Mada bangun
kesiangan karena disengaja. Ia sudah tersadar pada pukul setengah lima pagi
lantas solat subuh, namun hendak digapainya kembali alam mimpi. Ingin dipertahankannya
tubuh itu menempel pada kasur busa dan membiarkan bantalnya jadi penampung air
mata. Namun ia tidak bisa. Ia punya acara.
Dengan berat
hati bangunlah Mada. Tertatih-tatih ia berjalan untuk menyiapkan diri.
.
Mada sudah
berjalan lima menit jauhnya dari rumah. Kini ia sampai di tepi jalan raya.
Menoleh ke kiri dan kanan.
Ia membayangkan
suara benturan keras dua benda. Lalu dirinya melayang atau terseret sejauh
beberapa meter sebelum akhirnya berhenti bergerak sama sekali. Darahnya
memerahi hitam aspal, yang mengucur dari kepalanya. Matanya menerawang dengan
air muka penuh kesedihan.
Ia mengurungkan
niatnya untuk menabrakkan diri pada kendaraan yang tengah melaju kencang.
.
Mada berjalan
menyusuri jembatan—jalan pintas menuju kampusnya. Disempatkannya menengok ke
bawah. Dilihatnya riak air kecoklatan beradu dengan batu-batu. Kepalanya akan
pecah jika menimpa salah satu dari batu-batu itu dengan kecepatan sedemikian
rupa.
Ia mengurungkan
niatnya untuk menjatuhkan diri ke bawah sana.
.
Sesampainya di
kampus, Mada menemui temannya di lapangan parkir.
Maaf ya lama
nunggu, katanya, biar saya aja yang nyetir.
Temannya
menyerahkan kunci motornya pada Mada. Mereka berdua berboncengan menuju gerbang
kampus dengan Mada yang memegang stang.
Memasuki jalan
raya, Mada mempercepat laju motor. Tak disangka ada motor lain menyalip dengan
kencang dari arah kiri. Membuat Mada membelokkan arah motor ke kanan. Namun
ternyata ada mobil dari arah yang berlawanan. Tabrakan yang menewaskan bisa
saja terjadi. Mada terjepit di antara dua moncong mobil—ada mobil lain juga
ternyata dari arah belakang—sementara temannya terlontar ke samping.
Dengan sigap ia
berkelit lagi ke kiri. Ia mengurungkan niatnya untuk memberikan peluang
kecelakaan tersebut terjadi.
.
Mada menaiki
tangga menuju atap gedung kampus. Dijinjingnya plastik berisi soft drink dan cemilan yang dibelinya
sepulang dari mengantar proposal ke pusat pemerintahan. Di atap gedung,
ditemukannya langit biru luas terbentang dengan sedikit awan putih dan seorang
temannya yang lain sedang duduk di tepi. Di hadapannya terdapat tripod dan
kamera.
Dapat gambar
yang bagus? tanya Mada sambil menyodorkan plastik bawaannya. Temannya
mengambilnya.
Lumayan,
katanya.
Temannya itu
bisa saja mendapatkan sebuah objek yang amat bagus dan langka; sesosok tubuh
manusia jatuh ke bawah dari atap gedung ini. Semua orang yang sedang duduk di
tepi jendela, tengah bosan memandang ke luar, akan seketika terperangah dan
lari ke luar ruangan. Kemudian penuhlah di bawah sana, mereka mengerumuni
sesosok tak bernyawa dengan kepala pecah. Selanjutnya temannya itu akan jadi
terpidana karena tidak mencegah seseorang menjemput kematian dengan caranya
sendiri.
Mada
mengurungkan niatnya untuk menjatuhkan diri dari atap gedung.
.
Mada menyusul
temannya yang telah lebih dulu berjalan ke dalam bangunan rumah sakit.
Didekapnya keranjang penuh berisi buah-buahan. Untuk menuju ke lantai 3, mereka
hanya boleh menaiki tangga, tidak boleh lift. Di tengah jalan, mereka
berpapasan dengan dua orang perawat yang mendorong sebuah kasur berjalan. Kain
putih yang menutupi sekujur kasur mencetak sesosok tubuh kaku manusia di
baliknya.
Tidak. Tidak.
Mada memejamkan mata. Saya tidak mau mati di rumah sakit.
.
Diantar teman,
Mada pulang ke rumahnya menjelang larut malam. Setelah membershkan tubuhnya ia
langsung menghempaskan diri ke kasur. Terlelap ia sebentar kemudian sadar dan
tidak bisa melarikan lagi dirinya ke alam mimpi. Ia gelisah. Berkali-kali
berganti posisi.
Tidak. Tidak.
Saya tidak mau mati terlelap, pikirnya gusar.
Ia bangun dan
membasahi beberapa bagian tubuhnya dengan air wudhu. Didirikannya malam. Dalam
sujud ia berdoa, Ya Allah, tutuplah kehidupan saya ketika saya sedang
memperjuangkan kebenaran-Mu. Dan begitu seterusnya niat yang melandasi pikiran,
lisan, dan perilaku saya, meskipun saya masih diberi kesempatan hidup sampai
jadi lansia. Dan ketika saat itu tiba, berikanlah saya kesempatan untuk
mengucapkan, ‘La ilaha ilallah... Muhammadan abduhu wa rasuluhu..’
.
Pukul enam pagi
ketika hari kemarin sudah berganti menjadi esok yang telah menjadi hari ini,
pembantu rumah Mada telah mengetuk pintu kamar berkali-kali. Tak ada jawaban.
Di dalam sunyi saja akan tetapi lampu kamar masihlah menyala terang. Dengan
ragu-ragu dibukanya pintu kamar dan mendapati sesosok tubuh yang sedang
bersujud. Ditungguinya tubuh itu bangun dan menyelesaikan rukun-rukun yang
tersisa, setelah itu barulah ia bisa menyampaikan maksudnya. Namun tubuh itu
telah lama kaku.
-akhir februari 2009-
15.09 WIB
-menghapus kata ‘malang’ pada 24 mei 2009-
0.20 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar