Selasa, 02 September 2025

Tempo Nomor 26/XXXI/26 Agustus – 1 September 2002

Rp 14.700

ISSN : 0126-4273

Laporan utama dalam Tempo edisi ini mengenai menteri agama ketika itu, Said Agil Husin Al Munawar, yang memerintahkan penggalian harta di bawah prasasti Batu Tulis, Bogor. Ini mengherankan, sebab sang menteri sebelumnya memiliki reputasi bagus, baik dari segi keilmuan agama maupun karakter. Harusnya menegakkan tauhid, kok malah percaya klenik. Memang niatnya untuk membayar utang negara, tapi sayang harta itu tak ditemukan. Presiden menyangkal sudah kasih izin. Masyarakat Sunda marah karena itu tempat yang sakral bagi mereka. Terkait laporan ini, “Jejak Kerajaan dengan 40 Gajah” menceritakan sejarah prasasti tersebut.

Sisipan “iQra” menyajikan cerita kejatuhan keluarga Soeryadjaya. Untuk menyelamatkan usaha yang satu—Bank Summa, dikorbankan usaha yang lain—Astra. Di balik kisah ini, ada drama kasih sayang seorang ayah kepada putra sulungnya.

“Tanpa Kerut di Atas Kening” (halaman 80-81) melaporkan konser The Cranberries di Tennis Indoor Senayan. Sekitaran waktu ini, lagu “Stars” sering ditayangkan di MTV, dan dirilis dalam album Stars: The Best of 1992-2002, yang sering pula saya putar sembari menyendiri di kamar. Artikel ini juga menyoroti sosok sang vokalis, Dolores O’Riordan, yang rupanya memiliki problem konsumsi minuman keras yang berlebihan, bertolak belakang dengan lagunya sendiri, “Salvation”, yang mengimbau bahwa menenggak minuman beralkohol bukan satu-satunya cara keluar dari persoalan hidup. “Entah kenapa, dunia seperti memaafkannya,” kata penulis artikel ini, membuat saya merenung lagi kenapakah musik tak disukai dalam Islam: Itulah kekuatan musik. Kita memaafkan mereka yang mabuk, ngedrugs, berzina, karena telah memberikan hiburan yang nikmat bagi kita.

Jangan Kirim Hanya Kata-kata” (halaman 88-89) berisi “sejarah” perkembangan handphone, yang ketika itu baru, atau sudah?, dapat mengirimkan pesan bergambar dan berwarna (foto, animasi, audio) yang disebut dengan MMS (multimedia messaging service) secara terbatas. Di Indonesia, layanan ini baru bisa dinikmati lewat IM3, dengan harga Rp 1.000 sekali kirim, dan hanya pada HP tertentu, seperti Nokia 7650 serta Sony Ericsson T68I dan P800 yang harganya 4-6,3 juta, dengan kapasitas memori terbatas dan resolusi gambar belum prima. Nokia 7650, contohnya, memiliki memori hanya 3,6 MB atau 32 frame foto. Selain itu ada kendala sinyal operator. Untuk mengunduh, sinyal harus stabil, sedangkan kalau sambil naik mobil atau lift bisa putus. Lah, sampai sekarang—dua puluhan tahun kemudian—mau diam saja di kamar pun, sinyal IM3 tetap putus-putus. Belum lagi, pulsa tiba-tiba terpotong 🙃

(Karena ada trouble untuk login ke Wordpress--setelah sebelumnya kudu via Jetpack dulu--untuk seterusnya catatan pembacaan majalah dilanjutkan di blog ini saja. Catatan pembacaan majalah sebelumnya di: https://berjurnalitan.wordpress.com/category/majalah/.)

Senin, 01 September 2025

Bila Loakan Mengganggu Pasar

Setiap bulan, ratusan kontainer pakaian bekas menyerbu pasar dalam negeri. Sandang murah yang bisa berbuah petaka.

JUMAT siang yang terik di kawasan kaki lima Senen, pekan lalu. Sekelompok remaja tanggung berdesakan di depan sebuah lapak pakaian bekas. Tak peduli sengatan matahari atau keringat yang bercucuran, mereka sibuk mengaduk tumpukan pakaian itu. "Aha, gue dapat!" teriak seorang pemuda. Sepotong kaus baseball bermerek FUBU segera berpindah pemilik hanya dengan beberapa lembar ribuan kumal.

"Kalau enggak dari sini, ya cuma di mimpi gue bisa beli," kata Andri, si pemuda itu, yang berayah seorang sopir. Kaus yang tengah digilai remaja itu dijual di pusat-pusat pertokoan dengan harga Rp 300 ribu-an. Bedanya, barang-barang bermerek itu dijual dalam keadaan wangi dan tentu saja masih baru. Di Senen, meski tidak bau, kaus itu sebenarnya barang bekas.

Keberadaan lapak "seken" (dari kata second) seperti ini mungkin membantu orang seperti Andri mewujudkan impiannya. Tapi, bagi pejabat Departemen Perdagangan, itu bisa membuyarkan tugas mereka mengembangkan industri dalam negeri. Hal ini dikeluhkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Sudar S. A. "Intensitasnya sudah masuk kategori sangat-sangat serius," ujarnya.

Berapa banyak? Menurut catatan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Lili Asdjudiredja, tak kurang dari 1.500 kontainer sempat masuk ke seluruh wilayah Indonesia dalam kurun tiga bulan. Jumlah ini di luar 40 ribu bal (kira-kira 4.000 ton) per bulan yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Balai--180 kilometer dari Medan. Melalui pelabuhan ini, setiap Senin dan Kamis ribuan bal pakaian diturunkan dari kapal-kapal pengangkut asal Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, bahkan Eropa dan Amerika. Sebelumnya, kapal sudah singgah di Singapura karena sebuah perusahaan di sana akan memilah, menyucihamakan, serta mengepaknya ke dalam jenis-jenis tertentu.

Pakaian yang berkualitas masih bagus tapi harganya sungguh miring itu jelas bukan saingan industri garmen dalam negeri. Karena itulah, Sudar merasa perlu mengirim surat kepada Dirjen Bea Cukai tentang masalah ini. Surat tertanggal 13 Agustus itu menegaskan tentang masih berlakunya larangan impor pakaian bekas di seluruh wilayah Indonesia.

Apa boleh buat, selama ini aturan tersebut seperti macan ompong. Bisnis pakaian impor bekas adalah usaha yang gurih. Demand begitu tinggi. Meski harganya murah, bila kuantitasnya berjibun, ya pedagang untung juga. Inang Situmorang di Monginsidi Plaza, Medan, misalnya, bisa mengantongi Rp 8 juta tiap bulannya, hasil dari penjualan 12 bal pakaian impor bekas. Selain Senen dan Monginsidi Plaza, pasar serupa kini tersebar di berbagai kota: Cimol di Bandung, Helvetia di Medan, Pasar Baru di Karimun, Jalan Veteran di Banjarmasin, Jalan Jeruju di Pontianak, atau gerai-gerai factory outlet di tiap kota yang ternyata lebih tepat disebut second factory outlet.

Dirjen Sudar pantas merasa kesal. Ada sederet aturan yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menangkal invasi pakaian loak impor. "Semuanya larangan yang tegas dan masih tetap berlaku," katanya. Ada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 229 Tahun 1997, SK Menperindag No. 172 Tahun 2001, dan Surat Direktur Jenderal PLN No. 71 Tahun 2002.

Lalu, mengapa bocor? "Banyak sekali cara memasukkan barang," bisik Usman, pedagang di Karimun. Salah satunya dengan memalsukan dokumen impor. Pemalsuan inilah yang sempat dipersoalkan Lili Asdjudiredja tahun lalu. Saat itu Lili mengaku pihaknya hanya perlu membayar Rp 7,5 juta untuk memperoleh dokumen impor sesuai dengan yang diinginkan. "Bayangkan kerugian negara ketika importir yang seharusnya bayar Rp 100 juta hanya perlu menyuap petugas Rp 7,5 juta per kontainer," katanya. Dirjen Bea Cukai Permana Agung, yang dimintai konfirmasi, belum memberikan jawabannya hingga tulisan ini turun, walaupun kata stafnya surat permintaan wawancara sudah dibacanya. 

Soal ini jelaslah tak bisa didiamkan berlama-lama. Konsumen mungkin senang, pedagang pun pasti untung, tapi kerugian negara akibat bangkrutnya industri garmen dan pemalsuan dokumen impor pasti lebih besar dari kesenangan mereka.

Darmawan Sepriyossa, Bambang Soedjiartono (Medan), dan Rumbadi Dalle (Karimun)



Sumber: Tempo No. 26/XXXI/26 Agustus - 1 September 2002



Jangan Kirim Hanya Kata-kata

Layanan pengiriman pesan multimedia sudah bisa dinikmati di Indonesia. Akan meledak seperti SMS?

KATAKANLAH dengan bunga, kata mereka yang muak dengan kata-kata. Tapi, karena populasi bunga kian terbatas, nasihat sepele ini kerap sulit dijalankan. Agar lebih mudah dan murah, barangkali tips itu harus sedikit diubah: katakanlah dengan gambar, grafik, atau mungkin juga isyarat.

Di dunia yang kebanjiran kata-kata, gambar bisa menjadi oase yang menyehatkan--dan karena itu, lahan bisnis yang menguntungkan. Boleh jadi pemikiran seperti ini pula yang ada di otak para pembuat telepon tanpa kabel alias telepon seluler. Setelah berhasil menciptakan alat yang bisa mentransmisikan suara, tulisan, dan data, kini mereka membuat telepon yang mampu mengirimkan gambar.

Transmisi gambar melalui "telepon angin" memang bukan berita baru, di luar negeri. Tapi di Indonesia layanan ini baru bisa dinikmati sejak dua pekan lalu melalui operator telepon seluler PT Indosat Multimedia Mobile (IM3). Dengan layanan yang disebut pengiriman pesan singkat multimedia alias MMS (multimedia messaging service) ini, pelanggan bisa saling mengirim gambar berwarna, foto, animasi, audio, dan suatu saat nanti mungkin juga gambar bergerak alias video.

Teknologi pengiriman pesan multimedia ini pertama kali digagas dan dirancang oleh komunitas industri seluler generasi ketiga, dua tahun lalu. Untuk pertama kalinya, pabrik pesawat telepon Swedia, Ericsson, memamerkan kecanggihan teknologi ini dalam pameran dagang CeBIT di Hannover, Jerman, Maret tahun lalu.

MMS--barangkali lebih sexy kalau kita sebut "Memes"--merupakan kelanjutan teknologi layanan pengiriman pesan singkat (SMS) dan pesan singkat bergambar (EMS). Dengan cepat, Memes memikat semua "makhluk" penghuni komunitas seluler, mulai dari pabrik pembuat pesawat ponsel, pengelola jaringan (operator), hingga para pelanggan di seluruh dunia.

Asosiasi industri seluler, Global Mobile Suppliers Association, memperkirakan bisnis Memes akan meledak. Dalam dua tahun ke depan, asosiasi itu menaksir akan ada 20 miliar pesan singkat multimedia yang bakal terkirim saban bulan di seluruh jagat. Jika ongkos sekali pengiriman Rp 1.000, akan ada bisnis senilai Rp 240 triliun per tahun. Sebuah taksiran yang amat menggiurkan. Tapi jangan gembira dulu: riset Wireless World Forum (W2F) menunjukkan bahwa bisnis ini hanya menjala Rp 5 triliun per tahun.

Sesungguhnya dasar teknologi Memes tak berbeda dengan SMS. Jika telepon penerima sedang tak aktif atau di luar jangkauan sinyal, pesan akan tetap tersimpan di server operator. Kelebihannya, selain mengirim teks, pemakai bisa menambahkan musik atau gambar. Huruf, ukuran, dan gaya teksnya pun bisa dibuat bervariasi. Bisa pula mengirim tabel, diagram, peta, juga sketsa. Menurut pengamat multimedia Roy Suryo, Memes bisa dikirim ke pesawat seluler yang berbeda merek karena standar teknologinya seragam.

Dengan Memes, seorang wartawan media dotcom yang tengah meliput aksi unjuk rasa, misalnya, bisa memotret dorong-dorongan polisi dan mahasiswa dengan pesawat telepon genggamnya, memberi sedikit teks, lalu langsung mengirimkannya ke kantor redaksi agar bisa segera dimuat di situs internet, dalam hitungan menit. Sangat praktis dan mudah. Ia tak perlu membawa kamera dan mencari koneksi internet.

Nokia 7650
Gambar dari Amazon.co.uk.
Dari sisi teknologi, pesan multimedia tak punya keterbatasan ukuran. Foto digital sebesar apa pun bisa dikirimkan. Yang menjadi kendala justru pesawat teleponnya: kapasitas memorinya terbatas dan resolusi gambarnya juga belum prima. Nokia 7650, misalnya, hanya memiliki memori 3,6 megabyte, ini setara dengan 32 frame foto.

Selain kelemahan pesawat, ada juga kelemahan pada operator. Ketika menerima pesan Memes, sinyal harus stabil. Ini membuat telepon genggam yang mestinya bisa mobile alias bergerak menjadi seperti telepon biasa (fixed telephone). "Kalau sambil naik mobil atau lift," kata Roy, "proses download sering terputus."

Sony Ericsson T68I
Gambar dari Xperia Blog.
Di Indonesia, ada beberapa pesawat telepon angin yang sudah punya layanan pesan multimedia (disebut MMS-enabled). Di luar Nokia 7650 yang sudah disebut, ada pula Sony-Ericsson T68I dan P800. Harganya Rp 4 juta hingga Rp 6,3 juta. Beberapa pabrikan lain seperti Motorola dan Siemens dipastikan segera menyusul sebentar lagi.

Sony Ericsson P800
Gambar dari IMEI24.
Menurut Roy, bisnis Memes mungkin bisa merebak jika banyak operator yang menyediakan layanan multimedia. Ini persis seperti dulu, ketika layanan SMS meledak lantaran bisa dilakukan lintas operator. Agaknya, jalan menuju "dunia tanpa minikata" masih panjang.

Wicaksono



Sumber: Tempo No. 26/XXXI/26 Agustus - 1 September 2002



Rabu, 20 Agustus 2025

Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan Remaja

Gambar dari Perpustakaan
Universitas BSI
.
Penulis : Drs. EB Surbakti, M. A.
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008
ISBN : 978-979-27-3564-2/ eISBN: 978-602-04-1984-8 

Yang dimaksud dengan orang tua pada judul buku ini tidak mesti orang tua kandung, tetapi orang dewasa pada umumnya yang dapat memengaruhi remaja. Kenakalan orang dewasa lebih merusak daripada kenakalan remaja, karena orang dewasa lebih punya otoritas dan fasilitas, dan bisa jadi remaja nakal karena mencontoh orang dewasa, apalagi orang tua sendiri. Contohnya sangat banyak, mulai dari fenomena sugar daddy/mommy, pencabulan oleh guru, pornografi anak, sampai membiayai keluarga dengan uang hasil korupsi. Bisa pula seorang dewasa baik kepada anak-anaknya sendiri, tapi di luar melecehkan atau menzalimi anak orang lain. Orang dewasa dengan pengalamannya yang lebih banyak tidak serta-merta menjadikannya arif dan mewariskan kebajikan, melainkan terus memutarkan lingkaran setan sampai akhir zaman. Dengan kelebihan yang dimilikinya generasi tua dapat mengatakan generasi di bawahnya lembek, manja, tidak sopan, padahal bagian dari generasi tua juga yang mencontohkannya, atau kurang mengajarkan yang sebaiknya..

Khususnya mengenai tema love, sex, and dating, buku ini lebih sejalan dengan Boys Lie yang ditujukan bagi remaja Amerika Serikat, daripada Cyberporn yang untuk pembaca Indonesia. Sementara Cyberporn menganggap self-service sebagai sebentuk penyimpangan, buku ini justru mewajarkannya sebagai cara sehat menyalurkan energi seksual, walau mengungkapkan juga risikonya (di antaranya: kecanduan pornografi, mengganggu hubungan suami-istri). Buku ini juga menganjurkan pacaran sebagai kegiatan positf, asalkan menaati rambu-rambu, bertanggung jawab, menghindari seks pranikah, dan menjalankan pengendalian seksual. Solusi yang diberikan untuk mengalihkan energi seksual adalah dengan berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan positif seperti kesenian, olahraga, dan organisasi. Buku ini memang tidak memijak pada ajaran agama mana pun, tetapi yang umum saja. Jadi menarik membandingkan dengan aturan yang ketat dalam Islam, bahwa aktivitas bersama begitu tetap rentan membuka jalan sehingga perlu dihindari sama sekali. Kalau seorang lelaki yang sudah cukup umur dan cukup modal tertarik kepada seorang perempuan, alih-alih memacari perempuan itu, dekatilah ayahnya. 

Walau rada longgar mengenai love, sex, and dating serta mendukung emansipasi wanita, buku ini cenderung menjunjung pola keluarga tradisional yang mana ayah harus berwibawa, menegakkan hierarki, aturan, dan pola interaksi yang jelas, mengeluarkan perintah, keputusan, kebijakan, otoritas, dan berkuasa, sedangkan ibu lembut, hangat, pengasih dan penyayang. Memang tidak dinafikan kekurangan-kekurangan dari pola ini, misal ibu dipandang laksana parasit yang sangat bergantung kepada suami (halaman 145). Relatif sulit juga menerapkannya, sebab nyatanya ada juga ayah-ayah yang lembek dan ibu-ibu yang kasar; mengubah kepribadian agar setiap ayah dan setiap ibu seragam memenuhi pembagian peran tersebut tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.  

Buku ini juga mengkritisi materialisme dan individualisme. Contohnya adalah dengan memberi anak kamar yang berfasilitas lengkap sehingga tidak perlu sering keluar. Menurut buku ini, semestinya kamar tidur hanya untuk tidur, sedangkan untuk belajar, hiburan, dan sebagainya di ruang keluarga, sehingga dengan begitu akan kerap bertemu dengan anggota keluarga lainnya, memungkinkan interaksi yang menumbuhkan ikatan. Wah, apa kata penulis mengenai fenomena smartphone yang baru hadir bertahun-tahun setelah buku ini diterbitkan? Seorang anak bisa seharian di kamar saja rebahan, scrolling, nge-game, menonton tanpa henti, tidak bersosialisasi sama sekali, bahkan terganggu oleh kehadiran orang lain.

Dalam sebuah video di YouTube, pembicaranya kurang lebih mengatakan bahwa orang tua perlu berusaha menjadi sosok yang layak diteladani oleh anak--be the person that your children will aspire to be. Kalau sudah berusaha menjadi sosok teladan, memenuhi hak anak serta tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua, tapi anak tetap bandel, ingat Nabi Nuh saja tidak kuasa membujuk anaknya masuk bahtera. Sebagai anak, pahami tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang mungkin berbuat kesalahan, punya kekurangan dan kelemahan, termasuk orang tua. Sebagai orang dewasa yang tidak punya anak, tetap perlu mewawas diri sebab siapa tahu berbuat hal yang berdampak pada anak orang lain atau dijadikan contoh olehnya.

Selasa, 19 Agustus 2025

Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia

Gambar dari Gramedia.
Penulis : Jatna Supriatna
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: 1, Edisi 1, Juli 2018
Tebal : 542 halaman
ISBN : 978-602-433-633-2 (ebook)

Saya mulai membaca buku ini pada Februari 2022 dan baru menamatkannya 3,5 tahun kemudian (^_^); Membacanya sedikit-sedikit, sambil membuat catatan di buku tulis untuk membantu mencerna, kadang mengulang yang baru dibaca sampai merasa agak paham. Bagaimanapun, ini buku tebal yang memperkenalkan banyak istilah baru, materinya tidak begitu ringan. Meski buku ini rada overwhelming, saya kira orang awam sekalipun sebaiknya berusaha memahaminya, atau paling tidak, terbuka akan topik ini, yang menerangkan cara kerja alam yang bukankah manusia termasuk bagian daripadanya, tetapi alih-alih mengembangkan cara hidup yang tidak selaras sehingga mengancam kelangsungan hidupnya sendiri.

Sepertinya saya memang penggemar cocoklogi, suka mencocok-cocokkan antara itu dan ini (mungkin ada kaitannya dengan minat terhadap karya fiksi, terbiasa mencari-cari makna dari setiap detail). Siapa tahu sebenarnya memang ada hubungan, sedangkan untuk membuktikannya secara ilmiah akan makan waktu terlalu lama, daya upaya terlalu besar. Maka pencocok-cocokkan itu hanya suatu hipotesis, spekulasi. Paling tidak, ini suatu cara sementara--yang entahkah benar atau salah--untuk mencoba memahami uraian dalam buku ini, yaitu dengan membuatnya relatable dengan kehidupan manusia yang saya jalani.

Sebagai contoh, mengenai interaksi antara spesies invasif dan spesies pribumi seperti konflik antara pendatang di suatu wilayah yang kemudian menjadi lebih makmur dan dominan dan penduduk setempat termarginalkan. Buku ini menerangkan bahwa persebaran spesies seperti halnya kepunahan adalah proses alami dalam sejarah evolusi. Semua spesies memang harus menyebar dan mengkolonisasi daerah lainnya. Namun, tindakan manusia yang mengintroduksi spesies telah mengacaukan keseimbangan yang ada. Memang hanya sebagian kecil spesies introduksi berhasil hidup di tempat baru, tapi dampak ekologisnya besar. Daerah yang sukses diinvasi pun jadi punya keseragaman tinggi. 

Kemudian ada yang dinamakan habitat-sumber dan habitat-penurunan. Berikut penjelasannya di halaman 272: "Habitat yang mendukung disebut sebagai sumber dan didefinisikan sebagai area di mana kesuksesan reproduksi lokal lebih besar daripada mortalitas lokal. Populasi di habitat sumber menghasilkan kelebihan individu yang harus menyebar keluar dari bercak kelahirannya untuk menemukan tempat menetap dan berkembang biak. Habitat yang tidak mendukung, sebaliknya, adalah area di mana produktivitas lokal lebih kecil daripada mortalitas lokal. Area ini disebut habitat penurunan karena tanpa imigrasi dari area lain populasi di habitat ini akan turun hingga punah." Kalau berupa negara, habitat-sumber ini persis Indonesia yang individunya sudah terlalu banyak sehingga harus menyebar keluar--merantau--untuk penghidupan, sedangkan habitat-penurunan contohnya adalah Jepang karena angka kelahirannya terus menurun sehingga penduduk lokal kebanyakan lansia dan mesti mendatangkan pekerja dari negara-negara lain. Besarnya populasi di habitat-sumber semacam Indonesia ini agaknya disebabkan oleh kondisi lembap daerah tropis, artinya penggunaan energi yang lebih kecil untuk menjaga kondisi tubuh sehingga makin banyak energi yang bisa dialokasikan untuk proses reproduksi (subbab "Kekayaan Hayati dan Energi").

Dalam pembahasan tentang konsep spesies biologis, diberikan contoh mengenai kerang Unio yang morfologinya bervariasi tinggi tetapi dapat saling kawin sedangkan burung meadowlark fenotipenya serupa, distribusi populasi tumpang tindih, tetapi antara western dan eastern pola bunyi kicauannya beda, sehingga tidak saling kawin. Dalam dunia manusia, barangkali ini menunjukkan bahwa jodoh tidak mesti yang penampakannya mirip, yang lebih penting adalah waktu ngobrol bisa klik :v

Jadi rupanya dalam menentukan spesies baru itu ada beberapa konsep. Tampaknya penamaan spesies hanyalah usaha manusia untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati. Salah satu konsep, yakni konsep spesies filogenetik, lebih menghargai keunikan sehingga bisa jadi akan muncul spesies-spesies baru, dengan upaya konservasi yang berlain-lainan pula. Apakah ini juga suatu bentuk "individualisme" yang diterapkan manusia pada biodiversitas? Sebagaimana dalam dunia kesehatan mental, jadi bertambah-tambah jenis gangguan mental "baru", yang pada masa sebelumnya mungkin tidak begitu dianggap.

Di dunia kesehatan mental juga banyak orang merasa tidak bahagia dengan hidupnya, karena tidak dapat mengoptimalkan potensi mereka sepenuhnya. Ini pun suratan alam, sebagaimana dinyatakan dalam halaman 313, "Karena lingkungan tidak dapat mendukung pertumbuhan populasi tak terbatas, tidak semua individu bisa menghasilkan potensi mereka sepenuhnya." Berapa banyak biji yang tersebar di muka bumi, hanya untuk gagal tumbuh, atau layu sebelum berkembang, tidak mendapat cukup cahaya matahari akibat ternaungi oleh pohon-pohon besar dan tinggi yang lebih dulu mencengkeramkan akarnya sampai ke mana-mana? Bagaimanapun, individu yang berhasil tumbuh sampai dewasa, bila keadaan memungkinkan untuk kawin akan kawin dan menghasilkan keturunan sebisa-bisanya, dan tidak semua dari keturunan itu yang mampu bertahan sampai menghasilkan keturunan baru, dan seterusnya.

Dalam kaidah evolusi, perubahan pasti akan terjadi di alam liar. Sudah sepatutnya orang yang bekerja di bidang konservasi berpikir secara konservasionis ketimbang secara preservasionis. Konservasionis memberikan fasilitas agar evolusi tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan variasi genetik sebagai bahan dasarnya. Praktik konservasi tidak hanya mengawetkan spesies dengan asumsi populasi tidak akan berubah. Kalau boleh diterjemahkan ke bahasa pengembangan diri, perlu tersedia fasilitas agar perubahan/pertumbuhan tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan keragaman potensi atau sumber daya yang ada sebagai modalnya, alih-alih sekadar menjalankan rutin dengan asumsi keadaan tidak akan berubah. Dalam agama, ada istilah istiqamah, yang menurut buku Buat Apa Kita Shalat? sesungguhnya mengandung proses perubahan yang terjadi secara terus-menerus/berkesinambungan menuju kebangkitan, kemajuan.

Dari suatu video di YouTube yang menghadirkan pembicara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya mendengar bahwa mereka hanya tukang cuci piring dalam pesta pembangunan, membereskan keporakporandaan yang dibuat kementerian-kementerian lain. Semestinya aspek lingkungan hidup disertakan sedari awal, bukan ketika saatnya bersih-bersih doang. Timbul kesan bahwa pekerja konservasi hanya kepanjangan tangan dari para pembangun yang punya kepentingan. Ada program yang dikembangkan agar masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan. Di sisi lain, ada suatu mindset bahwa alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia, dalam arti pengusaha besar global, alih-alih masyarakat setempat yang dampak aktivitasnya tidak seberapa, dengan menyisakan secukupnya untuk dikonservasi. Dengan demikian masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan, sebab dijadikan bergantung pada uang untuk membeli produk hasil usaha-usaha yang mengeksploitasi hutan secara lebih masif itu. Melawan kekuatan tersebut, sekalangan orang berhasrat untuk menghidupkan kembali kebergantungan langsung pada hutan, menjadikannya suatu supermarket gratis. Kalau di daerah subtropis ekosistemnya memang secara alami berupa padang rumput, sabana, belukar, yang terkelola oleh api, salju, dan grazing, sehingga tidak sampai jadi hutan dan cocok untuk jadi lahan pertanian dan peternakan (pantas bila orang sana suka makan keju, roti, dan mentega), tapi bila cara hidup ini mesti diterapkan di daerah tropis, yang hutannya tumbuh lebat alami, semata-mata karena ke Barat lah kita harus berkiblat ...? Maksudnya, apa orang di daerah tropis tidak boleh punya cara hidup sendiri yang lebih sesuai dengan ekosistem alaminya? 

Dalam video YouTube lainnya, Jon Jandai mengherankan kenapa orang harus belajar susah-susah hanya untuk merusak alam (dalam hal ini ilmu teknik), lalu bersusah-susah lagi belajar untuk memperbaikinya (ilmu konservasi). Padahal alam bisa memperbaiki diri sendiri, asal tidak terus-terusan diusik manusia yang selalu memerlukan sesuatu daripadanya. Proses pemulihan alami dirasakan terlalu lama oleh manusia yang masa hidupnya lebih singkat. 


Sisi positifnya adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu, betapapun susahnya, kita menjadi pandai dan mengetahui banyak hal. Pemikiran berkembang. Ini suatu kesenangan tersendiri. Adalah kepentingan bagi manusia untuk menyenangkan dirinya sendiri. Dengan merusak sesuatu hal, kita menjadi tahu bagian-bagiannya sampai ke yang kecil-kecilnya. Misal, dengan membongkar alat elektronik, kita tahu bagian-bagian apa saja yang ada di dalamnya. Dengan memporak-porandakan alam, kita belajar cara kerjanya. Dengan mengotori jiwa, kita belajar cara membersihkannya. Kata seorang ustaz, dosa adalah katalis agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Lagi, demi kepentingan kita sendiri--manusia. Namun, buku ini mengingatkan, restorasi atau pemulihan akan sia-sia jika terus-menerus mengalami gangguan (subbab "Teknik-teknik Restorasi"). Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi sumber gangguan? 


Sudah sepantasnya wacana degrowth diinisiasi negara-negara maju, sebab negara-negara kurang-maju cenderung mengekor saja. Kita belum lagi merasakan martabat sebagai bangsa maju sudah disuruh mundur saja, tak sempat beranjak dari kuli dan babu. Memang menyederhanakan hidup tidak mudah karena harus menundukkan ego dan hawa nafsu. Bagaimana manusia akan jadi khalifah bagi seluruh alam jika mengelola jiwanya sendiri saja tidak bisa?

Sabtu, 16 Agustus 2025

Buat Apa Kita Shalat?

Gambar dari UMS Store.
Penulis : Dr. Ahmad Khairi al-Umari
Penerjemah : Aya Yahya, Masyhari, Tatam Wijaya
Cetakan : I, Desember 2014
Penerbit : Almahira, Jakarta
Tebal : xxii + 490 halaman
ISBN : 978-602-8074-77-3

Buku ini bukanlah segala sesuatu tentang shalat. Buku ini hanya sebuah upaya untuk menjelaskan bahwa apa yang bisa menjadi tiang agama bisa juga menjadi tiang untuk individu, masyarakat, dan peradaban. Buku ini bukan tentang cara praktis khusyuk dalam shalat. Pada kenyataannya, tidak ada cara praktis mencapai kekhusyukan semudah membalikkan telapak tangan. Demikian pernyataan penulis di bab awal. Buku ini hanya sebuah upaya untuk menggali makna dari shalat. 

Akan tetapi, pemikiran tidak selalu mengubah perilaku. Mengubah perilaku lebih sulit daripada mengubah pemikiran. Pasalnya, mengubah perilaku tidak cukup dengan meyakini kebenaran sebuah pemikiran baru saja, tetapi juga harus menghilangkan pikiran negatif yang ada sebelumnya (halaman 7). Tidak mudah karena pemikiran negatif sudah lebih dulu mengakar dan mengendap di alam bawah sadar, sementara pemikiran yang baru masih di alam sadar, belum mengakar jadi pemahaman dan perilaku.  Mengubah perilaku tidak cukup dengan memiliki pengetahuan, ilmu, atau kesadaran. Namun, dibutuhkan keberanian untuk mengambil langkah itu sendiri.

Sebagian faktor penyebab mengakarnya hal negatif bersumber pada konsep-konsep yang tidak berkaitan dengan agama, tetapi dinisbahkan pada agama secara serampangan, atau dinisbahkan pada teks-teks agama, tetapi keluar dari konteksnya, atau dinisbahkan pada tindakan para ulama yang sebenarnya hanya respons atas kejadian sesuai konteks zaman, seiring waktu membaur dengan budaya lokal yang diwariskan turun temurun lalu jadi sakral (halaman 8).

Ada lima alasan populer di masyarakat untuk mengerjakan shalat:
1. Shalat sebagai penebus dosa,
2. Shalat menggugurkan kewajiban,
3. Shalat sebagai penenang jiwa,
4. Shalat sebagai "sarana komunikasi" kepada Allah,
5. Shalat adalah kewajiban, itu sudah cukup!

Alasan 1 seperti dimanfaatkan orang untuk terus melanggengkan dosa, karena akan terhapus oleh shalat, padahal itu tergantung pada jenis dosa dan niat melakukannya (misal sengaja atau tidak, tahu atau tidak). Alasan 2 justru menjauhkan orang-orang yang tidak shalat dari shalat itu sendiri (halaman 25)--apa mungkin karena sekadar menggugurkan kewajiban, maka shalat tidak memberikan efek positif dalam kehidupan seorang muslim, sehingga orang tidak shalat/nonmuslim yang melihatnya makin berpikiran buat apa shalat kalau tidak menampakkan efek positif? Alasan 3, shalat memang menenangkan jiwa atau menjadi tenang hanya karena telah memenuhi kewajiban yang apabila ditinggalkan akan terasa mengganggu? 

Shalat bukan sekadar penggugur kewajiban, bacaan dan gerakan, meskipun sudah naluriah manusia untuk selalu membutuhkan ritual. Hewan-hewan pun mempunyai gerakan khas yang teratur dan terulang-ulang, tapi manusia mempunyai nilai lebih. Dengan mengenyahkan agama, dalam kehidupan sekuler-modern sekalipun, manusia tidak terlepas dari syiar dan ritual. Salah satu contohnya adalah perayaan ulang tahun yang individualistis dan konsumtif. Hanya saja syiar dan ritual dalam kehidupan sekuler-modern itu terbatas dalam dimensi materi dan kekinian. Shalat adalah ritual keagamaan yang dapat membawa manusia melampaui dimensi tersebut, sehingga terhubung dengan yang gaib/nonmateri, jika saja ia menguasai kemampuan abstraksi yang dimilikinya. Secara terminologi, berpikir abstrak adalah kemampuan dasar untuk menemukan inti atau sifat utama dari sebuah perkara dengan menyingkirkan banyak hal yang tidak penting meskipun itu tidak memiliki wujud materi secara langsung (halaman 42). Kemampuan berpikir abstrak hanya dimiliki manusia. 

Menafakuri hadis tentang orang badui yang hanya mau mengerjakan kewajiban (shalat, puasa, zakat) tanpa mengurangi atau menambah, buku ini menyerukan agar jangan menjadikan itu sebagai patokan. Perlu dipahami latar kehidupan badui Arab yang pada masa itu merupakan musuh utama dakwah Islam: mempertahankan keyakinan lama, tidak mau terikat aturan sosial dan kekerabatan, antiperadaban, cara hidupnya dengan merampok orang di jalan. Kalau menyamakan diri dengan mereka, alias mematok standar rendah/minimal/sebatas kemampuan (dalam hal shalat maka sekadar gerakan dan bacaan untuk menggugurkan kewajiban), maka tidak akan berkembang. Daripada memosisikan diri sebagai orang badui yang hanya mau mengerjakan the bare minimum, lebih baik meneladani sosok lain dalam dunia Islam yang berhasil mengangkat diri dan mengubah dunia, salah satunya adalah Umar bin Khattab.

Selanjutnya buku ini mengajak untuk memaknai setiap unsur dari shalat, mulai dari adzan, wudhu, kiblat, niat, sampai pengertian keluarga dalam shalawat kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim dalam bacaan tasyahud akhir. Penulis kerap menggunakan perumpamaan. Contoh: Niat seperti bungkus, yang mungkin bagus, tapi yang tidak kalah penting adalah isinya. Doa istiftah (iftitah?) laksana afirmasi diri sebelum melakukan pertandingan atau menghadapi ujian. Hamdalah ibarat obat penenang (untuk sementara atau menyembuhkan sampai ke akar) dan cara pandang (yang positif). Hidayah umpama cahaya yang tidak mesti besar lagi muncul sekali saja, tetapi bisa pula kecil-kecil yang hanya menerangi beberapa langkah lalu padam, sehingga perlu diminta terus-menerus melalui surah Al-Fatihah yang dibaca berkali-kali dalam sehari saat shalat.

Uraian dalam buku benar-benar menuntut kemampuan berpikir abstrak (^_^); Membacanya perlu sambil mengerahkan imajinasi, bahkan diulang sewaktu-waktu, untuk menghayati secara penuh serta mengingatkan lagi dan lagi akan efek yang semestinya didapatkan dari shalat. Kalau membacanya asal menyapu kata saja, penjelasannya terasa mengawang. 

Buku ini menginsafkan saya bahwa tampaknya perjalanan menuju tauhid masih jauh dan terjal; selama ini berislam karena budaya, lingkungan, pendidikan sekolah, dan kebiasaan saja. Mungkin saya masih terganggu oleh pemahaman-pemahaman yang berselisih dengan satu sama lain, dan pemahaman terhadap Islam hanya satu di antaranya. Mungkin saya masih cenderung melihat kepada manusia-manusia lain yang juga campur aduk pemahamannya, daripada berpegang pada pemahaman Islam saja. Malah, makin bertambah pengetahuan tentang Islam, makin saya merasa memahami perkataan bahwa Islam muncul sebagai sesuatu yang asing dan akan kembali asing pada akhir zaman (kurang lebih begitulah). Nyatanya memang ada konsep-konsep dalam Islam yang sungguh asing untuk diterapkan dalam situasi sekarang, dan ini menjadi ganjalan untuk berislam sepenuhnya bagi yang dibesarkan dalam mentalitas zaman ini.

Sepertinya akan memerlukan seumur hidup untuk mencapai pemahaman Islam yang sepenuh-penuhnya, sedalam-dalamnya; kalaupun tidak sampai-sampai, paling tidak, istiqamah mencicil usaha ke sana. Tapi, bukan berarti dengan menutup diri sama sekali dari pemahaman-pemahaman lain itu. Mengenal sebanyak-banyaknya pemahaman saya kira bagian dari pengamalan perintah untuk membaca, berpikir, dan berjalan-jalan di atas muka bumi untuk melihat kerusakan yang dibuat orang-orang yang menyangka telah melakukan kebaikan. Hanya pengenalan itu perlu disertai dengan kebijaksanaan, kemampuan membedakan mana yang tauhid dan menyangkal yang selainnya. Wallahualam.

Minggu, 22 Juni 2025

Dua Timbangan Buku Sang Mahasiswa dan Sang Wanita: Dasacarita dari Hungaria Terjemahan Prof. Dr. Fuad Hassan

Dasacarita dari Hungaria Terjemahan Fuad Hassan 
Sang Mahasiswa dan Sang Wanita

Oleh: JAKOB SUMARDJO

SETIDAK-TIDAKNYA ada dua orang menteri RI yang pernah menerjemahkan karya-karya sastra asing selama jabatannya sebagai menteri negara, yaitu Prof Dr Priyono yang pada tahun 1964 telah menerbitkan "Kisah-kisah dari Rumania" (Balai Pustaka, 1964), dan kini pada tahun 1985 Prof. Dr. Fuad Hassan juga telah menerbitkan "Sang Mahasiswa dan Sang Wanita", Dasacarita dari Hungaria (Grafitti Pers, 1985).

Kebetulan cerpen-cerpen pilihan mereka menyangkut dua negara Eropa Timur yang terabaikan dalam kancah terjemahan sastra di Indonesia. Tidak mengherankan kalau banyak nama-nama pengarang yang sangat baru bagi kita, lantaran belum pernah kita dengar namanya dalam pembicaraan sastra dunia di Barat.

Membicarakan kumpulan cerpen dari suatu negara/bangsa yang telah tua usianya dalam sastra, tentu tidak pada tempatnya kita hanya melihat sepuluh cerpen dari sepuluh pengarangnya. Bahkan dari sumber aslinya dari mana 10 cerpen ini diambil, yaitu "44 Hungarian Short Stories" yang diterbitkan oleh Unesco, masih belum bisa dikatakan mewakili sastra cerita pendek negeri itu. Jadi paling kita hanya menilai 10 cerpen itu tanpa mengaitkannya dengan kehungariaannya. Hanya secara kebetulan 10 cerpen yang dipilih memang dari pengarang Hungaria modern.

Sepuluh cerpen yang dipilih oleh Fuad Hassan dalam bukunya ini meliputi karya-karya cerpen yang terbit dari tahun 1910 sampai 1966. Jadi kalau dibandingkan dengan Indonesia, barangkali sejajar dengan cerpen yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo sampai pada zamannya Wildan Yatim. Dan itu hanya dipilih cerpennya saja dari 10 pengarangnya.

Ciri menonjol dari sepuluh kumpulan cerpen ini adalah sifat puitik cerpen-cerpennya, penuh simbol-simbol berbentuk cerita; sifat lekatnya pada alam dan cuaca yang mementingkan kepolosan, keluguan, kemurnian, dan spontanitas; serta pemaparan cerpen yang banyak merenung daripada pemaparan plot yang manis. 

Mutu puitik ini hampir menonjol di sepuluh cerpen. Namun yang kiranya murni puisi dalam bentuk prosa adalah cerpen-cerpen "Hari Cerah di Musim Semi" yang menceritakan keasyikan seorang anak yang bercengkerama di hutan dengan penuh keriangan dan terganggu oleh kehadiran orang lain yang berasa telah "berdosa" telah menodai kemurnian hubungan alam antara hutan dan si anak. Saya katakan "puitik" karena cerpen ini berbicara banyak di luar ceritanya, ada sesuatu yang terasa di luar cerita yang disajikannya, ia berkembang dan multitafsir bagi pembacanya. Adalah rasa, suasana, makna kemurnian hubungan alam dan manusia murni (kanak-kanak) yang dimunculkan dari balik cerita.

Cerita puitik yang lain adalah "Ciuman Anna Szegi" yang mengisahkan percintaan mendalam antara seorang pemuda desa dengan gadis desa yang sebentar akan kawin. Perkawinan ternyata tidak membuat cinta si wanita lenyap. Si pemuda "bunuh diri" hilang di telaga cinta, dan kemudian wanita mengikutinya. Gambaran yang disajikannya begitu rupa menyatu dengan lukisan alam Hungaria sehingga peristiwa cinta di sana adalah peristiwa alami, wajar, tumbuh, dan sehat tanpa norma-norma. Bahkan norma perkawinan bikinan manusia tak kuasa menghapus makna percintaan mereka.

Jenis ini pula adalah "Orang-orang Nazi" yang melukiskan dua petani desa dan dua prajurit Nazi yang terlibat dalam percakapan. Petani tua dan anak-anak laki-laki yang merupakan cucunya berusia 8 tahun tengah membelah kayu di hutan, dan dalam percakapan Nazi-Nazi berusaha menekankan kebenarannya sendiri dengan memaksa si anak memanggil kambing sebagai anjing. Mungkin banyak simboliknya daripada puisinya, namun saya kira suasana juga yang menonjol dalam cerpen ini, suasana tekanan antara kebenaran alami dan kebenaran politik.

Begitu pula "Sang Mahasiswa dan Sang Wanita" dapat bercerita tentang gejolak suasana hati seorang wanita kesepian yang mula-mula bersikeras menolak permintaan ciuman dari mahasiswa yang belia namun akhirnya tak kuasa menahan gejolak rasa dari dalam yang alami. Bukan saja si wanita memberikan ciuman, tetapi lebih dari itu dalam amukan badai perasaannya.

Contoh simbolisme dalam cerpen-cerpen Hungaria dapat dibaca dalam "Sekitar Perapian Keluarga" yang mengisahkan campur tangan koperasi Sosialis dalam urusan hubungan suami istri. Seorang suami mencurigai istrinya yang selalu ditinggalkannya bekerja, pada suatu sore berdandan tidak seperti biasanya. Kontan sang suami mencurigai penyelewengan istrinya. Sang suami mendesak pada sang istri siapa lelaki terkutuk itu. Karena tidak mengaku maka sang suami mengamuk dan menggegerkan tetangganya. Pada saat itulah datang pengurus koperasi Petofi yang mengancam sang suami untuk tidak meneruskan menyiksa istrinya.

Karena keperluan istri selama ini dipenuhi oleh koperasi dan istri milik koperasi. Barang siapa mengganggu ketenangan istri, meskipun itu suaminya sendiri, maka koperasi akan bertindak. Ini memberikan gambaran bagaimana sistem politik mereka telah terlalu jauh mengurusi urusan yang amat emosional dan personal itu. Barangkali karya ini memang berisi kritik, namun jelas memberikan gambaran sasaran protes yang hidup dalam masyarakat Hungaria.

Cerpen "Hari Minggu yang Damai" juga lebih bersifat simbolik daripada puitik. Cerpen ini juga berisi kritik sistem kepegawaian di negeri Sosialis itu.

Sebagai cerpen plot kiranya patut diajukan "Petualangan Berpakaian Seragam". Cerpen semacam ini banyak dijumpai di Indonesia pada zaman majalah Kisah dahulu. Sebab cerpen yang lancar, jelas jalan ceritanya, mengandung tegangan yang konsisten, dan diakhiri dengan suatu kejutan.

Cerpen "Petualangan" ini mengisahkan seorang anak muda golongan terpelajar di Hungaria yang memasuki dinas militer sukarela. Sebenarnya hanya untuk gagah-gagahan belaka agar dia dikenal sebagai pemuda yang membela tanah air pula, meskipun ia hanya boleh memakai seragam militernya dua kali dalam seminggu. Dengan modal pakaian seragam, dia memancing cinta gadis-gadis pembantu rumah tangga. Dan seorang gadis rumah tangga yang polos dan manis dari sebuah desa mencintai dan membelanya sebagai kekasih. Ternyata gadis pembantu itu adalah pekerja pada rumah kawan mahasiswanya yang adiknya malah pernah pacaran dengannya. Si gadis desa dengan sembunyi-sembunyi memasukkan si pemuda ke dalam kamarnya yang sempit lewat pintu samping. Padahal pemuda kenal betul dan dihormati di rumah itu, karena diharapkan ia dapat menikahi anak putri tuan rumah. Begitulah hubungan mereka berlangsung sampai suatu kali dalam kepolosan gadis desanya ia mulai bicara soal nikah dan bayi. Maka si pemuda menjadi panas dingin dan mencoba membuka kedoknya, namun tak sampai hati. Sampai pada suatu hari tuan rumah mengundangnya dalam suatu pesta. Dalam pesta itulah ia menjumpai si gadis tuan rumah, dan keluarganya terang-terangan mengharapkan pertunangan anak gadisnya. Dan pada saat itulah gadis pembantu masuk dan mengetahui segalanya. Maka kontan ia menyatakan diri keluar dari pekerjaannya dan mengembalikan uang gajinya .... 

Cerpen ini berbicara soal kemurnian hubungan manusia dan sistem sosial. Sistem sosial dan kelas sosial telah merusak kemurnian kemanusiaan. Gara-gara ada pembedaan "golongan" antara kelas jembel dari desa yang hina dan kelas terpelajar yang kaya dan sombong, maka percintaan murni itu telah lenyap dengan mengorbankan golongan kecil. 

Persoalan serupa dapat dijumpai dalam cerpen pertama yang berjudul "Omelette a Woburn" yang mengisahkan bagaimana seorang mahasiswa yang baru pulang belajar dari luar negeri dengan uang pas-pasan, harus menempuh petualangan untuk memenuhi hasrat ingin tahunya pada negeri lain, dan terjerumus ke dalam restoran kelas tinggi. Padahal si mahasiswa amat lapar dan ingin membelanjakan uangnya yang sedikit dengan makanan kelas mahasiswa yang murah dan banyak. Ternyata cara makan dan budaya makan kelas atas di restoran itu amat berbeda dengan budaya makan mahasiswa. Pesanan mahasiswa apa yang dinamakan Omelette a Woburn tak lain hanya telur dadar biasa yang amat tipis dan tak mungkin memenuhi hasrat kelaparannya. Maka dengan ketegangan tinggi ia menanti bayaran untuk telur dadar tipis itu. Ternyata uangnya masih cukup untuk dibayarkan. Neraka restoran itu ia tinggalkan dengan kebahagiaan besar, bukan karena kenyang tapi karena lepas dari budaya makan orang kaya yang mementingkan kehormatan makan daripada isi makanannya.

Begitulah cerpen-cerpen Hungaria ini telah disampaikan kepada kita dalam bahasa yang lancar dan enak dibaca dan dengan peristilahan yang benar pula, misalnya untuk "roti komuni" dalam misa agama Katolik (Ortodoks)?***

Sumber: Pikiran Rakyat, 10 Desember 1985




Rahasia Sukses Hongaria

Judul Buku : Sang Mahasiswa dan Sang Wanita
Penerbit : PT Grafiti Pers, Jakarta, Cetakan II, 1986
Halaman : 106 halaman 
Oleh : Prof. Dr. Fuad Hassan (Pengalih bahasa)

JUDUL kumpulan cerpen yang dialih-bahasakan oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hassan ini diangkat dari cerpen "Sang Mahasiswa dan Sang Wanita", karya pengarang Hongaria terkenal Lazlo Kamondy, yang hidup tahun 1928 - 1972.

Sebagaimana yang diakuinya sendiri--karena alih bahasa yang dilakukan adalah alih bahasa yang kedua, yaitu setelah karya aslinya dalam bahasa Hongaria ke dalam bahasa Inggris--maka hasil terjemahan ini oleh pengalih bahasa dikatakan tidak sempurna.

Agaknya dalam hal ini Fuad Hassan menyadari bahwa menerjemahkan bukanlah suatu pekerjaan yang terlampau gampang, apalagi menerjemahkan karya sastra di mana penerjemah mau tak mau dihadapkan pada kenyataan sukar untuk mentransformasikan ide, suasana, peristiwa, tokoh, serta gaya bercerita ke dalam bahasanya sendiri.

Tetapi dalam dasacarita (sepuluh cerita - Red.) pilihan pengalih bahasa dari kumpulan cerpen bunga rampai terbitan UNESCO, 44 Hungarian Short Stories (1979) ini diusahakan dalam terjemahannya tidak sampai mengubah arti dan maksud pengarang semula, apalagi mengubah suasana yang hendak ditampilkan oleh pengarangnya.

Kita barangkali bertanya-tanya mengapa Hongaria yang berpenduduk tak lebih dari sepuluh juta jiwa itu begitu terkenal. Bahkan bagi kebanyakan orang, termasuk Indonesia, negeri itu masih tetap merupakan sebuah misteri. Bagaimana tidak! Karena Hongaria begitu banyaknya menghasilkan manusia-manusia maestro.

Bila ingin mengambil contoh sarjana-sarjana kelas wahid, ambillah dari Hongaria. Tak berlebihan, sebab kenyataan membuktikan bahwa John von Neumann, Eugene Wigner, Albert Szent, Gyorgyi, Edmund Teller, Leo Szilard, adalah nama ilmuwan terkenal kelas dunia; bahkan dua di antaranya pernah meraih hadiah Nobel. 

Tak hanya berhenti di situ keunggulan Hongaria. Di bidang Ekonomi dan Film, misalnya, mereka sangat unggul. Siapa yang tidak mengenal aktor Leslie Howard yang selama bertahun-tahun lamanya mendominasi film-film di Inggris? Apalagi tentang sastra yang memberikan gambaran suatu masyarakat, Hongaria telah banyak melahirkan pengarang internasional yang terkumpul sekitar berkala Nyugat, yang berhaluan menentang tradisi-tradisi sastra konservatif.

Demikian bermutunya cerpen-cerpen dalam antologi ini, sehingga CP Snow dalam kata pengantarnya untuk edisi UNESCO Collection of Representative Work European Series mengatakan bahwa cerpen-cerpen ini akan mengajarkan sesuatu kepada kita, sesuatu yang sangat penting, tentang suatu negeri yang hebat dan suatu kesusasteraan yang hebat pula.

Sebagamana sub judulnya, antologi cerpen ini mengetengahkan sepuluh cerita yang ditulis sepuluh pengarang terkenal. Antara lain Dezo Kosztolanyi, Jozsi Jenoi Tersanzky, Sandor Hunyadi, Pal Szabo, Emil Kolozsvari Grandpierre, Gabor Goda, Imre Dobozy, Endre Fejes, Ferenc Santa, dan Laszio Kamondy.

Dengan segala talenta yang ada pada dirinya masing-masing pengarang menampilkan coraknya sendiri. Saya begitu terpukau ketika mengikuti cerpen ini satu demi satu, dan tak ingin berhenti sebelum ceritanya tamat. Tentu saja itu disebabkan karena tajamnya pengarang memantau setiap persoalan dan situasi manusia serta menggarap di dalam bentuk kesusasteraan yang sangat bermutu.

Timbul pertanyaan: Apakah hanya orang yang pernah tinggal di Hongaria dan mengerti seluk-beluk negeri itu saja yang dapat menikmati, meresapi, dan memiliki antologi cerpen ini? Tidak! Kendatipun ide-ide ceritanya sendiri mengambil kejadian, tokoh, situasi dan tempat di Hongaria; akan tetapi tidaklah mengubah suasana penghayatan kita, asalkan membacanya secara tepat.

Buku ini tak ayal lagi telah menjadi best-seller. Terbukti hanya dalam kurun waktu setahun saja sudah mengalami cetak ulang untuk yang kedua kalinya. Para kritisi sastra, sastrawan, dosen/guru sastra, mahasiswa/siswa, dan masyarakat sastra seyogianya memiliki sendiri buku ini.

Di samping itu bila ada yang ingin mencari jawab teka-teki keberhasilan Hongaria yang telah dan sedang menghasilkan tokoh unggul yang sama sekali tidak sebanding dengan jumlah penduduknya, maka buku ini adalah penuntun ke arah jawaban teka-teki itu. 

['SIM'/R. Masri Sareb Putra]

Sumber: 'SIM', 14 Desember 1986

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain