Namaku Kesedihan. Orang-orang suka menertawakanku. Kau tahu bagaimana
sakitnya ditertawakan. Bukan karena kau memang bermaksud melucu, melainkan
karena kau dianggap buruk, remeh, dan rendah. Kau tahu orang menertawakan suatu
hal karena merasa superior. Sungguh, itu ada dalam teori tentang Humor.
Ah…! Ya, ya. Humorlah si jahanam itu, dalang di balik inferioritasku.
Orang-orang menggunakan jasanya untuk melawanku. Dengan cara apapun. Lewat
corong manapun. Ia ada di TV, di buku, di radio, di bacotmu—mungkin.
Dan ia melaksanakan tugasnya dengan keterlaluan baiknya. Begitu melihatku,
ia akan menunjuk-nunjuk dengan jari-jemarinya yang keriting. “Itu Kesedihan!
Mari tertawakan!”
Orang-orangpun mendekat, dan turut menunjuk-nunjuk. Tawa mereka membahana.
“Hei, Kesedihan! Kau tak layak berada di muka bumi! Hahahaha….”
Aih! Bisa kau bayangkan ada yang mengatakan itu padamu? Bisa kau bayangkan
betapa perihnya? Begini-begini, aku juga perasaan!
Akupun menjauh. Menyingkir ke kedai kumuh ini. Menghampirimu yang sedang minum-minum.
Menyampaikan keluh-kesahku padamu.
“Seperti setiap orang, aku juga ingin dianggap serius,” kataku muram.
“Memangnya kau orang?” Matamu yang sudah menguning itu separuh terpejam.
Tapi masih kau tenggak juga tuak itu. Menyengat kerongkonganmu keras-keras.
Lalu kau pula bersendawa keras-keras. Mengibas-ngibaskan tanganmu padaku hingga
menghempas aroma busuk dari ketiakmu ke penciumanku. “Sudah, sana. Jangan
ganggu aku terus. Aku ke sini justru supaya aku bisa lari sejenak darimu, tahu?
Suh! Suh! Husss…!” Ludah bercipratan dari mulutmu, efektif sungguh untuk
menggusahku dari dirimu.
“Sejenak”, katamu? Huh!
***
Walau tampaknya tak ada yang menginginkanku, sesungguhnya ada pula yang
menanti-nantikan kehadiranku.
Ia seorang gadis yang tinggal di lantai dua sebuah bangunan. Begitu
memasuki ruangannya, harus kau arungi terlebih dulu lautan sampah yang sengaja
dikumpulkannya bertahun-tahun. Bagian yang leluasa dari ruangannya itu hanya di
tepi jendela, tempatnya duduk mendengarkan cericit beburungan yang ramai namun
menenteramkan. Selain itu, ia suka mengamati pemandangan di luar, di bawah.
“Ke mana saja kau?” tanyanya dengan rindu. Begitu tampak olehnya diriku,
aku dirangkulnya, dielus-elusnya.
“Aku tak ke mana-mana. Aku ada di mana-mana,” kataku. Lalu menemaninya
duduk mengabsen pedagang keliling yang lalu-lalang di jalan.
“Kau tahu, Kesedihan, sudah tiga hari ini si penjaja sapu tidak lewat.”
“Mungkin dia sedang sakit.”
“Oh….” Dia tampak murung. “Kemarin aku membaca berita—kalau sedang kangen
padamu, aku membaca berita, itu membuatku merasa dekat denganmu. Ada berita
tentang seorang perempuan di kampung yang membunuh anak-anaknya, lalu membunuh
dirinya sendiri. Suaminya tidak ada. Katanya bekerja di kota. Mungkinkah itu si
penjaja sapu? Mungkinkah dia absen karena sedang melayat keluarganya?”
“Mungkin.”
Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu ia mengusapnya. “Kau tahu, Kesedihan,
kenapa aku menyukaimu? Kau membuatku merasa kembali berpijak di bumi.
Kesenangan suka mengajakku ke awang-awang. Tapi aku takut ketinggian. Aku takut
jatuh. Maka denganmu, aku merasa aman.”
Aku sempat sebal ketika ia menyebut-nyebut nama musuh bebuyutanku itu.
Tapi toh diriku yang disukainya. Kesenangan malah mengajaknya pada Ketakutan.
Hei, siapa juga yang mau dekat-dekat si begundal itu? Kamipun berpelukan. Ia
mulai terisak. Aku mengusap-usap punggungnya. “Keluarkan…. Keluarkan….” Untuk
membantunya, kuingatkan dirinya akan segala kesalahannya pada masa lalu. Mimpi-mimpinya
yang kandas. (Tak ada teman sebaik orang-orang yang bermimpi! Di mana ada
mereka, ke situ aku menuju.) Ia mulai menggerung. Kubelai-belai rambutnya yang
gimbal akibat jarang disisir. Kucomot sekalian bungkus kopi yang entah
bagaimana menempel di sana dan tidak diketahuinya.
Pada saat itulah hadir Kesenangan. Tanpa menampakkan rasa sungkan
sedikitpun, ia masuk ke dalam ruangan dan ikut berangkulan. Mula-mula aku
menahan demi gadis yang sedang khusyuk
dalam kemesraannya denganku ini, tapi lama-lama aku melepaskan diri. “Apa-apaan
ini?!” sentakku.
Gadis itupun tersadar. “Kesenangan, kau sudah datang?”
“Iya, manisku,” Kesenangan memamerkan senyumnya yang memuakkan.
Mereka terus berangkulan.
Gadis itu berusaha menggaetku lagi, tapi aku terus mengelak. “Kau kenapa?”
akhirnya ia bertanya.
“Kesedihan dan Kesenangan tak bisa berada dalam satu ruangan. Aku tak
terima itu!” ucapku dengan dongkol. Kau tahu Humor dan Kesenangan adalah sejoli
yang selalu berusaha mengenyahkanku jauh-jauh. Orang-orang selalu memihak
mereka. Tidak bisakah aku menikmati momen dengan orang yang menginginkan
keberadaanku saja? Tapi ternyata aku telah dikhianati!
“Tidak bisakah kalian berdamai?” Nada dan tatapan gadis itu tampak
memohon. Ia mencelat dari pelukan Kesenangan lalu terjun ke dalam lautan
sampahnya. Ia muncul lagi dengan membawa sebuah kanvas yang ditempeli oleh berbagai
warna dan material—mulai dari cat minyak sampai potongan sampah. “Lihat, aku
berusaha menyatukan kalian di sini. Warna-warna terang untuk Kesenangan, dan warna-warna
gelap untuk Kesedihan.” Ia memandangi kami bergantian. Kesenangan
manggut-manggut. Namun aku masih jauh dari harapannya untuk dapat menerima.
Bagaimana warna-warna yang saling bertolak-belakang itu dapat teraduk-aduk begini?
Sungguh komposisi yang menyayat mata—mencemari hati! Aku juga tidak dapat
menerima Kesenangan disebut lebih dulu daripadaku!
“Bagus!” ujar Kesenangan.
“Masak?” Gadis itu memekik girang.
“Jelek!” ujarku masam.
“Masak?” Gadis itu bergumam sendu.
Sementara gadis itu meratapi lukisannya yang amburadul sambil merenungkan
perkataan kami, Kesenangan menggiringku ke pojok ruangan.
“Kau harus mengerti. Gadis ini seorang melankolis. Memang sudah tabiatnya
menyenangi Kesedihan!”
“Itu aneh!” Aku mengernyit.
“Kau akan terbiasa. Kau ini Kesedihan generasi keberapa sih? Mestinya ayahmu,
kakekmu, kakek-buyutmu—atau siapalah dari keluargamu—sudah menyampaikannya
padamu. Meskipun kita ini bagaikan air dan minyak, tapi para seniman telah
membuktikan bahwa sesungguhnya kita dapat bekerja sama. Kita—”
Kucampakkan tangan Kesenangan yang mulai memegang-megangku. Entah maksudnya
itu untuk meyakinkanku atau membakarku sampai menguap. Aku berseru pada si
gadis yang sontak terkaget-kaget. “Pada akhirnya kau hanya mencari Kesenangan!
Kau mencariku hanya untuk mendapatkan Kesenangan nantinya! Aku tidak terima
diduakan begitu! Aku juga perasaan! Kau kira aku terbuat dari apa?”
Akupun membalikkan badan, berusaha mengabaikan jeritan gadis itu. “Jangan
pergi, Kesedihan! Bagaimana aku bisa berkarya tanpamu?!” Ia mulai tersedu-sedu.
Langkahku tertahan. Namun kembali melaju begitu terdengar Kesenangan
berusaha menghiburnya, “Ia pasti kembali.”
Tidak! Aku tidak akan kembali! Kupaksakan langkahku untuk terus menjauh.
Berat rasanya. Aura gadis itu terlalu suram untuk dapat kuhindari. Bahkan
meskipun aku sudah berada puluhan meter jauhnya dari tempat itu, kemuramannya
masih menggapai-gapaiku. Berusaha menyeretku. Mungkin aku akan kembali.
Kesenangan benar. Tidak! Mungkin aku akan kembali tapi bukan karena Kesenangan
benar. Tidak! Aku tidak akan kembali! Pokoknya aku tidak akan kembali! Tidak!
Cukuplah Kesenangan bagimu, gadisku! Tidak! Aku harus merebutnya dari
Kesenangan! Masak aku kalah begitu saja? Mungkin aku akan kembali. Bukan karena
Kesenangan yang mengatakannya pada gadis itu, tapi karena aku harus
memperjuangkan eksistensiku!
Kericuhan itu menyertaiku sepanjang perjalanan hingga mereda dengan
sendirinya.
Aku teringat pula ada janji malam ini. Semoga belum terlambat! Akupun
bergegas.
***
Dari jauh tampak sebuah rumah yang ditempeli beberapa titik cahaya. Namun
selebihnya temaram. Begitupun bagian dalam rumah itu. Hanya cahaya bulan
menerobos dengan lemah melalui lubang-lubang ventilasi serta jendela yang tidak
tertutup oleh tirai. Selebihnya gulita. Aku menuju sebuah kamar. Seorang wanita
berbaring di tempat tidurnya yang besar. Di dekatnya, Kesepian duduk memetiki senar
gitar. Permainan yang lirih itu dihentikannya begitu melihatku.
“Maaf. Sudah lama menunggu, ya?”
“Tidak apa-apa.” Wanita itu tersenyum sambil memperbaiki posisinya hingga
bersandar pada kepala tempat tidur. Dalam kegelapan ia tampak lembut dan
cantik. Begitupun dari depan. Helai-helai rambutnya membingkai wajahnya yang
bulat. Ia tidak memakai topinya. Bagian belakang kepalanya bukan pemandangan
yang kau ingin lihat sejak ia divonis mengidap kanker bertahun-tahun lalu.
Aku duduk di samping Kesepian, menghadap wanita itu.
“Sendirian?” tanyaku berbasa-basi.
“Yah…. Seperti biasa….”
“Suamimu dan anak-anakmu tampaknya tidak berada di rumah.”
“Yah…. Mereka sedang pergi. Tidak apa-apa. Mereka capek. Mereka butuh
Kesenangan. Lagipula semuanya akan berakhir.”
Sesaat aku meringis sambil berharap wanita itu tidak melihatnya.
Kesenangan bersama orang-orang yang lupa. Karena itu ia layak dibenci. Kupegang
tangan wanita itu. “Kau siap?” tanyaku.
Ia mengangguk sambil menyambut genggamanku. “Kalian sendiri, siap
mengeloniku sampai tidur?” Dikedipkannya sebelah matanya. Mengulangi kegenitan
yang barangkali menjadi keahliannya pada masa muda.
Aku dan Kesepian tertawa. “Kami berdua tidak akan melepaskanmu sampai kau
lelap, Sayang,” kataku. “Seperti biasa.”
“Seperti biasa,” ia mengulang dalam bisikan.
Pada rak di samping tempat tidurnya telah disiapkan segelas air putih dan
sebuah kotak kecil. Di dalam kotak itu terdapat obat dalam berbagai bentuk, warna,
dan ukuran yang harus diminumnya sehari-hari. Ia pernah menjelaskan pada kami
berdua apa kegunaan dari masing-masing obat itu. Namun pada malam ini ia hanya
meminum salah satu jenis saja. Beberapa butir sekaligus. Setelahnya, ia
membenamkan bagian atas tubuhnya pada tumpukan bantal yang nyaman.
“Terima kasih telah menjadi teman baikku selama ini,” kata wanita itu.
Kamipun tersenyum padanya dengan setulus-tulusnya.
“Kami akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu,” kata Kesepian. Dari
dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah kecrekan dan menyerahkannya padaku.
“Kuharap kau menyukainya. Ini spesial untukmu. Dan cara yang kau pilih untuk
menyudahi segalanya.” Kesepian tidak kuasa menahan haru. Suaranya mulai
terdengar seperti mencicit. “Kami akan merindukanmu….” Aku menepuk-nepuk
punggungnya. Sisi sentimentalnya mulai kambuh. Jangan sampai menulariku! Lalu ia
mengusap mata kanan-kiri dengan sebelah telunjuknya dan berdeham. “Mungkin kami
tidak akan bisa menemuimu lagi di alam sana, tapi… kau akan segera mendapatkan
gantinya. Kedamaian akan menyambutmu. Sampaikan salam kami padanya. Peace!” Ia mengacungkan jari tengah dan
telunjuk tinggi-tinggi lalu dalam sekejap mengganti jari tengah dengan
kelingking dan jempol sementara telunjuk tetap di tempat.
Wanita itu tertawa kecil. “Kalian ini selalu berjiwa muda. Oh, aku tak
sabar mendengarnya. Ayo, mainkan.”
“Kamu suara satu. Aku suara dua, ya,” Kesepian sempat-sempatnya mengulang
instruksi biarpun kami sudah sering sekali memainkan lagu ini sejak mula
diciptakan.
“Iya, iya,” kataku.
Kesepian pun memainkan intro lalu suara kami berdua mengalun padu. Begitu
sampai di bagian reff, aku membentur-benturkan
kecrekan itu ke sisi lututku pelan-pelan.
“…. Suicide is painless. It brings
on many changes. And I can take or leave it if I please….[1]”
“Lagu yang indah…” terdengar wanita itu berucap di sela-sela pergantian
lagu. Biarpun yang kami mainkan adalah lagu yang sama. Terus-menerus. Dengan
khidmat
Hingga Kematian menampakkan sosoknya yang mencekam. Namun kami sudah
terbiasa. Ia juga. Malah ia mendengus begitu melihat kami. “Lagi-lagi kalian.”
Kalau ia punya bola mata, mungkin bakal diputar-putarnya benda itu dalam
rongganya.
“Hei, kami ini teman baik orang-orang yang sendirian, tahu?” Kesepian
memprotes.
“Teman baik yang buruk, ha-ha,”
ia tertawa sinis. “Menambah-nambah tugasku saja. Minggir. Aku lagi butuh
privasi.”
Kami pun membereskan alat musik lalu menyingkir ke luar.
“Habis ini mau ke mana?” tegurku pada Kesepian. Biasanya kami ke mana-mana
bersama-sama. Nyaris tidak terpisahkan. Memang adakalanya kami punya urusan
sendiri-sendiri.
“Sepertinya aku mau melayap ke festival di tengah kota.”
“Lho? Di sana pasti ramai sekali. Bukannya Keramaian itu musuhmu?”
“Hahaha. Kau ini seperti yang tidak tahu saja. Selalu ada yang butuh
kutemani biar di tengah hiruk-pikuk sekalipun!”
Kesepian menepuk pundakku lalu kami berpisah jalan. Kuputuskan untuk
mencari teman juga. Ke tempatmu.
***
Di tengah jalan aku terpikir untuk membawa adik-adikku serta. Mengingat
perlakuanmu yang terakhir padaku, aku merasa agak trauma. Kuharap keberadaan
adik-adikku yang bongsor-bongsor itu akan membuatku merasa tenang, sekaligus
memberimu lebih banyak dukungan.
Kami lebih dikenal dengan nama klan ketimbang nama personal. Jadi boleh
juga kami disebut dengan Kesedihan 1, Kesedihan 2, Kesedihan 3, Kesedihan 4,
dan seterusnya…. Kami juga memiliki banyak nama alias seperti Kedukaan,
Kegetiran, Keharuan, Kepahitan, Kepedihan, Kepiluan, Keprihatinan, Kesayuan,
dan sebagainya[2].
Terserah mau memanggil dengan yang mana. Semua sama saja. Hanya yang satu
kemungkinan lebih besar—atau lebih sering menggentayangimu—daripada yang lain. Nah,
apabila keluarga besar kami berkumpul, orang biasanya memberi julukan yang khas
pula pada kami, yaitu Depresi.
Kami mendapatimu masih terkapar di kamar pada waktu siang. Mungkin akibat
maraton tuak kapan itu.
“Kasihan dia. Kalau begini dia kesiangan masuk kerja lagi. Dipecat lagi. Mari
kita bangunkan dia,” kataku.
Adik-adikku dengan patuh menurut. Mereka mulai mengguncang-guncang,
menepuk-nepuk, dan memukul-mukul kepalamu, pipimu, pundakmu, lenganmu,
punggungmu, pantatmu, pahamu, betismu, tumitmu, sampai ujung jempol kakimu.
Kau pun mengerang. Memegangi kepalamu. Menggeliat-geliat. Berusaha bangkit
tapi ambruk lagi. Meringkuk lagi. Adik-adikku berusaha membangunkanmu lagi
sampai akhirnya kau sanggup membuka mata. Terbelalak. “Jangan keroyokan begini
dong!” keluhmu. Lalu kau merutuk-rutuk, tersedu-sedu.
Namun kami temanmu yang setia! Bagaimanapun upayamu mengusir kami, tak ada
yang benar-benar ampuh. Kau bisa saja mengabaikan yang lain, tapi akan selalu
ada di antara kami yang mendampingimu. Kami menyayangimu! Kami ingin kau dapat
menghadapi kenyataan dengan tegar! Maka di sini kami mengerumunimu rapat-rapat.
Membentengimu dari Humor cecurut yang mulai mengendus-endus adanya peluang
usaha. Tak akan kami biarkan ia menemukan celah supaya dapat menyusup dan
menawarkan jasa tipu-tipunya itu padamu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar