Ia hampir tidak melakukan
apa-apa sepanjang pagi hingga siang ini, selain tidur, sekadar meneruskan yang
semalaman.
Namun, mendekati tengah hari
ia bangkit dengan keinginan yang menghentak-hentak bagian dalam dadanya: “Aku
ingin menjadi istri teladan!” Ya, itulah yang diinginkannya, menjadi istri
teladan! Ia pernah mencita-citakannya. Saat berpacaran dengan lelaki yang
dicintainya. Saat bersanding dengan lelaki itu di depan penghulu, di atas
pelaminan. Saat itu ia belum benar-benar menjalani upaya untuk menjadi istri
teladan. Namun ia telah mencari tahu lewat cukup banyak bacaan, dan merasa
mantap bahwa itulah jalan yang telah ditakdirkan untuknya. Ikatan pun
dikukuhkan. Ikrar dilantunkan. Aku akan
menjalani sisa hidupku bersamamu. Dengan sepenuh hati.
Akhirnya, ia keluar dari
kamar, untuk yang kedua kalinya dalam sepanjang hari itu. Pada kali pertama, ia
terpaksa bangun karena diteriaki ibunya yang kehabisan sendok untuk sarapan
(dengan tambahan: “Ibumu ini sudah tua dan capek!”). Perabotan kotor menggunung
di bak cuci dan sekitarnya. Sementara ia membayangkan dirinya membanting setiap
pecah-belah yang dicucinya, lalu menghunjamkan pecahan yang paling tajam ke
lehernya sendiri, ibunya bertanya apakah ia perlu diantar ke psikolog. Semasa
muda, ia sering mengharapkan orangtuanya agar menanyakan itu. Namun ketika
harapannya terkabul, ia sudah tidak memercayai yang semacam itu lagi. Kalau orang-orang itu memang tulus, mereka
akan rela membantunya membenahi masalah tanpa dibayar. Oh, ya, mereka butuh
makan. Kami juga! Untuk apa memberi makan pada kalian sementara kami sendiri
kesulitan untuk memenuhinya!?
Ia duduk di kursi paling
ujung di ruang makan, membuka sebungkus nasi kuning yang dibelikan ibunya tadi
pagi. Kepingan-kepingan kerupuk membuat gundukan lembek itu dapat ditelan.
Ia merasa ingin menangis
karena teringat akan mimpinya untuk menjadi istri teladan. Lalu melihat ibunya
berpakaian seperti hendak bepergian. Ibunya menutup pintu depan dari luar.
Mungkin ibunya hendak berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan, mungkin akan lama.
Mungkin ibunya sekadar pergi ke warung, mungkin sebentar saja. Sekarang ia
sendirian di rumah—apabila kucing-kucing ibunya, dan cecak, dan kecoak, dan
kaki seribu yang kadang merayap di muka kamarnya, dan berbagai makhluk hidup
lainnya yang tidak kelihatan, tidak masuk hitungan.
Matanya terasa panas dan
penuh. Ia mengusap keduanya dengan punggung tangan dan jemari yang meringkuk.
Setetes air bergulir di sisi tangannya itu. Ia mengusapnya dengan tangan yang
satu lagi. Lalu tangan itu dipakainya kembali untuk mengusap mata, dan lagi,
lagi, dan lagi….
Ini yang kedua kalinya dalam
beberapa hari ini.
Ia pernah membaca biografi
tentang Alkindi—seorang filsuf pada masa kejayaan peradaban Islam. Dalam buku
itu dikatakan bahwa kesedihan ada karena ketidakmampuan dalam menjangkau
keinginan. Demikianpun dikatakan oleh temannya (yang sudah tidak berhubungan
lagi dengannya) sewaktu mendapat pelajaran filsafat di perkuliahan. Saat itu
lama sebelum ia membaca buku tentang Alkindi, dan ia berpikir: Beruntung aku membatasi keinginanku. Aku
tidak ingin pakaian mahal maupun kemewahan lainnya, yang dapat mendorong
seorang suami untuk melakukan korupsi. Aku hanya ingin menjadi perempuan hebat
di balik seorang lelaki cemerlang. Keyakinannya terkuatkan oleh kata-kata
yang ditemukannya secara tidak sengaja di kamus: Kebahagiaan itu keinginan yang sedikit.
Sebetulnya ia memiliki
banyak keinginan selain menjadi istri teladan. Banyak. Tapi saat ini hanya itu yang membuatnya sering termenung
hingga lama—terlalu lama menurut orang-orang yang mengetahuinya—dan akibatnya
menangis sewaktu-waktu.
Harusnya ia tidak
memikirkannya seserius itu, ia menyadarinya. Ia bisa tetap menjalankan perannya
sebagai ibu rumah tangga sembari menjadi yang
lainnya, demi menjaga kestabilannya baik secara mental maupun finansial,
dengan membagi waktu. Ia pernah menjalani kehidupan ganda seperti itu, belasan
tahun lamanya. Namun kini ia memilih untuk tidak menjadi keduanya, kendati
masih memiliki berbagai hal yang diperlukan untuk menjadi “istri teladan”:
waktu, buku-buku self-help, peralatan
memasak dan menjahit, orangtua yang tidak lagi menuntutnya untuk memenuhi
berbagai peran dan tanggung jawab melainkan mengingatkannya sesekali saja sembari
memendam kesedihan, anak-anak yang menyenangkan walau nilai-nilai mereka tidak
pernah mencukupi untuk dapat memasukkan mereka ke sekolah yang bagus (dan
belakangan ini mereka jarang berada di rumah), dan seterusnya, dan sebagainya…
kecuali satu.
Aneh,
pikirnya. Belasan tahun lelaki itu mencekoki pikirannya; menjadi sarana baginya
untuk mengaktualisasikan diri, memenuhi kebutuhan, mencapai kepuasan…. Lalu
pada satu titik lelaki itu tidak lagi berarti baginya. Ia telah memikirkan
berbagai hal yang kemungkinan adalah penyebabnya, dan yakin bahwa kepala yang
membotak dan perut yang membuncit bukanlah salah satu (atau dua?) di antaranya.
Seperti orang yang belajar memainkan suatu alat musik sedari kecil, dan
diarahkan untuk menjadi musisi andal, lalu setelah dewasa menjadi bosan dan
ingin memiliki keterampilan lain, profesi lain…. Ia telah mencurahkan sebagian
besar hidupnya untuk musik, namun musik tidak memberinya penghidupan yang baik:
kepribadiannya menjadi eksentrik, orang-orang lebih suka mengunduh karyanya
secara cuma-cuma alih-alih membayar jerih payahnya, dan tidak ada produser yang
tertarik padanya lagi.
Ketika memijat bahu maupun
menyeterika baju suaminya, ia merasakan kesia-siaan. Dengan tubuh yang segar
maupun setelan yang rapi, lelaki itu sudah tidak punya tempat untuk dituju.
Mestinya ia menyadari sejak awal bahwa lelaki itu memiliki visi yang samar dan
kepribadian yang lembam dalam kehidupan yang tidak menentu ini. Tapi cinta
mengesampingkan segalanya; kesenangan menumpulkan pikiran. Mereka tidak
mengantisipasi apapun yang mungkin mengadang di depan. Mereka hanya
mengharapkan kegemilangan. Bisnis itu kini kandas, dan entah sampai kapan
mereka mengandalkan cucuran dana dari orangtua. Padahal mereka tidak bisa lagi
disebut anak-anak.
Pun, ternyata, sebagai
perempuan ia tidak begitu hebat dalam menjadikan suaminya seorang lelaki yang
cemerlang. Kadang ia berpikir, mungkinkah ini azab Tuhan, mungkinkah ada yang
salah dalam caranya menjalani kehidupan—hubungan dengan suaminya, mungkinkah
yang salah adalah keputusannya untuk mengikatkan diri dengan lelaki itu,
sementara semasa muda pilihan lain—yang mungkin saja akan menggiring nasibnya
ke arah yanglebih baik—terbuka baginya, asalkan ia mau berusaha lebih keras
alih-alih percaya begitu saja pada intuisi.
“Ya, aku ingin punya selingkuhan! Dasar
kau lelaki tua memuakkan yang tidak bisa lagi memberiku apa-apa! Aku ingin
kembali pada orangtuaku saja!”
BLAM.
Setelah makan, ia
menyempatkan diri untuk mencari sedikit kesenangan. Ia menyalakan TV dan
menonton sinetron; aktor-aktor muda yang tampan. Belum lama ini mendatangi
minimarket di dekat rumah orangtuanya untuk membeli sedikit keperluan. Di salah
satu lorong, ia berpapasan dengan karyawan minimarket itu. Mungkin baru lulus
dari SMK. Tampak manis sekaligus gagah dalam seragamnya, dan kartu identitas
yang menggantung dari saku di bagian dadanya. Tebersit bayangan untuk menculik
pemuda itu lalu mengurungnya di ruang bawah tanah yang gelap dan pengap, dan
memberinya kenikmatan yang menyiksa. Tapi ia menjadi sedih berkat kewarasan
yang menahannya untuk berbuat. Selain karena ia tidak memiliki ruang bawah
tanah, dan menyadari bahwa pemuda itu mungkin saja sepantar dengan putranya
membuatnya merasa jijik pada diri sendiri.
Ia pun mematikan TV, dan
kembali ke tempat tidur. Dalam pencariannya akan selingkuhan yang tidak kunjung ditemukannya (oh, siapa juga yang
sudi dengan perempuan ringkih lagi busuk ini?), untungnya ia masih memiliki
pelarian. Ia telah kehilangan mimpinya yang satu, tapi masih memiliki
mimpi-mimpinya yang lain—dalam tidurnya. Atau malah, justru inilah tujuannya
yang baru: tidur selamanya. Memang rekornya baru mencapai dua belas jam sehari,
namun ia yakin, kegigihan lambat laun akan membawanya pada tujuan itu.
Maka sembari menunggu
kantuk, ia menyalakan ponselnya. Orang-orang dalam daftar kontak di ponselnya
acapkali menjadi sasarannya dalam melampiaskan masalah keluarga. Mereka yang
tidak tahan mendengarkan ocehannya telah disingkirkannya dari daftar.
Sebetulnya ia sudah jenuh menjenuhkan orang-orang itu dengan persoalan yang
itu-itu saja. Tapi ia seringkali tidak memiliki hiburan lain. Bahkan ketika ia
tidak sedang ingin membicarakan tentang keluarga, orang-orang itu yang akan
menanyakannya. Agaknya mereka pun sudah terbiasa dijenuhkan dan membalasnya
dengan menambah-nambah kejenuhannya.
Seolah tahu bahwa ponselnya
telah dinyalakan, sebuah panggilan datang. Tetangganya melaporkan, “Tora di
tempat saya. Lagi makan.”
“Terima kasih, Mbak.”
Tetangganya itu selalu baik kepadanya. Betapapun ia sering menghujani perempuan
itu dengan keluhan. “Maaf, sering merepotkan.”
“Enggak apa-apa.”
Tetangganya itu terdiam lama. “Tahu kan SBMPTN sebentar lagi?”
“Iya, Mbak.” Tetangganya itu
juga kadang mengingatkannya akan buah hati yang terlanjur mbrojol dari dalam dirinya—hasil pergulatannya bersama suaminya.
Tetangganya itu tidak perlu lagi memberitahunya untuk pulang dan mendampingi
Tora. Dan mencari cara untuk membiayai kuliah anak itu, di samping kebutuhan
mereka sehari-hari. Atau pemuda itu akan membusuk di dalam ruang bawah tanah
miliki seorang perempuan paruh baya, yang mengiming-iminginya dengan kekayaan
yang tidak mampu diberikan oleh orangtuanya sendiri. Kadang kehidupan anaknya
terasa bagai ilusi, hingga dipikirnya ia harus mendengar Tora sendiri yang
bersuara. “Bisa ngobrol sama Tora?”
“Sebentar.”
Ia menunggu.
“Tora udah pergi, ternyata.”
Sambungan telah ditutup,
namun ia masih menggenggam ponselnya dan menduga. Anaknya tidak pergi, hanya
menantinya mendekat dengan langkahnya sendiri.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar