Oktober 2007
1
Bimbel Brilliant Club.
Potret sebuah bimbel tempat pelarian anak-anak putus asa yang mengharap sebuah
oase dari kerasnya dunia. Sesuatu yang ternyata tidak semua anak dapatkan di
bawah naungan rumahnya.
Bimbel BC juga menjadi ‘rumah’ yang nyaman bagi Elmo. Mamanya
memang tidak bersikap keras pada Elmo. Ia malah bercerita tentang kejadian di
arisan RT terakhir, ibu-ibu itu memaklumi Elmo tidak lulus SPMB dan menunjukkan
simpati. Ternyata mereka mengira STEI adalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam sehingga
wajar jika Elmo yang jurusannya IPA tidak tembus ke sana. Cerita itu malah
membuat papanya cemberut. Suasana rumah memang sedang nggak enak. Makanya,
walaupun sekarang sudah menjelang maghrib, Elmo menghabiskan waktu di BC yang
dengan senang hati menerimanya kembali sebagai murid pada tahun ini. Gratis.
Biasa, sebagai bentuk pertanggungjawaban bimbel.
Supaya ada yang menemani, Elmo memaksa Aze tiap hari untuk
datang dulu ke sini supaya apa yang mereka bahas malam sebelumnya di telepon
menjadi tambah jelas lalu Elmo akan mengantar Aze pulang. Tapi Elmo tidak tahu
kalau hari ini Aze baru akan tiba pada jam 6 sore. Sesorean itu Elmo harap-harap
cemas karena Aze tidak kunjung datang pada jadwal yang seharusnya. Tidak ada
pemberitahuan sama sekali. Tidak sms. Tidak misscall.
Ditelpon pun tidak diangkat.
Terdengar suara langkah kaki memasuki pekarangan dilatari azan
maghrib yang bersusul susul. Elmo tahu betul itu Aze. Anak tengil itu...!
“Elmo... maaf ya aku baru tau tadi kamu miskal miskol, hapeku
ditaruh di tas jadi nggak kedengeran deh...” Aze duduk di sebelah Elmo dan
mengambil Wili.
Hening. Elmo akhirnya merasa sangat suntuk setelah di-drill dengan soal dari siang, lalu
mengemasi barang-barangnya ke tas. Aze yang dari tadi hanya membelai-belai
kucing ikut beranjak. Elmo baru terpikir bahwa Aze mampir telat cuma untuk
bertemu Wili, kucing yang gemuk kayak Garfield itu, bukan untuk menemaninya.
Huh.
.
Di perjalanan pulang, seperti biasa Aze hendak memasang radio di
mobil Elmo. Memang baik Elmo kembali memiliki emosi. Tapi sayangnya, tiba-tiba
emosi Elmo menjadi sangat fluktuatif. Dan korbannya hanya Aze. Bukan para
pengajar BC, bukan anak-anak di sana, juga bukan Wili. Ke-BT-an Elmo ini serasa
memenuhi udara mobil sampai-sampai Aze akhirnya tidak berani untuk sekadar
menyalakan radio. Atau AC. Sesak. Sesak. Aze membuka jendela. Di tengah
kegelapan, Aze merasakan Elmo mendelik padanya. Aze cepat-cepat menutup kembali
jendela itu.
“Tadi ke mana dulu?”tanya Elmo berat. Aze mengerang dalam hati.
“Nggak kemana-mana..”
“Terus kenapa baru nyampe jam 6?!!” Elmo setengah membentak. Aze
berjengit, lalu memperingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukan MOS. Aze
menimbang-nimbang, ia lebih suka Elmo yang seperti tatib atau yang cunihin.
“Iya.. tadi aku nomat sama temen..terus...” suara Aze mengecil.
Elmo mendengus tidak sabar. Aze teringat kuda. Lalu teringat si
Mystery, kuda laut Spongebob. Lalu dia ingin tertawa. Tapi jangan ah. Jangan
mancing-mancing Elmo. Sebenarnya Aze ingin menyadarkan Elmo dari logika
berpikirnya yang aneh. Kenapa juga ia harus menunggui Aze pulang? Kenapa juga
Aze harus repot-repot mampir? Kenapa juga ia marah-marah? Aargh. Aneh. Aneh.
Kalau tidak mengingat utang budinya pada Elmo, Aze tidak akan memedulikan
kondisi kejiwaan Elmo yang labil. Ia akan main terus dengan teman-temannya.
Bikin pesta rujak lagi. Apalah. Oh iya.
Elmo, kita pesta rujak yuk
biar kamu nggak marah-marah melulu.
Tapi Aze tidak berani bilang. Jadi sisa perjalanan berlangsung
dalam kesunyian.
2
“Eh Nan, Ze, inget nggak jepit rambut yang minggu lalu kita beli
di BIP?”
“Iya, inget,”jawab Aze jemu. Mana ia bisa lupa? Gara-gara nomat
dan belanja jepit rambut, ia sampai di BC telat, Elmo marah-marah. Huh. Memang
Aze dayangnya? Tadi malam Elmo bahkan tidak menelponnya. Aze sendiri tidak enak
kalau harus menghubungi duluan.
“Kakak aku pingin yang kayak gitu katanya. Jadi nanti siang kita
ke situ lagi ya!”
“Aku nggak bisa, Dew,” kata salah satu kawanan Aze, ”Aku mau
nyiapin barang buat ke Kebumen. Itu, acara kawinan tea.”
“Yah.. si Fitri juga tadi katanya nggak bisa..” Aduh. Aze sudah
bisa menebak arah pembicaraan. “Aze, temenin aku ya?”
Aku nggak bisa, udah ada
janji. Sama cowok labil rese yang aura kemarahannya sangat menekan. Jadi aku
nggak bisa ikut. Lagian ulangan kemaren aku gagal total. Kamu mau tanggung
jawab? Aku mau minta diajarin. Nggak mau ikut. Gak. Gak mo mo lagi.
Aze mengangguk. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Sekarang ia hampir tidak pernah berani mengatakan apa yang ia pikirkan dan
penolakan-penolakan yang ingin ia ungkapkan. Coba ia seperti ini dari dulu,
pasti waktu itu ia tidak usah dipanggil ke kantor Kepsek.
3
Aze mengeraskan volume MP3 player-nya
ke tingkat suara yang bisa memecahkan gendang telinga. Ia gelisah, benar-benar
ingin tahu bagaimana prosedur solat istikharah.
Sekarang sudah jam 5, berarti terlambat 2 jam dari waktu standar Aze tiba di
BC. Rasanya Aze capek sekali, tidak sanggup kalau harus menghadapi Tsunami
Elmo. Tapi kalau hari ini ia tidak nongol dengan alasan apapun, besok pasti
kemarahan Elmo berkali-kali lipat. Kiamat Kubra Elmo. Ohmaigawd. Mana yang
lebih baik?
Tapi toh Aze turun juga di belokan BC. Apapun yang terjadi, ia
masih bisa minta bantuan Mas Fahri dan Mas Luki untuk membimbingnya. Dan masih
ada Wili. Peduli amat sama si anak manja. Elmo bukan tanggungjawabnya.
Setelah mengetuk pintu, Aze berjalan menuju ruang ujung, ruang
belajar mandiri karena hari ini bukan hari jatah belajar Aze. Resminya kan ia
murid Rabu-Sabtu. Jadi pada hari-hari lainnya, ia belajar bersama Elmo di situ.
Biasanya sih siang-siang begini, ruang itu cuma dipakai Elmo dan dia sendiri.
Tatapan kesal Elmo menyambut sosok Aze yang tanpa ekspresi.
“Telat lagi,”
Iya, maaf.
“Mau apa ke sini?”sergah Elmo.
Boleh minta diajarin nggak?
Ulangan kemarin, integral, parah ni.
Aze mengangguk sedikit pada Elmo seperti ia mengangguk pada
satpam yang patroli di komplek rumah, melepas ransel dan jaket bertudungnya,
duduk, dan mengeluarkan buku 1001 Soal SPMB Matematika. Setelah menemukan
halaman yang materi soalnya relevan dengan ulangan kemarin, Aze mulai
mengotret-ngotret. Metode menghafal soal, metode sesat andalannya selama ini
dalam mengerjakan soal-soal Try Out.
Elmo sekarang sudah tidak kesal lagi. Ia marah. Berani-beraninya
anak ingusan ini menjadikan dirinya kacang!!
“Heh. Enak banget lo ngacangin gue!” Elmo menyemprot Aze.
Si tersemprot mendongak dari kumpulan soalnya lalu menatap lurus
ke si penyemprot.
“Kamu tuh katanya pinter tapi kok logika berpikirnya nggak jalan
ya. Punya akal sehat gak sih?” tukas Aze dengan nada dingin kakak kelas yang
memplonco adik kelas. Seperti senior BKS yang sedang mendiklatsar. Ahaha.
Elmo seperti tersengat. Dasar adik kelas durhaka! Seumur-umur ia
memang hanya pernah membentak seperti tadi dalam suasana diklasar. Ia belum
pernah menghadapi situasi di mana sah-sah saja bagi tersemprot untuk
membetulkan logika berpikir penyemprot yang memang sering ngaco. Ia juga tidak
pernah menyangka Aze bisa mengeluarkan aura ‘senior’.
Mumpung masih punya keberanian, Aze melanjutkan dengan desisan.
“Sebenernya buat apa sih aku nemenin kamu? Kenapa itu jadi kewajiban aku sih?
Emang kamu siapa? Kenapa juga kamu malah marah-marah, coba?”
Aze menarik nafas. ”Sebenernya aku nggak usah nemenin kamu tau.
Kamu yang salah didik jadi anak manja, kenapa aku yang repot?” Tanpa sadar,
suara Aze meninggi di kalimat terakhir.
Pintu ruang belajar mandiri terbuka. Wajah Mas Fahri nongol,
menatap wajah Aze dan Elmo yang sama-sama merah. Dari tampang iseng di
wajahnya, Aze bisa menebak apa yang kira-kira akan dikatakan Mas Fahri.
“Ya ampun, kapan jadiannya? Tiba-tiba udah berantem lagi?”
Aze mengeluarkan suara ‘huh’ yang sarat rasa frustrasi, lalu
melewati Mas Fahri, mencari Wili.
4
Elmo mendapati Aze sedang duduk di lorong, membaca koran sambil
sesekali membelai rambut Wili.
“Oh ya ampun bukopin, raskin naik lagi!” Aze manggut manggut
serta memonyongkan bibir. Lagaknya sok aktivis.
Elmo duduk di sebelah Aze. Mukanya harap-harap cemas playboy kabel.
“Ze... Aze marah ya? Nanti pulang bareng Elmo kan?”
“...anak autis punya kemampuan...” gumam Aze tidak jelas membaca
judul koran.
Elmo memaksa dirinya tersenyum demi penegasan senjata bujuk rayu
yang akan segera dia operasikan.
“Mmm... K-CO oke? Abis
dari sini?”
“Gelombang laut naik 3 meter, warga pinggir pantai waspada.”
“Aze, kalo marah beneran maafin Elmo ya,” Elmo memelas.
“Pelantikan gubernur tidak perlu dipersoalkan. Jakarta banjir--!
Heh, ngomong apa, Kang?”
Elmo duduk di hadapan Aze. Ia menunduk dengan penuh
penyesalan.
Hati Aze berdesir ketika wajah itu diangkat.
“Maafin Elmo Ze. Aze ngerti kan Elmo masih gak bisa nguasain
emosi Elmo—”
“Maaf... Maaf... Kamu kira segampang itu?” sela Aze lantas buang
muka. Diucapkannya itu tanpa lebar-lebar membuka mulut. Aze berusaha untuk
tidak menatap wajah Elmo. Susah untuk tidak jatuh hati pada ekspresi seinosen
itu. Sekali-kali memang bocah ini harus diberi pelajaran.
“iya... Elmo paham Aze marah. Elmo... emm...’
“Apaan sih? Cepetan ngomong yang bener!” Keketusan yang
ditumpahkan Aze merupakan buah dari gejolak perasaannya yang tidak menentu ini.
Antara pertahanan diri dengan perasaan yang mulai sedikit trenyuh. Aze berprinsip
ia takkan mudah digoyahkan begitu saja.
Elmo menatap Aze lekat, seolah sedang menghimpun keyakinan untuk
mengutarakan sesuatu. Jari-jarinya terlipat menutupi mulutnya. Aze memandang
sekilas pada Elmo dan segera buang muka lagi karena jengah oleh tatap itu.
“Aze...” Elmo mencoba meraih tangannya. Aze refleks menariknya.
Sebelum Aze sempat menyemproti Elmo lagi karena perlakuan itu, tangan Elmo
menahan bahu Aze, “Elmo nggak bisa nahan diri... Elmo bingung kalo Aze nggak
ada.. ”
Aze tak bisa bergerak. Tak bisa berucap. Di satu sisi Aze
menyadari bahwa apa yang Elmo katakan itu tidak benar. Oke, mungkin dia tulus.
Mungkin dia sungguh-sungguh. Tapi itu tidak benar...
Aze mencoba memahami serentetan interaksi dan pengetahuannya
tentang Elmo sejak datang musibah itu hingga saat ini. Sebetulnya hal ini sudah
sering ia pikirkan sejak bermalam-malam lalu.
Oh, jangan mulai lagi Elmo.
Jangan mulai dengan segala kesenduan itu yang siapa sih yang nggak akan luluh
gara-gara itu?!
Aze marah pada dirinya sendiri karena pertahanannya runtuh perlahan.
“Oh. Iya. Nggak papa,” ucap Aze akhirnya, kaku. Sebetulnya keenakan banget buat si Elmo
kalau yang tadi itu bukanlah apa-apa buat aku.. Anjrit! Anjrit banget!
Danperasaaniniapakahnamanya..
“Aaah... Aze keliatannya masih marah!” Elmo merengek.
“Nggak. Nggak marah kok. Bener. Suer.” Aze bangun dari
ketertegunannya.
“Aze kek nggak tulus...”
“Ih kalo kamu rese gitu terus aku marah beneran lo.”
“Iya! Nggak gitu-gitu lagi deh...”
“Ya udah, ayo bangun! Cepat menyingkir!” Aze segera berdiri. Ia
tidak ingin Elmo sempat menangkap perasaanapakahininamanya yang begitu kuat
mengharu biru jiwanya.
5
Beberapa bintang muncul mempercantik malam namun masih kalah
gemerlap dengan pencahayaan kota di bawah jam 9 malam. Dalam Yaris, Aze dan
Elmo sedang larut dalam perasaan masing-masing.
“Aze, tadi di sekolah ngapain aja?”
Elmo berharap dengan pertanyaan itu Aze akan terpancing untuk
menceritakan segala kejadian yang menarik hatinya di sekolah dan supaya ia tahu
kalau kalau ada oknum yang ingin merebut Aze darinya.
Aze mampu meredam emosi jiwa Elmo. Elmo ingin sering bareng Aze.
Segalanya teredam.
“Mmm, ya gitu deh.,” jawab Aze.
“Ah, ayo cerita dong.”
“Nggak ah!”
Terdiam.
“Elmo, udah nyobain rotinya Roti Ngomong yang di dalamnya ada blueberrynya gak? Yang rasanya kek
permen. Enak loh.”
“Ya nanti atuh
kapan-kapan kita beli.”
“Punya uang gitu?” Aze mencoba mencairkan suasana.
“Ah, gampanglah.”
Yaris Elmo berhenti di depan rumah Aze bersamaan dengan beberapa
orang tamu keluar dari dalam dan pergi sesudah mengucapkan basa basi terakhir
dengan orangtua Aze. Yang mana mereka terpaku dengan wajah horor di teras rumah
ketika menyaksikan Elmo membukakan pintu untuk anak gadis sulung mereka. Aze
turun dan tak menyangka adegan yang jarang dilakukan Elmo untuknya itu akan
disaksikan orangtuanya. Wajahnya sepeti habis kena teror. Elmo yang menyadari
ada orangtua dengan profesional tesenyum sopan sebelum kembali duduk di kursi pengemudi. Oh, ya, dia
sudah biasa melakukan itu.
Sepeninggal Elmo adalah anak beranak saling tatap dalam
kebengongan yang penuh horor dan teror. Ketika Aze masuk ke dalam, orangtua Aze
mengekor di belakangnya seakan Aze adalah anak kandung mereka yang baru kembali
setelah sekian lama diasuh keluarga kerajaan.
“Itu pacar Yana?” tanya mama Aze kaku.
“Bukan,” jawab Aze. “ Kakak kelas.”
“Yang waktu itu diusir orangtuanya?” tanya papa Aze mesem-mesem
sambil duduk di sofa kebesaran. Aaa,
anakku sudah besar. Papa Aze terpikir sehabis ini ia akan menginventaris
kekayaannya dan pikirannya itu langsung berasosiasi pada resepsi pernikahan
sederhana di rumah dengan meminjam sebagian halaman rumah tetangga.
“Ya gitu deh!” jawab Aze singkat dan segera masuk kamarnya.
Hatinya gundah gulana dan tak sengaja pintu terbanting. Kedua orangtua berang
seketika dan suasana rumah yang awalnya mulai bernuansa rapat keluarga yang
anak gadisnya beranjak matang menjadi buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar