adalah suatu pagi
satu syawal yang menyebalkan. sejak dia membuka mataku dengan cara yang tidak
menyenangkan: bentakan. nada bicaranya memang seperti itu. kini aku sudah tahu
apa dampaknya dijejali nada-nada berpretensi tekanan seperti itu. pembawaannya
sungguh menanamkan dampak psikologis. aku ingin menghentikannya. tapi aku tidak
bisa. aku tidak berani bicara. setiap perkataanku terdengar seperti bantahan
dan tantangan buatnya dan dia tidak suka dibantah apalagi ditantang.
kebungkamanku, kepasifanku dalam partisipasi di masyarakat adalah hasil
didikannya. tidak mutlak, tapi amat berpengaruh pastinya.
gesturnya yang
terburu-buru dan lengkingannya yang mengerikan memaksaku melawan kemalasan. aku
segera mandi dan bersiap dalam sekejap. aku telah siap dengan sajadah dan
atasan mukenaku yang biasa kusampirkan di kursi kamar. tapi mana bawahannya?
siapa yang mengambilnya? aku tidak mau menambah pikuk kericuhan di rumah. aku
pergi ke kamarnya untuk mencari-cari bawahan mukena yang pasti ada tersampir
juga di kursinya. kutemukan dan segera kukenakan. kulihat jam masih menunjukkan
pukul enam pagi tapi aku sudah siap dengan sandalku. dia juga sudah bersiap.
aku mengekorinya berjalan ke lapangan.
dari kejauhan
dapat kulihat bentangan tanah lapang yang telah digaris-garisi melintang.
setiap garis ada sekitar satu meter jaraknya. juga orang-orang yang menuju ke
arah sana bersama kami. yang laki-laki rata-rata memakai baju koko, sarung, dan
peci sementara yang perempuan lebih berwarna-warni. berdandan cantik dan wangi.
mereka menenteng lipatan koran dan sajadah. kuperhatikan mereka semua begitu
cerah. aku merasa berada dalam iklan deterjen. hei, ini hari yang fitri, wajar
saja jika semua orang ingin tampil bersih dan rapi, apalagi ini hendak bersujud
ramai-ramai ke haribaan-Nya. hanya satu dua orang yang kutemukan sudah
bermukena lengkap seperti aku. kuduga mereka begitu bukan karena mereka tidak
punya baju bagus untuk dipamerkan sehingga mereka menutupinya dengan mukena.
tidak seperti aku, yang hanya memakai kaos dan rok kumal seperti biasa.
seolah-olah ini bukanlah suatu momen yang harus dirayakan dengan 'wah'. bagiku,
kembali fitri artinya ya tampil apa adanya.
melihat orang
yang dikenal, ia langsung mendekati orang itu dan menggelar koran di
sebelahnya. padahal di depan sana masih ada beberapa baris saf terbentang
kosong. bukannya kita seharusnya mengisi saf terdepan dulu? terdengar suara
keras dari depan sana yang mendukung pikiranku. aku juga mengemukakan pikiranku
itu padanya tapi dia tidak mau. dia ingin tetap di situ. tidak apa-apa,
katanya. jadi aku dihadapkan pada pilihan apakah hendak meninggalkannya untuk
mengisi saf terdepan atau tetap di sini bersamanya. aku tahu sebetulnya aku tak
punya pilihan. tak layak jika aku meninggalkannya, maka aku tetap di sana.
jadi buat apa
kita berangkat terburu-buru tadi, begitu pagi, kalau hanya untuk mengisi saf
belakang? saf belakang seharusnya untuk yang kesiangan. karena bukan adab yang
baik jika yang kesiangan harus melintas di depan orang solat karena yang
tersisa tinggal saf depan. apa mereka selama ini menunaikan solat tanpa
mengetahui adab-adabnya? katanya manusia yang beradab, punya adab.
ia memberitahuku
kalau para laki-laki di rumah kami sudah tiba dan sedang berjalan menuju saf
laki-laki. aku diam saja. tidak mau mengomentari soal tipe-tipe orang yang
solatnya hanya dua kali setahun. supaya tetangganya tahu kalau dia masih
beragama. agama? agama apa? agama ktp.
kugelar koranku,
sajadahku, dan kududukkan pantatku di atasnya. kusadari di sebelah kiriku ada
yang sedang melakukan hal yang sama dan dia memberi jarak sekitar sepuluh
centimeter antara koranku dengan korannya. sepuluh centimeter yang berwarna
gelap aspal. segelap jalan 'setan' yang mungkin akan menempati jarak tersebut
kalau tidak diisi. di sebelah kananku sudah banyak terisi jamaah sementara di
sebelah kiriku baru dia dan seorang ibu-ibu. aku menegurnya pelan untuk
merapatkan koran. entah suaraku yang terlalu kecil, solawat yang membahana,
atau telinganya yang tak minat mendengar, ia hanya menoleh sekilas dan tidak
berbuat apa-apa lagi. ia hanya duduk dan entah, aku tak mengamatinya.
sajadah menjadi
bagian dari perangkat solat untuk mengalasi kita dari permukaan yang kotor.
tapi kukira sebaiknya kita tidak usah pakai sajadah saja kalau malah
menghadirkan jarak antar person di momen yang seharusnya semua orang merapatkan
barisan, tanpa jarak, dan menyatukan gerakan. sebagai simbol bahwa kita adalah
umat yang satu. (seharusnya) tak berpecah belah. sajadah malah mengukuhkan
ruang masing-masing individu. ruang yang seolah tak ingin dimasuki oleh
individu lainnya. ruang yang memisahkan karena menciptakan jarak antara tubuh
yang satu dengan tubuh yang lainnya. aku ingat sebuah teori psikologi yang
mengatakan bahwa setiap orang menciptakan ruang di sekitar tubuhnya, di manapun
dia berada. hanya orang tertentu saja yang diperbolehkan 'masuk' ke dalam
'ruang'nya, atau dalam situasi tertentu. tapi kukira teori tersebut tak berlaku
dalam solat. ada kalanya lengan dan tepi jari kelingking kita harus saling
bersentuhan dengan orang lain. dengan demikian kita sadar bahwa kita tidak
sendirian, kita bersama orang lain di kanan kiri kita dan di kanan kiri mereka
dan seterusnya, menyembah Tuhan yang sama. mengharapkan tujuan yang sama.
sajadah juga
dapat menjadi pembeda kelas sosial, kukira. sajadah yang bagus dan sajadah yang
kumal, kita pasti dapat menerka-nerka kelas sosial masing-masing pemiliknya.
bukan hal yang mutlak dan begitu penting untuk dipersoalkan sebetulnya. karena
kualitas solat kita tidak dinilai dari sajadah dan aku bukan sosialis.
penantianku
terasa sebentar ketika sebuah suara keras menyuruh kami berdiri untuk
menunaikan solat id bersama. suara itu menjabarkan rukun-rukun solat id yang
aku tak pernah mengingatnya. saat itu aku masih dalam perenunganku. baru ku
menyadari akan hal-hal tidak benar yang berpendar dengan tak acuhnya di
sekitarku dan aku seperti tidak punya alat apapun untuk memadamkannya.
orang-orang ini harus diberitahu, dan sebaiknya ada yang sudah melakukannya
sehingga aku tak usah merasa begitu bersalah karena tak berbuat apa-apa. memang
aku sudah sedikit melakukan usaha, tapi mereka tak tertarik atau tetap keras
kepala. ya sudah. sebagian besar manusia memang lebih suka mengklaim diri
mereka berada di pihak yang benar, walaupun sebenarnya tidak. termasuk aku.
tujuh kali takbir
pada rakaat pertama dan lima kali takbir pada rakaat kedua dan lebih dari
sepanjang itu kudengar di kejauhan seorang anak kecil hendak merusak pita suaranya
dengan menangis sekeras-kerasnya. ibunya pasti sedang (berusaha) khusyuk solat.
sebagaimana orang-orang lainnya juga sedang berusaha keras mencapai hal yang
sama namun terusik oleh jerit pilu seorang anak kecil yang entah berada di
mana. anak kecil yang ingin segala keinginannya dituruti. tak mengerti setiap
orang yang sedang berdiri bersedekap di sini menginginkan keheningan yang
syahdu. jika aku menginginkan siapapun yang bertanggung jawab akan anak kecil
itu untuk menyudahi solatnya dan menghentikan suara menjengkelkan itu, apakah
aku juga disebut sebagai anak kecil?
sambil
mendengarkan khotbah, kusadari aku sudah tak mendengar jeritan anak kecil lagi.
jujur saja, khotbahnya menjemukan. begitu panjang dan berputar-putar dan aku
bahkan tidak memerhatikan apa isinya. aku bisa mendapatkan hal yang sama di
kolom salah satu halaman koran hari jumat. kita manusia memang harus selalu
diingatkan. namun terlalu sering diingatkan malah membuat kita antipati dan
tidak lagi mau mendengarkan peringatan tersebut, boro-boro melakukannya.
masalahnya, orang terus mengingatkan ya karena kita tidak kunjung melakukan.
contohnya, syukur. bisakah kita cukup mensyukuri apa yang sudah kita punya
dengan tidak menggugat-Nya saat apa yang kita inginkan tidak kunjung diberikan-Nya?
Dia mungkin telah memberi, kita saja yang tak tahu caranya mencari.
aku menjadi sedikit terhibur dengan mengamati
dua anak kecil yang saling berkejaran di depanku. beberapa wanita menatap tak
senang pada mereka, merasa terganggu. salah satu wanita yang sepertinya ibu
salah satu anak kecil tersebut lantas mengambil tindakan dengan menggaet lengan
anaknya. kedua anak itu pun berhenti berkejaran. aku tidak merasa terganggu
dengan ulah mereka meskipun orang lain iya. padahal aku jengkel sekali saat mendengar
tangisan sejadi-jadinya seorang anak kecil yang entah di mana saat solat tadi.
aku kira aku tahu kenapa. anak kecil yang tadi menyebarkan kepedihan karena
tidak diladeni, pancaran keegoisan seorang anak kecil, negatif. sedangkan kedua
anak kecil di depanku ini saling berinteraksi dengan gembira. mereka bahagia,
positif. kenapa para ibu-ibu ini sok serius sekali mendengarkan khotbah yang
sewaktu-waktu pesannya akan mereka sendiri pungkiri, dan malah memecah aliran
positif yang mulai membercakiku?
ingin rasanya aku
berdiri, melipat sajadahku, dan balik pulang. kutahan-tahan sekuat hati.
sumpah, khotbahnya benar-benar kelamaan! saat kukira khatib akan berhenti dan
hatiku sudah hampir berteriak 'yes!', topik yang baru daru pita suara yang sama
meluncur lagi dari speaker. kuubah posisi dudukku. kulipat kedua lutut sambil
kubenahi bawahan mukena. kudapati ada bercak merah kecoklatan di bawahnya.
seperti darah yang sudah lama mengering. mungkin darah nyamuk yang entah
bagaimana nasibnya telah menemui ajalnya di atas kain putih ini. bukankah darah
itu najis? jadi, solatku tadi?
semua orang
tahu-tahu berdiri. rupanya khotbah telah diakhiri. aku pun ikut bangkit dan
kulipat sajadahku. karena tadi aku bawa koran kebanyakan, sisanya hendak
sengaja kutinggalkan di sini. aku berniat menambah penghasilan pemulung yang
akan datang mengambili lembaran-lembaran koran ini nanti. namun ia malah
menyuruhku untuk mengambilinya lagi. aku bilang padanya itu buat pemulung saja.
aku pikir daripada diloakkin sendiri dan hasilnya untuk kami lagi, yang sudah
hidup berkecukupan ini, lebih baik diberikan cuma-cuma saja pada pemulung yang
memang hidupnya kekurangan.
di tengah debat
yang tidak menyenangkan itu, terdengar suara keras meminta kepada para jamaah
yang hendak pulang agar mengambili lagi koran mereka supaya tidak membuat kotor
lingkungan. ekspresinya langsung menunjukkan kemenangan. aku mengernyit heran.
kenapa, bukankah nanti akan ada pemulung?
mungkin para
pemulung itu juga dianggap akan mengotori lingkungan kompleks perumahan mewah
yang individualis ini.
aku tak ingin
berjalan bersamanya jadi aku berjalan mendahuluinya, menembus kerumunan
orang-orang yang tak kukenal.
20 september 2009, 11.11 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar