Sabtu, 28 Februari 2009

Mada Menjelang Mati

Mada bangun kesiangan karena disengaja. Ia sudah tersadar pada pukul setengah lima pagi lantas solat subuh, namun hendak digapainya kembali alam mimpi. Ingin dipertahankannya tubuh itu menempel pada kasur busa dan membiarkan bantalnya jadi penampung air mata. Namun ia tidak bisa. Ia punya acara.

Dengan berat hati bangunlah Mada. Tertatih-tatih ia berjalan untuk menyiapkan diri.

.

Mada sudah berjalan lima menit jauhnya dari rumah. Kini ia sampai di tepi jalan raya. Menoleh ke kiri dan kanan.

Ia membayangkan suara benturan keras dua benda. Lalu dirinya melayang atau terseret sejauh beberapa meter sebelum akhirnya berhenti bergerak sama sekali. Darahnya memerahi hitam aspal, yang mengucur dari kepalanya. Matanya menerawang dengan air muka penuh kesedihan.

Ia mengurungkan niatnya untuk menabrakkan diri pada kendaraan yang tengah melaju kencang.

.

Mada berjalan menyusuri jembatan—jalan pintas menuju kampusnya. Disempatkannya menengok ke bawah. Dilihatnya riak air kecoklatan beradu dengan batu-batu. Kepalanya akan pecah jika menimpa salah satu dari batu-batu itu dengan kecepatan sedemikian rupa.

Ia mengurungkan niatnya untuk menjatuhkan diri ke bawah sana.

.

Sesampainya di kampus, Mada menemui temannya di lapangan parkir.

Maaf ya lama nunggu, katanya, biar saya aja yang nyetir.

Temannya menyerahkan kunci motornya pada Mada. Mereka berdua berboncengan menuju gerbang kampus dengan Mada yang memegang stang.

Memasuki jalan raya, Mada mempercepat laju motor. Tak disangka ada motor lain menyalip dengan kencang dari arah kiri. Membuat Mada membelokkan arah motor ke kanan. Namun ternyata ada mobil dari arah yang berlawanan. Tabrakan yang menewaskan bisa saja terjadi. Mada terjepit di antara dua moncong mobil—ada mobil lain juga ternyata dari arah belakang—sementara temannya terlontar ke samping.

Dengan sigap ia berkelit lagi ke kiri. Ia mengurungkan niatnya untuk memberikan peluang kecelakaan tersebut terjadi.

.

Mada menaiki tangga menuju atap gedung kampus. Dijinjingnya plastik berisi soft drink dan cemilan yang dibelinya sepulang dari mengantar proposal ke pusat pemerintahan. Di atap gedung, ditemukannya langit biru luas terbentang dengan sedikit awan putih dan seorang temannya yang lain sedang duduk di tepi. Di hadapannya terdapat tripod dan kamera.

Dapat gambar yang bagus? tanya Mada sambil menyodorkan plastik bawaannya. Temannya mengambilnya.

Lumayan, katanya.

Temannya itu bisa saja mendapatkan sebuah objek yang amat bagus dan langka; sesosok tubuh manusia jatuh ke bawah dari atap gedung ini. Semua orang yang sedang duduk di tepi jendela, tengah bosan memandang ke luar, akan seketika terperangah dan lari ke luar ruangan. Kemudian penuhlah di bawah sana, mereka mengerumuni sesosok tak bernyawa dengan kepala pecah. Selanjutnya temannya itu akan jadi terpidana karena tidak mencegah seseorang menjemput kematian dengan caranya sendiri.

Mada mengurungkan niatnya untuk menjatuhkan diri dari atap gedung.

.

Mada menyusul temannya yang telah lebih dulu berjalan ke dalam bangunan rumah sakit. Didekapnya keranjang penuh berisi buah-buahan. Untuk menuju ke lantai 3, mereka hanya boleh menaiki tangga, tidak boleh lift. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan dua orang perawat yang mendorong sebuah kasur berjalan. Kain putih yang menutupi sekujur kasur mencetak sesosok tubuh kaku manusia di baliknya.

Tidak. Tidak. Mada memejamkan mata. Saya tidak mau mati di rumah sakit.

.

Diantar teman, Mada pulang ke rumahnya menjelang larut malam. Setelah membershkan tubuhnya ia langsung menghempaskan diri ke kasur. Terlelap ia sebentar kemudian sadar dan tidak bisa melarikan lagi dirinya ke alam mimpi. Ia gelisah. Berkali-kali berganti posisi.

Tidak. Tidak. Saya tidak mau mati terlelap, pikirnya gusar.

Ia bangun dan membasahi beberapa bagian tubuhnya dengan air wudhu. Didirikannya malam. Dalam sujud ia berdoa, Ya Allah, tutuplah kehidupan saya ketika saya sedang memperjuangkan kebenaran-Mu. Dan begitu seterusnya niat yang melandasi pikiran, lisan, dan perilaku saya, meskipun saya masih diberi kesempatan hidup sampai jadi lansia. Dan ketika saat itu tiba, berikanlah saya kesempatan untuk mengucapkan, ‘La ilaha ilallah... Muhammadan abduhu wa rasuluhu..’

.

Pukul enam pagi ketika hari kemarin sudah berganti menjadi esok yang telah menjadi hari ini, pembantu rumah Mada telah mengetuk pintu kamar berkali-kali. Tak ada jawaban. Di dalam sunyi saja akan tetapi lampu kamar masihlah menyala terang. Dengan ragu-ragu dibukanya pintu kamar dan mendapati sesosok tubuh yang sedang bersujud. Ditungguinya tubuh itu bangun dan menyelesaikan rukun-rukun yang tersisa, setelah itu barulah ia bisa menyampaikan maksudnya. Namun tubuh itu telah lama kaku.

 

-akhir februari 2009-

15.09 WIB

-menghapus kata ‘malang’ pada 24 mei 2009-

0.20 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain