Mata
Sadewa sudah terpaku padaku sejak sosokku terlihat dalam pandangannya. Mulanya
aku GR, apakah penampilanku, yang sudah kupersiapkan berjam-jam ini, berhasil
memikatnya? Akhirnya.... Tapi lihatlah lebih dekat, ke bagian tubuhku sebelah
mana sebetulnya ia memandang?
Kakiku.
Tepatnya sepanjang tungkai kakiku yang terbalut jins biru ketat. Celana jins
ini belum lama kubeli dan baru sekali ini kupakai. Sebagaimana warna jins pada
umumnya; berwarna biru muda dengan beberapa aksen yang membuatnya tambah manis.
Aku menyukainya. Dengan atasan bolero rajut hijau dan jilbab berwarna senada,
aku menyukai keseluruhan penampilanku di pagi menjelang siang ini. Terimakasih
buat Kak Rini yang sudah meminjamkanku koleksi majalah remaja ibukota miliknya.
“Haa,
pake celana?” Dalam jarak sedekat ini, aku bisa lebih menikmati wajahnya yang
tetap ganteng biarpun lagi cengok.
“Yang
lain juga pakai kan?” tanggapku santai.
Kuedarkan
pandang pada teman-teman kami lainnya yang sudah lengkap jumlahnya—menambah
ramai suasana pelataran Bandung Indah Plaza. Mereka tampil begitu modis; dalam
usaha mengukuhkan diri menjadi bagian dari remaja kota yang terkenal akan surga
belanja pakaian ini. Fahmi pakai celana pensil, Naufal menggondrongkan rambut,
bahkan Anita berani melepas jilbabnya.
Untuk
pertama kalinya sejak hari terakhir kami di pondok, hari ini kami semua
kompakan jalan-jalan di mal dengan dresscode
celana jins. Kami hendak merayakan kelulusan kami setelah empat tahun mondok
sekaligus mengusir rasa ketar-ketir yang muncul akibat menanti pengumuman
SNMPTN. Inilah bukti bahwa kami tetap satu meskipun sudah tidak terkurung dalam
pondokan lagi.
Lama-lama
aku merasa kurang nyaman juga dengan tatapan Sadewa yang hanya tertuju padaku.
“Emang kenapa sih?”
“Kaki
kamu kan gede banget!”
Aku
terhenyak.
“Terus
kenapa? Bi—biarin aja, terus kenapa sih emangnya kalo aku pake celana?!” Betapa
malunya aku tak bisa menguasai diri. Kelihatan deh betapa aku jadi gugup
gara-gara pernyataan sadisnya ituuuu!
Dia
tampak rikuh saat berkata, “Kayak yang enak dilihat aja.” Dia memalingkan
kepala sambil merengkuh pundak Naufal yang kebetulan sedang di dekatnya.
Mencoba menghindar dari suasana tak menyenangkan yang telah dia ciptakan
sendiri. Tak bertanggung jawab dengan perasaanku yang jadi super tak keruan.
Mukaku memanas. Harga diriku diremukkan oleh cowok yang aku puja diam-diam
selama empat tahun mondok di pesantren yang sama....
Aku,
Sadewa, Fahmi, Naufal, Anita, Deni, dan Mala, yang sama-sama berasal dari Kota
Bandung ini, dipertemukan di suatu pesantren di pinggir Kota Solo. Orangtua
kami sama-sama punya pikiran untuk memondokkan anak mereka jauh dari keluarga.
Anita, Deni, dan Mala sudah dipondokkan sejak Tsanawiyah sedangkan aku dan
cowok-cowok baru masuk di Aliyah-nya.
Jangan
tanya alasan kenapa kami mau saja ditinggalkan orangtua kami di tempat yang jauh
dari keluarga, kesenangan dunia, dan sebagainya. Kami harus mengkaji kitab
kuning di sebagian besar waktu dan hapal Quran sebagai syarat kelulusan. Cowok
dan cewek selalu dipisahkan. Kami hanya dipertemukan saat ujian dan kegiatan
kesiswaan. Tapi kenapa kami bertujuh sampai bisa bersahabat?
Saat
aku baru masuk, aku senang sekali menemukan Anita, Deni, dan Mala yang asal
kotanya sama denganku. Aku senang bergaul dengan mereka karena bisa meredakan
kerinduanku pada kota asalku tercinta. Kesamaan yang kami punya adalah cara
bicara kami yang khas orang Bandung dan juga kami sama tahu tempat-tempat di
Bandung yang menarik untuk dikunjungi. Pokoknya pembicaraan kami selalu bisa
nyambung. Kalau tidak nyambung ya disambung-sambungkan. Saat hari Jumat—hari
libur—kami suka pesiar bersama-sama. Kami berjalan-jalan ke kota dan
membandingkan apa yang kami temui di sana dengan apa yang bisa kami temui di
Bandung.
Saat
pesiar itulah kami bertemu Sadewa, Fahmi, dan Naufal. Mereka rupanya seperti
kami; sama-sama orang Bandung yang suka nongkrong bareng mentang-mentang
berasal dari kota yang sama. Atas kesamaan visi dan misi (ceilah), kami pun
sepakat bahwa kami adalah kesatuan dan kami harus menggalang terus persahabatan
antar sesama orang Bandung yang ‘tersesat’ di suatu pondok ‘terpencil’ ini.
Biarpun
demikian kami bukan chauvinist loh!
Sobat kental Sadewa selama mondok malah bukan orang Bandung melainkan orang
Madura. Naufal juga sepertinya lebih banyak berteman dengan anak-anak yang
asalnya bukan dari Bandung.
Agar
bisa terus bertemu, kami benar-benar memanfaatkan waktu di mana cowok dan cewek
diberi kesempatan untuk berinteraksi. Kapan lagi selain waktu ujian, kegiatan
kesiswaan, dan pesiar? Kami memanfaatkan betul waktu-waktu tersebut dan memang
ada manfaat yang bisa didapat, antara lain Anita diam-diam jadian dengan Fahmi
sedangkan aku jadi bisa sering-sering ketemu Sadewa deh... Dulu aku sering
mengidam-idamkan, kapan kami bisa seperti Anita dan Fahmi ya? Perjuangan cinta
mereka amat berat. Karena ketahuan menjalin hubungan, Fahmi sampai dirotan
sedangkan Anita dihukum menyalin kitab. Meski demikian, itu tidak mengusik
kelanggengan hubungan mereka.
Sadewa
bukan tipe orang yang tertarik untuk selalu berinteraksi dengan cewek. Aku
termasuk cewek yang beruntung karena dibanding dengan cewek-cewek lainnya, aku
bisa dikatakan dekat dengannya meski dia masih suka menjaga jarak. Kadang dia
meledekku sementara kepada cewek-cewek lainnya dia jarang sekali begitu.
Mungkin dia mengira akulah cewek terbaik dalam hal membalas ledekannya.
Sebelum
ini aku berharap hubunganku dengan Sadewa bisa naik ke jenjang selanjutnya.
Kini aku jadi berpikir ulang mengenai hubunganku dengan Sadewa. Harapan itu
pupus sebab ledekannya tadi itu benar-benar menyinggung sensitivitasku!
Aku
menarik jumper-nya dan merengut,
“Emang kenapa sih kalau kakiku gede?”
“Ya
mending kalau enak dilihat...”
“Kalau
gitu nggak usah dilihat. Orang lain aja nggak protes.”
“Aku
emang nggak mau ngeliat tapi kan tetep aja keliatan.”
Naufal
mengangkat bahu, tak mengerti.
Ingin
rasanya aku menangis tapi tentu saja kutahan. Jelas-jelas tidak keren aku
menangis di pelataran mal yang ramai hanya karena cowok yang kusukai telah
menyiletku dengan perkataan yang amat tajam. Perkataan yang ‘hanya’
memperkarakan kakiku yang besar!
Memang
sih baru kali ini Sadewa menyaksikan bentuk tungkai kakiku yang sebenarnya.
Begitupun cowok-cowok lainnya. Kami, para cewek, sewaktu masih mondok tidak
diizinkan memakai celana kecuali ketika kami sedang berada di antara sesama
kami sendiri dalam suasana informal. Jadi kalau pergi ke mana-mana, termasuk
pergi pesiar, kami harus selalu pakai rok dan tentu saja atasan longgar. Tidak
ada yang namanya modis-modisan. Bukannya tidak boleh sih. Soalnya yang modis
itu katanya belum tentu syar’i. Dalam lingkungan pondok tentu saja kami harus
selalu memakai pakaian yang syar’i.
Makanya,
karena kami sudah tidak terkekang dengan aturan pondok lagi, inilah saatnya
untuk mengekspresikan gaya berpakaian kami sebebas-bebasnya!
Aku
tak mengira bahwa kebebasan ini akan membawa tuah yang tidak menyenangkan
bagiku. Kenapa Sadewa tidak memrotes cewek-cewek yang lainnya juga sih? Kenapa
dia selalu ‘hanya’ berani meledekku?
Kusadari
memang di antara cewek-cewek lainnya tungkai kakiku yang paling besar sih. Dengan
celana jins ketat seperti ini jelas tercetak bentuk tungkai kakiku. Orang-orang
bisa memprediksi berapa ton lemak yang terkandung di dalamnya.
Berguncang-guncang setiap ku menjejakkan kaki.
Selama
ini aku kira memang sudah potongan tubuhku begini. Begitu pula pendapat
kebanyakan orang, terutama dari keluargaku. Sekarang aku tahu mereka semua
salah! Mereka hanya coba menghiburku. Aku memang kebanyakan makan!
Kuperhatikan orang-orang. Tidak ada orang yang
memerhatikan tungkai kakiku sebagaimana Sadewa melakukannya. Mereka cuek saja.
Lalu kenapa Sadewa harus peduli? Kenapa aku harus peduli pada omongan
menyakitkannya? Dia bahkan tidak menengok lagi ke arah gerombolan
cewek-cewek—khususnya aku!—sejak kalimat terakhirnya yang hampir membuatku
mewek.
Sambil
mengikuti rombonganku memasuki mal, kuperhatikan juga bentuk tungkai kaki
teman-teman cewekku. Kubandingkan dengan milikku. Tindakan yang salah karena
akibatnya aku jadi merasa sangat minder sekali.
Oh
lihatlah, Anita dan Deni memiliki bentuk tungkai kaki yang sangat indah.
Terpahat dengan sempurna lekuk-lekuknya. Mereka justru akan semakin percaya
diri dengan memakai celana jins ketat seperti sekarang ini. Bangga dengan
keindahan tubuh mereka, tidak usah malu memperlihatkannya pada dunia.
Orang-orang takkan mencelanya melainkan memujinya, membuat kedua temanku itu
makin bahagia.
Mala
juga memakai celana jins ngepas namun saking kurusnya anak itu (kami suka
berseloroh dia akan terbang kalau angin bertiup kencang) lekuk tungkai kakinya
tak kentara kalau tidak bisa dikatakan tidak punya. Biarpun demikian, dia tidak
mencolok sebagaimana aku. Karena apa yang besar itu sudah pasti lebih mencolok!
Dengan iri kupandangi tungkai kakinya yang seperti tusuk gigi itu. Ia sedang
mengunyah hamburgernya yang kedua, yang baru saja ia beli di counter hamburger di lantai dua yang
sedang kami tapaki ini .
Aku
ingin sekali menutupi tungkai kakiku dengan rok. Aku ingin kembali ke rumah dan
mengganti celana jins hinaku dengan rok.
Celana
jinsku yang manis, kenapa kau mengkhianatiku? Kenapa kau terlihat bagus saat
dipajang di etalase tapi malah menurunkan martabatku saat aku memakaimu?
Aku
butuh rok itu sekarang.
“Hei,
rok itu bagus banget ya!” Aku menarik lengan Deni masuk ke dalam sebuah toko
busana muslimah yang kebetulan sedang kami lewati. Serentak teman-teman yang
lain menghentikan langkah mereka.
“Yah,
biasa, cewek...” keluh Fahmi. Tapi akhirnya dia bergabung juga dengan
cowok-cowok lainnya; lengan terlipat berpangku pada pegangan pagar pengaman,
memunggungi toko yang tengah dimasuki empat cewek ribut, dan menatap hampa ke
lantai dasar.
“Mala,
pashmina ini bagus deh...” Biarpun Anita sudah tak berjilbab, tapi berada di
toko busana muslimah tidak lantas membuatnya mati gaya.
Deni
mengamatiku yang sedang sibuk memilah puluhan rok yang tergantung di salah satu
sisi toko. Dia tidak tahu bahwa pikiranku sedang kalut bertanya-tanya apakah
aku benar-benar mau membeli rok. Jika ya, apakah rok itu akan langsung kupakai
untuk mengganti si celana aib ini? Apa komentar teman-teman nanti? Apa komentar
Sadewa? Fahmi pasti bakal mengira aku habis menduduki kotoran atau ngompol di
celana. Aduh... Tapi rok-rok ini memang bagus-bagus sekali!
“Mmmm...
Mila, aku beli rok juga nggak ya?” Deni bertanya pelan.
“Emang
kenapa, Deni?” Mataku masih jelalatan menyeleksi rok-rok terbaik meski
kutangkap ada nada yang tak biasa pada suaranya. Biasanya suara Deni selalu
bernada ceria dan percaya diri.
Deni
mencomot salah satu rok. “Kita cobain dulu yuk, beberapa....”
Setelah
kutentukan dua rok dengan model terbaik, aku digiringnya masuk ke dalam bilik
untuk mencoba pakaian. Di dalam, di mana hanya ada kami berdua, kusadari wajah
Deni menunjukkan kegelisahan.
“Ada
apa Deni?”
“Mila,
aku nggak nyaman nih pake celana ini...” Deni menggigit bibir; ciri khasnya
kalau sedang mengalami sesuatu yang meresahkan. “Ngetat banget... Mau nggak
kita sama-sama beli rok terus langsung kita pakai gitu?”
Aku
tercengang dengan pertanyaannya itu. Bukannya aku ingin menolak sih. Aku malah
merasa agak senang karena sepertinya aku tidak sendirian.
“Emang
kenapa Den? Kamu lagi dapet? Tembus?”
“Iiih, nggak,
Say... Ya, aku ngerasa nggak nyaman aja, celanaku terlalu ngetat!”
“Sesek
gitu ya, Den?”
“Nggak
juga sih, Mil... Sebenernya ngepas aja di kakiku, nggak terlalu bikin sesek
sebetulnya... Yang bikin aku nggak nyaman tuh soalnya celananya ngebentuk
kakiku banget. Bukannya aku GR ya, Mil, tapi aku ngerasa kayaknya ada aja orang
yang mratiin kakiku. Kalau cewek sih ya... mending, tapi kalau cowok... hiii...
Aku kan jadi risih sendiri Mil.”
“Tapi
kan kakimu emang bagus, Den.” Kaki model, batinku. Syukurilah apa yang kamu
punya, Sayang! Banyak cewek mengibakan yang berharap punya tungkai kaki seindah
milikmu, termasuk akuuu!
“Iya,
tapi bukan buat jadi tontonan. Aku malah ngerasa lagi nggak pakai bawahan gitu,
Mil... Telanjang!” Deni mendesis saat menyebutkan kata terakhir. Dia
melanjutkan dengan lirih, “Soalnya lekukan kakiku keliatan jelas banget… Nggak
ada bedanya dengan kalau aku lagi nggak pakai apa-apa, bedanya cuman di warna
kulitku sama warna jinsnya…”
Aku
tercengang. “Itu kan cuman perasaanmu, Den…”
“Tapi
apa gunanya berpakaian kalau orang-orang ngeliat kita seakan-akan kita nggak
berpakaian?”
“Ng, tapi gini deh Den, kaki kamu kan bagus,
indah gitu, kayak karya seni, makanya orang-orang suka ngeliatnya. Kamu aja
kali yang lebay. Orang-orang ngeliat kamu ya masih pakai pakaian!”
“Tapi
kita kan nggak tahu apa yang ada di pikiran mereka, Mil.”
“Siapa
tau aja mereka malah nggak mikirin apa-apa?”
“Tapi
kalau iya?”
Aku
terdiam.
Dia
menyambung, “Kalau tubuh kita tertutup sempurna tentu mereka nggak bakal
tergoda untuk ngebayangin yang nggak-nggak. Kalau hari ini nggak usah pake dresscode-dresscode-an, atau seenggaknya bukan jins deh, aku mending pakai
rok. Ini juga celana jinsnya dapet minjem sepupuku... Adanya yang ngetat gini. Mungkin aku aja kali
ya, yang nggak biasa pakai celana. Tapi kalau udah terbiasa dengan yang lebih
baik kenapa kita harus menghentikannya meski kita nggak lagi dituntut untuk
melakukannya?
“Inget
nggak Mil, pas kita masih di pesantren dulu kita nggak boleh pakai pakaian yang
macem-macem? Kayak yang terlalu ngetatlah, agak terbukalah... Aku malah ngerasa
lebih nyaman gitu. Pakaian kan gunanya untuk menutupi tubuh. Sesuatu yang
tertutup itu kan mestinya nggak keliatan sama sekali. Nah, kalau nutup tapi
masih keliatan bentuknya, itu membungkus namanya, bukan menutup. Berarti nggak
benar-benar menutup dong…
“Tubuhku kan bukan buat jadi tontonan, Mil.
Bukan barang murah yang semua orang bisa dengan mudah menikmati. Apa yang
dikasih Allah ini mahal harganya. Harus dijaga baik-baik. Nggak boleh seenak
itu orang lain mendapatkannya. Terserah deh orang lain mau mempergunakan
tubuhnya kayak gimana. Yang jelas aku sayang sama tubuhku. Aku percaya akhirat
dan aku harus bisa mempertanggungjawabkan pemberian Allah ini,” suara Deni
pelan tapi tegas. Aku melongo dibuatnya. Kok bisa ya dia sampai berpikiran
gitu. Kenapa juga dia tidak kepikiran itu sejak awal?
“Kok
kamu baru kepikiran sekarang sih, Den? Padahal kan sebelum dresscode-nya ditentuin gini kamu kan bisa nolak.”
“Iya,
nih, Mil. Aku baru bener-bener mikirin ini pas ngalamin sendiri. Dari mulai
berangkat dari rumah, di jalan, di angkot, aku ngerasa pandangan orang-orang
tertuju sama kakiku. Nyuit-nyuitin. Ngegodain. Padahal aku udah pake jilbab!
Nggak semua orang yang aku temuin kayak gitu sih, mungkin cuman satu dua, tapi
tetep aja bikin risih. Sampai akhirnya aku jadi punya kesadaran kayak gini.”
Aku
mengangguk setuju. Coba kalau Sadewa tidak meledek kakiku tadi. Mungkin sampai
sekarang aku masih pede menunjukkan kaki besarku dan tak bakal kesasar sampai
ke toko busana muslimah ini. “Den, aku malah malu loh sama tubuhku sendiri.
Badanku tuh gede banget, nggak proporsional. Kakiku gede banget! Tau nggak,
tadi tuh Sadewa aja ampe komentar pedes banget, katanya kakiku nggak enak
dilihat!”
“Hah,
masak gitu...?”
Bilik
ganti pakaian pun berubah menjadi arena gosip. Beginilah aku dan Deni, sobat
paling kentalku, kalau sudah diberi kesempatan berduaan saja. Segala pikiran
pasti dikeluarkan.
“Iya,
jahat banget kan. Mana perkataannya bener lagi.” Kujejakkan kedua kakiku
kuat-kuat ke lantai. Tungkai kakiku berguncanng-guncang pelan sesudah itu.
Bukan pemandangan yang enak untuk disaksikan. “Aku jadi nggak pede kan buat
ngeliatin kakiku lagi. Dari tadi aku kepikiran nyari rok buat nutupin kakiku.
Kayaknya aku mesti diet.”
“Tapi
potonganmu udah pas gitu kok. Kalau kamu tambah kurus entar pipimu nggak enak
buat dicubitin lagi dong.... Kamu nggak kegendutan kok, Mil.”
Aku
menghindar dari tangan-tangan jahil Deni yang mulai gatal ingin mencubiti
pipiku.
“Meski
kakimu besar, tapi justru kamu kan yang jadi pelari cewek tercepat seangkatan.
Kamu juga yang paling kuat jalan jauh kan di antara cewek-cewek yang lain,”
ujar Deni tadi. Kali ini ia berhasil mencubit sebelah pipiku. Aku meringis.
Aku
ingat masa-masa sekolah kami yang baru saja berlalu. Memang, aku selalu nomor
satu kalau dites lari dalam pelajaran Olahraga. Waktu sekolah mengadakan acara tracking pun, aku kerap meninggalkan
teman-teman cewekku yang sudah pada ngos-ngosan di belakang. Kakiku yang besar
ini yang kuat melakukannya.
“Tubuhmu
masih berfungsi dengan baik dan kamu juga termasuk yang paling jarang sakit loh
di antara kita, kenapa kamu nggak mensyukurinya? Entahlah Sadewa bermaksud
jahat apa nggak, tapi bukankah menutupi tubuhmu dengan sempurna memang suatu
keharusan dan itu emang lebih baik buat kamu?”
Kedongkolanku
pada Sadewa jadi agak mereda. Sepertinya benar juga apa yang Deni katakan.
Meski kesannya Sadewa jahat, tapi esensi perkataannya sebetulnya mengandung
kebaikan. Kata-kata ‘tapi kan tetep aja keliatan’ mengiang-ngiang dalam
benakku. Meski orang lain tak bermaksud untuk melihat tapi kalau diperlihatkan
ya mau tak mau kelihatan juga...
“Maaf
Mbak, tolong gantian...” terdengar suara seorang perempuan dari balik tirai
bilik.
“Bentar
lagi, Mbak! Hihi, kebanyakan gosip kita...” Deni menjulurkan lidah padaku lalu
dengan harap-harap cemas, “Gimana, jadi beli rok, Mil?”
“Langsung
dipakai, Mil?” Aku mengedipkan sebelah mata.
Kami
terkikik bareng.
“Tapi
aku bingung milih yang mana, Den. Menurutmu aku cocok pake yang mana, Den? Ya
ampun, kita bahkan belum nyobain roknya sama sekali!”
Sejenak
kepanikan melanda kami sampai akhirnya kami dapat memutuskan rok mana yang
hendak kami beli. Deni memilihkanku rok coklat dengan bordiran cantik di
bawahnya sedangkan aku mengambilkannya rok merah tartan yang lebar. Setelah
membayar kami minta izin ke penjaga toko untuk langsung memakai rok yang baru
kami beli itu. Penjaga toko itu mengangguk heran sementara kami melesat ke
dalam bilik ganti pakaian lagi. Setelah orang yang di dalamnya keluar tentu
saja.
Dengan
suntikan kepercayaan diri yang baru, kami melangkah keluar toko. Anita dan Mala
rupanya sudah bergabung dengan para cowok di luar sana.
“Hampir
aja kalian mau ditinggal loh,” ucap Anita tanpa bisa menyembunyikan sedikit pun
kekesalannya. Tidak seperti kami, dia pede saja mengurai rambut dan memakai
baju ngetat. Sejak masih mondok dia memang sudah suka begitu, meski tidak
sebebas sekarang. Anita yang paling tidak betah di pondok dan paling sering
kena iqob di antara kami yang
cewek-cewek. Mata Anita terpekur pada rok baru kami. “Kalian beli rok langsung
dipake?”
“Kami
lebih nyaman gini,” ujar Deni sumringah.
“Kok
nggak ngajak-ngajak sih...” Mala cemberut. Tangannya menggenggam setengah
batang coklat. Apa yang sedang dimakannya itu menambah kembung sepasang
pipinya. Kusadari hari ini ia sudah makan banyak sekali. Sewaktu kami di toko
tadi rupanya ia masih sempat ke Hypermart untuk membeli sebungkus plastik
ukuran sedang penuh berisi cemilan. Para cowok tampak cuek mengunyah kripik
singkong yang pasti mereka dapatkan dengan memalak cewek tersebut.
“Nonton
yuk, kita udah punya banyak perbekalan nih!” seloroh Fahmi sambil lalu.
Anita
memandang kami, meminta persetujuan. Kami mengangguk saja.
“Liat
dulu ada film apa aja. Kalau ada yang bagus sih, hayuk,” tambahku.
Sambil
mengekori teman-teman yang sudah berjalan duluan, aku membisiki Deni, “Besok
kita ajak Anita dan Mala pake rok juga yuk.”
Aku
menduga Mala mengalami perasaan inferior sebagaimana aku. Kalau aku minder
dengan kaki besarku, dia mungkin minder dengan kakinya yang terlalu kurus tak
berbentuk. Memakai celana jins ketat membuat kami menyadari ‘kekurangan’ kami
ini tapi ironisnya kami malah membiarkan orang lain melihatnya. Asumsiku pula,
dia cukup tertekan dan melampiaskannya dengan banyak-banyak ngemil. Cemilan
yang sudah jelas akan memberinya banyak kalori dan lemak tentunya.
Sebenarnya
dari dulu Mala makannya lumayan banyak. Tapi herannya, kok dia tidak
gendut-gendut ya? Sementara aku, mau rajin puasa Daud pun kayaknya tidak akan
pernah bisa membuatku tampak lebih langsing. Entah apakah merupakan faktor
genetis sehingga potongan tubuh kami selalu seperti ini.
“Yuk,
Mala pasti mau. Tapi kalau Anita sih... mungkin agak susah...”
“Temen-temen,
untuk ketemuan kita besok, yang cewek dresscode-nya
pake rok,” tiba-tiba Fahmi nyeletuk keras. “...kata Sadewa loh...”
“Yah,
kayak di pondok lagi nih, tapi nggak apa-apa sih. Cowoknya nggak sekalian pake
sarung aja?” timpal Mala, mengundang tawa yang lain.
“Eh
iya, kebetulan kemarin aku baru beli rok puff
selutut gitu... Lucu loh. Besok kupakai aja kali ya?” Anita mengajak kami
terlibat dalam pembicaraan tentang rok.
Aku
dan Deni menggeleng-gelengkan kepala memirsa gurauan teman-teman. Kulihat
sekilas Sadewa menengok ke belakang dan tersenyum entah padaku, pada Deni, atau
pada kami berdua. Kubalas dengan senyum sok jutek. Kukira aku bisa mengerti
maksudnya meledekku tadi itu. Dia cuma tidak bisa menyampaikannya dengan baik.
buah ramadhan,
1-2-3 september ‘9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar