Jumat, 06 Juni 2008

Girl, You Know That I Still Need You/ Pick It Up And We’ll Find A Way

Oktober 2007


1

Bimbel Brilliant Club. Potret sebuah bimbel tempat pelarian anak-anak putus asa yang mengharap sebuah oase dari kerasnya dunia. Sesuatu yang ternyata tidak semua anak dapatkan di bawah naungan rumahnya.

Bimbel BC juga menjadi ‘rumah’ yang nyaman bagi Elmo. Mamanya memang tidak bersikap keras pada Elmo. Ia malah bercerita tentang kejadian di arisan RT terakhir, ibu-ibu itu memaklumi Elmo tidak lulus SPMB dan menunjukkan simpati. Ternyata mereka mengira STEI adalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam sehingga wajar jika Elmo yang jurusannya IPA tidak tembus ke sana. Cerita itu malah membuat papanya cemberut. Suasana rumah memang sedang nggak enak. Makanya, walaupun sekarang sudah menjelang maghrib, Elmo menghabiskan waktu di BC yang dengan senang hati menerimanya kembali sebagai murid pada tahun ini. Gratis. Biasa, sebagai bentuk pertanggungjawaban bimbel.

Supaya ada yang menemani, Elmo memaksa Aze tiap hari untuk datang dulu ke sini supaya apa yang mereka bahas malam sebelumnya di telepon menjadi tambah jelas lalu Elmo akan mengantar Aze pulang. Tapi Elmo tidak tahu kalau hari ini Aze baru akan tiba pada jam 6 sore. Sesorean itu Elmo harap-harap cemas karena Aze tidak kunjung datang pada jadwal yang seharusnya. Tidak ada pemberitahuan sama sekali. Tidak sms. Tidak misscall. Ditelpon pun tidak diangkat.

Terdengar suara langkah kaki memasuki pekarangan dilatari azan maghrib yang bersusul susul. Elmo tahu betul itu Aze. Anak tengil itu...!

“Elmo... maaf ya aku baru tau tadi kamu miskal miskol, hapeku ditaruh di tas jadi nggak kedengeran deh...” Aze duduk di sebelah Elmo dan mengambil Wili.

Hening. Elmo akhirnya merasa sangat suntuk setelah di-drill dengan soal dari siang, lalu mengemasi barang-barangnya ke tas. Aze yang dari tadi hanya membelai-belai kucing ikut beranjak. Elmo baru terpikir bahwa Aze mampir telat cuma untuk bertemu Wili, kucing yang gemuk kayak Garfield itu, bukan untuk menemaninya. Huh.

.

Di perjalanan pulang, seperti biasa Aze hendak memasang radio di mobil Elmo. Memang baik Elmo kembali memiliki emosi. Tapi sayangnya, tiba-tiba emosi Elmo menjadi sangat fluktuatif. Dan korbannya hanya Aze. Bukan para pengajar BC, bukan anak-anak di sana, juga bukan Wili. Ke-BT-an Elmo ini serasa memenuhi udara mobil sampai-sampai Aze akhirnya tidak berani untuk sekadar menyalakan radio. Atau AC. Sesak. Sesak. Aze membuka jendela. Di tengah kegelapan, Aze merasakan Elmo mendelik padanya. Aze cepat-cepat menutup kembali jendela itu.

“Tadi ke mana dulu?”tanya Elmo berat. Aze mengerang dalam hati.

“Nggak kemana-mana..”

“Terus kenapa baru nyampe jam 6?!!” Elmo setengah membentak. Aze berjengit, lalu memperingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukan MOS. Aze menimbang-nimbang, ia lebih suka Elmo yang seperti tatib atau yang cunihin.

“Iya.. tadi aku nomat sama temen..terus...” suara Aze mengecil.

Elmo mendengus tidak sabar. Aze teringat kuda. Lalu teringat si Mystery, kuda laut Spongebob. Lalu dia ingin tertawa. Tapi jangan ah. Jangan mancing-mancing Elmo. Sebenarnya Aze ingin menyadarkan Elmo dari logika berpikirnya yang aneh. Kenapa juga ia harus menunggui Aze pulang? Kenapa juga Aze harus repot-repot mampir? Kenapa juga ia marah-marah? Aargh. Aneh. Aneh. Kalau tidak mengingat utang budinya pada Elmo, Aze tidak akan memedulikan kondisi kejiwaan Elmo yang labil. Ia akan main terus dengan teman-temannya. Bikin pesta rujak lagi. Apalah. Oh iya.

Elmo, kita pesta rujak yuk biar kamu nggak marah-marah melulu.

Tapi Aze tidak berani bilang. Jadi sisa perjalanan berlangsung dalam kesunyian.

 

2

“Eh Nan, Ze, inget nggak jepit rambut yang minggu lalu kita beli di BIP?”

“Iya, inget,”jawab Aze jemu. Mana ia bisa lupa? Gara-gara nomat dan belanja jepit rambut, ia sampai di BC telat, Elmo marah-marah. Huh. Memang Aze dayangnya? Tadi malam Elmo bahkan tidak menelponnya. Aze sendiri tidak enak kalau harus menghubungi duluan.

“Kakak aku pingin yang kayak gitu katanya. Jadi nanti siang kita ke situ lagi ya!”

“Aku nggak bisa, Dew,” kata salah satu kawanan Aze, ”Aku mau nyiapin barang buat ke Kebumen. Itu, acara kawinan tea.”

“Yah.. si Fitri juga tadi katanya nggak bisa..” Aduh. Aze sudah bisa menebak arah pembicaraan. “Aze, temenin aku ya?”

Aku nggak bisa, udah ada janji. Sama cowok labil rese yang aura kemarahannya sangat menekan. Jadi aku nggak bisa ikut. Lagian ulangan kemaren aku gagal total. Kamu mau tanggung jawab? Aku mau minta diajarin. Nggak mau ikut. Gak. Gak mo mo lagi.

Aze mengangguk. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sekarang ia hampir tidak pernah berani mengatakan apa yang ia pikirkan dan penolakan-penolakan yang ingin ia ungkapkan. Coba ia seperti ini dari dulu, pasti waktu itu ia tidak usah dipanggil ke kantor Kepsek.

           

3

Aze mengeraskan volume MP3 player-nya ke tingkat suara yang bisa memecahkan gendang telinga. Ia gelisah, benar-benar ingin tahu bagaimana prosedur solat istikharah. Sekarang sudah jam 5, berarti terlambat 2 jam dari waktu standar Aze tiba di BC. Rasanya Aze capek sekali, tidak sanggup kalau harus menghadapi Tsunami Elmo. Tapi kalau hari ini ia tidak nongol dengan alasan apapun, besok pasti kemarahan Elmo berkali-kali lipat. Kiamat Kubra Elmo. Ohmaigawd. Mana yang lebih baik?

Tapi toh Aze turun juga di belokan BC. Apapun yang terjadi, ia masih bisa minta bantuan Mas Fahri dan Mas Luki untuk membimbingnya. Dan masih ada Wili. Peduli amat sama si anak manja. Elmo bukan tanggungjawabnya.

Setelah mengetuk pintu, Aze berjalan menuju ruang ujung, ruang belajar mandiri karena hari ini bukan hari jatah belajar Aze. Resminya kan ia murid Rabu-Sabtu. Jadi pada hari-hari lainnya, ia belajar bersama Elmo di situ. Biasanya sih siang-siang begini, ruang itu cuma dipakai Elmo dan dia sendiri.

Tatapan kesal Elmo menyambut sosok Aze yang tanpa ekspresi.

“Telat lagi,”

Iya, maaf.

“Mau apa ke sini?”sergah Elmo.

Boleh minta diajarin nggak? Ulangan kemarin, integral,  parah ni.

Aze mengangguk sedikit pada Elmo seperti ia mengangguk pada satpam yang patroli di komplek rumah, melepas ransel dan jaket bertudungnya, duduk, dan mengeluarkan buku 1001 Soal SPMB Matematika. Setelah menemukan halaman yang materi soalnya relevan dengan ulangan kemarin, Aze mulai mengotret-ngotret. Metode menghafal soal, metode sesat andalannya selama ini dalam mengerjakan soal-soal Try Out.

Elmo sekarang sudah tidak kesal lagi. Ia marah. Berani-beraninya anak ingusan ini menjadikan dirinya kacang!!

“Heh. Enak banget lo ngacangin gue!” Elmo menyemprot Aze.

Si tersemprot mendongak dari kumpulan soalnya lalu menatap lurus ke si penyemprot.

“Kamu tuh katanya pinter tapi kok logika berpikirnya nggak jalan ya. Punya akal sehat gak sih?” tukas Aze dengan nada dingin kakak kelas yang memplonco adik kelas. Seperti senior BKS yang sedang mendiklatsar. Ahaha.

Elmo seperti tersengat. Dasar adik kelas durhaka! Seumur-umur ia memang hanya pernah membentak seperti tadi dalam suasana diklasar. Ia belum pernah menghadapi situasi di mana sah-sah saja bagi tersemprot untuk membetulkan logika berpikir penyemprot yang memang sering ngaco. Ia juga tidak pernah menyangka Aze bisa mengeluarkan aura ‘senior’.

Mumpung masih punya keberanian, Aze melanjutkan dengan desisan. “Sebenernya buat apa sih aku nemenin kamu? Kenapa itu jadi kewajiban aku sih? Emang kamu siapa? Kenapa juga kamu malah marah-marah, coba?”

Aze menarik nafas. ”Sebenernya aku nggak usah nemenin kamu tau. Kamu yang salah didik jadi anak manja, kenapa aku yang repot?” Tanpa sadar, suara Aze meninggi di kalimat terakhir.

Pintu ruang belajar mandiri terbuka. Wajah Mas Fahri nongol, menatap wajah Aze dan Elmo yang sama-sama merah. Dari tampang iseng di wajahnya, Aze bisa menebak apa yang kira-kira akan dikatakan Mas Fahri.

“Ya ampun, kapan jadiannya? Tiba-tiba udah berantem lagi?”

Aze mengeluarkan suara ‘huh’ yang sarat rasa frustrasi, lalu melewati Mas Fahri, mencari Wili.

 

4

Elmo mendapati Aze sedang duduk di lorong, membaca koran sambil sesekali membelai rambut Wili.

“Oh ya ampun bukopin, raskin naik lagi!” Aze manggut manggut serta memonyongkan bibir. Lagaknya sok aktivis.

Elmo duduk di sebelah Aze. Mukanya harap-harap cemas playboy kabel.

“Ze... Aze marah ya? Nanti pulang bareng Elmo kan?”

“...anak autis punya kemampuan...” gumam Aze tidak jelas membaca judul koran.  

Elmo memaksa dirinya tersenyum demi penegasan senjata bujuk rayu yang akan segera dia operasikan.

“Mmm... K-CO  oke? Abis dari sini?”

“Gelombang laut naik 3 meter, warga pinggir pantai waspada.”

“Aze, kalo marah beneran maafin Elmo ya,” Elmo memelas.

“Pelantikan gubernur tidak perlu dipersoalkan. Jakarta banjir--! Heh, ngomong apa, Kang?”

Elmo duduk di hadapan Aze. Ia menunduk dengan penuh penyesalan. 

Hati Aze berdesir ketika wajah itu diangkat.

“Maafin Elmo Ze. Aze ngerti kan Elmo masih gak bisa nguasain emosi Elmo—”

“Maaf... Maaf... Kamu kira segampang itu?” sela Aze lantas buang muka. Diucapkannya itu tanpa lebar-lebar membuka mulut. Aze berusaha untuk tidak menatap wajah Elmo. Susah untuk tidak jatuh hati pada ekspresi seinosen itu. Sekali-kali memang bocah ini harus diberi pelajaran.

“iya... Elmo paham Aze marah. Elmo... emm...’

“Apaan sih? Cepetan ngomong yang bener!” Keketusan yang ditumpahkan Aze merupakan buah dari gejolak perasaannya yang tidak menentu ini. Antara pertahanan diri dengan perasaan yang mulai sedikit trenyuh. Aze berprinsip ia takkan mudah digoyahkan begitu saja.

Elmo menatap Aze lekat, seolah sedang menghimpun keyakinan untuk mengutarakan sesuatu. Jari-jarinya terlipat menutupi mulutnya. Aze memandang sekilas pada Elmo dan segera buang muka lagi karena jengah oleh tatap itu.

“Aze...” Elmo mencoba meraih tangannya. Aze refleks menariknya. Sebelum Aze sempat menyemproti Elmo lagi karena perlakuan itu, tangan Elmo menahan bahu Aze, “Elmo nggak bisa nahan diri... Elmo bingung kalo Aze nggak ada.. ”

Aze tak bisa bergerak. Tak bisa berucap. Di satu sisi Aze menyadari bahwa apa yang Elmo katakan itu tidak benar. Oke, mungkin dia tulus. Mungkin dia sungguh-sungguh. Tapi itu tidak benar...

Aze mencoba memahami serentetan interaksi dan pengetahuannya tentang Elmo sejak datang musibah itu hingga saat ini. Sebetulnya hal ini sudah sering ia pikirkan sejak bermalam-malam lalu.

Oh, jangan mulai lagi Elmo. Jangan mulai dengan segala kesenduan itu yang siapa sih yang nggak akan luluh gara-gara itu?! Aze marah pada dirinya sendiri karena pertahanannya runtuh perlahan.

“Oh. Iya. Nggak papa,” ucap Aze akhirnya, kaku. Sebetulnya keenakan banget buat si Elmo kalau yang tadi itu bukanlah apa-apa buat aku.. Anjrit! Anjrit banget!

Danperasaaniniapakahnamanya..

“Aaah... Aze keliatannya masih marah!” Elmo merengek.

“Nggak. Nggak marah kok. Bener. Suer.” Aze bangun dari ketertegunannya.

“Aze kek nggak tulus...”

“Ih kalo kamu rese gitu terus aku marah beneran lo.”

“Iya! Nggak gitu-gitu lagi deh...”

“Ya udah, ayo bangun! Cepat menyingkir!” Aze segera berdiri. Ia tidak ingin Elmo sempat menangkap perasaanapakahininamanya yang begitu kuat mengharu biru jiwanya.          

 

5

Beberapa bintang muncul mempercantik malam namun masih kalah gemerlap dengan pencahayaan kota di bawah jam 9 malam. Dalam Yaris, Aze dan Elmo sedang larut dalam perasaan masing-masing.

“Aze, tadi di sekolah ngapain aja?”

Elmo berharap dengan pertanyaan itu Aze akan terpancing untuk menceritakan segala kejadian yang menarik hatinya di sekolah dan supaya ia tahu kalau kalau ada oknum yang ingin merebut Aze darinya.

Aze mampu meredam emosi jiwa Elmo. Elmo ingin sering bareng Aze. Segalanya teredam.

“Mmm, ya gitu deh.,” jawab Aze.

“Ah, ayo cerita dong.”

“Nggak ah!”

Terdiam.

“Elmo, udah nyobain rotinya Roti Ngomong yang di dalamnya ada blueberrynya gak? Yang rasanya kek permen. Enak loh.”

“Ya nanti atuh kapan-kapan kita beli.”

“Punya uang gitu?” Aze mencoba mencairkan suasana.

“Ah, gampanglah.”

Yaris Elmo berhenti di depan rumah Aze bersamaan dengan beberapa orang tamu keluar dari dalam dan pergi sesudah mengucapkan basa basi terakhir dengan orangtua Aze. Yang mana mereka terpaku dengan wajah horor di teras rumah ketika menyaksikan Elmo membukakan pintu untuk anak gadis sulung mereka. Aze turun dan tak menyangka adegan yang jarang dilakukan Elmo untuknya itu akan disaksikan orangtuanya. Wajahnya sepeti habis kena teror. Elmo yang menyadari ada orangtua dengan profesional tesenyum sopan sebelum  kembali duduk di kursi pengemudi. Oh, ya, dia sudah biasa melakukan itu.

Sepeninggal Elmo adalah anak beranak saling tatap dalam kebengongan yang penuh horor dan teror. Ketika Aze masuk ke dalam, orangtua Aze mengekor di belakangnya seakan Aze adalah anak kandung mereka yang baru kembali setelah sekian lama diasuh keluarga kerajaan.

“Itu pacar Yana?” tanya mama Aze kaku.

“Bukan,” jawab Aze. “ Kakak kelas.”

“Yang waktu itu diusir orangtuanya?” tanya papa Aze mesem-mesem sambil duduk di sofa kebesaran. Aaa, anakku sudah besar. Papa Aze terpikir sehabis ini ia akan menginventaris kekayaannya dan pikirannya itu langsung berasosiasi pada resepsi pernikahan sederhana di rumah dengan meminjam sebagian halaman rumah tetangga.

“Ya gitu deh!” jawab Aze singkat dan segera masuk kamarnya. Hatinya gundah gulana dan tak sengaja pintu terbanting. Kedua orangtua berang seketika dan suasana rumah yang awalnya mulai bernuansa rapat keluarga yang anak gadisnya beranjak matang menjadi buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain