Penulis : Luthfia Hastiani Muharram, Wulan Pertiwi, Muhammad Fauzi, Muhammad Kahfi N. F., Komme Edcadian Siringoringo, Nisa Ihsani, Nelis Hernahadini, Siti Saodah, Irma Vitriani Susanti, Astrid Prasetya, Annisa Joviani Astari, Mesa Dewi Puspita, Gun Gun Saptari Hidayat, Indriyani Rachman
Penerbit : CV. Penerbit Eja, Makassar
Cetakan pertama : Mei 2024
Tebal : vi + 127 halaman
Ukuran : 14,8 cm x 21 cm
ISBN : 978-623-88962-3-3
Buku ini terdiri dari enam bagian.
Bagian pertama, "Mengapa Harus Mengolah Sampah Organik?", seperti ditunjukkan pada judul utamanya, berisi pengenalan terhadap sampah organik, fakta terkini, kaitannya dengan pemanasan global, dampaknya, mekanisme dekomposisi bahan organik, serta manajemennya yang dimulai dari dapur. Kalau dalam skripsi, bagian ini seperti Bab 1 dan Bab 2 yang memaparkan latar belakang permasalahan, batasan, tujuan, hingga landasan teori penuh dengan istilah-istilah sains dan rujukan ke banyak terbitan ilmiah lain.
Loncat sejenak ke bagian belakang buku, yaitu halaman biografi penulis (tidak semuanya ditampilkan), beberapa merupakan dosen Program Studi Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Bandung, yang adalah perguruan tinggi berbasis organisasi Islam. Maka tidak heran pemaparan ilmiah tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran mengenai tanggung jawab manusia sebagai khalifah termasuk dalam mengelola hasil buangannya sendiri (Al-Baqarah: 30, Asy-Syura: 30, Ar-Rum: 41). Malah ada ayat-ayat "kompos" yang menyiratkan tentang daur organik yaitu Al-An'am: 95 dan Ali Imran: 27.
Lebih jauh lagi, Muhammad Fauzi, dalam membuka tulisannya, "MANAJEMEN SAMPAH ORGANIK DIMULAI DARI DAPUR", mengajukan pertanyaan yang menyentil: "Boleh gak kalau sampah yang kita hasilkan sehari-hari diibaratkan persis tumpukan dosa?" Ini persis dengan yang kadang-kadang terpikirkan oleh saya: bagaimana kalau hisab di akhirat kelak bukan hanya soal dari mana kita memperoleh rezeki dan bagaimana kita memanfaatkannya, melainkan juga bagaimana kita memperlakukan sisa-sisa dari rezeki itu? Bagaimana kalau hisab meliputi juga setiap sampah yang kita hasilkan? Kalau tidak memanfaatkannya secara optimal sampai habis tak bersisa, apakah kita sudah membuangnya secara bertanggung jawab? Malah surah Ar-Rum: 41 tampak menunjukkan bahwa apabila bukan untuk dihisab nanti, maka akibatnya dapat ditimpakan sekarang juga semasa masih hidup di dunia: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." Di media dapat kita temukan banyak contoh kerusakan itu telah menimpa sebagian manusia.
Bagian kedua, "Teknik Mengompos di Rumah", memaparkan prinsip serta aneka teknik mengompos.
Prinsip agar pengomposan berhasil ada tiga, yaitu:
1. Keseimbangan unsur C dan N, yang dapat diartikan sebagai unsur cokelat/sampah kering dan unsur hijau/sampah basah. Unsur cokelat dapat berupa daun kering, kertas, dan dus. Unsur hijau adalah yang dapat membusuk dan berair seperti sisa makanan, potongan tumbuhan, dan sebagainya. Rasionya 5:3.
2. Kelembapan dan kehadiran oksigen, yang berarti kondisinya tidak boleh terlalu kering ataupun basah, mesti ada cukup oksigen bagi mikroorganisme aerob (KBBI: makhluk yang dapat hidup hanya apabila tersedia oksigen bebas). Karena itulah pengadukan kompos secara berkala dianjurkan supaya terjadi aerasi (KBBI: penambahan oksigen ke dalam air dengan memancarkan air atau melewatkan gelembung udara ke dalam air), sehingga mikroorganisme aerob mendapatkan oksigen yang dibutuhkannya.
3. Kehadiran bioaktivator, yaitu sekumpulan mikroorganisme yang sengaja ditambahkan dalam pengomposan untuk mempercepat prosesnya. Bioaktivator dapat dibuat sendiri misalnya dengan melakukan fermentasi gula, bisa juga dibeli dalam bentuk EM4 (yang botolnya kuning). Penambahan tanah gembur, kompos matang, atau pupuk organik lainnya juga dapat berfungsi sebagai bioaktivator.
Teknik mengompos ada bermacam-macam, bergantung pada kondisi lingkungan yang ada. Yang ditunjukkan dalam buku ini mulai dari yang paling simpel sampai yang tampak rumit (memerlukan keahlian tertentu atau banyak tenaga dan tempat), yaitu:
- Kantong kompos (compost bag)
- Keranjang (Takakura atau Octaco*)
- Ember yang ditumpuk*, galon yang dilubangi, bisa juga ember yang dipadukan dengan karung (Kang Empos*)
- Membuat gundukan (metode Windrow)
- Biodigester biomethagreen*
- Lubang resapan biopori, sumur resapan, dan kolam sumur resapan air*
(Yang saya beri tanda bintang adalah yang diperincikan dalam bab tersendiri di buku ini.)
Bagian selanjutnya, "Mengenal Agen Hayati Pemroses Sampah Organik", kembali pada penjelasan sains, khususnya mengenalkan pada makhluk hidup yang berperan dalam pengomposan, di antaranya mikroba dan magot Black Soldier Fly (selanjutnya BSF).
Mengenai mikroba, namanya juga mikroba, sayang sekali saya tidak bisa melihatnya kecuali dengan menggunakan mikroskop, sehingga, sebagaimana terhadap makhluk gaib, saya hanya bisa meyakini bahwa mereka sungguh ada dan berjasa dalam mengolah sampah kami sampai serenik-reniknya. Mikroba yang disebutkan dalam bab ini yaitu bakteri dan fungi. Kehadirannya dipengaruhi oleh kelembapan yang mesti 40-60%. Kalau terlalu rendah, pertumbuhannya terhambat; kalau terlalu tinggi, yang terjadi adalah proses anaerob sehingga menimbulkan bau dan bisa beracun. Bab yang disertai daftar rujukan ilmiah ini menyimpulkan bahwa EM komersial yang katanya mengandung 4 jenis mikroorganisme itu ternyata tidak efektif meningkatkan kecepatan pengomposan. Lebih efektif kompos matang (usia tiga bulan dari sisa makanan dan daun kering) walaupun tidak terlalu tinggi (halaman 62-63).
Mengenai magot BSF, buku ini memberi saya keterangan akan siklus hidup hewan yang kadang saya temukan di compost bag dan sekitarnya. Kalau di dalam compost bag, biasanya yang berwarna terang. Menurut buku ini, itu larva dewasa berusia 0 - 18/21 hari dan berwarna putih kecokelatan. Di sekitar compost bag, mereka biasanya berkumpul di bawah ban mobil di carport dan terserak sampai masuk ke dalam ruangan garasi, warnanya hitam. Itu rupanya magot dalam fase prepupa sampai pupa, mulai hari ke-18/21, tidak makan, memanjat dari media mencari tempat kering, lalu diam selama 7 hari - 1 bulan sampai menetas.
Tampak BSF ini berbeda alias bentuk tubuhnya memanjang dibandingkan dengan lalat rumah biasa yang membulat apalagi lalat hijau gede-gede. Dalam buku ini diterangkan bahwa BSF menyukai tempat yang bersih dan tidak akan menghinggapi sampah yang sudah dirubungi lalat hijau yang identik dengan pembawa bibit penyakit. Larva BSF juga menghasilkan antiobiotik yang dapat menekan Salmonella sp. dan E. coli (halaman 73). Ujungnya dikatakan bahwa BSF dan compost bag memang saling mendukung dan melengkapi, sebagaimana yang saya temui sendiri di halaman rumah.
Bagian berikutnya, "Bagaimana Menangani Macam-macam Limbah?", menyimpang dulu ke jenis limbah yang lain. Walau judulnya "Macam-macam Limbah", dalam bagian ini hanya ada satu bab yang mengkhususkan pada minyak jelantah (selanjutnya mijel). Bab ini mencakup uraian mengenai bahaya membuang mijel sembarangan serta beberapa cara mengolahnya yaitu dengan membuatnya jadi sabun, lilin aromaterapi, hingga bahan bakar alternatif.
Untuk mijel, saya belum dapat mengolahnya sendiri. Bertahun-tahun ini saya hanya mengumpulkan di botol-botol bekas dan pernah sekali "menjual" ke bank sampah dengan perolehan lumayan (harganya lebih tinggi daripada jenis sampah lain). Saya penasaran untuk setidaknya coba membeli hasil olahan orang lain sebagai contoh, tapi sampai waktu menulis ini belum terlaksana.
Bagian kelima, "Pembelajar dan Pejuang Sampah Organik", berisi pengalaman atau testimoni alumni Pelatihan Mengolah Sampah Organik yang diselenggarakan secara daring oleh Program Studi Bioteknologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Muhammadiyah Bandung sejak 2019 dan telah mencapai empat gelombang. Ada tiga bab dalam bagian ini, yang berarti ada tiga cerita; semuanya ditulis oleh ibu-ibu. Peserta pelatihan ini diberikan compost bag, sehingga cerita mereka mengenai pengalaman menggunakan barang tersebut. Yang saya herankan, pelatihan ini sudah dari 2019, buku ini terbit 2024, tapi dalam cerita para ibu tersebut tampaknya mereka belum begitu lama menggunakannya karena pada baru menunggu panen pertama.
|
Membongkar isi compost bag 200 L yang sudah mau matang untuk dipindahkan ke compost bag berukuran lebih kecil untuk penyimpanan (supaya lebih mudah mengambilnya). |
Karena itu, saya terpantik untuk melengkapinya dengan berbagi pengalaman sendiri yang sudah bertahun-tahun menggunakan
compost bag, tepatnya dari sekitar 2019 atau 2020, pokoknya sejak produk ini muncul di pasaran yang seiring dengan masa pandemi COVID-19. Sebelumnya saya mencoba pakai ember pecah dan karung, tapi hasilnya tidak meyakinkan. Memang saya tidak telaten dalam mencacah sampah, memperhatikan pelapisannya, jangankan mengaduk-aduknya :p Setelah sampah terkumpul dalam wadah-wadah itu dan binatang pada bermunculan, saya tinggalkan saja wkwkwk. Baru setelah pakai
compost bag, "ajaib"!, kompos bisa matang sampai berbentuk remah-remah hitam padahal saya masih tak telaten. Dari yang tadinya satu
compost bag ukuran 80 L, bertambah satu demi satu atau lebih sekaligus, sampai sekarang ada 4
compost bag 80 L di balkon untuk penyimpanan media tanam dan kompos yang sudah dikeringkan, dan di halaman ada 7
compost bag 200 L untuk pemrosesan (tapi sudah ada 1-2 yang jadi penyimpanan), 4
compost bag 80 L untuk penyimpanan, dan tambahan 3 ember ukuran sedang dengan tutupnya untuk penyimpanan juga--total ada 15
compost bag.
|
Hasil olahan dari dokumen kerja Papa yang sebagian sudah jadi sarang rayap. Mungkin karena banyak kertas, hasilnya tampak kecokelatan dan padat. |
Kalau boleh saya bilang,
compost bag adalah cara mengompos paling malas Anti Ribet No Ribet Club. Murah dibandingkan dengan komposter plastik yang sepenuhnya tertutup. Mudah dibandingkan dengan apabila harus terlebih dahulu melubangi ember atau memotong-motong kardus untuk bikin keranjang Octaco. Dengan ini pula, kita bisa terapkan
no rule composting. Segala sampah yang kira-kira terurai saya masukkan saja ke dalamnya, termasuk sisa daging dan tulang juga jenis sampah kering seperti dus kemasan yang ternyata mungkin saja mengandung plastik, besi, dan semacamnya, yang pada akhirnya tidak terurai--gampang, nanti kalau komposnya sudah jadi tinggal dibuang. Tanpa dipotong kecil-kecil, tanpa diaduk. Hanya sesekali disiram campuran air bekas cucian beras dan limbah cair lainnya (misal sisa minuman, kuah sayuran, dan sebagainya yang mungkin mengandung gula), yang disimpan dalam botol tertutup (sisanya untuk disiramkan ke tanaman).
|
Ada yang suka mi merah jambu? |
Saya sepakat dengan kata Ibu Irma Vitriani Susanti dalam "IBADAH MENGELOLA SAMPAH", di halaman 92, "Jangan sampai saya stress gara-gara urusan potong-potong sampah", atau kalau boleh saya bahasakan sendiri, "Jangan sampai enggak jadi jalan hanya karena merasa ribet".
Make it as simple as possible! and nature will do the rest. Saya biarkan alam yang bekerja selebihnya. Saya biarkan hewan-hewan berdatangan mencari makan di sana: belatung, bekicot, cacing, kaki seribu, kecoak, kelabang, kutu, siput, ulat .... Padahal dulunya saya bisa sampai menjerit-jerit bila bertemu hewan-hewan itu, tapi sekarang biasa saja, ya, enggak sampai sengaja pegang-pegang juga sih, dan saya masih mengenakan "APD" ketika melakukan pekerjaan terkait pengomposan (minimal sarung tangan, masker, dan celana panjang, kadang-kadang sepatu bot). Saya anggap mereka sebagai "rekan kerja" yang mau tidak mau saya hadapi untuk mencapai tujuan dari suatu misi penting. Saya berusaha untuk menghargai mereka sebagai sesama ciptaan Tuhan, yang bekerja bersama-sama untuk memelihara lingkungan. Makanya kadang saya sedih kalau enggak sengaja menginjak bekicot atau menjemur cacing yang ternyata masih ada dalam kompos.
Alhamdulillah keluarga saya pun mendukung. Di ujung dapur disediakan wadah penampungan sementara (satu untuk sampah basah seperti sisa makanan dsb, satu untuk yang kering seperti potongan kertas dll), yang bila sudah penuh saya kosongkan ke compost bag. Ayah saya yang bagiannya mengurus halaman pun mengumpulkan sampahnya di karung-karung sehingga saya tinggal memasukkannya ke compost bag. Dengan begini, ada sinergi antara saya, keluarga, dan alam semesta.
Memang penggunaan compost bag ini dimungkinkan karena sejumlah kondisi. Pertama, ada halaman. Compost bag saya tempatkan di halaman sebelah belakang, di area yang beralaskan kerikil sehingga kalau-kalau ada cairan yang merembes bisa meresap ke bawahnya. Area itu juga cukup ternaungi oleh tajuk pohon dan atap gazebo sehingga lumayan teduh. Kedua, halaman tersebut cukup menyuplai daun kering sebagai unsur cokelat. Kalau tidak, perlu mencarinya sendiri sampai ke pinggir jalan atau taman umum. Ketiga, ada jarak antara area pengomposan dan rumah, sehingga hewan-hewan dari compost bag tidak sampai merayap ke dalam. Sebetulnya, kadang ada kaki seribu, siput, bahkan ulat, yang entah bagaimana tahu-tahu nongol di dalam rumah. Tapi kadang kelelawar juga menumpang makan di dalam rumah, bertengger terbalik di lampu ruang-ruang terbuka yang kosong. So, it's fine. Yang kecil-kecil bisa disapu untuk dikembalikan ke halaman. Seandainya tidak punya halaman sama sekali, sepertinya saya akan memilih komposter yang sepenuhnya tertutup.
Walau demikian, ada juga kekurangan dari compost bag yaitu sebagai berikut.
- Konsekuensinya, munculnya hewan-hewan yang tidak semua orang bisa toleran sebagaimana yang sudah diungkapkan di atas. Malah bisa saja compost bag yang sudah lama didiamkan untuk menunggu isinya matang dijadikan sarang penyimpanan telur oleh bangsa semut bahkan kecoak.
- Bila sudah terisi banyak dan berat, adakalanya compost bag tumbang sehingga saya memerlukan bantuan tenaga untuk menegakkannya kembali dan selain itu penahan yang cukup tinggi dan berat supaya tidak jatuh lagi; untuk ini, saya menggunakan dekorasi taman yang sudah tidak terpakai dari bahan entah apa namanya (batu? beton? semen? ada yang sudah berlumut). Ternyata dalam buku ini disebutkan bahwa pengisian compost bag jangan sampai penuh, tapi disisakan sepertiganya. Mungkin itu karena kalau kepenuhan bakal ambruk kali, ya? 🤔
- Ritsletingnya gampang rusak. Malah ada satu compost bag yang baru banget saya beli sudah rusak lagi ritsletingnya. Sebagai pengganti ritsleting, saya menggunakan tiga peniti besar untuk mengaitkan penutup kemudian bagian atasnya dilapisi dengan lembaran plastik/karung yang cukup besar, ditimpa lagi dengan benda cukup berat (misalnya sapu rusak atau patahan dahan). Cara ini sekalian dapat melindungi compost bag dari hujan. Ada beberapa compost bag yang awet ritsletingnya, saya duga itu yang dibeli sudah lama dengan harga masih lebih mahal. Tiap kali membeli lagi, saya cenderung mencari yang semurah-murahnya tanpa melihat tokonya. Walaupun penampakannya sama-sama bertulisan Easy Grow, bahannya juga sama, jangan-jangan ada perbedaan atau penurunan kualitas. Tapi compost bag yang ritsletingnya sudah rusak ini hanya yang 200 L, mungkin karena yang sering dibuka-tutup untuk memasukkan sampah organik sehari-hari; yang 80 L karena berfungsi sebagai penyimpanan, dibukanya sesekali saja bila perlu mengambil kompos untuk dikeringkan atau menanam di halaman/memupuk tanaman.
- Mudah berlubang. Ada yang bolongnya kecil-kecil di dasar. Ada juga yang di pinggir dan di atas, dilihat dari tepi lubang yang tidak rata sih (plus tahi yang berceceran) sepertinya karena gigitan tikus.
- Ada beberapa compost bag yang bagian dalamnya sudah mengelupas, sepertinya yang sudah lama.
- Ada yang jahitannya sudah lepas di bagian pintu bawah dan area ritsleting.
- Perekat Velcro mudah lepas sehingga daripada membuka-tutup pintu bawah, saya memilih untuk menunggu sampai isi compost bag sudah kelihatan matang (paling tidak, kalau bagian atasnya sudah kelihatan matang, bagian bawahnya lebih-lebih lagi) baru mengeluarkannya sesekop-sesekop dari atas dan selebihnya dikosongkan dengan cara dijungkir-balikkan. Walaupun, ketika dijungkir-balikkan begitu, perekatnya mungkin lepas dengan sendirinya sih. Sebelum compost bag dipakai lagi, biasanya perekatnya saya sikat dulu untuk menyingkirkan kotoran yang menempel, tapi tetap dapat terlepas setelah diisi, ketika isinya itu dipadat-padatkan dari atas :v
Sementara compost bag-compost bag yang rusak atau bolong ini masih memadai untuk menampung sampah. Belum ada yang sama sekali sudah tidak bisa dipakai sehingga harus dibuang atau apa.
|
Kompos yang sudah dikeringkan dan diayak supaya bersih untuk keperluan menanam di balkon atau dibagikan ke teman-teman. |
Masalah yang timbul setelah bertahun-tahun berhasil mengompos adalah pemanfaatan, yang sayangnya sampai waktu ini saya belum bisa giat. Sekarang masih ada ruang untuk menambah
compost bag, tapi lama-lama, bisa-bisa tidak ada tempat lagi.
Sementara ini, berdasarkan pengalaman sendiri serta testimoni teman-teman yang sudah diberi, kompos ini sangat subur, bahkan setelah dikeringkan yang katanya dapat mematikan mikrobanya. Tanpa ditanami biji apa-apa, kompos ini dapat menumbuhkan pepaya, bayam, sirih cina, gingseng jawa, bahkan kalau beruntung cabai dan tomat, minimal rumput-rumputan lah. Pernah saya mau menanam caisim dengan media tanamnya dicampur kompos buatan sendiri yang sudah dikeringkan, jadinya malah hutan bayam sedang caisimnya pada tenggelam.
Bagian terakhir buku ini, "Inspirasi Bersih dari Berbagai Negara", menyampaikan pengelolaan sampah di tiga negara yaitu: Belanda, Austria, dan Jepang. Cerita dari Jepang, tepatnya Kota Kitakyushu, bagi saya mengharukan sebab dahulu kota ini berpolusi parah dan tepi perairannya pun kumuh oleh rumah-rumah, tapi mereka dapat memperbaikinya yang tak lepas dari kegigihan pemerintah. Mudah-mudahan kota-kota di Indonesia dapat mencontohnya.
Selain buku ini, ada Pisah Daun: Pilah Sampah Dapat Untung terbitan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat yang bisa diunduh secara cuma-cuma--googling saja. Jika buku ini menyertakan teori, Pisah Daun merupakan petunjuk teknis berbentuk infografik yang lebih lengkap, terperinci, dan penuh warna pula. Mungkin memang masih banyak yang perlu dibenahi oleh pemerintah dalam pengelolaan sampah, tapi dengan diterbitkannya petunjuk teknis seperti Pisah Daun, juga sudah disediakan layanan jemput sampah besar gratis (khususnya di Kota Bandung), tinggal kesadaran dan inisiatif masyarakat untuk memanfaatkan dan menjalankannya.
Lagi pula, "Keinginan Indonesia mengolah sampah seperti negara lain sepertinya butuh waktu yang cukup lama, jika kita hanya bergantung kepada pemerintah," kata Ibu Siti Saodah di halaman 85 buku ini. Pengelolaan sampah secara mandiri justru menunjukkan keberadaban kita sebagaimana kata Kang Gun di halaman 93, "Semakin kita memperhatikan pengelolaan sampah, berarti peradaban kita semakin tinggi. Peradaban terendah adalah tidak membuang sampah sembarangan. Sementara peradaban tertinggi adalah dengan bisa memanfaatkan sampah ini." Terlebih, bagi yang masih mengaku sebagai mukmin, mengelola sampah adalah wujud keimanan, seperti kata Ibu Irma Vitri Susanti di halaman 94, "Mengelola sampah sesungguhnya adalah doa. Doa meminta perlindungan dari kemarahan Allah yang wujudnya dapat kita lihat dalam bentuk kemarahan alam berupa banjir dan longsor, karena sebagian besar dari kita tidak menjalankan fungsi kekhalifahan dengan baik di muka bumi."