Malam itu begitu gerah. Aku terseok-seok keluar dari kamar,
melewati ruang kerja istriku yang pintunya terbuka. Sekilas kulihat ia cuma
mengenakan kutang dan rok. Rambutnya awut-awutan menutupi separuh muka,
sesekali disibakkan sebelah tangannya, sementara tangan yang satu lagi mengibaskan
lipatan koran berkali-kali.
“Panas?”
“Panas.”
“Jadi kamu sudah panas. Mari
kita bercinta, ha-ha.”
“Ha-ha. Kita akan bercinta
dengan panas.”
“Ya, dengan api gairah yang
menyala-nyala sampai ranjang kita kebakaran.”
“Diamlah. Kamu bikin aku
makin kepanasan.”
Aku pun berlalu dan
ikut-ikutan melepas pakaianku hingga yang tersisa cuma kolor, lalu rebah di
sofa.
“Kubilang juga apa, berhenti
nonton yang cabul-cabul. Jadinya neraka dipindah kemari.”
“Harusnya aku yang ngomong
gitu,” sahutnya malas.
Aku tertawa kecil, namun
energi yang terbakar untuk berbuat itu saja terasa melipatgandakan butiran
keringatku.
“Malam ini enggak ada
nyamuk,” katanya lagi.
“Enggak ada?”
“Enggak ngerasa?”
“Enggak. Mungkin mereka pada
kepeleset keringatku.”
“Kupikir mereka lagi
berendam di… di mana saja yang ada airnya.”
“Air yang dingin, ya.”
“Dingin, seperti agar-agar
transparan.”
“Brrr….” Kubayangkan
menembus agar-agar transparan itu, menyeruaknya dengan kedua lenganku, lalu
kedua kakiku berkecipak-kecipuk memecah-belahnya, namun agar-agar itu menyatu
lagi di belakangku, memadat, bergoyang-goyang akibat gerakan badanku yang
menjauh, dan terus kuterobos permukaan lembut itu, sejuknya menerpa sekujur
tubuhku, membungkusku…. Kudapati diriku terkapar di lantai, entah kapan aku
berguling dari sofa yang kini di samping atasku. Semakin kulekatkan kulit
pada ubin keramik tanpa mau mengingat apalagi bertanya pada si dia sudahkah
menyapu-mengepel hari ini—eh, minggu ini?
“Sayang,” dia berbunyi lagi,
“coba cek keluar. Jangan-jangan ada yang lagi bakar rumah kita.”
“Mmm…?” Mataku terbuka tanpa
kumau. “Kalau mau ngebayangin yang enggak-enggak di kertas aja. Jangan
mengada-ada, ah.”
“Hei. Siapa tahu, ada yang
dendam sama kamu.”
Aku mendesah.
“Kadang kenyataan itu
malahan enggak terjangkau imajinasi,” lanjutnya.
“Kau sajalah yang cek,” aku
tak ingin ditarik dari imajinasi agar-agar beningku, dan cewek-cewek muda
yang tak kalah beningnya yang menantiku di tepi kolam.
“Enggak bisa. Saking panas
pantatku sampai meleleh dan melekat di kursi.”
“Hah!” Aku bangkit seketika.
Tak dinyana, lumayan, gerakanku itu memberiku sedikit angin. Kupakai celana
pendekku lalu membuka pintu depan, dan terpana. “Woi, istriku,” panggilku
seperti dalam film-film Cina lama. “Sini deh.”
“Pantatku….”
“Halah! Sini! Lama-lama di
sana pantatmu meleleh betulan.”
Ia menggumam sebal. Tak lama
kemudian ia mampir di sisiku. Selembar kain menutupi bagian atas tubuhnya. Ia
bergeming saja. Sekilas kulihat ia pun tampak terpana.
Entah berapa lama kami
tertegun saja di ambang pintu. Lalu, dimulai olehku, kami duduk-duduk di kursi
plastik di teras.
“Tadi sempat kupikir memang
ada kebakaran. Kelihatannya mereka seperti titik-titik api menyerang rumah
kita,” istriku ambil suara.
“Sebetulnya, di sini agak
sejuk.”
“Iya.” Ia merapatkan kain di
depan tubuhnya.
Ketika hansip bersepeda
melintasi jalanan depan rumah, tegur-teguran tak terhindarkan, terutama
menyoal udara yang gerah. Biarpun hawa lembap tengah menguasai bumi,
selebihnya malam tenang. Biarpun pelit sedikit-sedikit udara kasih angin untuk
elus-elus kulit kami. Istriku nyaris ketiduran, maksudku, kepalanya nyaris
terantuk kaca jendela di belakangnya sementara matanya terpejam dan mulutnya separuh
menganga. Begitu kepalanya tegak lagi sementara matanya terbuka dan mulutnya
terkancing penuh, kukatakan, “Di balik kainmu masih ada kutangnya?”
“Masih.” Ia terdiam sebelum
menyambung, “Isinya juga masih lengkap. Tapi kalau tebakanku benar, aku enggak
mau balik ke kamar. Pengap.”
Serentak pandangan kami
terarah ke semak-semak di pojok halaman. Disorot sinar rembulan, dibikin
syahdu oleh pantat kunang-kunang yang seakan membentuk tanda panah ke arah
bawah; tampak mengundang bagaikan warung remang-remang yang dihiasi
kerlap-kerlip deretan lampu kecil bekas tujuh-belas-agustusan. Kuharap si
hansip tak lewat lagi. Biar cuma lelembut yang jadi saksi. Aku tak peduli. Istriku
mengernyit begitu aku melirik pada koordinat yang telah ditentukan. Ia menggeleng.
Aku mengangguk. Ia mendengus. Aku mengangguk. Ia merengut. Aku mengangguk. Ia
menghela napas.
Malam itu begitu gerah. Kami
belepotan tanah. Sembilan bulan kemudian kami menanam kendi di sana. Isinya
ari-arimu, Nak. Indah, bukan? Rembulan dan kunang-kunang menjadi saksi
penciptaanmu dulu, dan masih menjaga sebagian dari dirimu kini. Yah, mungkin
ulat bulu juga serta karena sehabis itu punggung Bapak gatal-gatal dan merah. Intinya,
Nak, sesungguhnya gerah itu membawa hikmah. Jadi, sekarang cepat tidur, ya, Nak,
jangan menangis terus…. Cup cup ah.
Yang begituan kamu ceritakan sama anak.
Ah, ibumu itu memang suka
begitu. Biar saja, ya, Nak, ya, umurmu kan baru setahun.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar