Minggu, 19 November 2023

Mengenal Rumphius di Jante

Gambar screenshot dari Instagram.
Baru pada H-2 saya mengetahui telah terbit terjemahan buku Rumphius oleh Komunitas Bambu yang harganya hampir 800K, dan akan diperbincangkan di Kedai Jante. Bukannya saya tahu benar tentang Rumphius, sebetulnya hanya samar-samar dari bacaan sana-sini bahwa ia seorang penulis alam di suatu kawasan nusantara berabad-abad silam yang mengalami berkali-kali tragedi dalam hidupnya seperti kebutaan dan kebakaran. Samar-samar wawasan itu kiranya saya dapatkan dari buku Kepulauan Nusantara Alfred Russel Wallace yang juga diterbitkan oleh Komunitas Bambu (yang saya sudah baca tapi terhenti dan itu sudah bertahun-tahun lalu entah kapan akan lanjut mungkin bakal mengulang dari awal :v). Rumphius menarik karena saya ada sedikit ketertarikan sama alam; kebetulan pula baru menamatkan Priangan Andries de Wilde. Kalau de Wilde menulis tentang alam Priangan, maka Rumphius mengenai Ambon. Ingin saja meraup khazanah alam nusantara sebelum negara api datang menyerang. Tapi, aduh, harga buku Rumphius itu bisa untuk memberi makan kucing-kucing kelaparan di sekitar rumah selama beberapa bulan, atau menabung 1 batang emas Antam 0,5 gram dan sisanya untuk pecahan yang lebih mungil dari Galeri 24 :')

Karena penasaran, setidaknya datang dahulu ke acara bincang-bincangnya untuk mendapat gambaran mengenai buku itu. Acaranya pada Jumat, 18 November 2023, dari jam 16.00 sampai sekitar magrib WIB. Pembicara utama adalah Pak T. Bachtiar dan Pak JJ Rizal. Pak Bachtiar saya baru "kenal" dari bukunya, Menjelajah Taman Nasional Ujung Kulon, sedangkan Pak Rizal yang punya Komunitas Bambu.

Gambar dokumentasi Nurul Maria Sisilia.

Sebelum menyoal buku, Pak Bachtiar mengantar dengan membagikan pengalamannya pada 2016 ketika melawat ke Ambon khususnya ke tempat-tempat yang berhubungan dengan Rumphius. Ada foto-foto pemandangan yang sangat cerah sekali. Nantinya beliau bilang bahwa di Indonesia belahan timur sana pada jam-jam tertentu (kalau tidak salah, sekitar siang sampai sore) sinar mataharinya sangat baik menampakkan pemandangan alam yang indah. Beliau juga menerangkan bahwa pembentukan alam di Indonesia timur lebih rumit makanya hasilnya "aneh-aneh", lautnya pun dalam-dalam. Dari pemaparan beliau, saya menangkap bahwa Rumphius bukan hanya menulis tentang flora dan fauna tetapi juga bencana alam yang pernah terjadi seperti gempa dan tsunami. Tulisannya itu mengandung informasi yang dapat dikembangkan untuk mitigasi, agar kelak tidak kaget ketika terjadi lagi lazimnya suatu siklus. Dari Rumphius kita dapat belajar pentingnya mencatat; ia teladan dalam menuliskan kebanggaan alam dan budaya. Tak luput Pak Bachtiar menampilkan serangkaian tragedi yang menimpa Rumphius dalam usahanya itu (disalin dari slide beliau dengan sedikit penyesuaian):

  • Naskah bukunya dicekal untuk terbit oleh VOC karena memuat hal yang dipandang dapat mempengaruhi persaingan dagang.
  • Kapal yang mengirim naskah bukunya ke Belanda ditenggelamkan Perancis pada 1692.
  • Kantong pemukiman orang Belanda terbakar sehingga menghanguskan semua catatan, naskah, dan gambar; ia pun mengulang pekerjaan menulis dan membuat gambar.
  • Terjadi gempa dan tsunami yang dahsyat yang merenggut nyawa istri dan putri bungsunya.
  • Pada usia 43 tahun, matanya terkena glaukoma sehingga pandangannya buram.
Pantaslah buku ini dibanderol begitu mahal, toh baik naskah maupun penulisnya telah mengalami banyak tragedi! 

Penampakan buku 
Rumphius terbitan 
Komunitas Bambu.
Gambar dokumentasi
Nurul Maria Sisilia.
Bagaimana dengan penerbitan buku ini sendiri khususnya untuk terjemahan bahasa Indonesia? Selanjutnya Pak Rizal menceritakan perburuannya mendapatkan buku Rumphius. Beliau mencari ke sana kemari, sampai mendatangi rumah tokoh-tokoh yang katanya punya buku tersebut, dan akhirnya menemukan edisi berbahasa Inggris di museum depan Kebun Raya Bogor sebelum kemudian membeli hak ciptanya. Rupanya buku terjemahan yang diterbitkan Komunitas Bambu ini tidak mencakup semua karya Rumphius karena kalau selengkapnya itu banyak sekali. Buku terjemahan ini saja sudah cukup besar dan tebal dengan harga yang kalau menurut kebanyakan orang "mahal". Kalau boleh saya bandingkan buku ini hampir-hampir seukuran dengan terjemahan The History of Java yang diterbitkan Narasi. 

Pak Rizal menambahkan hal lain yang patut diapresiasi dari Rumphius yaitu sangat menghargai "scientist" lokal. Mereka membantu Rumphius mencarikan bahan dan memberitahukan segala pengetahuan lokal untuk dicatatnya. Karyanya tidak akan jadi tanpa peranan masyarakat setempat, belum lagi orang-orang Belanda yang membantu membuatkan gambar. Rumphius juga punya jaringan yang sangat luas. Ia mengaku diri sebagai amatir dan menganggap kerja sunyi menuliskan sejarah alam ini suatu labour of love, tetapi cintanya ini didukung oleh banyak orang beragam bangsa. Makanya, terlepas dari berbagai tragedi yang menimpa, ia tak putus asa mengulang-ulang pembuatan karya ini. Walaupun berasal dari Jerman, bisa dikatakan ia cuma menumpang lahir di sana tetapi jiwanya anak Ambon. Sikap Rumphius ini tidak seperti naturalis lain contohnya yang disebut-sebut yaitu Junghuhn dan Wallace, yang katanya rasis terhadap pribumi sudah begitu mendukung tanam paksa.

Dalam acara ini saya perhatikan beberapa kali Pak Rizal "diolok" bahwa buku ini tak akan laku. Dilempar pertanyaan seperti, "Pernahkah memikirkan pengaruh nyata buku yang diterbitkan?' Kasarnya kurang lebih kayak: "Memangnya bakal ada yang baca?" Yang saya kagumi dari beliau adalah dengan tegasnya menyatakan, "Tidak memikirkan! Bukan urusan!" Beliau sudah kebal dengan usikan macam itu, termasuk soal pembajakan. Penerbit hanya memproduksi dan ide itu macam punya "kaki" sendiri, setelah dilepas biar saja berjalan-jalan entah ke mana menjadi apa. "Kalau memikirkan entar jadi putus asa. Realitanya bikin gila." Demikian saya kutip sepatah-sepatah dari beliau. Sikap "ikhlas" begini yang saya pribadi lagi berusaha miliki, relevan jika kita punya kebutuhan menulis; kegalauan bakal ada yang baca atau tidak itu tidaklah perlu. Apalagi bila ada cita-cita yang diperjuangkan, yang bagi Pak Rizal berupa kepentingan sains dan budaya.

Pak Rizal mengakui bahwa Komunitas Bambu punya reputasi menerbitkan buku tebal dan enggak laku. Salah satunya buku Kepulauan Nusantara yang katanya baru terjual habis dalam sepuluh tahun (memang itu buku sangat besar dan hard cover). Namun ada juga buku-buku terbitan Komunitas Bambu yang populer, laris (bajakannya), bahkan diadaptasi jadi suatu program, di antaranya Mustikarasa dan Sejarah Rempah. Beliau tidak pesimistis soal minat baca masyarakat, bahkan menemukan bahwa minat baca generasi muda sebetulnya tinggi; akses terhadap bacaan yang tidak selalu mudah. Pak Bachtiar pun di awal sempat mengungkit bahwa beliau melihat di toko buku anak muda membeli buku tebal sehingga optimistis pula soal minat baca masyarakat. Lagi pula ada sebagian masyarakat yang beli sepatu seharga jutaan saja mampu (belum lagi tiket konser dsb you name it), masak untuk pengetahuan yang "cuma" ratusan ribu sungkan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain