- Jiwa Bahari, cetakan 1, 1985, 66 halaman,
- Jiwa Patriot: Pertempuran Lima Hari di Semarang, cetakan 1, 1992, 130 halaman,
- Jiwa Pejuang: Para Pelaut Remaja Membentuk Armada, cetakan 1, 1992, 126 halaman,
- Jiwa Pelaut, cetakan 1, 1995, 130 halaman.
Gambar screenshot dari Instagram. |
Dalam Jiwa Bahari, cerita dimulai dengan peristiwa penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Jepang kemudian mendirikan sekolah-sekolah yang mendidik pemuda untuk membantu angkatan perangnya, di antaranya adalah sekolah pelayaran yang terdiri dari Sekolah Pelayaran Rendah (SPR) dan Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT). Siswa SPR berasal dari lulusan Sekolah Dasar. Di SPT ada dua jurusan, yaitu Bagian Dek untuk mendidik calon mualim, serta Bagian Mesin untuk mendidik calon ahli mesin kapal. Siswa Bagian Dek berasal dari lulusan SMP atau MULO (sekolah menengah pada zaman Belanda), sedang Bagian Mesin kebanyakan dari Ambachtschool yaitu sekolah pertukangan pada zaman Belanda. Lama belajarnya hanya 6 bulan karena tuntutan kebutuhan pada masa perang (halaman 8). Sekolah Pelayaran ini rupanya cikal-bakal Angkatan Laut Republik Indonesia, lulusannya banyak yang menjadi tokoh sebut saja Laksamana Martadinata, Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin, Laksamana Sudomo, Letnan Kolonel Slamet Riyadi (kemudian Brigjen Anumerta), dan Yos Sudarso (halaman 9).
Anto sendiri masuk ke SPT. Dalam Jiwa Bahari, masa pendidikannya kira-kira hanya 2 bab sedang selebihnya ia berikut siswa-siswa lainnya langsung diterjunkan ke lapangan--maksudnya, ke lautan--menggunakan kapal kayu sederhana dengan mesin yang juga sederhana menghadapi kapal selam canggih milik musuh Jepang. Selama itu, terdapat kisah-kisah lucu (misalnya ketika mengakali sensei Jepang yang lagi mabuk) dan kisah-kisah tragis (ada di antara rekan mereka yang tewas). Pada akhirnya, para remaja ini menyadari posisi mereka; pekerjaan ini mengorbankan nyawa dan mereka melakukannya pun untuk bangsa lain yang sedang menjajah. Memang sedari awal cerita sudah ditampakkan keengganan tokoh utama dan kawan-kawannya dalam mengikuti aturan Jepang yang sangat keras dan main kasar. Maka terjadilah rapat sembunyi-sembunyi yang berujung pada aksi "pemberontakan" berupa sabotase kapal supaya tidak bisa jalan. Namun ketika pihak Jepang mulai curiga akan adanya sabotase itu dan para awak kapal terutama ahli mesin selalu dibayangi ketakutan, keburu bom atom meledak di Hiroshima dan Nagasaki sehingga mengakhiri perang.
Entah apa saja yang terjadi dalam Jiwa Patriot dan Jiwa Pejuang, loncat dulu ke Jiwa Pelaut. Dalam buku ini, cerita terjadi pada awal 1946 ketika Indonesia belum lama merdeka. Anto dkk mendapat misi mengantarkan anak-anak Ambon petugas khusus didikan Badan Rahasia Negara (halaman 33) dalam dua buah kapal yang dinamai "Semeru" dan "Sindoro". Kapal ini masih kapal kayu yang sebelumnya dimiliki tentara Jepang, dengan keadaan mesin yang memprihatinkan. Dalam buku ini kembali Anto menunjukkan kecerdikannya yaitu menggunakan ganjalan kayu untuk mengatasi suatu masalah mesin.
Dalam menceritakan perjalanan ini berikut tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa di dalamnya, Jiwa Pelaut menggunakan diorama di Museum Satria Mandala (dulunya Wisma Yaso yang ditempati Bung Karno) sebagai suatu bingkai. Cerita ini seperti hendak mengklarifikasi diorama tersebut, misalnya dengan menerangkan adanya tokoh-tokoh yang juga memiliki peran penting tetapi namanya tidak turut diangkat. Maka buku ini merupakan tribute terhadap para pahlawan yang tak tercatat itu.
Dalam pembahasan di Klub Buku Laswi, Kang Deni selaku pemantik membuat perbandingan bacaan anak antara dulu dan sekarang dari aspek penulis, tampilan, dan konten. Yang dimaksud dengan dulu ialah masa ketika buku-buku ini diterbitkan pertama kali, sekitar 20-30 tahun lalu. Dari aspek penulis, bacaan anak dulu ditulis oleh orang dewasa sehingga bisa jadi cenderung menggurui sedangkan bacaan anak sekarang ditulis oleh anak-anak sendiri sehingga pastinya lebih mewakili perspektif anak-anak. Dari aspek tampilan, bacaan anak sekarang jelas tampak lebih menarik dengan banyak gambar yang berwarna-warni sedangkan bacaan anak dulu hampir-hampir teks melulu yang sesekali saja disisipi gambar hitam-putih ala kadarnya. Dari aspek konten, bacaan anak dulu pun sepertinya belum mengenal "sensor" yang ketat; mungkin karena ditulis orang dewasa maka sesekali terselip adegan "dewasa" contohnya dalam Jiwa Bahari dan Jiwa Pelaut ini beberapa kali disebutkan adanya tokoh remaja yang mabuk oleh minuman keras juga ada yang merokok kretek.
Saya sendiri ketika membaca buku-buku ini dalam usia yang tidak boleh disebut anak remaja lagi merasakannya sebagai bacaan yang cukup memusingkan. Alur ceritanya kurang lancar saya ikuti. Nama tokoh-tokoh beserta detail-detail sejarah dan mesin kapal seperti diserakkan penulis begitu saja sembari bercerita, seakan-akan tanpa perhatian bahwa pembaca (apalagi usia anak remaja!) mungkin belum memiliki banyak wawasan sejarah khususnya kemaritiman apalagi soal permesinan.
Untuk tokoh, tidak memungkiri bahwa dalam membaca buku-buku ini membekas kesan beberapa di antaranya. Sebut saja Mursid yang suka bolos jaga mesin dengan alasan mabuk laut, Yos Sudarso yang walau Katolik kerap mengingatkan salat, Anna Luhukay yang satu-satunya perempuan di kapal, lalu ada yang tidak pernah lepas dari kretek dan ada pula yang keturunan Tiongkok, tidak lupa Anto yang cerdik, suka membaca, dan ingin jadi pengarang kelak, dan lain-lainnya. Belum lagi karena tokoh utama dkk pada dasarnya masih remaja adakalanya mereka bertingkah slengean, suka saling mengejek bahkan beberapa suka mangkir tugas. Namun kesan-kesan itu tertangkap secara acak, seiring dengan mengalirnya cerita saja alih-alih melalui perkenalan yang rapi perlahan-lahan.
Mengingat para tokoh yang hampir semuanya lelaki berikut adanya adegan-adegan "dewasa", sepertinya bacaan ini lebih tepat bagi remaja pria atau laki-laki muda yang mulai beranjak dewasa. Terlebih kalau mereka punya minat khusus terhadap sejarah, mesin, kapal, perang, dan sebagainya. Karena sebagai bacaan relatif berat oleh detail-detail yang cenderung segmented itulah, untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, saya setuju andaikan saja buku ini dialihwahanakan, misalnya sebagai film, yang lebih mengedepankan alur, misi, petualangan, pengembangan karakter, diselipi kejadian-kejadian jenaka maupun tragis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar