tidak tahu bagaimana keadaannya, pun kapan ia
lulus, apa ia benar-benar akan menjadi ilmuwan burung, apa ia masih saleh, apa
ia semakin sering mengenakan celana jin sejak pertama dan terakhir kali aku
melihatnya begitu, apa ia sudah menemukan perempuan yang layak bersanding
dengan dirinya, dan seterusnya, dan tidak juga ada keinginan untuk berusaha
mencarinya dan menghubunginya sekadar untuk menanyakan sesuatu yang belum tentu
ia rasakan padaku.
Tapi, setidaknya, ia sudah terbiasa dengan muka dan tingkahku
akibat pertemuan hampir tiap hari selama bertahun-tahun. Tidak seperti cowok-cowok
yang baru kukenal dari internet itu. Yang satu, setelah kebersamaan kami selama
dua jam dalam ruangan remang-remang, bukannya mengajakku bersantap atau sekadar
mencari tempat duduk mengobrol panjang-lebar tentang masa depan, begitu keluar
dari bioskop ia nyaris tidak menengokku lagi. Ia hanya mengantarku sampai
tempat menyetop angkot dan begitu tiba di rumah aku susah mengingat mukanya dan
tidak pernah ada pertemuan yang kedua. Yang satu lagi, setelah aku memberinya
tautan ke cerpen Ramona Ausubel tentang cyclops
yang sedang mencari cinta lewat situs kencan daring, juga tidak pernah
menghubungiku lagi. Mungkin ia pikir aku ini sejenis cyclops betina yang menyamar sebagai perempuan pemalu (meskipun ia
bilang ekspresiku di foto itu seperti orang yang sedang mengejan). Keduanya
sama-sama bekerja di bidang IT, berpostur agak gemuk, tidak berkumis, dan,
setelah kuceritakan tentang kehidupanku secara sepintas-sepintas, sama-sama
menasihatiku agar aku yakin dan fokus saja mengerjakan bidang yang benar-benar
kusenangi. Yang satu bilang ia tidak senang menilai orang dan tidak tahu juga
caranya menilai diri sendiri; yang lainnya bilang ia hanya senang bermain game. Tahu apa mereka soal kesenangan?
Tahukah mereka bahwa kesenangan lama-lama bisa berubah jadi kehampaan?
Setelah mengecek ponselku sekali lagi dan mendapati masih
tidak ada pesan yang masuk, aku bertemu kucingku dalam perjalanan ke lantai
bawah dan mengajaknya menemaniku mengecek tanaman di halaman. Begitu sampai di
halaman dan melihat Meng Kecil, ia teralihkan dan mengejar-ngejar kucing betina
yang masih cilik itu. Ia pejantan yang mulai doyan buang air sembarangan.
Sambil melirik mereka sesekali, aku menyirami tanaman-tanamanku mulai dari yang
letaknya paling kanan: jeruk yang kecambahnya baru kupindahkan ke wadah baru;
bawang daun yang terus tumbuh biarpun sudah pernah dipotong sebelumnya;
seledri, kangkung, bayam, dan cabai yang sebagiannya tumbuh baik-baik saja;
sawi yang semainya sudah muncul; ketumbar yang tidak kunjung tampak pucuknya;
kailan yang semakin besar; bawang merah yang entahkah bakal tumbuh lagi; kacang
merah yang sepertinya membusuk dalam tanah; dan… seledri lagi….
Semai-semai seledri yang letaknya di ujung lain halaman itu
kutempatkan dalam keranjang-keranjang kecil yang sebelumnya merupakan wadah
ikan. Bijinya mula-mula kutumbuhkan dengan menggunakan media kapas yang
dibasahi. Sebagian besar di antaranya lalu berkecambah dan kupindahkan ke media
tanah yang dicampur dengan sekam dan pupuk. Dari empat keranjang yang
masing-masingnya diisi dengan dua kecambah, tinggal tiga semai yang masih
berdiri. Lainnya tampak terkulai atau mulai terkubur oleh tanah. Aku memandangi
mereka seakan tidak ada lagi yang bisa kuperbuat. Aku pernah mencoba menegakkan
sebagian yang tampaknya masih punya harapan hidup, beberapa hari lalu. Tapi
sepertinya dalam beberapa hari ini aku kembali berbuat kesalahan yang sama. Belakangan
ini aku kurang perhatian pada tanamanku.
Karena tidak punya alat penyemprot khusus, aku menggunakan
botol air mineral yang tutupnya dilubangi. Biarpun begitu, cara kerjanya tidak
sama sehingga cara mengeluarkan airnya pun tetap harus hati-hati. Air dari
botol tersebut dapat melewati lubang-lubang pada tutup dengan mudahnya, dalam
bulir-bulir berukuran lumayan besar untuk semai yang masih mungil. Maka
seharusnya aku menuangkannya dengan berhati-hati, sambil berjongkok dan
bergeser sedikit-sedikit, dan memiringkan botol itu dengan kemiringan tertentu
sehingga airnya keluar perlahan-lahan, dengan lembutnya membasahi permukaan
daun atau tanah, bukannya malah menumbangkan.
Belajar menumbuhkan biji membuatku merasa bahwa tanaman itu
juga dapat merasa. Kalau kita perhatian pada mereka, menyirami mereka dengan
penuh kasih, menambah pupuk apabila perlu, menyingkirkan hewan atau tumbuhan
yang menganggu, bahkan mengajak bercakap dengan kalimat-kalimat yang baik dan
mengelusi daun-daun mereka, mereka pun akan tumbuh bagus. Sebaliknya, kalau
kita memperlakukan mereka secara asal-asalan, menyirami mereka dengan brutal,
tidak pernah memberi pupuk, membiarkan adanya hewan dan tumbuhan pengganggu,
dan memaki-maki mereka, mereka pun akan segan tumbuh.
Aku kembali ke kamarku, mengecek ponsel, mengambil pulpen dan
kertas, lalu menulis pernyataan akan betapa menyesalnya diriku karena telah
menyia-nyiakan kehidupan, meskipun aku tahu semai-semai loyo itu tidak akan
pernah dapat membacanya; dan betapa riangnya lidahku seandainya mereka dapat tumbuh
sampai besar tapi ternyata tidak. Sejujurnya aku sempat merasa heran: kalau aku
sayang pada tanamanku hingga merawatnya dengan setelaten mungkin, kenapa pada
akhirnya aku malah memakan mereka dan bukannya membiarkan mereka mati secara
alamiah saja? Tapi bukankah tujuanku menanam mereka memang untuk kebutuhan
perutku? Dengan berat, aku bergelung di kasur. Aku hampir saja terlelap lagi sekiranya
tidak mendengar ribut-ribut di lantai bawah, yang sebenarnya lazim terjadi tiap
pagi, tapi—satu lagi keheranan dalam hidup—aku tidak pernah benar-benar
terbiasa dengan itu hingga dapat menerimanya: adikku lelet padahal hendak
menghadiri acara penting sehingga mamaku yang panikan mau tidak mau
mengantarnya, adikku yang satu lagi tidak kunjung melepas gawainya sementara
papaku mulai meradang menyuruhnya membersihkan halaman.
Setelah keributan itu memudar, dan masih tidak ada pesan baru
di ponselku, aku kembali ke lantai bawah dan memilih kopi: kopi dengan mint, kopi putih padahal cokelat, kopi
krim yang banyak ampasnya, atau kopi saja dengan gula? Aku menyeduh yang
terakhir, kembali ke kamarku, dan setelah beberapa teguk, mengecek ponsel,
menonaktifkan internet yang sudah beberapa hari ini nyaris tidak ada gunanya, menyalakan
speaker, menyambung kabelnya dengan
ponsel, membuka playslist, dan
menyetel Piero Umiliani, dan sekali lagi terheran-heran kenapa suasana hatiku
mesti bergantung pada secangkir cairan hitam dan dua track gubahan komponis Italia; kenapa suasana hatiku mesti
bergantung pada produk-produk olahan manusia? Itukah maksudnya bahwa kita
sebagai manusia membutuhkan manusia lainnya sekalipun secara tidak langsung?
Bahkan mungkin kehadiran tetangga yang tidak pernah bersapaan dengan kita sama
sekali pun juga penting, sebab kalau mendadak mereka lenyap sehingga cuma kita
satu-satunya manusia yang tinggal di perumahan itu—bahkan di muka bumi—kita
bakal merinding akibat keheningan yang terlalu intens, disusul rasa tersayat
yang amat sangat dan berkali-kali lipat daripada biasanya di dalam diri.
Dalam rasa syukur atas indra pengecapan, pencernaan, dan
pendengaran yang masih berfungsi dengan baik, aku teringat bahwa semalam Mama
bilang pada Papa kalau pilus itu enak dimakan bareng mi… semangkuk mi instan
yang baru saja matang dan mengepul hangat…. Saat itu aku mendengarkannya dengan
keinginan mengatakan hal yang sama pada seseorang, kapan-kapan, dalam situasi
yang persis. Setelahnya, aku memimpikan Didin dalam tidurku….[]
To:
My late celery seeds, I’m so sorry I could cry :((
Tidak ada komentar:
Posting Komentar