8.54
Tatang mengusah peluh
di dahi dengan lengannya. Dia hanya punya waktu enam menit untuk sampai di
kelas tepat waktu. Namun jarak dari tempatnya sekarang ke pelataran kampus
masih sepuluh menitan—prediksinya.
Ia sudah berjalan
dengan amat cepat. Kaki tak pernah berhenti berderap dengan kekuatan penuh.
Lengan kanan dengan lengan kiri ganti maju dan mundur berlawanan dengan gerak
kaki. Tatapan mata selalu waspada mengamati jalan, melaporkan apapun yang
menghadang. Secepat kilat otak menyuruh kaki agar bergerak lincah. Kali ini
otak memerintahkan kaki agar berlari.
8.56
Waduh... Masih enam
menit perjalanan....
8.57
Beberapa bekicot
hidup yang bergelimpangan di jalan membuat Tatang harus sesekali meloncat
menghindar. Matanya awas. Tak bisa ia terus berlari menerjang apapun.
8.58
“Dek... Maaf, saya
dari Cirebon... Saya mau mengunjungi rumah saudara tapi uang saya nggak
cukup.... Saya butuh uang buat ke terminal...” Seorang bapak-bapak bermuka
memelas mendadak muncul merintangi jalannya. Memang sudah tampak sebagai
pelancong miskin gayanya.
Boro-boro, Pak, sekarang aja saya masih nunggu beasiswa BOP
cair buat bayar BOP kemarin! Tatang berusaha sesopan mungkin bicara tanpa harus
memperlambat langkahnya. “Lain kali bawa uang yang cukup ya, Pak, maaf sekali,
Pak. Saya buru-buru.”
9.00
Tatang terkesiap
melihat arlojinya. Ia masih tiga menit lagi perjalanan sampai ke gerbang kampus
Fakultas Kehutanan. Ia baru ingat bahwa masih dibutuhkan sekitar lima menit
untuk mencapai gedung tempat kuliahnya dilaksanakan. Kuliahnya pasti sudah
dimulai. Dosennya tepat waktu. Toleransi keterlambatan sepuluh menit, dan lewat
dari itu tidak seorangpun akan dibiarkan memasuki kelas. Baiklah, delapan menit
lagi sampai di gedung dan ia kuliah di lantai enam dan ia mengidap
klaustrofobia. Berlari menaiki tangga sejauh enam tingkat sudah jadi makanan
penutup baginya setiap Rabu pagi. Butuh waktu sekitar lima menit baginya untuk
melakukan itu. Ia menyesal karena tadi tidur sepuluh menit lebih lama.
Lima belas menit
ternyata yang dibutuhkan Tatang untuk mendobrak pintu ruang 6.03 dan mendapat
sambutan dingin dari sang bocah tua nakal, “Silahkan tutup pintu dari luar.”
Di luar kelas, Tatang
terkapar di atas kursi kayu panjang.
.
Tatang masih duduk
tegak di atas kursi kayu panjang di luar ruang 6.03 ketika satu per satu
mahasiswa keluar dari ruangan tersebut. Ia mendapati teman dekatnya, Monang,
sudah berdiri di sebelahnya. Tatang bangkit. Tubuh mungilnya menjejeri tubuh
Monang yang tinggi. Mereka berdua menyusuri koridor yang ramai demi menuju
lift. Tentu saja yang mereka dapatkan di sana adalah para mahasiswa yang tengah
berebutan memasuki bilik 1,5 m x 1,5 m yang ditakuti Tatang tersebut. Tatang
tak kan pernah mendekat ke sana.
Monang menyulut
sebatang rokok. Tatang sering berpikir, sungguh ironis, Monang gemar sekali
merokok padahal sudah sejak dua semester ini ia jadi pegiat sebuah LSM
Lingkungan Hidup berskala lokal. Tapi setidaknya Monang masih kuat untuk
menemaninya menuruni tangga enam lantai.
“Sekali lagi kamu
telat, kamu nggak bisa ikut ujian loh,” ucap Monang ketika sudah dua lantai
mereka turuni. “Beli motor aja, Tang, biar lebih cepet nyampe kampus.”
Sebetulnya Monang
kepikiran juga untuk menjemput Tatang dengan motornya sesekali namun mengingat
ia sendiri suka bangun telat dan akan semakin telat kalau harus menjemput
Tatang dulu yang letak kosnya berlawanan, niat baiknya itu pun ia urungkan.
Tatang tersenyum
merendah. “Ah, ngapain Nang, jarak dari kosan ke kampus kan cuman tiga puluh
menit jalan kaki.” Sebetulnya ia cuma tidak tega minta duit lagi pada bapaknya
yang hanya seorang petani kecil. Ah, lagipula selama hijrah ke kota pelajar ini
ia belum pernah sekalipun sakit. Ini pasti gara-gara ia rutin berjalan kaki
bolak balik kosan-kampus setiap hari.
“Jauh itu...” Monang
mengepulkan asap. Mereka telah sampai di lantai dasar. “Kalau naik motor bisa
lima menit doang sampai.”
Tatang juga sering
berpikir, sebetulnya jarak dari kosan Monang ke kampus hanya sepuluh menit
jalan kaki. Mestinya bukan jarak yang melelahkan untuk ditempuh. Tapi mengingat
Monang adalah seorang perokok berat.... Tatang mengangkat bahu.
“Mau ke mana, Tang,
habis ini?”
“Ngapain ya? Ikut
kamu aja deh.”
“Aku mau tuker sepatu
dulu. Sepatuku masih tak taruh di motor. Untung aja tadi nggak ketahuan sama
bapaknya.”
Tatang nyengir.
Memang enak jadi mahasiswa di fakultas ini. Mahasiswa berkaos pun kadang masih
dilegalkan untuk memasuki ruang kuliah. Pakai sandal pun sebenarnya tidak
apa-apa, kalau tidak ketahuan.
Sampai di teras
gedung, mereka harus menunggu beberapa menit untuk dapat menyeberang ke
parkiran. Brrmmm, nguueeng, bertubi-tubi motor demi motor yang dinaiki para
mahasiswa datang dari arah selatan maupun arah utara, baik hendak parkir maupun
ke luar kampus. Setelah agak lengang, barulah mereka dapat menyeberang dengan
aman.
Tatang tercenung.
Mereka semua berkuliah di kampus yang katanya kampus ramah lingkungan. Tapi
mahasiswanya masih banyak yang merokok dan menggunakan sepeda motor untuk jarak
yang tak terlalu jauh.
Tatang menunggu
Monang memakai sepatunya. Setelah itu karena bingung mau ke mana, akhirnya
mereka pergi ke teras masjid untuk sekedar kongkow-kongkow. Tapi sesampainya di
sana Monang malah asik dengan laptopnya (sinyal wi fi di area sekitar masjid
memang kencang sekali) jadi Tatang pun mengisi waktu dengan mengobrol bersama
beberapa anak masjid. Mereka sedang asik dengan isu pencurian di kampus
rupanya.
“Memang kampus kita
ini open access. Setiap orang dari
luar bisa masuk.”
“Makanya kalau solat,
tas harus selalu ditaruh di depan. Kalau naruh motor jangan sembarangan.”
“Tapi penasaran juga
nih, coba sekali-sekali pencurinya bisa kita tangkap. Masak sudah banyak kasus
kecurian di sini kita belum bisa juga menangkap pelakunya sih?”
Dalam hati Tatang
bersyukur. Ia tidak pernah membawa barang yang cukup berharga untuk dicuri ke
kampus karena memang ia tidak memilikinya. Ia punya ponsel tapi keluaran jadul
sekali, masih layar biru. Uang di dompetnya tidak pernah lebih dari lima puluh
ribu. Ia pun tidak punya laptop karena orangtuanya belum mampu membelikan.
Untuk benda yang satu itu sepertinya ia memang harus menabung sendiri. Ups, ia
lupa kalau ia juga harus menabung untuk Praktek Umum. Masih lama sih, tapi
kalau tidak menabung dari sekarang mana cukup uangnya untuk membayar nanti?
Sempat ia heran, sejak semester satu kan ia sudah bayar SPP dan BOP
mahal-mahal, yang semuanya itu untuk keberlangsungan kegiatan akademis. Lalu,
kenapa kemudian harus dipungut bayaran lagi? Ah, ia tidak tahu. Yang berwenang
di atas tentu lebih tahu.
Tak terasa waktu
berlalu, azan zuhur membuat gendang telinga serasa ditabuh alu. Sudah waktunya
solat. Forum informal itu pun membubarkan diri. Tatang menuju ke arah tempat
wudhu pria. Sambil santai melepas kaos kaki iseng-iseng ia memperhatikan
tingkah laku orang-orang yang mulai berdatangan memenuhi arena wudhu. Yang
sedang diperhatikannya kini adalah seorang mahasiswa baru—wajahnya baru ia
kenali akhir-akhir ini—yang baru saja keluar dari tempat wudhu dengan memakai
sarung. Celana panjang hitamnya disampirkan di bahu kemudian ditaruhnya begitu
saja di pegangan tangga menuju lantai dua.
Segera terngiang
peringatan pak satpam dan pak takmir masjid akan bahayanya meninggalkan
barang-barang pribadi begitu saja di suatu tempat tanpa pengawasan. Tatang
hampir saja tergerak untuk menyampaikan peringatan itu pada si mahasiswa baru,
tapi, ah, mungkin itu hanya celana? Memangnya siapa yang mau mencuri celana?
Tapi anehnya, ia merasa was-was, seperti ada firasat buruk. Maka, lepas memakai
sepatu, masih diawasinya celana yang tergantung tersebut.
“Heh, Tang!”
“Eh, apa Nang?”
“Nggak solat, Tang?”
“Entar, Nang...”
Tatang menyuruh
Monang menyingkir dari depannya karena pandangannya ke arah celana jadi
terhalang. Sebetulnya bukan Monang saja yang jadi penghalang karena banyak
sekali orang-orang lainnya juga berlalu lalang.
Tatang terbelalak
ketika didapatinya celana itu raib dari pegangan tangga! Ia langsung sigap
berdiri. Matanya langsung liar mencari-cari ke mana celana itu pergi. Atau
lebih tepatnya, dibawa pergi oleh seseorang!
“Kenapa, Tang?”
“Celananya ilang!”
seru Tatang panik.
“Hah, celananya
siapa?”
Matanya menangkap
seseorang berambut cepak dan berbaju biru menghilang di tikungan gedung D3
dengan suatu buntalan kain hitam diapit pada lengannya.
“Itu dia!” refleks
Tatang berteriak. Segera ia ambil ancang-ancang dan berlarilah ia.
“Pencuri celana!
Pencuri celana!”
Sesaat orang-orang
yang ada di sekitar situ diam di tempat mereka masing-masing karena kaget
dengan seruan Tatang yang bertalu-talu. Beberapa mengikuti Tatang mengejar sang
pelaku. Yang dikejar, menyadari dirinya dikejar, langsung berlari
secepat-cepatnya menuju gerbang ke luar.
“Tang! Tang! Pake
motor aja Tang, biar lebih cepet!” seseorang berseru tapi Tatang tak
mengindahkan. Perhatiannya fokus hanya pada sang pelaku seorang. Sepasang
matanya lurus mengintai laki-laki cepak berambut biru yang membawa buntalan
kain hitam: tidak salah lagi, pasti celana si mahasiswa baru!
Ketika laki-laki itu
meloncati pagar gerbang, Tatang tak ragu untuk melakukan hal yang sama. Orang
itu menyeberang tanpa memerhatikan lalu lintas. Hampir saja ia tertabrak bis
namun sayangnya tidak. Dengan gesit Tatang mencari-cari celah di mana ia bisa
cepat menyeberang untuk mengejar si pencuri. Lalu lintas di kota ini tidak akan
pernah mau mengalah, ia tahu itu. Mereka begitu ganas memacu gas. Jika ada
orang yang hendak menyeberang, bukannya memelankan laju kendaraan, mereka malah
semakin kencang menerobos!
Sebagai seorang
pedestrian tangguh, tentu saja Tatang tidak boleh dikalahkan begitu saja oleh
para pemakai kendaraan bermotor. Kuncinya hanya satu: berani maju, jangan
mengalah! Kalaupun ia nanti tertabrak, yang disalahkan dan harus
bertanggungjawab kan si pengguna kendaraan bermotornya. Kenapa juga tidak mau
mengutamakan pejalan kaki? Bagai seorang master kanuragan, Tatang sudah sampai
lagi ke seberang, menghilang dari pandangan.
Sementara itu orang
yang mengusulkan menggunakan motor tampaknya masih sibuk mencari-cari di mana
letak motornya. Banyak sekali motor yang diparkir di jam-jam kuliah seperti
ini. Monang yang hendak mengikuti inisiatif orang tersebut mulai menggerutu,
“Halah, ribet ah, mesti nyari motor dulu... Kenapa tadi nggak langsung lari
aja... Entar mesti nyetarter lagi, kalau nggak nyala...?”
“Heh, Nang, ketemu
nih! Ayo naik!”
“Cihuy!” Monang
meloncat ke boncengan orang tersebut. Segera mereka melaju hendak memburu si
pencuri yang kini entah sudah ke mana melaju. Mereka optimis, dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi, urusan ini akan cepat selesai. Nahasnya,
mereka lupa kalau sekarang kampus mereka sudah menerapkan portal gate. Jadi siapapun yang mau ke luar atau pun masuk ke dalam
lingkungan kampus, harus berurusan dulu dengan penjaga portal. Dan orang yang
dibonceng Monang itu lupa membawa Kartu Identitas Kendaraan untuk kendaraan
yang ia tunggangi.
Jadilah hanya Tatang
yang masih berlari sendiri. Ia terus berlari sampai menyadari bahwa orang yang
ia kejar telah ia lewati. Orang itu kini sedang terpuruk di pinggir jalan.
Tatang pun kembali lagi. Dengan gerakan cepat ia tarik buntalan yang tadi
dibawa orang tersebut. Benar kan, celana. Ada ponsel Nokia keluaran terbaru yang
katanya dijual terbatas—ia baca di koran, dan dompet berisi uang sebanyak lima
ratus ribu rupiah. Tatang menangkap keadaan si pencuri yang tampak payah
terengah-engah itu. Jangan-jangan orang itu juga perokok berat seperti Monang?
Tak lama kemudian
berbondong-bondong orang datang mendekat. Ada orang-orang yang dikenalinya
sebagai warga kampusnya dan sebagian lagi sepertinya warga sekitar yang
penasaran.
“Ini pencurinya!”
seru seseorang yang Tatang kira sepertinya warga kampusnya. Terdengar
suara-suara yang berpretensi hendak menyulut aksi pengeroyokkan massal.
“Tenang,
Saudara-saudara!” ujar Tatang dengan suara yang dibuat membahana. “Barang yang
dicuri sudah berhasil saya evakuasi. Akan saya serahkan pada pemiliknya
kembali. Saya harap Saudara sekalian tidak main hakim sendiri. Saya sarankan
demi tercapainya kemaslahatan bersama, Saudara sekalian terapkan prinsip
manajemen kolaborasi. Sekalian balik ke kampus saya juga akan memanggil
polisi!”
Selesai bicara,
Tatang keluar dari kerumunan. Ia segera disambut oleh Pak Pri, satpam
kampusnya, yang rupanya sudah mengamatinya dari tadi.
“Wah, Dek, cepat
sekali tadi kamu larinya. Hampir nggak kekejar lo.”
“Ya, saya kan cuma
ngejar pencurinya, Pak...” kata Tatang malu-malu.
“Tapi bener lo,
larimu tadi itu cepat sekali. Kamu rajin olahraga ya?”
“Tidak, Pak, saya
cuma rajin jalan kaki setiap hari.”
Selain itu, jalan kaki juga bisa membuat tubuh kita jadi
tidak mudah kena penyakit lo, sebenarnya Tatang mau menambahkan begitu. Terpikir juga
olehnya untuk mengatakannya dengan suara keras agar orang-orang semua bisa
mendengar banyak manfaat dari olahraga termurah dan termudah ini. Tapi ah
sudahlah. Meskipun mereka sudah tahu seribu manfaat berjalan kaki pun, kalau
sudah terlanjur jadi budak teknologi, ya mau bagaimana lagi? Tatang hanya bisa
mengangkat bahu.
10-11 september 2009
12.46 AM
sehari jadi, buah pikiran harus
dikejawantahkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar