Lagi
membaca Tempo No. 22/XXXI/28 (atau 29?) Juli – 4 Agustus 2002, di halaman 20 menemukan kolom “ARSIP” dengan
kover Tempo tempo doeloe yang mengangkat kasus Arie Hanggara. Tak ingat
mula-mula tahu tentang Arie Hanggara dari mana, dulu pernah sempat menonton
filmnya di YouTube tapi tidak meneruskan, mungkin karena keburu meneteskan air
mata :’{ Film ini menampilkan Dedi Mizwar sebagai ayah Arie Hanggara, ketika
itu usianya mungkin baru sekitar 30-an tahun, sedang saya baru “mengenal”-nya (tidak
secara personal, hanya melalui televisi) setelah menjadi Pak Haji di Lorong
Waktu dan membintangi iklan obat sakit mag.
Klik gambar agar huruf terbaca jelas. |
Di Ipusnas ada dua “buku”
mengenai Arie Hanggara, tepatnya dua kumpulan
artikel Tempo (disusun oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, diterbitkan
oleh TEMPO Publishing), masing-masing berjudul Kisah Arie Hanggara dan
Kekerasan terhadap Anak dan Kisah Arie Hanggara yang Terkapar di Tangan
Machtino. Buku pertama terbit 2019 total 111 halaman, sedang buku kedua
2023 60 halaman. Setelah dicek, rupanya buku kedua hanya menerbitkan ulang
sebagian artikel yang ada di buku pertama. Sudah begitu, halaman yang terisi
dalam buku kedua itu cuma sampai nomor 40 dan selebihnya kosong.
Gambar screenshot dari Ipusnas. |
Tewas di Tangan Ayah
Kandung (17 November 1984)
Artikel ini menyampaikan
secara detail bagaimana Arie Hanggara didisiplinkan oleh orang tuanya, yaitu
ayah kandungnya, Machtino, dan ibu tirinya, Santi. Arie dihajar dengan tangan
dan gagang sapu, ditempeleng, diguyur air, diacung-acungi pisau. Kepalanya
dibenturkan ke tembok. Sampai akhirnya Arie meninggal dunia. Jasadnya yang
penuh memar dicurigai pihak rumah sakit, sehingga polisi dihubungi.
Kasus ini dilatari
permasalahan rumah tangga Machtino-Santi. Konon Santi yang galak sebab harus
membiayai Machtino yang mengganggur beserta ketiga anaknya. Machtino sendiri
katanya cukup sabar, penyayang dan pengalah.
Pemicu dihajarnya Arie sampai
tewas adalah karena ditemukannya uang yang cukup besar pada waktu itu (8000
atau 8500) dalam tas anak tersebut. Arie mengatakan bahwa uang itu dicurinya dari anak SMA
di yayasan tempatnya bersekolah. Namun, setelah pihak sekolah memeriksanya,
tidak ada yang mengaku kehilangan uang.
Ketika berita ini diturunkan,
Arie baru dimakamkan sekitar seminggu sebelumnya yaitu 9 November setelah pada
8 November dini hari diantarkan ke rumah sakit.
Yang Terkapar di Tangan
Machtino (24 November 1984)
Membayangkan beban ekonomi
keluarga Arie, saya berpikiran wajar kalau Santi menderita stres. Machtino pun
bukannya lelaki dengan penampilan dan kepribadian yang sama sekali buruk, ia
punya beberapa kualitas. Namun, kenyataannya, yang dipentingkan dari laki-laki terutama
adalah kemampuan untuk menghasilkan secara mapan. Laki-laki tidak bisa sekadar
menjadi bapak rumah tangga yang baik, tetapi mungkin stres dari mencari
kerja/tidak memberikan nafkah, apalagi dengan beberapa anak, dapat memengaruhi
caranya mendidik. Sama halnya dengan perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, apabila suaminya kurang berpenghasilan sementara ia pun belum dapat menunjang ekonominya sendiri, mungkin mengalami stres hingga melampiaskan kepada anak-anaknya (bahkan ada yang pernah sampai membunuh).
Membuka video-video tentang
Arie Hanggara di YouTube dan membacai komentar-komentarnya, ada yang
mengatakan bahwa ia menjadi “masokis” sebab sebagai anak tengah sebetulnya
sedang mencari perhatian orang tuanya. Orang tuanya sendiri “kreatif” dalam
menghukum Arie, bukan cuma secara fisik, melainkan juga psikis misalkan dengan
menulis kalimat yang sama berulang-ulang. Ada pula yang berkomentar bahwa
pemberitaan Arie Hanggara sempat efektif menyadarkan orang tua pada masa itu
agar tidak terlalu keras kepada anaknya. Walaupun pedih, ada hikmahnya. (Walaupun,
sekitar empat puluh tahun sejak kasus ini terjadi yaitu sekarang ini, masih ada
saja kasus penganiayaan/pembunuhan anak?)
Benarkah Kita Tidak Kejam?
(1 Desember 1984)
Kasus Arie Hanggara hanyalah
gunung es dari banyaknya kasus kejahatan orang tua kepada anak. Memang tidak
persis sama, tapi tak kalah keji. Ada anak-anak perempuan yang dicabuli ayah
kandungnya sendiri—apalagi ayah tiri—sampai hamil. Ada anak-anak lelaki yang
mencari perhatian, tapi malah dihukum dengan kekerasan fisik sehingga lari dan menjadi
pencuri untuk bertahan hidup sampai menjadi tahanan. Ada pula yang setelah
dewasa menjadi kriminal.
Ini 40 tahun lalu, sudah ada
istilah “child abuse” dan akibat dari kasus Arie Hanggara adalah
diangkatnya perhatian pada pendidikan anak, serta “warisan” atau istilahnya
sekarang mungkin “generational trauma”, yakni orang tua memperlakukan
anaknya sedemikian karena sekadar meneruskan perlakuan orang tuanya sendiri
terhadap dirinya. Menurut Singgih Gunarsa (guru besar Fakultas Psikologi UI
yang bersama istrinya pada tahun ’80-an menerbitkan serangkaian buku psikologi
anak, remaja, dan keluarga), orang tua yang menghukum untuk mendidik (tidak
menyakiti) itu cuma 5%. Selebihnya yang 95% itu memukul anak karena tidak
pandai mengendalikan emosi. Maka fenomena ini umum sekali … sampai sekarang.
Malah sekarang tampak kian kompleks saja, dengan munculnya fenomena childfree
juga marriage is scary, saking takutnya mewariskan luka batin
pengasuhan orang tua kepada generasi selanjutnya serta saling menyakiti dengan
pasangan akibat luka-luka itu.
Menariknya, para ayah yang
disorot dalam artikel ini pada pensiunan polisi/tentara. Ada juga yang tahanan
politik.
Artikel ini menyebut judul
artikel lain yang sepertinya terkait, “Tidak Hanya di Sini”, tapi sayang tidak
disertakan ke dalam buku ini, apa karena tidak secara langsung berhubungan
dengan Arie Hanggara? Dari judulnya jangan-jangan mengangkat tentang kasus
kejahatan kepada anak di negara-negara lain?
Petaka Usia Tujuh Tahun (1
Desember 1984)
Artikel ini tampak mencoba
memahami sudut pandang Machtino, ayah Arie Hanggara, dengan menelusuri sebab-sebabnya
sampai tega menghabisi nyawa anaknya. Ketika kurang lebih seusia dengan
Arie, pada usia 7 tahun, ia sendiri mengalami “petaka”, berupa perceraian orang
tuanya. Ayah Machtino anggota DPR/MPR yang memulai kehidupannya dari bawah
sekali, dan mendidik anak-anaknya dengan hukuman disiplin. Disiplin ayahnya ini
hendak ditiru Machtino.
Adapun mantan istri Machtino
alias ibu kandung Arie Hanggara, yaitu Dahlia, adalah anak mayor. Walau
keduanya anak orang punya jabatan, mereka sama-sama memiliki banyak saudara dan
itu juga tidak menjamin kemulusan dalam pendidikan dan pekerjaan. Baik Machtino
maupun Dahlia sama-sama tidak menyelesaikan pendidikan. Machtino pun sulit
mempertahankan pekerjaan.
Memang kasus kejahatan orang
tua kepada anak tidak hanya dipengaruhi oleh masalah emosi orang tua tetapi
juga keadaan ekonominya. Namun, melihat latar belakang Machtino dan Dahlia yang
sepertinya bukan bawah amat, tampak kedudukan orang tua tidak menjamin kesuksesan
anak.
Setelah Arie, Siapa Lagi
(15 Desember 1984)
Artikel ini mengangkat kasus-kasus pembunuhan anak akibat penganiayaan orang tua yang rupanya terjadi tidak hanya kepada Arie di Jakarta, tetapi juga di tempat-tempat
lain di Indonesia seperti Tangerang dan Jayapura. Yayasan
Perguruan Cikini (tempat Arie dan ayahnya sama-sama pernah bersekolah) menanggapi kasus Arie dengan
mengadakan seminar yang dihadiri ratusan peserta. Dalam diskusi ini,
dibicarakan mengenai hubungan orang tua-anak, bagaimana orang tua tidak mau
mendengarkan anak, dan bagaimana peran anak dalam keluarga yang cenderung
dianggap sebagai pelampiasan, perpanjangan cita-cita orang tua, serta sarana
produksi (membantu pekerjaan orang tua untuk menambah pendapatan). Padahal anak
punya hak-hak tersendiri, tapi masih rancu juga batasan usia yang disebut
sebagai anak itu; ada yang mengatakan sampai usia 14 tahun, ada juga yang 18
malah 21, selama belum kawin.
Mengetahui banyaknya
kekerasan terhadap anak-anak, dalam hal ini anak-anak Generasi X (tahun ’80-an) yang sekarang pun sudah memiliki
anak-anak yang disebut sebagai Generasi Z, jadi bertanya-tanya, apakah generasi
muda dewasa ini acap disebut-sebut “lembek” karena orang tuanya yang segenerasi
dengan Arie Hanggara itu tidak hendak mengulangi cara orang tua mereka yang
dianggap terlalu keras? Arie telah menjadi martir bagi anak-anak Generasi X
Indonesia, dan mereka paham tidak ada anak yang minta dilahirkan, sehingga
berusaha memberikan kehidupan yang sebaik mungkin bagi anak mereka sendiri, Generasi
Z, walaupun jadinya dianggap terlalu memanjakan ….
Arie, Sebuah Simbol (12
Januari 1985)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) ketika itu, Nugroho Notosusanto, punya ide membuat patung Arie Hanggara sebagai simbol ketiadaan kasih sayang orang tua. Rencananya, patung ini akan ditaruh di depan museum pendidikan Dep. P & K. Maka ditugaskanlah seorang dosen patung ISI Yogyakarta untuk mengerjakannya. Namun timbul kontroversi. Patung itu dirasa menyinggung keluarga Arie, seperti hendak menghukum mereka tujuh turunan. Arie mungkin cuma model, tetapi bagi keluarganya tetap ada kesan personal.
Gambar screenshot dari Ipusnas. |
Siapa Bertanggung Jawab Bila …. (26 Januari 1985)
“Bukankah sikap dan perilaku seseorang terbentuk dalam rumah tangga dan lingkungan tempat ia dibesarkan. Mungkin orang tua yang suka memukul anak-anaknya dulu dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang membuat mereka mudah bersikap kasar.” (halaman 75)
Artikel ini menyorot persidangan Machtino-Santi, yang penontonnya membeludak melebihi kapasitas ruangan, terutama oleh ibu-ibu dan anak sekolah. Masyarakat mudah menghujat, apalagi kalau sudah sampai jadi berita. Tapi, Tempo tidak berhenti di sana, terus mengusut sebab-sebab terjadinya kasus demikian, sampai menelisik latar belakang/masa lalu para pelaku menurut psikologi.
Pasangan model Machtino-Santi agaknya kian jamak sekarang ini: lelaki friendly tapi kurang pekerja keras bertemu wanita mandiri tapi kurang kasih sayang orang tua. Machtino sendiri memiliki ayah yang sangat sukses dan sudah berdikari sejak usia belia. Namun efek kesuksesan ayahnya padanya hanyalah sebagai angan-angan, sulit diteladani oleh dirinya. Kesuksesan sang ayah itu pula agaknya membuat terlalu sibuk, sehingga pertemuan mereka kurang berkualitas untuk membina karakter.
Simbol Itu Dibatalkan (26 Januari 1985)
Kembali menyoal patung Arie Hanggara, gagasan Menteri P & K dibatalkan sebab menuai protes masyarakat. Beliau berjiwa besar dengan menerima protes itu. Tapi pematungnya ternyata bikin patung lain yang semiabstrak. Kalau menteri setuju, patung itu yang akan diberikan kepada Dep. P & K. Ada pula yang mengusulkan di Kompas: kalau ingin bikin monumen peringatan anak, mending modelnya anak-anak pekerja di jalanan, sebab itu “masalah kita semua, lebih dari kasus Arie”.
Bila Rumah Bukan Lagi Tempat …. (26 Januari 1985)
Artikel ini mengumpulkan kasus anak dari berbagai kalangan: ada yang kecanduan narkotika, ada yang berbuat kriminal, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Rupanya ini karena ada beda persepsi antara orang tua, guru, dan anak. Orang tua dan/atau guru cenderung memaksakan kehendak sendiri, tidak membuka dialog dengan anak. Kalau orang tua kurang berperhatian, terlalu mengekang, atau terlalu keras, lalu anak memberontak, itu tampak wajar. Ada juga yang di rumah tak ada masalah, orang tuanya tanggap, tapi di sekolah si anak bikin masalah melulu karena berkonflik dengan guru.
Pelajaran untuk Orang Tua (13 April 1985)
Isinya berita tentang pernikahan resmi Machtino-Santi, serta Dahlia mengambil kembali saudara-saudara Arie yang padahal sudah diserahkannya kepada Machtino.
Simpulan:
Masalah emosi dan ekonomi orang tua dapat memengaruhi kesejahteraan anak. Tapi, walaupun keadaan ekonomi orang tua baik-baik saja, bahkan termasuk golongan berkedudukan, kalau kesibukan dari aktivitas ekonomi dan kedudukannya itu sampai berakibat pada kurangnya perhatian, tetap saja tidak menguntungkan anak. Mau begini atau begitu, sama-sama berpotensi menimbulkan masalah.
Sekalipun orang tua
sudah berusaha membesarkan anaknya dengan baik, masalah tetap bisa datang dari
luar (guru, teman-teman, lingkungan pergaulan, elite kapitalis global, dan
seterusnya).
Mungkin memang ada
pihak-pihak yang bersalah dan harus berikhtiar untuk memperbaiki segala
sesuatunya, tapi ujungnya adalah soal qada dan kadar, bahwa memang dunia ini
tempatnya cobaan/ujian dan manusia tempatnya salah/dosa. Terima bahwa begitulah
hidup: masalahnya tiada akhir.
Kedua buku ini mengandung banyak tipo dan ada detail yang membingungkan (sekolah penerbangan yang sempat diikuti Machtino itu di Curug atau Belgia?)