Malam
itu Bibe dan mamanya tidur bersebelahan di kasur Bibe. Kasur untuk satu orang
sebenarnya. Sejak Bibe kecil, Mama suka mendampinginya seperti itu. Tapi
sekarang badan Bibe sudah lebih besar daripada mamanya. Maka kalau Mama ingin
tidur bersama, Bibe memilih tempat di sisi luar kasur—sementara Mama di dekat
tembok—sebab rasanya lebih leluasa. Mama berbaring menyamping ke arah Bibe,
sementara Bibe telentang namun kepalanya agak berpaling dari Mama. Benaknya
melayang ke mana-mana, mencari jalan menuju lelap, yang sekaligus menjadi
gerbang ke alam mimpi. Tapi kantuknya malah lari, begitu ia menyadari kalau
jemari Mama sedang bermain-main dengan rambutnya. Jemari itu membelah
rambutnya, dari atas ke bawah, seakan ingin merasai kehalusannya, terus dan
terus, naik-turun-naik-turun dengan perlahan. Ia juga merasa Mama sedang
memandanginya. Maka ia terus mempertahankan posisi kepalanya supaya tidak
berpaling pada Mama, tapi jangan sampai terlihat jengah atau semacamnya. Rileks
saja. Lalu seiring dengan gerakan jemari Mama, tahu-tahu Bibe mendengar alunan
musik di dalam kepalanya. Musik yang belakangan ini memang sedang
senang-senangnya bermain di dalam kepalanya. Musik yang didengarnya semata
karena ingin merasa lebih dekat dengan pemilik jari-jari yang mendentingkannya.
Tapi ternyata lama-lama musik semacam itu enak juga, terutama ketika
didengarkan baik-baik. Selama ini, ia menyukai musik tertentu karena
teman-temannya juga menyukainya: lagu-lagu yang asyik dinyanyikan beramai-ramai
waktu menongkrong di karaokean. Ia juga diam-diam menyukai lagu-lagu zaman dulu
dengan lirik yang mengharu-biru; hanya karena Mama doyan memutarnya
berkali-kali sedari ia masih kecil. Lagu-lagu yang berlirik. Sering kali ia
tidak peduli pada apapun yang disampaikan lirik-lirik itu. Tapi sejak mengenal
musik Om Yan, lagu-lagu semacam itu terdengar seperti bebunyian belaka.
Tang-ting-tung. Jrang-jreng-jrong. Waw-wew-wow. Perkataan apapun yang
dinyanyikan sang vokalis malah terasa mengganggunya. Sementara saat
mendengarkan musik Om Yan, ia bertanya-tanya: Beginikah musik yang
sebenar-benarnya musik? Yang tidak ada liriknya. Musik itu sendiri yang berbicara, melalui instrumen yang dibawakan
oleh orang-orang yang tersembunyi—tidak terlihat. Mata ingin terpejam saja saat
telinga mencoba meresapinya. Bukan karena mengantuk, melainkan untuk memberi
ruang lebih bagi meletupnya imajinasi. Sesekali, ketika ada instrumen baru yang
menyusup dalam pendengarannya, ia menebak-nebak, apa itu masih suara flute?, tapi kedengarannya seperti
biola, apa ini suara gitar?, atau jangan-jangan piano? Ah, betapa butanya ia
soal musik! Coba kalau dulu ia becus saat dikursuskan oleh Mama—sampai sekarang
ia hanya bisa memainkan lagu-lagu sederhana dengan gitar. Tapi instrumen apapun
itu yang sedang bermain tidaklah penting amat. Sebab telinganya, imajinasinya,
hatinya sudah telanjur diombang-ambingkan suasana yang ditimbulkan oleh musik;
diayun-ayun sampai melambung, dibuai-belai angin semilir yang tahu-tahu
berembus dari pendengarannya, dibawa masuk ke dalam rasa yang tidak terperikan…
seperti saat jemari Mama mengelus rambutnya bagai sedang memetik harpa. Oh, ia
tidak tahu apa memang ada harpa dalam musik yang sedang mengalun dalam
kepalanya itu. Seakan-akan penggubahnya tahu bahwa pendengarnya, Bibe ini, akan
mengalami momen tertentu dan membuatkan musik untuk mengiringinya. Ah, atau
tepatnya, pemain pianonya! Sebab bagian pianonyalah yang mengiang-ngiang di
dalam kepala Bibe seiring gerakan jemari Mama. Dentingannya lembut sekali.
Seakan-akan berbagi perasaan yang sama dengan yang tengah dialami Bibe.
Alunan
itu terputus ketika tahu-tahu kepala Papa menongol di ambang pintu yang memang
tidak ditutup. Mukanya sepet, matanya mengejap-ngejap terkena sorot lampu yang
benderang, pertanda baru terjaga.
“Kok
sempit-sempitan?” Tangan Papa menempel pada kosen. “Pindah sana.” Kepala Papa
mengarah ke kamar sebelah yang kasurnya memang cukup untuk mereka bertiga.
Kalau Papa sedang tidak bertugas dan tinggal di rumah, mereka sering tidur
bareng-bareng di situ, terutama sewaktu Bibe masih kecil. Tapi karena Papa
sering bepergian, Bibe dan Mama malah terbiasa tidur di kasur yang lebih
sempit. Sebetulnya Bibe ingin tidur sendirian saja, tapi Mama selalu ingin
menempel dengannya dan “lupa” balik ke kamar satunya.
“Papa
ikut sini aja,” kata Mama.
Papa
cuma mengernyit, lalu terdengar badannya diempaskan ke sofa ruang tengah yang
gelap, dan TV dinyalakan.
Barulah
setelah itu Bibe bisa memejamkan mata karena benar-benar terlelap. Ia sempat
terbangun dan telinganya menangkap suara TV, tapi elusan Mama di rambutnya
tidak lagi terasa. Dilihatnya mata Mama pun sudah terpejam, wajahnya masih
terarah pada Bibe, sementara jemarinya diam di ujung-ujung rambut panjang itu.
“Ma…”
Bibe bersuara pelan. “Mau dielus lagi.”
“…mm?”
Rupanya Mama masih bisa menanggapinya. Matanya tampak berat sewaktu membuka.
“Enggak
jadi.” Bibe kembali pada posisinya, telentang dan berusaha tidak berpaling pada
Mama.
Tapi
rupanya Mama masih mendengarnya. Pelan-pelan jemari itu mengusap-usap rambutnya
lagi, kena kulit kepalanya, sampai Bibe terlelap lagi. Dan ketika Bibe
terbangun lagi, dilihatnya Mama sudah memunggunginya, mendempet tembok seperti
ikan sapu-sapu. Suasana begitu gelap dan senyap. Tidak ada lagi suara TV. Lampu
kamar Bibe pun sudah dimatikan, mestinya oleh Papa.
*
Beberapa
waktu sesudah malam itu, siang-siang Bibe jalan-jalan bersama Om Yan. Sudah
berkali-kali seperti itu: Om Yan menjemput Bibe sepulang sekolah, lalu mereka
akan makan-makan di suatu tempat, entahkah di kafe atau restoran rekomendasi
masing-masing, atau di kawasan pinggir kota yang udaranya sejuk. Lalu mereka
akan mengobrolkan apa saja, sepuas-puasnya. Bagaimana seorang “om” yang usianya
kira-kira empat puluh tahun (tapi kelihatannya kurang dari itu!) nyambung
dengan remaja seusia Bibe yang ceriwis bukan main, hanya mereka yang tahu
rahasianya. Kali ini Om Yan memarkir mobilnya di sisi hamparan perkebunan teh.
Kaca jendela dibuka lebar-lebar. Begitu juga perbekalan mereka: sebaskom es
krim rasa stroberi, cokelat, moka, dan teh hijau yang dikais berdua,
ditempatkan di tengah-tengah mereka, di dekat rem tangan. Dingin di luar,
dingin di dalam. Tapi mereka merasakannya di awal saja. Di tengah-tengah
obrolan, mendadak Bibe teringat pada malam Mama mengelus rambutnya dan
permainan piano Om Yan.
“Eh,
Om, aku dengerin lagu-lagunya Om di Youtube, lo.”
“Iya?”
Om Yan tersenyum di sela-sela meramu campuran stroberi-cokelat-moka-teh-hijau
yang pas dalam sendok plastiknya. Dalam album yang dimaksud Bibe kemudian, ia
sekadar pemain piano dalam arahan seorang komponis kawakan asal Cannes. Bibe
sudah tahu itu.
“Waktu
Mama lagi ngelus-ngelus rambut aku pas mau tidur…” Bibe terdiam sejenak sebelum
melanjutkan, “enggak tahu kenapa, kebayang lagu itu.”
Senyum
Om Yan tidak terartikan oleh Bibe, sebab tidak mungkin mengatakan pada gadis
itu kalau ia mengalami hal serupa dengan teman tidurnya selama tinggal di
Boston. Pada suatu malam, ia memandangi punggung wanita yang tengah lelap itu,
dan mulai mengelus rambutnya yang panjang pelan-pelan sekali, hingga dalam
kepalanya sayup-sayup mengalun sebuah melodi, yang begitu saja keluar dari
dirinya. Begitu pula yang terjadi saat sedang merekam aransemen gubahan
komponis yang bekerja sama dengannya itu di studio; “kecelakaan” itu membuatnya
malu—ia pemain paling junior dalam grup itu—tapi sang komponis menyukainya, dan
gerakan tangan lelaki gaek itu mengisyaratkan: “Lanjutkan,” dan proses rekaman
pun diulang dengan “sedikit” improvisasi yang bagi pendengar tertentu ternyata
melenakan, namun tidak termasuk kekasihnya itu. Wanita itu hampir tidak pernah
mendengarkan permainannya kecuali kalau sedang sangat suntuk dan membutuhkan
hiburan, dan musik yang diminta pun yang riang-riang saja seperti “The
Entertainer” dari Scott Joplin atau “Swanee” dari George Gershwin, bukan yang
lembut cenderung pilu, sebagaimana yang didengarnya kala mengelus rambut wanita
itu pada larut malam, yang setelah belasan tahun lamanya menjadi mitra yang
klop di tempat tidur, akhirnya ia tinggalkan jua; wanita itu tidak pernah mau
dipasangkan cincin olehnya.
Maka
yang dikatakannya pada Bibe hanya, “Mungkin karena judulnya dari bahasa
Latinnya ‘Urang-aring’?”[]
Credit to: Claude Bolling – “Tendre” (Picnic Suite: Track
06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar