Kaum
Parsimonious membuat gubuk—begitu mereka menyebutnya—mereka di pinggiran kota.
Jauh dari hiruk pikuk masyarakat kota dan tidak ada yang bisa membujuk mereka
untuk membeli barang-barang yang tidak mereka perlukan.
Brangkal
merupakan bahan utama yang digunakan Kaum Parsimonious untuk membangun gubuk
mereka. Mereka mengolahnya lagi sehingga layak dipakai. Jika mereka membutuhkan
yang lain mereka akan mengambil secukupnya. Gubuk itu dirancang bersama-sama
dan seorang pensiunan insinyur sipil di antara mereka memberitahu bahan mana
yang baik untuk dijadikan bagian apa. Gubuk itu masih utuh meski angin puting
beliung dan gempa pernah menghampiri daerah tersebut.
Ruang
utama gubuk mampu menampung puluhan anggota Kaum Parsimonious. Ruangan itu
temaram karena mereka belum merasa butuh untuk mengganti lampunya dengan lampu
100 watt. Mereka menggunakan ruangan itu hanya untuk rapat atau kegiatan verbal
lainnya yang tidak membutuhkan pencahayaan tinggi.
Di satu
sisi terpampang sebuah papan ukuran besar yang bersih dari serangan debu. Papan
itu berisi tulisan demikian:
P R I N S I P – P R I N S I P
K A U M P A R S I M O N I O U S
1
Gunakan akal pikiranmu.
Pasti ada jalan keluar untuk setiap masalah.
2
Carilah penghasilan sendiri.
3
Simpan untuk orang lain dan diri sendiri untuk masa depan.
4
Gunakan jika menyangkut kebutuhan hidup yang vital.
Pilih produk yang murah tapi berkualitas
5
Untuk kebutuhan yang tidak terlalu vital, terapkan selalu 3R: Reuse, Recycle, Refill.
Ingat selalu prinsip “dengan modal kecil mendapatkan keuntungan secukupnya”
6
Manfaatkan kebaikan orang lain tanpa harus kehilangan harga diri. Jangan
melewatkan orang-orang ikhlas yang memberikan gratis.
7
Bermurahhatilah. Maka orang lain pun akan bermurah hari padamu.
Kaum
Parsimonious berpegang pada ketujuh prinsip ini dalam urusan mereka yang
berhubungan dengan finansial.
Kamis malam ini, yang merupakan jadwal pertemuan rutin diadakan, ruangan itu tengah diisi sekitar duapuluhan anggota. Mereka duduk melingkar dan tampak serius membicarakan sesuatu.
“Terimb
membeli silikon untuk membungkus ponselnya,” seorang wanita mendesis.
“Kemarin
kita sudah sepakat bahwa kita tidak membutuhkannya kalau kita bisa menjaga
barang kita dengan hati-hati,” sahut seorang pemuda yang berpeci hijau.
“Tapi
tidak ada yang bisa menjamin kalau kita bisa selalu bersikap hati-hati,”
celetuk seseorang dengan lantang.
“Kalau
kita menggunakan pelindung, itu akan mengurangi kehati-hatian kita. Jatuh
sesekali mungkin tidak apa-apa. Itu akan menjadi pengingat bagi kita untuk
selalu berhati-hati menjaga barang kita,” balas si pemuda berpeci hijau lagi.
“Ya,
sesungguhnya kita tidak membutuhkannya. Kaum Enturpeneer telah mempengaruhi masyarakat
sedemikian rupa sehingga mereka merasa membutuhkannya,” tambah seorang
perempuan yang sedang memelintir tali yang menjuntai dari rok belelnya.
“Bagaimana
dengan Konstipastop?”
“Apa itu?”
“Obat
sembelit. Aku melihat Hilda memborongnya kemarin.”
“Satu lagi
anggota kita yang kelebihan uangnya,” gumam seseorang. “Padahal ia bisa
menggunakan uangnya untuk hal yang lebih penting.”
“Ia tak
perlu membelinya kalau saja ia rajin makan sayur dan buah berserat. Itu lebih
murah ketimbang membeli produk-produk Taishit,” kata perempuan dengan rok belel
itu lagi.
“Ya...
Ya...” Orang-orang bergumam menyetujui.
Pemuda
berpeci hijau menepuk tangannya beberapa kali agar perhatian orang-orang
beralih kembali padanya. “Hari ini telah kita dengar beberapa saudara kita
telah terjerat bujuk rayu Kaum Enturpeneer.”
“Ya!
Mereka telah membuat orang-orang membeli barang yang tidak perlu!”
“Kita
tidak boleh lengah, Saudara-saudara! Kita harus selalu berpikir sebelum
memutuskan membeli sesuatu.”
“Ya! Ya!”
Orang-orang berseru dan itu menutup pertemuan rutin kali itu.
Lepas dari
ruang utama di mana beberapa orang masih tinggal untuk berdiskusi, Mahet,
perempuan dengan rok belel tadi, berjalan gontai menuju satu pintu. Dibukanya
pintu itu dan didapatkannya beberapa orang di dalam ruangan kedap suara. Setiap
sisi dinding ruangan itu dilapisi busa styrofoam tebal. Mereka banyak
mendapatkannya di Tempat Pembuangan Sampah Akhir—sumber utama bahan bangunan
gubuk tersebut. Orang-orang dalam ruangan itu sedang bermain-main dengan alat
musik mereka masing-masing. Alat musik buatan mereka sendiri yang
bahan-bahannya kau-pasti-sudah-dapat-menebak-darimana-mereka-mendapatkannya.
Mahet
tersenyum murung pada mereka semua. Seseorang berpeci Turki menyapa, “Hai
Mahet, lagu apa lagi yang kau buat?”
“Kami
menanti-nanti lagu ciptaanmu yang bercerita tentang seseorang berpeci hijau,”
celetuk seorang yang lain dengan nada menggoda sambil mengedipkan mata. Mahet
menyeringai.
“Oh Raf,
memang apa yang bisa dia lihat dari aku? Yang hanya bisa mengkhayalkan
kata-kata dan nada?”
“Setidaknya
kami bisa membuatnya jadi nyata.” Raf mengangkat bahu.
Mahet
mencoba terlihat senang untuk merespons orang-orang yang mencoba menghiburnya
ini. Mereka pandai bermusik tapi terlalu malas berupaya menciptakan sendiri
lagu mereka. Kemunculan Mahet sedikit banyak menolong mereka meski kebanyakan
lagu-lagu ciptaannya bernada pesimis—berkebalikan dengan mereka yang rata-rata
selalu menanggapi apapun dengan positif.
“Sebetulnya
sejak kemarin-kemarin aku memikirkan lagu yang menceritakan tentang sejarah
terbentuknya Kaum Parsimonious, Abun,” Mahet membalas pertanyaan dari orang
yang tadi pertama kali menyapanya.
“Bagaimana
liriknya?” teriak seseorang di pojok belakang seakan sudah siap membuat irama.
Keahliannya adalah dalam memainkan alat musik pukul.
“Sebenarnya
aku belum benar-benar merangkai liriknya. Mm, mungkin seperti ini...
dalam gubuk kecil ini kami adalah mereka
yang tergerus dari peradaban
karena tak punya cukup uang
untuk mengikuti gaya hidup masyarakat urban
jadi kami mundur dan hidup dengan cara kami sendiri
mereka menerimanya dengan cibiran dan cemoohan
menjauhlah kami ke pinggiran.”
“Nada
minor seperti biasa,” Raf mengedipkan mata pada Abun.
“tapi kami menemukan bahwa kami masih bisa
hidup
dengan cara kami yang sederhana
kami tak butuh semua barang itu
kami hanya butuh yang kami butuhkan bukan yang kami
inginkan
jika kau punya
lebih, lebih baik berikan pada yang
membutuhkan.”
Masih dengan peci hijau
bertengger di kepalanya, Sotka masuk ke dalam ruangan, menutup pintu di
belakangnya sambil melanjutkan kalimat Mahet.
“Lirik
buatanmu butuh polesan lagi,” ucap Mahet gagap karena menyadari kehadiran
Sotka.
“Hei,
kayak lirik buatanmu sendiri cukup bagus saja,” ledek Raf.
“Memang
tidak ya?”
“Keluarlah
dan kembali kalau sudah mendapatkan mood.”
Mahet
menurut. Lewat pintu di sisi lain ruangan ia keluar dan mendapatkan langit
gelap bergemerlapan bintang-bintang menaungi Tempat Pembuangan Sampah Akhir
yang terhampar beberapa puluh meter jauhnya di depan. Di belakangnya tampak
siluet beberapa gundukan bukit. Perbukitan tandus yang Kaum Parsimonious
terlalu-sibuk-mengolah-sampah untuk memikirkannya.
Ia mencoba
merangkai kata-kata lagi. Yang penting adalah idenya. Bagaimana memoles
kata-katanya menjadi lirik yang mengena itu urusan nanti. Ia mengeluarkan isi
kepalanya sambil coba-coba menyanyikannya.
“mereka membeli terlalu banyak barang
dan membuangnya ke tempat kami.
negeri ini tidak tahu bagaimana mengelola sampahnya,
(meski kami tahu)
tapi mengapa mereka tetap membeli banyak barang...
kau tahu berapa banyak sampah yang bakal dihasilkan
karena itu...”
Ponselnya berbunyi
dan ia kehilangan kata-kata. Ah, biarlah. Toh yang barusan keluar dari mulutnya
itu pun terasa bagai sesuatu yang tak ada maknanya. Dibacanya sms yang masuk.
Sms itu dari temannya yang ia kenal dari kursus menjahit semester pendek yang
diikutinya setahun lalu. Kursus yang berguna karena kini ia bisa menambal
sendiri pakaiannya meskipun itu membuat bisik-bisik tetangganya semakin keras.
Mereka bisa menjadikan pakaian kurang bahan sebagai mode lalu apa salahnya jika
pakaian penuh tambalan dipandang juga sebagai suatu mode?
Yafa
menawarkan suatu pekerjaan part time
yang bisa memberinya lima ratus ribu per bulan. Ia sendiri sudah mencobanya.
Menarik! Penghasilannya selama ini sebagai penulis lagu untuk The Parsimoniy
tidak bisa dibilang cukup berarti. Band milik Kaum Parsimonious ini mengedarkan
sendiri lagu-lagu mereka. Label mayor tidak bisa menerimanya karena meskipun
komposisi musiknya kaya (bunyi-bunyian yang hanya bisa kau dapatkan dari alat
musik-alat musik hasil modifikasi berbahan sampah) akan tetapi kebanyakan
liriknya amat tidak komersil. Selain itu masyarakat pun tidak menyukai lirik
lagu-lagu The Parsimony karena isinya kebanyakan menohok masyarakat dengan
keburukan-keburukan yang mereka perbuat sendiri. Hanya segelintir manusia
idealis-realistis yang cukup berani untuk menyukai karya mereka.
Mahet
tersenyum sendiri membayangkan ia akan bisa memenuhi biaya hidupnya sendiri
tanpa harus bergantung pada orangtuanya. Orangtuanya yang masih bertahan dengan
gaya hidup masyarakat kota padahal akan lebih baik bagi masa depan mereka kalau
mereka mau menganut juga prinsip-prinsip Kaum Parsimonious sepertinya.
Ia
membalas sms temannya itu dengan menanyakan deskripsi pekerjaan itu setelah
mengucapkan terimakasih atas tawarannya.
Mari besok bertemu di Selasar Balai Kota. Akan kubawa kau
ke kantor dan mereka akan menjelaskannya untukmu.
Tidak bisakah lewat sms saja, please?
Tiba-tiba
ia ingat jangan-jangan pekerjaan ini adalah semacam MLM seperti Taishit. Kalau
benar begitu tentu saja ia tidak bisa menerima pekerjaan ini! Ia melanjutkan
mengetik sms,
Apakah ini semacam MLM? Kalau iya, aku tidak bisa. Aku
tidak yakin memiliki kemampuan seperti itu.
Bukan jadi sales, kok. Pekerjaan ini semacam menjadi
promotor produk kesehatan.
Mahet
terdiam. Tuh kan, benar. Ia tidak bisa menerima pekerjaan ini. Ia tidak bisa
menjadi bagian dari mereka yang membujuk rayu orang-orang agar jadi konsumtif.
Membeli barang-barang yang tidak mereka mereka butuhkan.
Mahet,
sebagaimana anggota setia Kaum Parsimonious lainnya, yakin bahwa mereka masih
dapat hidup sehat tanpa harus mengonsumsi produk kesehatan macam itu. Asalkan
mengaplikasikan gaya hidup sehat tentu saja. Kaum Parsimonious tahu bagaimana
mengaplikasikannya dengan cara semurah-murahnya dan sehemat-hematnya karena itu
sudah bisa dikatakan asas hidup mereka. Kaum Parsimonious memahami bahwa
sesungguhnya manusia zaman ini semakin kesusahan mendapatkan uang karena
persaingan mendapatkan penghasilan yang makin ketat dan tidak sehat. Tapi Kaum
Enturpeneer terus menerus menciptakan kebutuhan-kebutuhan. Mereka mempengaruhi
masyarakat bahwa kebutuhan-kebutuhan itu harus mereka penuhi kalau tidak mau
ketinggalan zaman. Kini kita hidup di masa di mana bukan lagi kerusakan moral
akan tetapi menjadi ketinggalan zamanlah yang merupakan sanksi sosial terberat.
Namun Kaum Parsimonious terdiri dari orang-orang menengah ke bawah yang tidak
boleh begitu saja terjerat pengaruh Kaum Enturpeneer yang sangat menuntut
tingginya finansial. Mereka berhasil menggunakan akal mereka untuk memilah-milah
mana kebutuhan yang vital dan mana yang tidak. Mereka memisahkan antara
kebutuhan yang menopang hidup dengan keinginan sesaat yang tidak akan
menyebabkan kefatalan kalau tidak mereka penuhi. Prinsip-prinsip Kaum
Parsimonius—yang dirancang oleh para pemikir terdahulu mereka—begitu kuat
mereka terapkan sehingga ketika mereka mendapatkan kelebihan, itu tidak akan
mereka gunakan untuk menyenangkan diri mereka dengan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang tidak perlu, melainkan akan mereka berikan kepada orang-orang
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan vital mereka. Masih ada banyak orang-orang
seperti itu di negeri ini.
Mahet
tidak memberitahu alasan itu pada Yafa, demi hubungan baik mereka, meskipun
hubungan itu belum begitu dekat sehingga Mahet bisa mengajak Yafa untuk
bergabung dengan Kaum Parsimonious.
.
Sebenarnya
Mahet agak paranoid ketika harus memasuki kawasan pusat kota. Orang-orang pasti
memperhatikannya, entah secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka
akan memperhatikan penampilannya yang sederhana dan mencela pilihannya pada
produk-produk yang tidak bergengsi.
Apa boleh
buat. Pusat kota adalah pusat segalanya, di mana kita bisa mendapatkan
supermarket, toko sayur dan buah, toko daging, toko buku, perpustakan, dan
seterusnya. Mahet harus ke pusat kota setidaknya dua hari sekali untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Meski harus mengecap paranoia, setidaknya apa yang ia
dapatkan dengan indranya di sana bisa menjadi stimulan untuk ide-ide
kreatifnya.
Seperti
biasa Mahet menapaki jalan yang memisahkan deretan toko yang satu dengan
deretan toko yang lainnya. Jalanan itu tertutup paving blok yang rapat dan
tidak akan membiarkan tanah di bawahnya meresap air kecuali setetes demi
setetes yang melalui celah-celahnya. Mereka seharusnya tidak perlu menghabiskan
begitu banyak uang membuat ini, pikir Mahet. Setidaknya dengan paving blok
serapat ini. Andai mereka memilih paving blok dengan lubang-lubang yang
berumput, mereka tidak akan mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh air
bersih. Rerumputan akan menghisap air hujan yang turun, menampungnya di dalam
tanah, menjadi sumber air bagi masyarakat kota...
Mahet
berbelok ke jalan raya. Ia berjalan di jalur pedestrian yang ditutupi oleh
kanopi yang ditopang tiang-tiang. Mereka seharusnya tidak perlu mengeluarkan
begitu banyak uang untuk membuat ini. Tanami saja pepohonan di sepanjang jalan
ini, yang terdiri dari jenis-jenis bertajuk rindang dengan perakaran dalam.
Jalur di pinggir pepohonan akan cukup teduh untuk menaungi pedestrian, pikir
Mahet. Polusi dari kendaraan-kendaraan yang berseliweran pun akan terserap oleh
kehadiran pohon-pohon itu.
Mahet
telah memasuki pusat perbelanjaan yang lain dan kembali menapaki paving blok.
Ia menangkap headline beberapa koran
berbeda yang dijajakan sebuah kios yang dilewatinya. Ia berhenti sebentar untuk
membaca berita apa yang tengah jadi sajian utama koran-koran itu. Rupanya
negeri ini sedang digemparkan oleh hasil sebuah penelitian yang baru-baru ini
dilakukan serentak di seluruh negeri. Penelitian ini melibatkan sekitar 10%
dari jumlah populasi penduduk dan menghasilkan suatu kenyataan mengerikan:
Kualitas Intelejensia Sumber Daya Manusia Terancam Mengalami Penurunan.
Mahet tahu
negerinya sedang dalam usaha menjadi negara maju dan tentu saja itu membutuhkan
SDM yang berotak cemerlang. Pembangunan telah dilakukan di mana-mana dan
ternyata itu menjadi pedang bermata dua. Pembangunan yang dilakukan di negeri
ini ternyata tidak memenuhi AMDAL. Banyak polutan dilepas begitu saja di alam.
Polutan tersebut banyak terhirup dan mengental bersama darah masyarakat lewat
udara, makanan, dan masih banyak lagi sumber tercemar lainnya. Polutan yang
paling berbahaya adalah Pb alias pumblum atau timbal. Hasil penelitian
menunjukkan 10% penduduk yang tersebar di seluruh penjuru negeri yang telah
hampir merata pembangunannya ini telah menurun intelejensianya akibat sering
terpapar timbal. Penelitian itu juga memaparkan bahwa semakin banyak bayi autis
yang dilahirkan di negeri ini adalah akibat paparan timbal juga.
Tidak
heran, Mahet mengerling ke arah jalan raya, kalau jumlah kendaraan bermotor
yang lewat setiap harinya sebanyak ini. Awalnya Kaum Parsimonious juga tidak
mau melepaskan ketergantungan mereka pada kendaraan bermotor karena itu lebih
murah ketimbang harus menggunakan kendaraan umum. Tapi lalu seorang pemikir di
antara mereka berhasil meyakinkan bahwa berjalan kaki dan bersepeda jauh lebih
murah daripada naik kendaraan bermotor dan keuntungan yang didapatkan jauh
lebih besar dan berjangka panjang ketimbang menggunakan kendaraan bermotor,
meskipun harus berlelah-lelah dulu karenanya. Ya, pada mulanya tidak sedikit
Kaum Parsimonious yang mengeluh kelelahan karena mencoba usul sang pemikir ini.
Mereka juga harus menahan celaan dari masyarakat yang memandang rendah mereka,
mengira mereka orang tak berpunya, karena tidak menggunakan kendaraan bermotor.
Tapi lama kelamaan mereka dapat menepis celaan itu. Mereka juga tidak merasakan
kelelahan lagi ketika harus mengayuh pedal berkilometer-kilometer jauhnya
karena mereka menyadari stamina mereka meningkat dari hari ke hari. Mereka jadi
tidak mudah sakit dan itu mengurangi anggaran untuk ke dokter.
Tapi kini
masyarakat tidak perlu khawatir, Mahet membaca di kolom lain, Perusahaan
Taishit telah menemukan tablet kalsium yang dapat mengurangi kadar timbal dalam
darah. Presiden bahkan menganjurkan masyarakat agar mengonsumsinya. Perusahaan
Taishit pun tidak mematok harga yang tinggi sehingga semua lapisan masyarakat
bisa membelinya.
Mahet
mencoba menerka-nerka berapa besar keuntungan yang dapat diperoleh Perusahaan
Taishit dari penjualan tablet kalsium ini.
Oh, oh,
sungguh pengeluaran yang tidak perlu! Masyarakat seharusnya tidak perlu membeli
tablet ini. Kalau saja mereka rajin mengonsumsi pangan yang mengandung kalsium
dalam makanan sehari-hari mereka (yang dengan semakin cepatnya zaman bergerak,
maka orang-orang pun membutuhkan makanan yang ‘cepat’. Kau tahu, gizi di
dalamnya sudah banyak terdegradasi). Kalau saja mereka mau mengurangi
penggunaan kendaraan bermotor dan menciptakan pembangunan yang bebas polusi...
“Heh, kau
pasti si Parsiomonious pelit!” Tahu-tahu pemilik kios telah berada di
sampingnya, mengawasinya.
“Darimana
kau tahu?” Mahet menatap curiga. Tubuhnya mengkeret.
“Kaum
Parsimonious adalah orang-orang kikir yang inginnya mendapat gratisan...” desis
si pemilik kios bengis. Mahet ingat kata ‘gratis’ memang ada di salah satu sila
Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious dan jelas si pemilik toko ini bukanlah orang
yang ‘ikhlas’. “Dan kalian suka membeli barang-barang murahan, saking kikirnya
kalian...”
“Hei, kami
lihat-lihat kualitas juga, tahu!”
“Kau harus
bayar kalau mau membaca koran ini!”
Pemilik
toko itu mengusirnya. Mahet beringsut menjauh. Seorang ibu berpakaian modis
menarik anaknya, yang pakaiannya senada dengan ibunya, menjauh begitu jarak
Mahet dengan mereka berdekatan. Mahet hanya bisa menelan kepahitannya. Namun ia
punya sesuatu yang bisa menjadi topik menarik untuk dibahas dalam pertemuan
rutin berikutnya!
.
Orang tua
itu tak bisa menyembunyikan ketakutannya. “Mereka memeriksa kandungan timbal di
darahku dan mereka menyuruhku mengonsumsi banyak tablet kalsium...”
Semua
orang dalam keremangan ruang utama menyimak perkataan orang tua tersebut dengan
serius.
“Karena
aku juga sering membawa cucuku tersayang berjalan-jalan di kota, maka aku
khawatir ia terpapar juga. Padahal ia masih berumur 6 tahun! Ia baru akan
menginjak Sekolah Dasar! Ia membutuhkan kecerdasannya!” Orang tua itu memandang
sekitarnya sambil mengumpulkan keberanian untuk berbicara, “Bolehkah aku
memberinya tablet kalsium?”
“Kau tidak
perlu memberinya,” sahut Sotka tenang. Semua mata menatap ke arahnya. Sebagian
besar terkejut—terutama si orang tua—dengan perkataan pemuda yang yang kerap
menjadi pemimpin pertemuan itu. “Cucumu makan tiga kali sehari kan? Jika setiap
ia makan, kau berikan ia makanan yang mengandung banyak kalsium, aku rasa itu
sudah cukup. Kau cukup memberinya susu di pagi hari, ikan teri dan brokoli di
siang hari, dan yoghurt di malam hari. Itu semua mengandung kalsium dan kau
tidak usah memberinya lagi tablet kalsium. Masih banyak contoh makanan lainnya
yang mengandung kalsium. Mereka membuatmu ketakutan, itu taktik mereka agar kau
membeli produk mereka.”
“Ya, aku
pikir itu lebih efektif,” seseorang menanggapi. “Masukkan pangan yang
mengandung kalsium dalam menu harianmu. Kau tidak lagi membutuhkan tablet
kalsium.”
“Lagipula
kita tinggal di pinggiran kota, tersisih dari masyarakat pemakai kendaraan
bermotor. Sedikit kita hirup asap kendaraan di sini dan bukankah kita juga
menjaga dengan ketat limbah pabrik pengolahan sampah kita? Bahkan kita
memanfaatkan limbah untuk sesuatu yang dapat berguna untuk kita! Kita tidak
begitu saja membuangnya dan mencemari lingkungan, bukan?”
“Tunggu,
bukankah jika kita menggunakan lagi limbah itu... Apakah di dalamnya masih
terdapat polutan?”
“Hei,
percayalah pada para ilmuwan kita! Kita punya beberapa ilmuwan yang secara
sukarela bekerja di sini dan tidak terikat kegilaan materi!”
Hampir
saja terjadi perdebatan yang mengarah pada kesengitan antara dua orang itu.
Sotka menepuk tangannya berkali-kali untuk menengahi.
“Intinya,
kita semua juga punya potensi untuk terpapar. Setelah ini kita harus melakui
pemeriksaan, sudah aku siapkan beberapa orang kita yang kompeten dalam hal itu.
Beberapa di antara mereka adalah masyarakat kota tapi mereka adalah simpatisan
kita.”
“Kalau
begitu, berarti kita memang membutuhkan tablet kalsium?!”
“Oh, Gia,
kau bilang begitu seakan kita tidak akan bisa hidup tanpa mengonsumsi tablet
itu. Bukankah itu racun Kaum Enturpeneer?” seseorang memprotes dan yang disebut
Gia langsung diam.
“Ya tentu
saja dia sudah terpengaruh. Aku melihatnya kemarin mengganti ponselnya padahal
kalian tahu ponselnya yang lama masih berfungsi dengan baik,” seseorang bicara
dengan ketus.
“Tenanglah
kalian semua!” suara Sotka menggelegar, mendiamkan ruangan utama yang dipenuhi
oleh suara orang-orang saling berdebat.
“Sotka!
Sotka!” seseorang mencoba menarik perhatiannya. Setelah ia berhasil mendiamkan
orang-orang, ia mempersilahkan orang itu berbicara. “Aku rasa memang benar apa
yang dikatakan masyarakat, kita terlalu ekstrim dalam menghemat.”
“Kau bisa
bicara begitu karena asalmu dari kalangan menengah ke atas,” sela seseorang
dengan nada benci.
“Ya, kita
menerapkan prinsip-prinsip ini karena dengan beginilah kami bisa tetap bertahan
hidup, tapi masih bisa tetap memberi orang lain, sampai saat ini.”
“Kalau kau
tak suka dengan ini semua, gabung saja dengan masyarakat konsumtif di pusat
kota sana!” tambah yang lain dengan kemarahan tertahan.
“Hei,
maksudku tidak sampai seperti itu. Kita beri kelonggaran sedikit saja dalam
prinsip kita—maksudku, lambat laun tablet kalsium akan menjadi kebutuhan vital
bagi kita di tengah kemajuan zaman ini!”
“Ya, dan
itu yang juga mereka lakukan dengan silikon dan Konstipastop,” seseorang berkata
sambil mendelik kepada Terimb dan Hilda bergantian. Keduanya kebetulan saja
sedang menghadiri pertemuan rutin yang jarang-jarang mereka hadiri itu.
“Memang
itulah hasrat para Kaum Enturpeneer, mereka membuat kita membutuhkan barang
yang sebetulnya tidak kita benar-benar butuhkan! Mereka membuat barang itu
menjadi vital artinya bagi kita!”
“Tapi tak
bisa kita pungkiri bahwa kita juga sudah terjerat pengaruh mereka. Orang zaman
dulu masih bisa hidup tanpa ponsel? Sekarang? Aku tak akan bisa mendapatkan
pekerjaanku yang sekarang kalau aku tidak memberikan nomor ponselku dan itu
sebabnya aku punya ponsel...”
“Ya, ya,
kau benar,” sela Sotka. “Memang ada beberapa barang yang pada akhirnya menjadi
bagian dari kebutuhan kita sehari-hari. Kita tidak bisa menghindar dari
kemajuan zaman. Tapi bukan berarti kita harus mengikuti arusnya begitu saja.
Karena jika demikian kita akan mulai menghabiskan uang kita untuk barang-barang
yang kurang penting—yang Kaum Enturpeneer membuatnya seolah-olah barang itu
sangat penting—padahal sebetulnya kita tidak membutuhkan barang itu sama
sekali. Barang itu hanya terpakai sekali lalu tidak kita acuhkan sama sekali,
menumpuk begitu saja di gudang. Padahal seseorang di luar sana mungkin lebih membutuhkannya
daripada kita. Mungkin bukan benar-benar barang itu yang dia butuhkan, tapi
uang yang digunakan untuk membeli barang itu, yang dia butuhkan untuk memenuhi
kebutuhan vitalnya!
“Memang
seiring dengan perkembangan zaman kita tidak bisa bertahan hidup hanya dengan
pangan, papan, dan sandang saja. Itu kebutuhan manusia primitif! Sekarang kita
butuh ponsel, bahkan tukang cendol pun butuh! Ponsel tidak bisa digantikan
fungsinya dengan telepon biasa, yang kalau kau bawa ke mana-mana kabelnya akan
copot dari colokannya dan memutus urusan pentingmu atau malah kau tersandung
karenanya, atau mungkin dengan barang lainnya... apalah. Memang ada
toleransi-toleransi semacam itu. Tapi selama kita masih bisa menemukan barang
pengganti, mengapa tidak? Dalam hal tabet kalsium, aku sudah menyebutkan
beberapa contoh penggantinya.”
“Sotka
mulai panas nih,” seseorang berbisik di kuping Mahet, membuatnya terkikik
kecil.
“Ya,
jangan menerapkan Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious secara picik. Sila satu
saja menyuruhmu agar menggunakan akal pikiranmu.”
“Mereka
mengatakan kita terlalu kikir... Kata guruku kikir itu tidak baik,” seorang
anak menyahut pelan.
Sotka
memandangnya, “Kita menyimpan setiap kelebihan dari penghematan kita dan
memberikannya sebagian untuk orang-orang yang kekurangan, apa itu disebut
kikir? Kita tidak menggunakan kelebihan itu untuk membeli barang-barang yang
kurang perlu!”
Seseorang
berdeham yang kedengarannya seperti, “Kembali ke masalah tablet kalsium.”
“Terimakasih
telah mengingatkan.” Sotka menyapu pandangannya pada semua orang yang memenuhi
ruangan remang-remang itu. “Jadi, apa kita akan menoleransi penghematan kita
untuk tablet kalsium? Aku rasa tidak.”
“Hei,
memangnya kau pikir kita semua punya uang untuk membeli susu dan semacamnya
itu? Itu kan barang mahal. Aku tidak mungkin punya uang untuk membelikan
anak-anakku susu setiap hari!”
“Ya, dia
benar!”
Ruangan
itu dipenuhi suara-suara protes. Sotka mengusap mukanya. Ia mengira telah
berhasil menentramkan mereka tapi ternyata belum. Mahet mengamati Sotka dan
merasa iba padanya. Seharusnya ia sebagai orang muda dari kaum ini mampu
memikirkan sesuatu yang bisa memecahkan masalah. Tapi apa? Tiba-tiba ia ingat
akan pikirannya kemarin siang bahwa akan lebih baik jika jalur pedestrian
diganti dengan pepohonan...
Mahet
mengacungkan tangan.
“Hei,
penulis lagu kita mau bicara!” seru Raf menarik perhatian.
“Ya,
kembalilah tulis lirik-lirik nakalmu dan buat kita makin dicela!”
“Hei,
lirik-lirik yang dibuat Mahet itu revolusioner tahu!” Raf hampir saja berdiri untuk
menghajar orang yang barusan bicara itu kalau saja Abun tidak menahannya.
“Bicaralah,
Mahet!” ujar Sotka.
Mahet
merasa mukanya memanas ketika ia berdiri dan berbicara, “Aku rasa, keterbatasan
seharusnya dapat membuat kita lebih kreatif.”
“Langsung
saja, Mahet!”
“Baiklah,
kita berada di pinggiran kota yang tandus...”
“Karena
setiap lahan yang subur segera dirampok Kaum Enturpeneer begitu mereka
menemukannya!” timpal Raf.
“Itu ada
dalam lirik salah satu lagu di album kedua kami, kalian harus mendengarkannya,”
Abun menambahkan.
Beberapa
orang tertawa. “Huu, promosi!”
“Tapi kami
tidak menyuruh kalian membelinya! Kami hanya meminta kalian memasukkan harga
yang pantas di kenclengan ayam kami, untuk biaya produksi! Itu pun kalau kalian
berkenan dan ikhlas!” bela Abun. Sotka segera membentaknya untuk diam.
Mahet
melanjutkan. “Bukannya lahan tandus itu tidak berguna. Kita melewatkannya
karena selama ini kita hanya sibuk-sibuk dengan sampah-sampah kita—“
“Masyarakat
kota membuang semua sampah mereka ke tempat kita.”
“Dan
kebanyakan dari sampah-sampah itu masih bisa diolah untuk dimanfaatkan!”
“Raf,
Abun, diamlah atau kukurung kalian dalam studio kalian, SELAMA-LAMANYA.”.
“Aku
takut,” kata Raf tanpa ekspresi. Abun terkekeh. Lalu mereka berdua benar-benar
diam.
“Kita bisa
menggunakan produksi kompos kita untuk menyuburkannya. Kita tanam dengan
tanam-tanaman yang mengandung banyak kalsium. Lalu kita ternakkan banyak sapi
perah untuk memberi kita susu, dan kita bisa mendapatkan banyak hasil
olahannya.”
Orang-orang
terdiam sampai seseorang menyahut, “Ya, kita tidak pernah berpikir tentang
sektor agrokompleks. Kita selalu berpikir tentang hal-hal di luar itu, mengirim
anak-anak kita ke kedokteran dan teknik... Itu sangat paradigma masyarakat
kota.”
“Tapi kita
memang membutuhkannya. Setidaknya untuk komunitas kita sendiri.”
“Ya, tapi
semuanya harus merata, seimbang, adil. Bukankah begitu arti pembangunan
seharusnya?”
Memang ada
beberapa perdebatan lagi tapi pada akhirnya pertemuan rutin itu ditutup dengan
kesepakatan untuk membentuk tim kerja pemanfaatan bukit tandus di belakang
Tempat Pembuangan Akhir.
.
Mahet,
Raf, Abun, dan si ahli alat musik pukul duduk gelisah dalam studio.
“Mengapa
Sotka lama sekali?” tanya Abun.
“Untuk
memberi kalian waktu untuk melakukan latihan solo. Ayo kalian semua, mainkan
lagi alat musik kalian!”
“Ah,
Mahet, meski berkata begitu aku tahu kau sangat mencemaskannya, haha...” Raf
tak tahan untuk menggoda Mahet, setidaknya itu cukup untuk mencairkan
kegelisahannya. Tadi di tengah latihan, seseorang datang memanggil Sotka untuk
menjadi wakil pemuda dalam pertemuan dengan Kaum Enturpeneer. Semua orang dalam
studio tersebut langsung ternganga.
“Mau apa
para bangsat itu datang kemari? Hidup kami sudah susah untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari tanpa harus dipengaruhi bujuk rayu mereka!” umpat Raf.
“Raf,
seharusnya tadi kamu melengking seperti itu di bait ketiga,” ucap Mahet
spontan.
“Tenanglah,
teman-teman. Aku tak bisa mendengarnya bicara!” volume suara Sotka membesar.
“Mau apa mereka ke sini?”
“Entahlah.
Mungkin membicarakan soal kerjasama?” jawab pemanggil itu seadanya.
“Kerjasama
apa?” Sotka mengerutkan dahi.
“Entahlah,”
jawab orang itu lagi. “Aku percaya kau akan mampu mengatasi ini bersama para
tetua. Ayo, mereka semua sudah menunggu.”
Sotka menaruh
alat petiknya dan pergi keluar ruangan bersama orang itu.
“Jadi apakah benar isu itu?”
si ahli alat musik pukul bersuara. “Taitshi menaikkan harga obat kalsium.
Banyak perusahan pesaing. Kehabisan bahan baku. Masyarakat resah karena
persedian obat kalsium menipis?”
“Oh, ayolah, yang perlu
mereka lakukan hanya mengurangi kendaraan bermotor, lalu naik kendaraan umum,
bersepeda atau berjalan kaki seperti kita. Dan semua permasalahan beres! Polusi
akan berkurang drastis dan mereka akan menjadi lebih sehat dan lebih bahagia,”
Mahet mengangkat kedua tangannya ke samping.
“Sesimpel
itukah?”
“Raf,
pakai otakmu dong.”
“Kabarnya
mereka tahu kalau kita punya cadangan kalsium yang cukup banyak,” lanjut si
ahli alat musik pukul.
“Tentu
saja, sapi-sapi kita gemuk-gemuk kok,” timpal Abun.
“Dan kita
bisa mengubah gurun jadi ladang brokoli atau tambak ikan teri.”
“Kita
tidak punya gurun, Raf.”
“Aku
menyebut bukit-bukit tandus di belakang itu gurun.”
“Tapi
gurun tidak seperti itu.”
“Kurasa
Mahet lebih cocok dengan Raf daripada dengan Sotka,” Abun mengerling pada si
ahli alat musik pukul. Mahet dan Raf merengut. Ahli alat musik pukul
melanjutkan, “Jadi aku dengar-dengar mereka hendak menanam investasi di sana.”
Butuh
beberapa menit bagi ketiga temannya untuk memikirkan hal itu dan
menyambungkannya dengan bayangan masa depan mereka.
“Jadi kaki
tangan Kaum Enturpeneer? Taishit sialan! Sampai kapan pun aku tak sudi! Kita
harus mempertahankan tempat kita!” Raf menendang kursi di depannya.
“Hei,
tenanglah Raf! Itu belum terjadi!” Abun dan si ahli alat musik pemukul segera
bangkit untuk mencegah Raf merusak seluruh isi studio.
“Laguku
berikutnya akan berjudul ‘Enturpener Keparat’...” sahut Mahet nyinyir. Sudah
cukup masyarakat kota, dengan Kaum Enturpeneer di belakang mereka, mencela-cela
gaya hidup Kaum Parsimonious. Mereka menyebut kaumnya gila hemat, kikir,
miskin, dan sebagainya. Kini, setelah Kaum Parsimonious berhasil menyimpan
manfaat dari gaya hidupnya selama ini, mereka hendak merebutnya! Mereka pikir
darimana Kaum Parsimonious berhasil membangun ladang kalsium yang luas dan
kaya? Semua bibit untuk membuat itu didapatkan dari tabungan Kaum Parsimonious,
yang mencari penghasilan dengan gigih dan mengatur pengeluaran seirit mungkin
agar bisa menyimpan kelebihannya untuk hari-hari ke depan!
Raf
berhasil didiamkan dan mereka semua menyimpan kegelisahan mereka masing-masing
sebagai usaha untuk menghindari konfrontasi.
Pintu
studio terbuka.
“Kau lama
sekali, Sotka!” suara Raf hampir seperti bentakan. Sotka tampak kaget
dibuatnya. Ia meraih alat petiknya kembali, duduk di kursinya, dan mulai
memainkannya lagi.
“Hei,
jangan bertingkah seolah tak ada apa-apa seperti itu!” emosi Raf meluap. Sotka
menoleh dengan pandangan letih. “Setengah jam kami membentak mereka, menghalau
mereka agar tidak merampas apa yang kami bangun dengan susah payah, lalu
menjualnya dengan harga tinggi pada masyarakat. Sementara kami di sini hanya
mengambil secukupnya untuk kami, secukupnya untuk orang-orang yang kekurangan,
dan sisanya untuk masyarakat kota simpatisan yang sudah tidak kebagian tablet
kalsium lagi. Lalu apa yang mereka bilang sebelum mereka pergi? Mereka bilang
mereka akan kembali lagi. Kalian tahu apa artinya itu.
“Sekarang
kalau kalian ingin agar aku bicara lebih, dengarkan saja suara alatku ini. Aku
benar-benar butuh rileks sejenak sebelum memikirkan bagaimana nanti kalau
mereka datang ke sini lagi. Kalian tahu, apa yang mungkin bakal terjadi.”
Setelah
itu Sotka diam dan memainkan alat petiknya dengan brutal.
“Apa
memang artinya?” Raf menoleh ke arah lain, meminta jawaban.
“Seperti
anak angsa di tengah kawanan anak itik. Sekuat apapun si anak angsa melawan,
jumlahnya tetap tidak lebih banyak dibandingkan anak-anak itik itu,” jawab
Mahet. “Oke, mungkin itu bukan analogi yang terlalu tepat.”
Raf masih
memandangnya dengan penuh ketidakmengertian.
“Kaum
Enturpeneer akan masuk ke wilayah kita dengan menunggangi masyarakat kota yang
congkak... Mereka akan menguasai wilayah kita. Mau tak mau kita harus berbaur
dengan mereka sampai kita bisa menemukan tempat baru. Bayangkan kalau kita
harus berbaur dengan mereka? Beberapa dari kita mungkin tidak akan
terkondisikan. Kaum Enturpeneer akan terus mengeluarkan bujuk rayu mereka dan
kita, yang berada di posisi lemah, bisa apa selain menuruti mereka? Lepaslah
prinsip-prinsip kita,” Sotka tak tahan untuk tidak berbicara. “Pada akhirnya,
mereka akan membuat kita merasa tidak bisa hidup kalau tidak mengikuti gaya
hidup mereka.”
“Hai,
Sotka, kau ikut-ikutan pesimis seperti Mahet!” celetuk Abun.
Mahet
cemberut. Oh, andaikan mereka tahu... Mereka adalah bagian dari Kaum
Parsimonious yang terlalu lama tinggal di ‘surga’ mereka, tak berbaur dengan
‘peradaban’ di tengah kota. “Kalian tahu, aku termasuk salah satu yang tetap
tinggal di kota sementara sebagian kalian menyepi di pinggiran kota. Aku ke
sini hanya untuk pertemuan rutin dan menemui kalian. Selebihnya waktuku
kuhabiskan di kota, bersama keluarga dan tetanggaku dan kau tahu, merekalah
orang-orang itu! Orang-orang yang terjerat senjata bujuk rayu Kaum Enturpeneer.
Sebagian besar teman-temanku juga dan aku hampir putus asa sampai aku menemukan
kalian. Tapi itu tidak serta merta melabuhkan diriku terus menerus di sini. Aku
masih bisa bertahan di kota, yang merupakan sumber inspirasiku, sehingga aku bisa
memberikan kalian lirik-lirik ‘nakal’ itu, karena aku mengamati dan mengalami
benar-benar keburukan mereka. Dan inilah aku, contoh nyata seorang Parsimonious
bisa bertahan di tengah masyarakat konsumtif. Kalian mestinya juga bisa dan
lebih kuat daripada aku. Ayo, kita bertahan dengan prinsip-prinsip kita dan
tunjukkan pada orang lain bahwa apa yang kita lakukan adalah benar, maka
mungkin mereka akan mengikuti kita. Meski itu mungkin membutuhkan waktu yang
tidak sebentar...”
“Apa judul
lagu yang tepat untuk lirikmu yang panjang tadi itu?” Sotka menunjukkan
ketertarikkannya.
“Mempertahankan
Prinsip!”
200709, 18.48 WIB
aku tau ini masi sangat kurang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar